Ekspor Cpo

Published on January 2017 | Categories: Documents | Downloads: 59 | Comments: 0 | Views: 1162
of 139
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI

OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H14104036

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

WIDA KUSUMA WARDANI. Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri. (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM). Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Eksportir CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar dalam negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia dan menganalisis keterkaitan antar keduanya serta bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri . Untuk tujuan tersebut, beberapa variabel yang diteliti adalah ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi, harga minyak goreng kelapa, impor minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang

dilakukan. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software SAS 6.12 sedangkan analisis data menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS). Hasil analisis memberikan kesimpulan bahwa model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng tidak berpengaruh nyata. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag permintaan minyak goreng sawit. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen. Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah perlu suatu adanya kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif. Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar kurang mampu.

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI

Oleh WIDA KUSUMA WARDANI H14104036

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa Nomor Registrasi Pokok Program Studi Judul : Wida Kusuma Wardani : H14104036 : Ilmu Ekonomi : Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 131 846 871

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan :

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2008

Wida Kusuma Wardani H14104036

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Wida Kusuma Wardani lahir pada tanggal 14 Agustus 1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Soeroso dan Tasmiyati. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Jati Mekar, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 246 Jakarta. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 113 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA), Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Komisi Pelayanan Khusus (Kopelkhu). Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dan kekuatan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dampak Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit dalam Negeri”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Soeroso dan Ibu Tasmiyati atas doa dan dukungannya. Serta mas Ambar dan mas Fajar atas semangat dan keceriaannya untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini secepatnya. 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku dosen penguji utama atas kesediaan serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 4. Jaenal Effendi, S.Ag ., MA selaku dosen penguji komisi pendidikan atas kesediaan serta arahan, saran, kritik dan perhatian yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 5. Sahabat penulis Deni, Liana, Tika, Rista, Ate, Rolas, Wike, Elsa, Epy dan Rima terima kasih atas doa, semangat dan dukungannya. 6. Teman-teman penulis, Septi, Niken, Lia, Rani, Della, Hana, Irma, Prima, Merlyn, Noorish, Titis, Tata, Dila, Dita, Eko, Arum, Tia, Hansen, Agus dan teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 41. Terima kasih atas masukan dan dukungannya.

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini dan tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuannya. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2008

Wida Kusuma Wardani H14104036

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... i DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7 1.5 Batasan Penelitian .................................................................................. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9 2.1 Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia...................................... 9 2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia .................... 10 2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit........................................................................... 12 2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit ...................................................... 13 2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit ......................................................... 15 2.2 Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia.................................. 17 2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia ........................ 18 2.3 Tinjauan Kebijakan Pemerintah Disektor Industri Minyak Sawit ................ 19 2.4 Studi Terdahulu ............................................................................................. 20 2.4.1 Penelitian Mengenai CPO ............................................................. 20 2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng sawit dan Minyak Goreng Kelapa ................................................................................................... 21 2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square(2SLS) ............................... 24 III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 26 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................................ 26 3.1.1 Teori Perdagangan Internasional.................................................. 26

3.1.2 Teori Nilai Tukar........................................................................................ 29 3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia ................................................... 32 3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor ............................................................................. 33 3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................... 37 3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................... 41 3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (TSLS) .................................................. 45 3.1.8 Konsep Elastisitas ...................................................................................... 46 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................................. 48 IV. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 52 4.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 52 4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 52 4.3 Spesifikasi Model Simultan .......................................................................... 53 4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia .................................. 55 4.3.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia.................................. 56 4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................ 57 4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................. 58 4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................ 59 4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 60 4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................................................................... 60 4.4 Hipotesis.................................................................................................. 61 4.5 Identifikasi Model ......................................................................................... 62 4.6 Model Lag yang Didistribusikan................................................................... 65 4.7 Pengujian Model dan Hipotesis .................................................................... 66 4.7.1 Uji Kesesuaian Model ................................................................................ 66 4.7.2 Pengujian Hipotesis.................................................................................... 67 4.7.3 Uji Autokorelas .......................................................................................... 68 4.7.4 Uji Heteroskedastisitas ............................................................................... 69 4.7.5 Uji Normalitas ............................................................................................ 70 4.7.6 Pengukuran Elastisitas ............................................................................... 70

4.7.7 Validasi Model ........................................................................................... 71 4.7.3 Simulasi Model Kebijakan ......................................................................... 73 4.8 Definisi Operasional...................................................................................... 73 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 76 5.1 Estimasi Parameter Model ............................................................................ 76 5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia .................................. 76 5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia.................................. 81 5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ................................................ 85 5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................ 88 5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 91 5.2 Hasil Validasi Model..................................................................................... 94 5.3 Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar 10 Persen ......................................... 95 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 100 6.1 Kesimpulan ................................................................................................... 100 6.2 Saran.............................................................................................................. 102 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104 LAMPIRAN ........................................................................................................ 107

DAFTAR TABEL

Nomor 1.1 1.2 2.1 4.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005

Halaman

Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton) ................. 2 (000 Ton).................................................................................................... 3 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................................... 19 Pengujian Order Condition ........................................................................ 64 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia ..................................................... 81 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia ..................................................... 84 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia................................................................ 88 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia................................................................ 91 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia ............................................................................. 94 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri ....... 95 Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen............... 99

DAFTAR GAMBAR

Nomor 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

Halaman

Tahun 2000-2006 .......................................................................................... 13 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006 ............................ 14 2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2006 ....................................................................................... 15 3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional ....................................................... 29 3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada Keseimbangan Perdagangan Internasional ........................................ 31 3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO terhadap Industri CPO .............................................................................................. 35 3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor ............................................ 41 Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit ....................................... 44 3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran ........................................................... 51 3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibat Adanya

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia ................... 108 2. Data Riil Penelitian .................................................................................... 110 3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 .................................................. 112 4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 113 5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ........................ 114 6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 115 7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ....................... 116 8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ................ 117 9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan dengan Menggunakan Program SAS 6.12 .................................................. 122 10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar 10 Persen dengan Menggunakan Program SAS 6.12 ................................. 123

I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Perkembangan nilai ekspor Indonesia sampai tahun 1986 masih

didominasi oleh ekspor migas, namun sejak tahun 1987 ekspor Indonesia didominasi oleh sektor non migas. Ekspor komoditas pertanian merupakan salah satu bagian penting dalam komposisi ekspor non migas. Total nilai ekspor produk pertanian selama lima tahun terakhir menunjukkan trend yang meningkat, yaitu dari US$ 3,8 milyar di tahun 2000 menjadi US$ 8,2 milyar di tahun 2004. Selama periode Januari-Desember 2006, ekspor sektor pertanian secara relatif meningkat sebesar 16,8 persen dibanding tahun 2005. Dan selama satu tahun, sektor ini telah menghasilkan devisa senilai US$ 484,7 juta. Dari total komoditas pertanian tersebut, sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan sub

sektor lainnya adalah sub sektor perkebunan, yaitu sebesar 87,57 persen dengan total nilai ekspor sebesar US$ 7,4 milyar (2004)1. Salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap ekspor perkebunan Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, kemudian produksinya menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, lalu untuk diekspor sebagai penghasil devisa (ekspor Crude Palm Oil

1

Badan Pusat Statistik, Statistik Ekspor Indonesia 2006.

tahun 2006 bernilai US$ 4,8 milyar) dan menyediakan kesempatan kerja diberbagai sub sistem (menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta orang). Peranan Industri minyak sawit dan produk turunannya akan terus berkembang, terutama dengan adanya program energi alternatif biodiesel baik nasional maupun internasional. Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di dunia. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia pada tahun 2006 sebesar 16.000 ribu ton, sedangkan total produksi CPO Malaysia sebesar 15.881 ribu ton2. Pada data produksi dan volume ekspor tahun 2001 hingga 2005, terlihat bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama di dunia untuk produksi dan ekspor CPO (Tabel 1.1 dan Tabel 1.2). Tabel 1.1 Produksi Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton) Negara Malaysia Indonesia Nigeria Thailand Columbia 2001 11.804 8.396 770 625 548 2002 11.909 9.622 775 600 528 2003 13.355 10.441 785 640 527 2004 13.976 12.326 790 668 632 2005 14.962 14.620 800 680 661

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.

2

Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), 2006.

Tabel 1.2 Volume Ekspor Negara Penghasil CPO Dunia 2001-2005 (000 Ton) Negara Malaysia Indonesia Papua New Guinea Singapura Columbia 2001 10.618 4.903 328 224 90 2002 10.886 6.334 324 220 85 2003 12.248 6.386 325 256 105 2004 12.575 8.662 348 240 183 2005 13.401 10.376 320 205 225

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006.

Industri CPO membutuhkan input dari perkebunan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS). Perkebunan kelapa sawit dengan hasilnya yang berupa TBS merupakan industri hulu dari industri CPO, sedangkan industri hilir utamanya adalah industri minyak goreng sawit, dimana lebih dari 76 persen penggunaan CPO oleh industri digunakan hanya untuk industri minyak goreng. Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, minyak goreng asal kelapa sawit telah mendominasi pangsa konsumsi minyak goreng yang beberapa tahun lalu dipegang oleh kelapa3. Industri minyak goreng Indonesia dari tahun ke tahun semakin pesat perkembangannya. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatnya angka produksi minyak goreng tiap tahunnya. Pada tahun 1998 total produksi minyak goreng Indonesia mencapai angka 5,9 juta ton dan untuk tahun selanjutnya produksi minyak goreng relatif meningkat hingga mencapai 11,9 juta ton pada tahun 2005. Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin bertambahnya permintaan akan minyak goreng itu sendiri.

http://www.bumn.go.id/news.detail.html=21711 Wayan R. Susila. 2007. Mempertanyakan Efektivitas Pajak Ekspor dalam Mempercepat Pengembangan Industri Hilir Perkebunan.

3

Nilai dan volume impor minyak goreng sawit selama periode 1996-2002 meningkat rata-rata 565,7 persen dan 23,9 persen per tahun. Volume impor pada tahun 1996 sebesar 3,3 ribu ton (US$ 3,7 juta) meningkat menjadi 14,9 ribu ton (US$ 8,5 juta) pada tahun 2002. Peningkatan tersebut akibat adanya kenaikan kapasitas ekspor dari Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku yang lebih sering dipakai dalam proses produksi pabrik minyak goreng, sehingga kekurangan tersebut ditutup dengan membuka keran impor minyak goreng (CIC, 2003). Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan insentif yang besar bagi pengusaha CPO domestik untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Harga CPO dunia naik lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Harga CPO pada Mei 2007 mencapai US$ 740 per ton dan diperkirakan akan terus naik hingga mendekati US$ 800 per ton. Lonjakan harga CPO diindikasikan karena adanya peningkatan permintaan dunia yang tinggi dan tidak sebanding dengan produksi dan suplai CPO di pasar internasional (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Ketika terjadi kenaikan harga CPO dunia, para produsen sawit akan lebih memilih memasarkan produknya di pasar internasional. Hal ini menyebabkan terjadinya kelangkaan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng sawit yang selanjutnya akan memicu ketidakseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri yang dicerminkan dengan kenaikan harga minyak goreng sawit domestik. Menyadari dampak negatif tersebut pemerintah menetapkan suatu kebijakan perdagangan yang berkaitan dengan industri CPO dan industri minyak

goreng. Salah satu kebijakan perdagangan yang ditetapkan pemerintah adalah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dengan harapan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan CPO dalam negeri khususnya industri minyak goreng menjadi lebih terjamin dengan harga yang lebih murah. Selama ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan bagi industri kelapa sawit yang dapat berdampak bagi industri hulu hingga hilir. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan CPO senantiasa berubah dari waktu ke waktu.

1.2

Rumusan Masalah Indonesia yang memiliki potensi sebagai negara penghasil CPO terbesar di

dunia, berupaya mengembangkan industri hilir, mengingat industri yang berbasis pada SDA lokal berpeluang untuk dapat menyerap tenaga kerja dan sebagai penghasil devisa dan diperkirakan pada tahun 2010 akan menjadi produsen CPO terbesar di dunia (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Kenyataannya, tidak perlu menunggu sampai tahun 2010, total produksi CPO Indonesia pada tahun 2006 telah melampaui Malaysia, sehingga Indonesia menjadi negara produsen CPO pertama di dunia. Kondisi permintaan dan penawaran domestik CPO dipengaruhi kekuatan permintaan dan penawaran di pasar internasional, mengingat Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka. Lonjakan harga CPO dunia mengindikasikan adanya permintaan dunia yang tidak sebanding dengan produksi dan suplai CPO di pasar internasional. Harga yang meningkat di pasaran internasional dapat menjadi insentif ekspor bagi pengusaha CPO domestik. Laju ekspor yang tidak terkendali

dapat mengakibatkan kurangnya pasokan CPO domestik, sehingga industri minyak goreng sawit tidak mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup. Pengembangan industri hilir CPO banyak mendapat insentif karena pemerintah akan mengembangkan mekanisme untuk mendorong berkembangnya industri hilir CPO yang dalam hal ini adalah industri minyak goreng. Pajak ekspor banyak diterapkan di negara berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan produk di pasar domestik. Adanya kebijakan perdagangan yang berupa pajak ekspor untuk CPO akan berdampak negatif pada industri hulunya yang dicerminkan oleh penurunan harga tingkat petani, areal, produksi dan pendapatan petani. Sebaliknya, industri hilir memperoleh beberapa manfaat seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak dengan harga yang lebih rendah. Pada tahun 1991-1994 ekspor CPO dibebaskan. Tiga tahun kemudian ditetapkan tarif ekspor progresif yang mencapai 40 persen sampai dengan 50 persen bagi CPO dan produk olahannya. Tarif ekspor pada tahun 1997 diturunkan menjadi 2 persen sampai dengan 5 persen, hingga kemudian naik menjadi 15 persen sampai dengan 40 persen. Pada bulan Desember 2005, pemerintah menetapkan kebijakan tarif ekspor sebesar 1,5 persen dari tarif ekspor sebelumnya yaitu sebesar 3 persen sejak tahun 2001. Lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 94/PMK.011/2007 ditetapkan tarif pungutan ekspor baru atas kelapa sawit, CPO dan produk turunannya. Besarnya tarif ekspor baru yang ditetapkan oleh pemerintah ini adalah sebesar 10 persen, hal ini merupakan perubahan ketujuh atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 92/PMK.02/2005.

Mengingat pentingnya komoditas kelapa sawit dan minyak goreng sawit terhadap perekonomian Indonesia, maka permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia ? 2. Bagaimanakah keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri ? 3. Bagaimana dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri ?

1.3

Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah : 1. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO dan keseimbangan pasar minyak goreng sawit di Indonesia. 2. Menganalisis keterkaitan ekspor CPO dengan keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri. 3. Menganalisis dampak pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar dan harga minyak goreng sawit dalam negeri. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

1. Bagi penulis, hasil penulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang masalah-masalah yang dihadapi dan mampu memecahkan

permasalahan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah. 2. Bagi pemerintah, hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan

perdagangan disektor industri CPO dan industri minyak goreng sawit. 3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai salah satu bahan rujukan dan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

1.5

Batasan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan

perdagangan yaitu pajak ekspor di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit domestik. Data yang dipergunakan menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Kode HS untuk Crude Palm Oil adalah HS 151110000, kode SITC untuk minyak goreng sawit adalah 42229 sedangkan untuk industri minyak goreng sawit digunakan KLUI 5 digit yaitu 31154 dan 15144. Kemudian penelitian ini juga tidak membedakan antara minyak goreng sawit kemasan bermerek dengan minyak goreng sawit curah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Gambaran Umum Industri Kelapa Sawit Indonesia

2.1.1 Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia Walaupun tanaman kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun tanaman ini dapat berkembang dengan baik dan produk olahannya, Crude Palm Oil (CPO), menjadi salah satu komoditas perkebunan yang handal. Awal mulanya, kelapa sawit hanya berperan sebagai tanaman hias langka di Kebun Raya Bogor dan sebagai tanaman penghias jalan atau pekarangan. Tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan 4 batang bibit kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara. Mulai tahun 1911, barulah kelapa sawit dibudidayakan secara komersil (Satyawibawa dalam Mahisya, 2004). Kelapa sawit berasal dari benua Afrika, bukti tersebut diperkuat dengan adanya analisis fosil yang dilakukan oleh Fridel. Fridel menemukan lemak dalam botol disebuah makam pada daerah Abyados yang diperkirakan adalah kelapa sawit. Begitu pula Zeven, Zeven melaporkan bahwa fosil dari serbuk sari di Niger Delta sama dengan serbuk sari yang tumbuh saat ini. Serbuk sari yang ditemukan tersebut menjadi bukti kuat bahwa kelapa sawit sudah dipelihara. Awalnya masyarakat dunia tidak mengenal kelapa sawit kecuali Afrika dan daerah-daerah tropik. Di Afrika, kelapa sawit dikenal sebagai tanaman domestik dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan akan minyak dan vitamin A

dalam susunan makanan. Kelapa sawit hanya digunakan oleh mereka yang mengetahui manfaatnya sedangkan yang lain mengabaikan atau sekedar membawanya saja. Sejak awal abad ke-19 kelapa sawit mulai diperdagangkan karena masyarakat sudah banyak yang mengetahui manfaat dan kegunaannya. Sekarang ini kelapa sawit mulai banyak dibudidayakan ditiga daerah tropik ekuator, yaitu Afrika, Asia Tenggara dan Amerika.

2.1.2 Pengolahan Kelapa Sawit Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal sebagai minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut, cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak dan bahan untuk industri. Keunggulan minyak sawit dapat dilihat dari susunannya yang terdiri dari asam lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh. Minyak kelapa sawit juga mengandung beta karoten atau pro-vitamin A, antioksidan dan pro-vitamin E (tokoferol dan tokotrienol) yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme dan untuk kesehatan tubuh manusia. Produk kelapa sawit dapat dikelompokkan dalam jenis bahan makanan (oleofood), bahan non makanan (oleochemical) dan bahan kosmetika dan farmasi.

Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi dan hidrogenasi. Umumnya, sebagian besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, sedangkan fraksi stearin untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan naku olein antara lain : minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak (shortening), bahan pengisi (adatif), industri makanan ringan dan sebagainya. Minyak kelapa sawit sebagai bahan bukan pangan dapat digunakan untuk bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu yang tinggi. Minyak kelapa sawit pun digunakan oleh industri perak sebagai bahan flotasi pada pemisahan bijih tembaga dan cobalt. Dan pada industri ringan dipakai sebagai bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak dan sebagainya. Pengolahan minyak sawit melalui proses hidrolisis menghasilkan asam lemak dan gliserin, yang selanjutnya dapat diproses menjadi turunan-turunan asam lemak, seperti amine alcohol dan metilester. Bahan-bahan ini dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan cat dinding atau cat kayu, tinta cetak, pasta gigi, pembuatan plastik, minyak diesel, kerosene atau gasoline. Selain untuk industri bahan makanan dan non makanan, minyak kelapa sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan industri farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak

dipakai untuk pembuatan shampo, krim, minyak rambut, sabun cair, lipstik dan sebagainya.

2.1.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia selama tujuh tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berkisar antara 8,44-19,94 persen. Pada tahun 2000 produksi kelapa sawit mencapai 7,00 juta ton dan meningkat 19,94 persen pada tahun 2001 menjadi sebesar 8,40 juta ton. Selanjutnya pada tahun 2002 meningkat lagi sebesar 14,60 persen menjadi 9,62 juta ton dan meningkat 8,51 persen pada tahun 2003 menjadi sebesar 10,44 juta ton. Pada tahun 2004 produksi kelapa sawit meningkat sekitar 18,6 persen atau menjadi 12,33 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 produksi kelapa sawit sebesar 14,62 juta ton yang berarti meningkat sekitar 18,61 persen. Produksi kelapa sawit kembali mengalami peningkatan sekitar 9,44 persen pada tahun 2006 sehingga menjadi sebesar 16,00 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit Indonesia tahun 2000-2006 disajikan pada Gambar 2.1.

18000000 16000000
Produksi CPO (Ton)

14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 2000 2001 2002 2003
Tahun

2004

2005

2006

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2000-2006 2.1.4 Perkembangan Ekspor Kelapa Sawit Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar dipasarkan ke mancanegara (diekspor) dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Pangsa pasar untuk produk minyak sawit tersebut telah menjangkau kelima benua yakni Asia, Afrika, Australia, Amerika dan Eropa. Namun demikian Asia merupakan pangsa pasar yang paling utama. Perkembangan ekspor minyak sawit periode 2000-2006 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 dan 2001 volume ekspor minyak sawit Indonesia masing-masing mencapai 4,11 dan 4,90 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1,09 milyar dan US$ 1,08 milyar. Dan di tahun 2002, volume ekspor minyak sawit Indonesia meningkat sekitar 29,17 persen menjadi sebesar 6,33 juta ton dengan nilai ekspor mencapai US$ 2,09 milyar dan pada tahun 2003 mengalami peningkatan lagi sebesar 0,83 persen atau menjadi 6,39 juta ton dengan nilai sebesar US$ 2,45 milyar. Pada tahun 2004 volume ekspor mengalami

kenaikan yakni menjadi 8,66 juta ton atau meningkat 35,63 persen dan nilainya mencapai US$ 3,44 milyar. Ekspor minyak sawit kembali mengalami peningkatan (19,79%) pada tahun 2005 dengan volume sebesar 10,38 juta ton dan nilai sebesar US$ 3,76 milyar. Pada tahun 2006 mengalami kenaikkan sebesar 16,61 persen atau menjadi 12,10 juta ton dengan nilai mencapai sebesar US$ 4,82 milyar. Ekspor CPO Indonesia cenderung meningkat berkisar 1,73-51,68 persen selama periode 2000-2006. Perkembangan ekspor CPO Indonesia tahun 20002006 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
14000000 12000000
Ekspor CPO (Ton)

10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 2000 2001 2002 2003
Tahun

2004

2005

2006

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2000-2006 CPO Indonesia diekspor ke berbagai negara tujuan. Pada tahun 2006, lima besar negara yang menjadi pengimpor CPO Indonesia berturut-turut yaitu India yang volume ekspornya mencapai 1,89 juta ton atau sebesar 36,42 persen terhadap total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai sebesar US$ 738,3 juta, peringkat kedua adalah Belanda dengan volume ekspor sebesar 0,83 juta ton atau

memiliki kontribusi 16,05 persen dan nilai ekspornya sebesar US$ 322,4 juta. Kemudian yang ketiga adalah Singapura dengan kontribusi 9,41 persen atau volume ekspornya sebesar 0,49 juta ton dengan nilai ekspor US$ 185,5 juta, sementara itu Malaysia dan Jerman berada di posisi keempat dan kelima. Ekspor CPO ke Malaysia pada tahun 2006 mencapai 0,47 juta ton atau sekitar 9,02 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 166 juta, sedangkan untuk Jerman sebesar 0,17 juta ton atau 3,35 persen dengan nilai ekspor mencapai US$ 68,9 juta. Besarnya persentase volume ekspor CPO dari lima negara terbesar pengimpor CPO Indonesia tahun 2006 disajikan pada Gambar 2.3 di bawah ini.

26% 37%

India Belanda Malaysia Jerman

9% 3% 9% 16%

Singapura Lainnya

Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006 (diolah).

Gambar 2.3 Persentase Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 2000-2006

2.2

Gambaran Umum Industri Minyak Goreng Indonesia Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang

dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman yang

ada selama ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional. Minyak goreng merupakan minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan, jagung, kedelai dan kanola. Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat pada masa sebelum orde baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I, didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin meningkatnya produksi kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng asal kelapa tergeser oleh minyak goreng asal sawit. Dibandingkan dengan minyak sawit, minyak kelapa mengandung lemak jenuh dalam jumlah tinggi dan diperkirakan sebagai penyebab penyakit jantung koroner. Rendahnya lemak jenuh dalam minyak sawit dikarenakan adanya proses pemanasan dan pengepresan dalam produksi minyak sawit. Keunggulan lain yang dimiliki oleh minyak sawit dibandingkan minyak kelapa adalah harga minyak kelapa sawit lebih murah dan juga warnanya lebih jernih sehingga aman bagi kesehatan. Bagi masyarakat yang sudah paham pentingnya kesehatan mereka lebih memilih minyak goreng yang berbahan baku dari minyak kelapa sawit.

Pada awal masa perkembangannya, industri minyak goreng Indonesia dimulai dari skala rumah tangga dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari minyak kelapa. Sistem perdagangan minyak goreng saat itu dilakukan dalam bentuk minyak goreng curah, dan selanjutnya mulailah bermunculan minyak goreng bermerek. Sejalan dengan diperkenalkannya tanaman kelapa sawit sebagai salah satu tanaman perkebunan di Indonesia, minyak kelapa mulai tergeser posisinya sebagai bahan baku minyak goreng oleh minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit mendominasi penggunaannya sebagai bahan baku industri minyak goreng nasional. Pergeseran posisi tersebut dikarenakan minyak sawit mentah yang berasal dari pohon kelapa sawit lebih mudah dibudidayakan. Budidaya kelapa sawit tidak tergantung musim tertentu, lebih tahan hama dan dapat diusahakan dalam skala besar sehingga dapat mencapai skala ekonomi tertentu. Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng merupakan komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu memantau perkembangan pemasarannya agar ketersediaan minyak goreng dipasar selalu tercukupi dengan harga yang relatif stabil. Pangsa pasar produk minyak goreng saat ini diperebutkan oleh sekitar 120 produsen lokal yang masih aktif berproduksi dengan kapasitas produksi sebesar 8,5 juta ton. Beberapa konglomerat yang terjun dalam bisnis perkebunan dan pengolahan kelapa sawit diantaranya adalah Salim grup (produsen Bimoli), Sinarmas grup (produsen Filma), Astra grup, Bakrie grup, Musi Mas grup, Hasil Karsa grup, Bukit Kapur grup dan Raja Garuda Mas. Kelompok di atas memiliki

industri terpadu mulai dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak goreng.

2.2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit Indonesia Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa perkembangan industri minyak goreng sawit pada enam tahun terakhir mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit. Rata-rata pertumbuhan produksi minyak goreng sawit di Indonesia selama periode 1999-2005 sebesar 10,6 persen. Sedangkan konsumsi per kapita minyak goreng di Indonesia mencapai 16,5 kilogram per tahun dimana konsumsi per kapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 14,6 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi minyak goreng sawit yang relatif tinggi ini sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit serta tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, yaitu sebesar 1,28 persen per tahun, dimana konsumsi minyak goreng terbesar adalah konsumsi langsung oleh masyarakat. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Produksi dan Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Produksi (000 Ton) 6.950 7.660 9.060 10.110 10.955 11.938 Pertumbuhan (%) 11,2 10,2 18,3 11,6 8,4 9,0 Konsumsi/Kap (Kg/Kap/Tahun) 13,76 13,97 14,28 14,72 15,38 16,03 Pertumbuhan (%) -1,6 1,5 2,2 3,1 4,5 4,2

Sumber : Badan Pusat Statistik, Neraca Bahan Makanan dan Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II 1999-2005 (diolah).

2.3

Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada industri

kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun yang lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Hal ini telah dilakukan sejak tahun 1978 (Lampiran 1). Berbagai instrumen kebijakan telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju inflasi dan mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, dan (2) pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang, 1996). Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang

berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export ban). 2.4 Studi Terdahulu

2.4.1 Penelitian Mengenai CPO Penelitian Mahisya (2004), menganalisa permintaan ekspor CPO Indonesia. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Error Correction Model (ECM). Mahisya menyimpulkan bahwa perkembangan harga domestik memiliki pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekspor. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan harga domestik suatu negara yang meningkat menandakan adanya defisit supply terhadap komoditi CPO, defisit ini terjadi pada pasar dunia yang juga memberikan imbas bagi pasar domestik suatu negara, karena adanya defisit suplai dari pasar dunia maka akan memicu harga CPO dunia meningkat dan berefek juga produsen CPO dalam negeri untuk melakukan ekspor untuk memenuhi kebutuhan CPO dunia. Sementara itu, deflasi nilai tukar rupiah berhubungan positif dengan volume permintaan ekspor, hal ini disebabkan karena deflasi nilai tukar rupiah yang semakin meningkat menyebabkan harga CPO Indonesia dipasar dunia akan dirasakan lebih murah oleh konsumen diluar negeri sehingga mereka meningkatkan permintaannya terhadap CPO Indonesia. Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Askadarimi (2007) mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO) Indonesia dengan menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Askadarimi menunjukkan bahwa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa

sawit dan produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit Indonesia dan luas areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit dan produktivitas CPO Indonesia tahun sebelumnya berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil pupuk domestik tidak berpengaruh secara nyata. Pengenaan pajak ekspor CPO untuk pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih efektif.

2.4.2 Penelitian Mengenai Minyak Goreng Sawit dan Minyak Goreng Kelapa Hasil kajian yang dilakukan oleh Suharyono (1996) mengkaji mengenai Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dan Hasil Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian tersebut adalah data sekunder dalam time series periode 1969-1993. model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika persamaan simultan yang diduga dengan metode pangkat dua terkecil tiga tahap atau Linear Three Stage Least Squares (LTSLS). Hasil estimasi menunjukkan bahwa luas areal produktif tidak responsif terhadap perubahan masing-masing peubah eksogen yang diperhitungkan dalam model, disamping itu

produktivitas minyak sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan harga ekspor. Produksi minyak sawit domestik responsif terhadap permintaan minyak sawit dunia, sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik responsif terhadap teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik. Disamping itu produksi margarine dan sabun baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang juga responsif terhadap permintaan sabun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan permintaan minyak sawit minyak sawit oleh industri minyak goreng sawit akan besar pengruhnya bagi permintaan minyak sawit domestik secara keseluruhan. Permintaan minyak goreng sawit, margarine dan sabun baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan pendapatan nasional. Khusus untuk permintaan minyak goreng sawit, dalam jangka panjang juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang hubungan minyak goreng sawit dan minyak goreng kelapa dilihat dari sisi konsumen lebih cenderung bersifat substitusi. Peubah trend teknologi ternyata mampu memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penawaran minyak goreng sawit domestik, margarine dan sabun. Hal ini tidak terjadi pada penawaran minyak sawit domestik. Namun demikian harga minyak sawit domestik hanya memberikan dampak yang besar pada penawaran penawaran minyak sawit domestik. Perubahan harga minyak sawit dunia dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan harga ekspor minyak sawit Indonesia. Sedangkan harga ekspor minyak

sawit Indonesia ke pasar Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) ternyata memberikan pengaruh yang besar pada perubahan volume ekspor komoditi itu ke pasar MEE. Selama kurun waktu 1969-1993 ternyata tidak terjadi perkembangan teknologi yang cukup berarti. Hal ini terlihat dengan tidak responsifnya perubahan harga, baik minyak sawit, minyak goreng sawit, margarine maupun sabun terhadap perubahan teknologi. Kebijakan ekonomi yang dinilai paling ideal, karena mampu

meningkatkan total surplus produsen domestik, total surplus konsumen domestik dan total surplus devisa, baik dalam pasar terkendali maupun yang bebas adalah (1) kebijakan penurunan tingkat bunga sebesar tiga persen dari tingkat bunga tertinggi; (2) kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar lima puluh persen dari harga pupuk rata-rata dan; (3) kebijakan peningkatan pendapatan nasional. Penelitian mengenai minyak goreng juga dilakukan oleh Ratri (2004) yang menganalisis permintaan dan dan penawaran minyak goreng kelapa di Indonesia dengan menggunakan metode persamaan simultan 2SLS. Hasil estimasi dari penelitian Ratri menunjukkan bahwa persamaan penawaran menunjukkan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak kelapa kasar dan stok tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata pada penawaran sedangkan upah dan trend berpengaruh nyata terhadap penawaran. Hasil estimasi persamaan permintaan menunjukkan bahwa harga minyak goreng kelapa, harga minyak goreng sawit, trend dan permintaan tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap permintaan, sedangkan hasil estimasi persamaan ekspor menunjukkan bahwa harga ekspor, nilai tukar dan dummy kebijakan pembebasan ekspor berpengaruh nyata terhadap

ekspor. Semua variabel dalam persamaan penawaran, permintaan dan ekspor tidak responsif dalam jangka pendek.

2.4.3 Penelitian Mengenai Two-Stage Least Square (2SLS) Jamaludin (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan metode Two- Stage Least Square (2SLS) untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan gandum-tepung terigu terhadap keseimbangan tepung terigu di Indonesia. Model yang dirumuskan oleh Jamaludin terdiri dari 7 persamaan yang di dalamnya terdiri dari persamaan identitas dan persamaan struktural. Seluruh jumlah variabel yang membangun berjumlah 29 variabel. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa produksi tepung terigu Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel harga tepung terigu domestik, jumlah impor gandum, upah tenaga kerja di sektor Industri, dan bedakala produksi tepung terigu Indonesia. Permintaan tepung terigu ditentukan dan responsif terhadap harga tepung terigu domestik, pendapatan nasional, jumlah penduduk dan dummy kebijakan perdagangan impor gandum-tepung terigu. Sedangkan untuk harga tepung terigu domestik secara nyata ditentukan oleh penawaran tepung terigu Indonesia dan trend waktu. Widayunita (2007) juga melakukan penelitian dengan menggunakan metode 2SLS untuk menganalisa daya saing industri semen Indonesia periode 1978-2005. Dalam penelitiannya Ia menggunakan metode 2SLS dan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing industri semen Indonesia dan pengaruh daya saing

terhadap penyerapan tenaga kerja. Penelitian Pristia menggunakan dua persamaan struktural yang diestimasi dengan menggunakan persamaan simultan. Kedua persamaan tersebut diubah kedalam bentuk double log, kecuali variabel-variabel yang sudah dalam bentuk persen. Bentuk logaritma menunjukkan persentase perubahan variabel independent terhadap variabel dependent. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri semen Indonesia memiliki tingkat daya saing yang kuat di pasar internasional. Daya saing industri semen Indonesia dipengaruhi secara positif oleh produktivitas, efisiensi, ekspor semen Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, jumlah tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja dan dipengaruhi secara negatif oleh dummy krisis. Daya saing industri semen Indonesia berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1

Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan atau pertukaran secara ekonomi dapat diartikan sebagai proses tukar-menukar yang didasarkan atas kehendak sukarela. Perdagangan akan terjadi bila diantara pihak yang melakukan perdagangan mendapatkan manfaat atau keuntungan. Demikian pula halnya dengan perdagangan internasional. Dalam arti sempit, perdagangan internasional merupakan suatu proses yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antar negara. Apabila perdagangan internasional tidak ada, maka masing-masing negara harus mengkonsumsi hasil produksinya sendiri (Salvatore, 1997). Perdagangan internasional dalam arti luas merupakan alat penggerak bagi pertumbuhan sektor ekonomi di suatu negara. Seiring dengan terus meningkatnya taraf hidup dan kebutuhan masyarakat, meningkatnya peran teknologi, komunikasi, sumberdaya, serta perubahan politik dunia, maka kehidupan suatu negara akan semakin terkait dengan perkembangan keadaan negara lain. Menurut Halwani dalam Ervina (2005) negara-negara akan melakukan perdagangan bila mereka memperoleh manfaat atau keuntungan didalam perdagangan tersebut (gains from trade). Karena dengan adanya perdagangan internasional akan berdampak cukup luas terhadap perekonomian suatu negara, baik aspek ekonomi maupun non-ekonomi. Ada dua alasan mengapa hal ini

terjadi yaitu karena setiap negara mempunyai keunggulan komparatif yang berbeda dan untuk tujuan skala ekonomis (economic of scale). Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan memperluas pasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, serta akibat adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu. Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan internasional, HeckserOhlin menganggap bahwa suatu negara dicirikan oleh faktor bawaan yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk mengekspor komoditi yang menggunakan faktor produksi yang lebih banyak dan secara relatif murah, dan mengimpor barang-barang yang menggunakan faktorfaktor produksi yang relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997). Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal CPO) ke negara lain (misal negara B) karena harga domestik di negara A lebih rendah jika dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang relatif rendah di negara A tersebut disebabkan adanya kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik yang melebihi konsumsi domestik. Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di pihak lain, negara B terjadi kekurangan penawaran

karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sehingga harga menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka dapat terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi CPO ke negara B (Salvatore, 1997). Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat dilihat pada Gambar 3.1. Sebelum terjadi perdagangan internasional,

keseimbangan di negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar Qa1 dan harga yang terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik Eb dengan dengan jumlah produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah sebesar P3. Harga di negara A (P1) lebih rendah daripada harga di negara B (P3). Produsen di negara A akan memproduksi lebih banyak dari tingkat konsumsi domestik untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah P3, negara B akan meminta lebih banyak dari tingkat produksi domestiknya. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadilah perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar internasional digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari negara A. Permintaan impor digambarkan oleh kurva Dw yang merupakan excess demand dari negara B. Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang menghasilkan harga dunia sebesar P2 dimana negara A mengekspor sebesar (Qa2-Qa3) yang sama jumlahnya dengan yang diimpor negara B (Qb2-Qb3) jumlah

ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada pasar dunia.

Grafik A Pasar di negara A Untuk komoditi CPO

Grafik B Hubungan perdagangan internasional untuk komoditi CPO

Grafik C Pasar di Negara B untuk komoditi CPO

P

P
P3 P2=Pw P1 Ea DA Qa2 Qa1 Qa3 Q Qw

P
Eb P3 P2 Dw A

SB

Ekspor P2=Pw P1 A

SA B

Sw Ew

B Impor DB

Q

Qb2 Qb1 Qb3

Q

Sumber : Salvatore, 1997

Gambar 3.1 Terjadinya Perdagangan Internasional

3.1.2Teori Nilai Tukar Kegiatan ekspor suatu komoditi yang terjadi di pasar internasional tidak terlepas dari masalah nilai tukar yang terjadi. Nilai tukar adalah harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Nilai tukar ini akan mempengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Peningkatan atau penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing dapat mempengaruhi volume ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau murahnya suatu komoditas

ekspor di pasar internasional sangat ditentukan oleh nilai tukar mata uang suatu negara. Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan faktor yang dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran ke kanan. Terdepresiasinya Rupiah terhadap Dollar Amerika membuat harga CPO Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah penawaran ekspor. Mekanisme pengaruh perubahan nilai tukar terhadap volume ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.2. Apabila di negara A terjadi depresiasi nilai tukar yang terlihat pada penurunan nilai tukar dari e1 menjadi e2. Penurunan nilai tukar yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan output pada kurva IS. Peningkatan output ini terjadi karena adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar perpotongan keynesian. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa penurunan nilai tukar (depresiasi) menyebabkan tejadinya peningkatan volume ekspor. Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan volume ekspor yang disebabkan penurunan nilai tukar pada gambar perdagangan internasional. Semula sebelum terjadinya penurunan nilai tukar, besarnya excess supply di negara A sebesar X1X2. Setelah terjadinya penurunan nilai tukar menyebabkan terjadinya peningkatan excess supply menjadi X3X4. Kondisi ini mengakibatkan kurva supply dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran kurva supply dunia dari SW menjadi SW1 menyebabkan tingkat harga dunia yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat dari 0Q menjadi 0Q1. Negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan meningkatkan jumlah impornya.

Besarnya volume ekspor negara A setelah depresiasi nilai tukar (X3X4.) sama dengan besarnya volume impor negara B (M3M4).
NX1 Pengeluaran aktual NX2 Y1 Y2

Pengeluaran E

Kurs, e

Kurs, e

e1 e2

e1 e2

NX1

NX2

(Ekspor bersih)

Y1 SW

Y2

(Output) DB SB

DA

SA Pw

SW1

DW

X4 X1

X2 X3

0

Q Q1 Perdagangan Internasional

M4 M1

M2 M3

Negara Pengekspor

Negara Pengimpor

Sumber : Mankiw, 2003

Gambar 3.2 Dampak Depresiasi Mata Uang Negara Eksportir pada Keseimbangan Perdagangan Internasional

3.1.3 Teori Penawaran Ekspor CPO Indonesia Penawaran suatu komoditas merupakan jumlah komoditas yang

ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditas adalah harga komoditas yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak dan subsidi (Lipsey dkk, 1995). Berdasarkan pengertian lebih luas, ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok (Kindleberger and Lindert, 1982). Dengan pengertian ini, maka ekspor minyak sawit dapat didefinisikan sebagai berikut : Xt = Q – Ct + St Dimana : Xt = Jumlah ekspor pada tahun ke-t Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t Ct = Jumlah konsumsi pada tahun ke-t St = Jumlah stok awal tahun ke-t Asumsi yang digunakan dalam (3.1) adalah impor minyak sawit negara pengekspor relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah produksinya, sehingga dapat diabaikan. Konsumsi domestik negara produsen pada umumnya relatif stabil sehingga dapat diabaikan. Mengingat besarnya tingkat produksi minyak sawit bila dibandingkan dengan permintaannya, maka walaupun terdapat stok di negara produsen diduga bukanlah berfungsi sebagai penyangga (buffer), (3.1)

namun merupakan sisa produksi pada akhir tahun yang tidak dapat disalurkan di pasar internasional. Penawaran ekspor suatu negara juga dipengaruhi oleh tingkat bunga dan nilai tukar valuta asing di negara pengekspor dan di negara partner dagang negara pengekspor (Branson and Litvack dalam Imi, 2007). Demikian juga harga minyak sawit negara produsen lain sebagai mitra dagang, berbagai kebijakan pemerintah suatu negara atau kebijaksanaan internasional, tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi keragaman ekspor suatu negara. Dengan demikian, maka fungsi penawaran ekspor minyak sawit suatu negara dalam bentuk dinamis dapat dirumuskan sebagai berikut ; Xt = f (HXt, HDIt, Qt, XRt, Vt, Xt-1) Dimana : HXt = HDIt = Qt = Harga ekspor minyak sawit pada tahun t Harga minyak sawit domestik pada tahun t Produksi pada tahun t Nilai tukar mata uang asing pada tahun t Faktor – faktor lain yang mempengaruhi ekspor tahun t Jumlah ekspor minyak sawit pada tahun t-1 (3.2)

ERt = Vt =

Xt-1 =

3.1.4 Kebijakan Pajak Ekspor Proses perdagangan internasional yang dilakukan oleh berbagai negara diwarnai dengan adanya hambatan-hambatan perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara untuk tujuan tertentu seperti untuk meningkatkan kesejahteraan

nasional, dan sebagainya. Hambatan perdagangan yang diterapkan oleh suatu negara dapat mempengaruhi harga suatu komoditi yang diperdagangkan. Apabila negara yang memberlakukan hambatan perdagangan adalah negara besar, maka pemberlakuan hambatan tersebut akan berpengaruh pada harga komoditi perdagangan dunia. Namun, jika negara yang memberlakukan hambatan perdagangan adalah negara kecil maka pemberlakuan hambatan tersebut hanya berpengaruh pada harga komoditi di negara tersebut. Negara-negara dapat menghambat perdagangan luar negeri dengan membuat hambatan ekspor maupun impor. Salah satu bentuk hambatan perdagangan yang sering diterapkan di negara eksportir adalah kebijakan tarif ekspor, yaitu pajak yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diekspor ke negara lain. Piermartini dalam Fitri (2007) menjelaskan bahwa produk yang menjadi subjek untuk pajak ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral, produk logam dan produk kulit. Efek pajak ekspor tergantung pada kekuatan pasar yang ada. Pelaksanaan pajak ekspor oleh negara yang memiliki kekuatan pasar akan lebih efektif dibandingkan dengan negara tanpa kekuatan pasar dalam hal mempengaruhi harga internasional, volume perdagangan dan distribusi

pendapatan. Sementara itu, dampak pajak ekspor pada suatu negara yang tidak memiliki kekuatan pasar akan memperburuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bagaimanapun apabila terjadi peningkatan perdagangan, hal tersebut akan diikuti dengan peningkatan harga ekspor.

Crude palm Oil (CPO) adalah salah satu komoditas ekspor perkebunan yang telah dikenakan pungutan ekspor. Sejak Maret 2001 sampai dengan November 2005, ekspor CPO dikenakan tarif pungutan ekspor sebesar tiga persen. Pengaruh pajak ekspor terhadap harga, permintaan, dan penawaran domestik dibandingkan dengan tidak dikenakan pungutan ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 3.3. P P Se1 Se2 D
P0 P2 P1

Sd

Pe1 Pe2

Se

De

Q1 Q5 Q3

Q4 Q6 Q2

Q Ekspor CPO

Q

Industri CPO

Sumber : Puteri et all. dalam Fitri, 2007

Gambar 3.3 Dampak Pemberlakuan Pungutan Ekspor CPO Terhadap Industri CPO Pada saat tidak dikenakan pajak ekspor maka harga ekspor akan sama dengan harga domestik, yaitu sebesar P0. Dengan harga tersebut, jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebanyak Q2 dan jumlah yang diminta perusahaan domestik sebanyak Q1, sehingga banyaknya CPO yang diekspor sebesar Q1Q2. Dengan pengenaan tarif ekspor sebesar tiga persen maka kurva penawaran (Se) akan bergeser ke kiri atas menjadi Se1. Pada saat itu harga ekspor sebesar Pe1,

tetapi yang diterima eksportir sebesar P1, yang lebih rendah dari P0. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4 sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik sebesar Q3. Hal ini berakibat jumlah yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2). Disisi lain, penurunan ekspor CPO ini berpengaruh terhadap industri hilirnya yaitu minyak goreng sawit, karena industri tersebut akan lebih banyak menerima pasokan bahan baku, sehingga stabilitas harga minyak goreng sawit yang mencerminkan keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri dapat terjaga. Pajak ekspor CPO sejak Desember 2005 diturunkan dari tiga persen menjadi 1,5 persen. Dampak penurunan ini juga dapat dijelaskan pada Gambar 3.3. Penurunan pajak ekspor dari tiga persen menjadi 1,5 persen dapat digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Se1 menjadi Se2. Dengan asumsi permintaan ekspor tetap, maka harga ekspor turun dari Pe1 menjadi Pe2 dan harga yang diterima eksportir (produsen CPO) meningkat dari P1 menjadi P2. Hal ini menjadi daya tarik bagi para produsen CPO untuk lebih banyak lagi dalam mengekspor CPO. Akibatnya jumlah CPO domestik yang ditawarkan meningkat dari Q6, yang diminta turun dari Q3 menjadi Q5 dan yang diekspor meningkat dari Q3Q4 menjadi Q5Q6. Hal ini akan berpengaruh pada kelangkaan bahan baku untuk industri minyak goreng sawit dalam negeri sehingga supply minyak goreng sawit menjadi berkurang yang akan memicu kenaikan harga minyak goreng sawit dalam negeri.

3.1.5 Teori Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia Penawaran adalah jumlah suatu barang dan jasa yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu. Jumlah produksi yang ditawarkan di pasar berasal dari produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya. Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena adanya pengaruh dari beberapa faktor seperti : 1. Harga komoditi itu sendiri (H) Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh para produsen/penjual. Sebaliknya semakin rendah harga suatu komoditi, maka semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh para produsen/penjual. 2. Harga komoditi lain (HS) Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. 3. Teknologi (T) Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila

produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan meningkat. 4. Harga Input /Faktor-faktor produksi (HF) Apabila harga faktor produksi turun, maka produsen akan menambah penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan meningkat. Jika harga faktor produksi meningkat, maka produsen akan cenderung mengurangi penggunaan faktor produksi sehingga produksi akan menurun. Turunnya hasil/produksi secara otomatis menyebabkan turunnya penawaran. 5. Jumlah Produsen (PRD) Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan meningkat. 6. Tujuan Perusahaan (TP) Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu

memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan. 7. Pajak dan Subsidi (Tx) Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan

meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat. Dari uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi berikut: QS = f (H, HS, T, HF, PRD, TP, Tx) (3.3)

Dalam penelitian ini, minyak goreng sawit merupakan hasil olahan dari CPO, sehingga apabila jumlah CPO meningkat maka produksi minyak goreng sawit juga akan meningkat. Hubungan ini sesuai dengan teori produksi, dimana fungsi produksi merupakan hubungan matematik antara input dan outputnya (Nicholson, 2002). Hubungan antara CPO dan minyak goreng dalam fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut : QMG = f (HMG, QCPO, UP) Dimana : QMG = Jumlah minyak goreng sawit yang dihasilkan (ton) HMG = Harga minyak goreng sawit (Rp/ton) QCPO = Jumlah CPO yang digunakan untuk memproduksi minyak goreng sawit (ton) UP = Upah tenaga kerja (Rp/HOK) Gambar 3.4 menganalisis tentang permintaan dan penawaran CPO yang dipengaruhi pajak ekspor. Harga CPO dunia (P1) berada di atas harga ekuilibrium, hal ini menjadi insentif bagi para produsen CPO domestik untuk menjual CPO ke pasar internasional. Jika tidak ada pajak ekspor, CPO akan diekspor secara bebas yakni sejumlah M1 pada tingkat harga dunia sebesar P1 dengan permintaan CPO (3.4)

sejumlah D1 dan penawaran CPO sejumlah S1. Pengenaan pajak ekspor CPO sebesar T akan menurunkan harga CPO dunia, dengan harga yang baru perusahaan-perusahaan CPO dalam negeri akan mengurangi ekspornya karena biaya yang harus dikeluarkan akan semakin besar dengan adanya pajak ekspor tersebut dan penerimaan pendapatan melalui ekspor menjadi kurang

menguntungkan. Mereka merespon dengan menurunkan jumlah ekspor CPO dari S2 ke S1. Sedangkan dengan adanya pajak ekspor, jumlah CPO yang diminta menjadi bertambah dari D1 ke D2, sehingga jumlah CPO yang diekspor turun menjadi M2. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari produksi minyak goreng sawit dan impor minyak goreng sawit. Penerapan kebijakan perdagangan pajak ekspor CPO akan berakibat pada pengurangan volume ekspor CPO sehingga dapat meningkatkan pasokan CPO untuk industri minyak goreng sawit domestik, sehingga supply minyak goreng sawit Indonesia akan meningkat.

P

S0

T

P1 P2

E

D0 0 Q
D1 D2 M2 M1 Sumber : Salvatore, 1997 S2 S1

Gambar 3.4 Efek Pajak Ekspor Terhadap Volume Ekspor

3.1.6 Teori Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Permintaan adalah jumlah barang yang mampu dibeli oleh para pembeli pada tempat atau waktu tertentu dengan harga yang berlaku pada saat itu. Faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan adalah: 1. Harga komoditi yang bersangkutan (H) Keadaan harga suatu komoditi mempengaruhi jumlah permintaan terhadap komoditi tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan komoditi tersebut akan turun. Sebaliknya bila harga turun maka permintaan akan komoditi tersebut akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang negatif dengan asumsi faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap tetap.

2. Harga komoditi lain (HS) Terjadinya perubahan pada suatu komoditi akan berpengaruh pada permintaan komoditi lain. Keadaan ini terjadi bila kedua komoditi tersebut mempunyai hubungan apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan berpengaruh. 3. Selera (S) Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan. Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu komoditi bukan saja dipengaruhi oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan setempat, tingkat pendidikan atau lainnya. 4. Jumlah Penduduk (POP) Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula jumlah komoditi yang dikonsumsi dan permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin meningkat. 5. Tingkat Pendapatan (Y) Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya komoditi yang dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi. Permintaan terhadap suatu barang (QD) dapat digambarkan dengan fungsi berikut: QD = f (H, HS, S, POP, Y) (3.5)

Dalam penelitian ini permintaan terhadap minyak goreng sawit secara garis besar dapat dibedakan atas permintaan langsung dan permintaan tidak langsung. Permintaan langsung merupakan permintaan masyarakat akan minyak

goreng sawit yang langsung diolah sendiri untuk dikonsumsi, sedangkan permintaan tidak langsung merupakan permintaan masyarakat akan minyak goreng sawit dalam bentuk olahan atau bahan baku untuk industri sedang maupun industri rumah tangga. Secara umum permintaan minyak goreng sawit dipengaruhi oleh harga minyak goreng sawit itu sendiri, harga komoditi substitusi atau komplementer (dalam hal ini minyak goreng kelapa), pendapatan dan jumlah penduduk. Sehingga persamaan permintaan minyak goreng sawit tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : QDT = f (HMG, HMK, Y, POP) Dimana : QDT = Jumlah minyak goreng sawit yang diminta/dikonsumsi (Kg) HMG = Harga minyak goreng sawit (Rp/kg) HMK = Harga minyak goreng kelapa (Rp/kg) Y POP = Pendapatan masyarakat (Rp) = Jumlah penduduk (jiwa) (3.6)

Pmg S Pmg1 Pmg0 E1 E0 D1 D0 Qmg0 Qmg1 Qmg
Sumber : Lipsey, 1995.

Gambar 3.5 Keseimbangan Minyak Goreng Sawit Akibatnya Adanya Peningkatan Permintaan Minyak Goreng Sawit Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap fungsi permintaan. Harga minyak goreng sawit mempunyai pengaruh terhadap pergerakan sepanjang kurva permintaan, sedangkan faktor yang lainnya mempunyai pengaruh terhadap pergeseran kurva permintaan (Lipsey, 1995). Misalnya saja faktor pendapatan masyarakat, maka adanya peningkatan pendapatan masyarakat akan mengakibatkan peningkatan terhadap permintaan minyak goreng sawit. Peningkatan pendapatan ini berakibat pada pergeseran kurva permintaan minyak goreng sawit dari D0 menjadi D1, sehingga keseimbanganpun berubah menjadi E1. Dimana jumlah minyak goreng sawit menjadi lebih besar yaitu sebesar Qmg1 dengan tingkat harga yang lebih tinggi yaitu sebesar Pmg1 (Gambar 3.5).

3.1.7 Metode Two-Stage Least Square (2SLS) Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga model persamaan dengan kondisi overidentified, yaitu Two-Stage Least Squares (2SLS), Three-Stage Least Squares (3SLS), Limited Information Maximum Likelihood (LIML), dan Full Information Maximum Likelihood (FIML). Metode yang dipilih, karena pertimbangan kemungkinan adanya kesalahan dalam perumusan model. Dengan menggunakan 2SLS, kesalahan spesifikasi satu persamaan tidak tertransfer ke persamaan-persamaan lain, walaupun penduga yang diperoleh kurang efisien dibandingkan dengan hasil estimasi 3SLS. Alasan lain memilih metode 2SLS adalah : 1. Metode ini cocok untuk mengestimasi model persamaan simultan yang berada dalam kondisi overidentified. 2. Metode ini cocok digunakan pada jumlah sampel pengamatan yang sedikit. 3. Metode ini dapat menghindari estimasi yang bias dan dapat menghasilkan penduga yang konsisten, serta tidak terlalu sensitif terhadap kesalahan spesifikasi Pilihan terhadap metode 2SLS dibandingkan dengan metode lainnya disebabkan oleh : (1) Penerapan sistem persamaan simultan dengan metode Ordinary Least Square (OLS) akan menghasilkan koefisien yang bias, karena terjadi korelasi antara error term dengan peubah endogen yang ada disisi kanan persamaan; (2) Dengan metode Instrumental Variables (IV) masalah tersebut dapat diatasi dan menghasilkan koefisien yang tidak bias, tetapi koefisien yang diperoleh tidak efisien karena terdapat lebih dari satu informasi; dan (3) Jika

menggunakan metode 3SLS (Three-Stage Least Square), kesalahan spesifikasi dari satu persamaan akan merembet ke persamaan lain, sehingga koefisien yang diperoleh dari semua persamaan akan bias. Kelemahan metode 2SLS adalah diantaranya kurang efisien dibandingkan estimator 3SLS. Metode ini bekerja dengan kurang baik jika koefisien determinasi (R2) pada tahap pertama estimasi terlalu kecil (mendekati nol).

3.1.8 Konsep Elastisitas Konsep elastisitas sangat berguna dan banyak sekali diaplikasikan dalam ilmu ekonomi dalam kaitannya dengan permintaan dan penawaran. Pada permintaan dikenal tiga konsep elastisitas yang penting, yakni elastisitas permintaan terhadap harga, elastisitas permintaan terhadap pendapatan dan elastisitas permintaan silang. Elastisitas permintaan terhadap harga merupakan usuran besarnya respon jumlah yang diminta dari statu komoditi tertentu terhadap perubahan harga. Elastisitas didefinisikan sebagai bilangan positif dan dapat bervariasi dari nol sampai tak terhingga. Jika bilangan elastisitas lebih kecil daripada satu, maka permintaannya bersifat inelastis. Ini berarti bahwa persentase perubahan kuantitas lebih kecil daripada persentase perubahan harga yang menyebabkannya. Jika bilangan elastisitasnya lebih besar daripada satu, permintaannya bersifat elastis. Ini berarti bahwa persentase perubahan kuantitas lebih besar daripada persentase perubahan harga yang menyebabkannya.

Elastisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang diminta dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan pendapatan. Untuk kebanyakan jenis barang, kenaikan pendapatan berakibat pada kenaikan permintaan dan elastisitas terhadap pendapatan akan positif. Barangbarang demikian disebut barang normal. Barang-barang yang konsumsinya menurun sebagai respon terhadap kenaikan pendapatan memiliki elastisitas pendapatan yang negatif dan barang yang demikian disebut sebagai barang inferior. Elastisitas permintaan silang merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang diminta dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga yang menyebabkannya dari beberapa komoditi lainnya. Istilah tersebut biasa digunakan untuk mendefinisikan komoditi yang merupakan barang substitusi antara satu barang dengan barang lainnya (elastisitas silang yang positif) dan komoditi yang bersifat komplemen antara barang satu dengan barang lainnya (elastisitas silang yang negatif). Elastisitas penawaran dalam ilmu ekonomi merupakan konsep yang

penting. Pada teori penawaran dua konsep elastisitas yang terpenting adalah elastisitas penawaran terhadap harga dan elastisitas penawaran silang. Elastisitas penawaran terhadap harga merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang

ditawarkan dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga. Sementara elastisitas penawaran silang merupakan ukuran besarnya respon jumlah yang ditawarkan dari suatu komoditi tertentu terhadap perubahan harga yang menyebabkannya dari beberapa komoditi lainnya. Apabila elastisitas harga silang

antara dua jenis komoditi adalah positif maka kedua komoditi tersebut adalah merupakan joint product, dan jika elastisitasnya negatif maka kedua komoditi tersebut adalah competiting product.

3.2

Kerangka Pemikiran Operasional Secara umum perekonomian dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu

perekonomian sektor domestik dan sektor luar negeri. Fluktuasi dari kedua sektor tersebut akan berpengaruh pada sektor ekonomi secara keseluruhan. Komponen sektor domestik meliputi konsumsi swasta, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan sektor luar negeri (internasional) meliputi ekspor-impor yang secara statistik tertuang dalam neraca perdagangan dan selanjutnya berpengaruh dalam neraca pembayaran. Sektor luar negeri atau yang lebih dikenal dengan perdagangan internasional adalah perdagangan yang menganalisa arus barang, jasa, dan pembayaran-pembayaran antara sebuah negara dan negara-negara lain di dunia. Dalam perdagangan tersebut ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk melindungi sektor industri domestiknya. Salah satu kebijakan yang diberlakukan disini adalah dengan mengenakan pajak ekspor pada komoditi penting yang diekspor oleh suatu negara. Biasanya komoditi yang dikenakan pajak ekspor adalah komoditi hasil-hasil pertanian termasuk didalamnya komoditi hasil-hasil perkebunan, hal ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk sektor industri hilirnya.

CPO atau Crude Palm Oil merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia, karena CPO merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia. Eksportir CPO akan melakukan ekspor secara besar-besaran apabila harga CPO internasional sedang meningkat secara tajam tanpa memikirkan pasokan dalam negeri. Hal ini akan berdampak pada industri turunan CPO yang didominasi oleh industri minyak goreng. Industri ini akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, sehingga produksinya akan menurun. Lebih jauh lagi, hal ini akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan minyak goreng sawit di pasar domestik yang disertai dengan kenaikan harga minyak goreng. Menyadari dampak tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan

perdagangan di sektor industri CPO yang berupa pajak ekspor guna membatasi para eksportir CPO untuk tidak mengekspor CPO dalam jumlah yang berlebihan dan lebih memikirkan pasokan dalam negeri. Adanya pajak ekspor CPO akan mempengaruhi volume ekspor CPO, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keseimbangan pasar industri hilirnya, yaitu industri minyak goreng sawit yang akan dicerminkan melalui harga minyak goreng sawit di pasar dalam negeri. Berdasarkan uraian di atas, akan dianalisis pengaruh kebijakan perdagangan yang dalam hal ini adalah pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri. Analisis ini akan dilakukan dengan menggunakan model persamaan simultan. Model terdiri dari tiga persamaan identitas dan lima persamaan struktural. Persamaan identitas mencakup

penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia dan keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit Indonesia. Sedangkan persamaan struktural terdiri dari model faktor-faktor yang

mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia, permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan minyak goreng sawit Indonesia dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Dari hasil analisis, diharapkan akan diperoleh rekomendasi kebijakan perdagangan yang efektif untuk industri CPO dan industri minyak goreng sawit dalam negeri. Penulis membuat alur pemikiran yang digambarkan dalam Gambar 3.6 untuk mempermudah pelaksanaan penelitian.

Ekonomi Terbuka Ekspor CPO Perdagangan Internasional Impor MGS Kebijakan Perdagangan (Pajak Ekspor CPO)

Volume Ekspor CPO

Produksi MGS Domestik

Permintaan MGS

Penawaran MGS

Simulasi Kebijakan

Harga MGS

Model Persamaan Simultan

SAS 6.12

Saran dan Rekomendasi Kebijakan Perdagangan Gambar 3.6 Diagram Alur Kerangka Pemikiran

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1

Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

menggunakan data statistik tahunan dari tahun 1990-2006. Sumber data berasal dari Laporan Tahunan Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian dan Jurnal-jurnal Ekonomi serta instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data tentang antara lain : data ekspor CPO, produksi CPO, luas areal kelapa sawit, harga ekspor CPO, harga CPO domestik, pendapatan nasional Indonesia, jumlah penduduk Indonesia, pajak ekspor CPO, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga dan produksi minyak goreng sawit dalam negeri, permintaan minyak goreng sawit dalam negeri, upah tenaga kerja di sektor industri, harga minyak goreng kelapa, impor minyak goreng sawit serta harga impor minyak goreng sawit.

4.2

Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode

kuantitatif. Untuk gambaran perkembangan CPO di Indonesia dan pembahasan hasil pengolahan data dilakukan analisis secara deskriptif. Metode kuantitatif dengan pendekatan bentuk persamaan simultan, karena variabel-variabel yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan disektor industri

CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri tersebut saling berpengaruh. Masing-masing persamaan dalam penelitian ini diduga dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS) dengan menggunakan program SAS 6.12.

4.3

Spesifikasi Model Simultan Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu

sistem atau proses. Salah satu model yang sering digunakan dalam menganalisis masalah ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena yang mencakup unsur stokastik. Unsur stokastik ini biasanya diabaikan dalam model ekonomi lainnya yang pada umumnya mengasumsikan adanya hubungan-hubungan secara deterministik (Koutsoyiannis, 1977). Suatu model dikatakan baik jika model tersebut memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : 1. Kriteria Ekonomi Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar teori ekonomi dan berhubungan dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperoleh akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada. 2. Kriteria Statistik Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel

endogen pada masing-masing persamaan, kemampuan variabel eksogen dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen. 3. Kriteria Ekonometrik Kriteria ekonometrik didasari oleh asumsi-asumsi dari model regresi berganda sebagai berikut : E (ei) = 0 untuk setiap i, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari ei tergantung pada Xi tertentu adalah nol. Cov (ei,ej) = 0 untuk setiap i ≠ j (asumsi non autokorelasi), artinya gangguan ei dan ej tidak berkorelasi. Var (ei) = δ2 untuk setiap i (asumsi homoskedastisitas), artinya varians ei untuk setiap i (yaitu varians bersyarat untuk ei) adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan δ2. Cov (ei,X2i) = Cov (ei,X3i) = 0, artinya gangguan ei dan varians yang menjelaskan X tidak berkorelasi. Sementara itu, pendekatan ekonometrika dibedakan atas persamaan tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal merupakan persamaan dimana variabel terikat (dependent variable), dinyatakan sebagai sebuah fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan hubungan satu arah. Sedangkan persamaan simultan adalah suatu persamaan yang membentuk sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai variabel dalam persamaan tersebut, sehingga model ini tidak mungkin

menaksir hanya pada satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan-persamaan lainnya. Dalam penelitian ini, perumusan model mencakup aspek penawaran ekspor CPO Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia, impor minyak goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan minyak goreng sawit Indonesia, harga minyak goreng sawit Indonesia, dan keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit di Indonesia. Agar tujuan penelitian sesuai dengan yang ditentukan, maka model dispesifikasi dalam bentuk persamaan simultan yang yang terdiri dari lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas.

4.3.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia Ekspor minyak sawit merupakan kelebihan penawaran minyak sawit domestik atau produksi minyak sawit yang tidak dikonsumsi oleh konsumen Indonesia, sehingga persamaannya dapat ditulis : XCPO = QCPO – CCPO (4.1)

Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi ekspor CPO Indonesia antara lain adalah harga riil ekspor CPO Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor CPO Indonesia, produksi CPO Indonesia dan ekspor CPO Indonesia tahun sebelumnya, sehingga penawaran ekspor CPO Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut : XCPOt = a0 + a1 HXCPOt + a2 XRRt + a3 PEt + a4 QCPOt + a5 POP + a6 XCPOt-1 + U1 (4.2)

Dimana : XCPOt HXCPOt XRRt = Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia pada tahun ke-t (ton) = Harga riil ekspor CPO Indonesia pada tahun ke-t (US$/ton) = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tahun ke-t (Rp/US$) PEt QCPOt POP XCPOt-1 a0 ai U1 = Pajak ekspor CPO Indonesia pada tahun ke-t (%/tahun) = Produksi CPO domestik pada tahun ke-t (ton) = Jumlah penduduk Indonesia pada tahun ke-t (jiwa) = Lag ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia (ton) = Intersep = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…) = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan : a1, a4 > 0 ; a2, a3, a5< 0 ; 0 < a6 < 1

4.3.2

Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia merupakan fungsi dari

nilai tukar rupiah, harga riil impor minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik, pendapatan nasional dan impor minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dirumuskan sebagai berikut :

IMMGt = b0 + b1 XRRt + b2 PIMMGt + b3 QDMGt+ b4 GDPt + b5 IMMGt-1 + U2 Dimana : IMMGt = Jumlah impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (ton) (4.3)

PIMMGt = Harga riil impor minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (US$/ton, CIF Rotterdam) GDP t = Pendapatan nasional Indonesia pada tahun ke-t (Rupiah)

IMMGt-1 = Lag impor minyak goreng sawit Indonesia (ton) b0 bi U2 = Intersep = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…) = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan : b1, b3, b4 > 0 ; b2< 0 ; 0 < b5 < 1

4.3.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Jumlah produksi minyak goreng sawit Indonesia ditentukan oleh harga riil minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, upah riil tenaga kerja di sektor industri, dummy krisis ekonomi dan produksi minyak goreng sawit tahun sebelumnya. Secara matematis persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut :

QMGt = c0 + c1 HMGDRt + c2 LAt + c3 QCPOt + c4 DKt + c5 UPRt + c6 QMGt-1 + U3 Dimana : QMGt = Produksi minyak goreng sawit Indonesia (ton) (4.4)

HMGDRt = Harga riil minyak goreng sawit domestik pada tahun ke-t (Rp/kg) DK = Dummy krisis ekonomi Indonesia (D1 = 0 untuk tahun 1990-1996, dan D1 = 1 untuk tahun 1997-2006) LA UPR QMGt-1 c0 ci U3 = Luas areal kelapa sawit pada tahun ke-t (Ha) = Upah riil tenaga kerja di sektor industri pada tahun ke-t (Rp/HOK) = Lag produksi minyak goreng sawit Indonesia (ton) = Intersep = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…) = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan : c1,c2, c3 > 0 ; c4, c5 < 0 ; 0 < c6 < 1

4.3.4 Penawaran Minyak Goreng Sawit Indonesia Penawaran minyak goreng sawit domestik merupakan penjumlahan antara jumlah impor minyak goreng sawit dengan produksi minyak goreng sawit Indonesia, sehingga persamaannya dapat ditulis : QSMG = QMG + QIMMG Dimana : QSMG = Penawaran minyak goreng sawit Indonesia (4.5)

4.3.5 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi permintaan minyak goreng sawit Indonesia adalah harga riil minyak goreng sawit domestik, harga riil minyak goreng kelapa domestik sebagai substitusi minyak goreng sawit, pendapatan per kapita dan jumlah permintaan minyak goreng sawit tahun sebelumnya, sehingga persamaan permintaan minyak goreng sawit dapat dirumuskan sebagai berikut : QDMGt = d0 + d1 HMGDRt + d2 HMKDt + d3 ICPKt + d4 QDMGt-1 + U4 Dimana : QDMGt = Jumlah permintaan minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (ton) HMKDt = Harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi minyak goreng sawit pada tahun ke-t (Rp/kg) ICPKt = Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun ke-t (Rp/kap) (4.6)

QDMGt-1 = Lag permintaan minyak goreng sawit Indonesia (ton) d0 di U4 = Intersep = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…) = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan : d2, d3 > 0 ; d1 < 0 ; 0 < d4 < 1

4.3.6 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi harga minyak goreng sawit domestik antara lain adalah penawaran minyak goreng sawit Indonesia, harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa, dummy krisis ekonomi dan harga minyak goreng sawit Indonesia tahun sebelumnya, sehingga harga minyak goreng sawit domestik dapat dirumuskan sebagai berikut : HMGDRt = e0 + e1 QSMGt + e2 HCPOt + e3 HMKD + e4 DK + e5 HMGDRt-1 + U5 Dimana : HMGDRt = Harga riil minyak goreng sawit Indonesia pada tahun ke-t (Rp/kg) QSMGt HCPO = Penawaran minyak goreng sawit Indonesia tahun ke-t (ton) = Harga riil CPO domestik tahun ke-t (Rp/kg ) (4.7)

HMGDRt-1 = Lag harga minyak goreng sawit Indonesia (Rp/kg) e0 ei U5 = Intersep = Parameter yang diduga (i = 1,2,3…) = Kesalahan Pengganggu (error term)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan : e2, e3, e4 > 0 ; e1 < 0 ; 0 < e5< 1

4.3.7 Keseimbangan Penawaran dan Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Kondisi keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit Indonesia dicapai apabila jumlah minyak goreng sawit yang ditawarkan sama

dengan jumlah minyak goreng sawit yang diminta, sehingga persamaan identitas keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit dapat ditulis sebagai berikut : QSMGt = QDMGt (4.8)

4.4. Hipotesis Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia Diduga bahwa harga riil ekspor CPO Indonesia dan produksi CPO domestik berpengaruh positif, sedangkan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, pajak ekspor CPO Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia berpengaruh negatif. 2. Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia Diduga bahwa nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, permintaan minyak goreng sawit domestik dan pendapatan nasional Indonesia berpengaruh positif, sedangkan harga riil minyak goreng sawit Indonesia berpengaruh negatif. 3. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Diduga bahwa harga riil minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa sawit dan produksi CPO domestik berpengaruh positif, sedangkan dummy krisis ekonomi Indonesia dan upah riil tenaga kerja di sektor industri berpengaruh negatif.

4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Diduga bahwa harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi dari minyak goreng sawit dan pendapatan per kapita berpengaruh positif, sedangkan harga riil minyak goreng sawit Indonesia berpengaruh negatif. 5. Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia Diduga bahwa harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa sebagai substitusi dari minyak goreng sawit dan dummy krisis ekonomi Indonesia berpengaruh positif, sedangkan penawaran minyak goreng sawit Indonesia berpengaruh negatif.

4.5

Identifikasi Model Yang dimaksud dengan masalah identifikasi adalah apakah taksiran angka

dari parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari koefisien bentuk tereduksi yang ditaksir (Gujarati, 1978). Dalam teori ekonometrika, terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi yaitu: 1. Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified sehingga tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrik manapun.

2. Persamaan Identified Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal, maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi (Identified), dan persamaan tersebut bisa exactlyidentified, maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least square (ILS) atau metode kuadat terkecil tak langsung, sedangkan jika persamaan overidentified, maka salah satu metode yang dapat digunakan untuk pendugaan adalah Two-stages least square (2SLS). Dalam tahap identifikasi, terdapat dua tahap yaitu: 1. Order Condition Order Condition adalah suatu kondisi yang perlu dari identifikasi-identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada dapat diidentifikasi. Langkah-langkah dalam order condition : 1) Bila (K-M) > (G-1), maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified). 2) Bila (K-M) = (G-1), maka persamaan tersebut tepat teridentifikasi (exactlyidentified). 3) Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut tidak teridentifikasi. Dimana : K = Total variabel dalam model, yaitu variabel endogen dan eksogen. M = Jumlah variabel eksogen yang terdapat dalam satu persamaan tertentu dalam model. G = Total persamaan dalam model, yaitu peubah endogen dalam model.

2. The Rank Condition of Identifiability The Rank Condition of Identifiability digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah dilakukan uji Order condition (kondisi ordo) menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactlyidentified (identifikasi tepat) atau overidentified (terlalu diidentifikasikan). Model persamaan simultan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 5 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas dengan total 24 variabel di dalam model yang terdiri dari 6 variabel endogen dan 18 variabel eksogen. Berdasarkan rumus identifikasi model di atas, setiap persamaan yang terdapat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori overidentified. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Pengujian Order Condition Persamaan 4.2 4.3 4.4 4.6 4.7 K 24 24 24 24 24 M 6 5 6 4 5 G 6 6 6 6 6 K-M 18 19 18 20 19 G-1 5 5 5 5 5 Identified Overidentified Overidentified Overidentified Overidentified Overidentified

Hasil dari pengujian order condition menunjukkan bahwa kelima persamaan struktural dalam model adalah overidentified, sehingga parameterparameter pada persamaan simultan diatas dapat diduga dengan menggunakan metode Two-Stage Least Square (2SLS).

4.6

Model Lag yang Didistribusikan Dalam ilmu ekonomi, ketergantungan suatu variabel Y atas variabel X

jarang bersifat seketika (Firdaus, 2004). Sangat sering, Y beraksi terhadap X dengan suatu selang waktu. Selang waktu itu disebut lag. Ada tiga alasan utama terjadinya lag, yaitu : 1. Alasan Psikologi Alasan ini disebabkan oleh kekuatan kebiasaan (kelembaman). Contohnya, orang tidak mengubah kebiasaan konsumsi mereka dengan segera mengikuti penurunan harga atau peningkatan pendapatan, mungkin karena proses perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan (disutulity) yang segera. 2. Alasan yang bersifat teknologi Jika harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang menyebabkan penggantian untuk tenaga kerja secara ilmu ekonomi dimungkinkan. Tentu saja, penambahan modal tersebut memerlukan waktu (persiapan). 3. Alasan kelembagaan Misalkan kewajiban yang bersifat kontrak mungkin mencegah perusahaan untuk beralih dari satu sumber tenaga kerja atau bahan mentah yang lain. Untuk alasan tersebut diatas, lag menempati peranan pokok dalam ilmu ekonomi. Hal ini tercermin dalam metodologi jangka pendek dan jangka panjang dalam ilmu ekonomi. Model autoregresif adalah suatu model jika dalam model regresi memasukkan satu atau lebih nilai masa lalu (lagged) dari variabel tidak bebas

diantara variabel yang menjelaskan. Dengan asumsi dasar bahwa variabel yang menjelaskan dalam model regresi bersifat nonstokastik, model persamaan linier dapat dituliskan sebagai berikut : Υt = β 1 + β 2 Υt −1 + β 3 Χ t + Vt atau Υt = β 1 + (1 − λ )Υt −1 + β 3 Χ t + Vt (4.8)

4.7

Pengujian Model dan Hipotesis

4.7.1 Uji Kesesuaian Model Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesishipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan untuk mengetahui nyata tidaknya pengaruh variabel yang dipilih terhadap variabelvariabel yang diteliti. Koefisien determinasi (R2) adjusted dipergunakan untuk mengukur keragaman endogenous variable yang dapat diterangkan oleh predetermined variable. Semakin besar nilai R2 adjusted, maka semakin layak suatu regresi untuk dijadikan sebagai alat peramal. Uji simultan (Uji-F) digunakan untuk menguji secara bersama-sama apakah peubah-peubah eksogen dapat menjelaskan variasi peubah endogen. Mekanisme yang digunakan untuk mengkaji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : H0 = a1 = a2 = a3 = a4 = ... = ai = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-variabel dalam persamaan)

H1 = a1 ≠ 0, a2 ≠ 0, a3 ≠ 0, a4≠ 0 ... , ai ≠ 0 (paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen) Statistik uji yang digunakan dalam uji F : Fhitung = SSR /(k − 1) SSE /(n − k ) (4.9)

Dimana : SSR = Jumlah kuadarat regresi SSE = Jumlah kuadrat sisa k n = jumlah parameter = jumlah pengamatan (sampel)

Kemudian dilakukan pengujian dimana Fhitung dari hasil analisis dibandingkan dengan Ftabel. Jika Fhitung > Ftabel, maka tolak H0 yang berarti minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel endogen. Sedangkan jika Fhitung < Ftabel, maka terima H0 yang berarti secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel endogen.

4.7.2 Pengujian Hipotesis Untuk melakukan pengujian secara statistik masing-masing peubah eksogen yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen, digunakan uji statistik t. Mekanisme yang digunakan dalam menguji hipotesis masing-masing peubah penjelas adalah sebagai berikut : Hipotesis :

H0 =

Perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen.

H1 = Perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen. Statistik uji yang digunakan dalam uji t yaitu : thitung = bi / S (bi) Dimana : bi = koefisien parameter dugaan (4.10)

S(bi) = standar deviasi parameter dugaan Kriteria uji : thitung < ttabel : Terima H0 thitung > ttabel : Tolak H0 Semakin banyak H0 yang ditolak, maka suatu model akan semakin baik untuk dijadikan model pendugaan persamaan simultan.

4.7.3 Uji Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau cross section. Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series yang mengandung lagged endogenous variabel. Uji d (Durbin Watson Statistic) sering digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi. Namun, dikarenakan di dalam persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable, maka uji d menjadi tidak valid. Selain itu, nilai d yang dihitung akan cenderung mendekati nilai 2 sehingga statistik d dari Durbin Watson sudah tidak valid lagi digunakan.

Oleh karena itu, digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, sebagai alternatif uji autokorelasi jika uji statistik d tidak berlaku pada suatu persamaan. Pengujian autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test adalah sebagai berikut : Mt = α1 + α1Xt-1 + ...+ αkXtk + ρμt-1 Hipotesis : H0 : ρ = 0 H1 : ρ ≠ 0 Dengan kriteria uji sebagai berikut : Jika nilai (n-1)R2 > X21 (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut mengandung masalah autokorelasi. (4.11)

4.7.4 Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang penting dari pendugaan metode kuadrat terkecil adalah varian residual bersifat homoskedastisitas atau bersifat konstan. Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan dimana asumsi di atas tidak tercapai. Dampak adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Dengan adanya masalah heteroskedastisitas, akan mengakibatkan hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berguna, selain itu pengujian hipotesis menjadi tidak valid. Oleh karena itu dilakukan uji heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test. Langkahlangkah pengujian adalah sebagai berikut : Yt = β1 + β2Xt1 + β3Xt2 + e Et2 = α1 + α 2Xt1 + α3Xt2 + α4Xt12 + α5Xt12 + α6Xt1Xt2 (4.12) (4.13)

Hipotesis : H0 : α 2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0 H1 : minimal salah satu α1 ≠ 0 Dengan kriteria uji sebagai berikut : Jika nilai nR2 > X2db (α), maka tolak H0 artinya bahwa persamaan tersebut mengandung masalah heteroskedastisitas.

4.7.5 Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal. Pada software SAS 6.12, uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan deskriptif statistic test. Jika diperoleh nilai probabilitas Normality Test lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model simultan tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi normal. Hipotesis : H0 : error term terdistribusi normal H1 : error term tidak terdistribusi normal Penerimaan H0 menandakan error term terdistribusi normal. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka persamaan tidak mengalami masalah normalitas.

4.7.6 Pengukuran Elastisitas Mengukur dan menjelaskan hingga seberapa jauh reaksi perubahan kuantitas terhadap perubahan harga dan variabel-variabel lainnya, digunakan

konsep yang disebut elastisitas (Lipsey, 1995). Secara umum nilai elastisitas dalam jangka pendek (short run) dapat dirumuskan sebagai berikut : Esr (Yt Xt) = a * Xt/Yt Dimana : Esr (Yt Xt) = elastisitas jangka pendek peubah endogen terhadap peubah-peubah eksogen a Xt Yt = koefisien dugaan dari peubah eksogen = rataan peubah-peubah eksogen = rataan peubah-peubah endogen (4.14)

Kriteria uji sebagai berikut : 1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis (responsive) karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan variabel endogen lebih dari satu persen. 2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (non responsive), karena perubahan satu persen variabel eksogen akan

mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. 3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastis sempurna. 4. Jika nilai elastisitas tak hingga (E= ~), dikatakan elastis sempurna. 5. Jika nilai elastisitas sama dengan satu (E=1), maka dikatakan unitary elastis.

4.7.7 Validasi Model Validasi model dilakukan untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi kebijakan sehingga dapat menganalisis sejauh

mana model tersebut dapat merefleksikan dengan baik atau mewakili dunia nyata. Simulasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa simulasi perubahan pajak ekspor CPO Indonesia. Kriteria statistik yang sering digunakan untuk validasi penggunaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Cofficient (U). Kriteria-kriteria tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

⎡ ⎢ RMSE = ⎢ ⎢ ⎢ ⎣

⎤ ⎥ 1 T ⎥ T ∑ (Yt s − Yt a ) 2 ⎥ ⎥ t =1 ⎦

0,5

⎡ ⎢ RMSPE = ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣

⎤ ⎥ ⎥ 1 2⎥ s a T ⎛Y −Y ⎞ T ∑ ⎜ t a t × 100 ⎟ ⎥ ⎜ Y ⎟ ⎥ t =1 ⎝ t ⎠ ⎦ RMSE

0,5

Koefisien Ketidaksamaan Theil (U) =

⎡1 T s 2⎤ ⎢ T ∑ Yt ⎥ t =1 ⎣ ⎦

( )

0,5

T 2⎤ ⎡ + ⎢ 1 ∑ Yt a ⎥ ⎣ T t =1 ⎦

( )

0,5

Dimana : RMSE RMSPE U

= Akar tengah kuadarat terkecil = Akar tengah kuadarat persen galaat = Koefisien ketidaksamaan Theil = Nilai dugaan model = Nilai aktual = Jumlah pengamatan dalam simulasi

Yt s Yt a
T

Statistik RMSPE berguna untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur-alur nilai-nilai aktualnya

dalam ukuran relatif (persen). Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi historis maupun peramalan. Semakin kecil nilai RMSE, RMSPE, dan U maka semakin baik pendugaan model. Nilai U berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan model sempurna. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi, dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R2, maka pendugaan model semakin baik. 4.7.8 Simulasi Model Kebijakan Tujuan simulasi kebijakan adalah untuk mengetahui dampak kebijakan yang akan dilakukan terhadap peubah-peubah endogen. Skenario dalam analisis dampak kebijakan perdagangan disektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri adalah dengan menggunakan kebijakan peningkatan pajak ekspor sebesar 10 persen.

4.8 Definisi Operasional 1. Minyak sawit (CPO) merupakan hasil olahan dari buah segar kelapa sawit yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit. 2. Ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia merupakan jumlah total ekspor minyak sawit Indonesia di pasar internasional dan dinyatakan dalam satuan ton. 3. Pajak atau pungutan ekspor merupakan pajak yang dikenakan setiap tahun terhadap produk ekspor tertentu. Produk-produk ekspor yang dikenakan

kebanyakan adalah produk perkebunan, seperti kelapa sawit, kelapa dan lainlain. Pajak ekspor dinyatakan dalam persen per tahun. 4. Indeks harga konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi di suatu negara. 5. Indeks harga perdagangan besar adalah indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar/harga grosir dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu negara. 6. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan perbandingan dari perubahan mata uang Amerika terhadap mata uang Indonesia dan telah dideflasikan (1993=100) dengan IHK Indonesia, dinyatakan dalam satuan Rupiah per Dollar Amerika. 7. Penawaran minyak goreng sawit Indonesia merupakan jumlah/total dari impor minyak goreng sawit dan produksi minyak goreng sawit Indonesia yang dinyatakan dalam ton. 8. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng sawit untuk industri pengguna minyak goreng sawit. 9. Impor minyak goreng sawit Indonesia merupakan jumlah total impor minyak sawit yang dipasarkan di pasar dalam negeri dan dinyatakan dalam satuan ton. 10. Harga riil CPO domestik merupakan harga CPO domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.

11. Harga riil ekspor minyak sawit merupakan harga ekspor minyak sawit Indonesia yang dideflasikan (1993=100) dengan Indeks Harga Perdagangan Besar dan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per ton. 12. Harga riil minyak goreng sawit merupakan harga minyak goreng sawit domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 13. Harga riil minyak goreng kelapa merupakan harga minyak goreng kelapa domestik setelah dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram. 15. Upah riil tenaga kerja di sektor industri adalah upah tenaga kerja di sektor industri yang dideflasi (1993=100) dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per HOK. 16. Harga riil impor minyak goreng merupakan harga impor minyak goreng setelah dideflasi (2000=100) dengan Price Index, CIF Rotterdam dan dinyatakan dalam satuan Dollar Amerika per ton.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1

Estimasi Parameter Model Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan

pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik menunjukkan hasil yang memuaskan karena sebagian besar parameter-parameter dari setiap persamaan memberikan tanda yang sesuai dengan teori dan hipotesis. Masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas tidak ditemukan dalam persamaan, baik dalam penawaran ekspor CPO Indonesia, permintaan impor dan produksi minyak goreng sawit Indonesia maupun permintaan dan harga minyak goreng sawit Indonesia. Masalah autokorelasi dapat dilihat pada uji autokorelasi yang menyajikan nilai Breusch-

Godfrey Serial Correlation LM Test. Nilai Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test yang lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan menunjukkan tidak
terdapat masalah autokorelasi dalam persamaan (Gujarati, 2000). Masalah heteroskedastisitas juga tidak ditemukan dalam persamaan karena nilai White

Heteroskedasticity Test lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan, begitu
juga dengan uji normalitas pada setiap persamaan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada pembahasan di bawah ini.

5.1.1 Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia Nilai koefisien determinasi pada persamaan penawaran ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia bernilai 0,9940 artinya persamaan penawaran ekspor CPO Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model

tersebut sebesar 99,40 persen dan sisanya sebesar 0,60 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,1602 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, jumlah penduduk Indonesia dan lag ekspor CPO (Tabel 5.1). Variabel harga riil ekspor CPO Indonesia memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5 persen terhadap ekspor CPO Indonesia dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan bernilai 0,0040, artinya apabila harga riil ekspor CPO meningkat sebesar 1 US$/ton maka akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor CPO sebesar 0,0040 juta ton. Ekspor CPO Indonesia tidak responsif terhadap perubahan harga riil ekspor yang diperlihatkan oleh nilai elastisitas sebesar 0,27 dalam jangka pendek, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan harga riil ekspor CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 0,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan harga riil ekspor CPO tidak akan memberikan dampak perubahan yang terlalu besar terhadap peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia. Variabel nilai tukar riil berpengaruh nyata pada penawaran ekspor CPO Indonesia. Tanda parameter estimasi yang diperoleh tidak sesuai dengan parameter yang diharapkan. Secara teori ekonomi apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, maka ekspor akan meningkat, tetapi yang

terjadi adalah sebaliknya. Pada saat terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap

Dollar Amerika ditahun 1991, jumlah ekspor CPO Indonesia justru mengalami
peningkatan sebesar 43,17 persen karena adanya kebijakan pembebasan pajak ekspor yang dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut terus berlangsung sampai dengan tahun 1994 dimana peningkatan volume ekspor yang cukup besar yang mengakibatkan kurangnya pasokan minyak sawit dalam negeri membuat pemerintah untuk menetapkan pajak ekspor CPO yang berkisar antara 40 persen sampai dengan 50 persen. Dengan adanya kebijakan pemerintah pada industri kelapa sawit yang berupa kebijakan tataniaga minyak sawit seperti pembebasan ekspor, pelarangan ekspor, patokan harga ekspor dan pajak ekspor menyebabkan jumlah CPO yang diekspor menjadi fluktuatif. Produksi CPO domestik berpengaruh nyata pada taraf 1 persen terhadap ekspor CPO Indonesia dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan bernilai 1,0354, artinya jika produksi CPO

domestik meningkat sebesar 1 juta ton maka akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor CPO sebesar 1,0354 juta ton. Volume ekspor CPO Indonesia responsif terhadap perubahan produksi CPO domestik dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 1,80, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan produksi CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 1,80. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan produksi CPO Indonesia sebagian besarnya diperuntukkan bagi ekspor.

Tentunya, orientasi yang lebih dari industri CPO terhadap peluang ekspor dapat mengganggu kestabilan industri pengolahan kelapa sawit domestik, salah satunya industri minyak goreng. Kebijakan dari pemerintah terhadap penerapan PE dapat dikatakan berhasil. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang berlawanan antara ekspor CPO dan PE dengan nilai 0,026, artinya jika pemerintah menaikkan PE CPO sebesar 1 persen, maka volume ekspor CPO Indonesia diduga akan mengalami penurunan sebesar 0,026 juta ton. Hal ini dikarenakan dengan adanya PE, maka penerimaan yang akan diperoleh para eksportir CPO akan berkurang dibandingkan jika tidak diberlakukan PE CPO, sehingga mereka mengurangi jumlah CPO yang diekspor. Pernyataan ini kembali dibuktikan dengan perhitungan pada elastisitas PE CPO Indonesia terhadap ekspor CPO Indonesia dalam jangka pendek yang bernilai -0.091, dengan asumsi jika faktorfaktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan PE sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan menurunkan ekspor CPO sebesar 0,091 persen. Variabel populasi Indonesia berpengaruh negatif dan nyata terhadap ekspor CPO Indonesia pada taraf 10 persen dan tanda yang diperoleh sesuai dengan parameter yang diharapkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan CPO sebagai bahan baku industri minyak goreng sawit domestik akan semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya konsumsi minyak goreng sawit karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia.

Lag ekspor CPO Indonesia berpengaruh positif terhadap ekspor CPO
Indonesia tahun analisis dan ini telah sesuai dengan parameter yang diharapkan.

Variabel lag ini tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia tahun analisis. Hal ini dikarenakan adanya PE CPO yang ditetapkan oleh pemerintah. Jumlah ekspor CPO Indonesia tahun 1990 sebesar 0,8155 juta ton dan meningkat menjadi 1,1677 juta ton ditahun 1991 karena adanya keputusan pemerintah mengenai paket kebijakan deregulasi yang berupa pembebasan sistem tataniaga minyak sawit dan pajak ekspor. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1994 pemerintah mulai memberlakukan kembali pajak ekspor antara 40 persen hingga 50 persen yang mengakibatkan penurunan ekspor CPO dari sebesar 1,6312 juta ton ditahun 1994 menjadi 1,2650 juta ton ditahun 1995. Adanya kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sektor industri CPO menyebabkan volume CPO yang diekspor menjadi fluktuatif setiap tahunnya, sehingga lag ekspor CPO tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia tahun analisis. Dari hasil perhitungan elastisitas pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah variabel produksi CPO domestik, hal ini menjadi indikasi bahwa memang ekspor CPO akan terus meningkat setiap tahunnya dimana kondisi Indonesia yang begitu berlimpah akan komoditas CPO. Kebijakan pengendalian ekspor yang dilakukan pemerintah agar ditetapkan bukan untuk menghambat industri untuk melakukan ekspor, namun sebagai instrumen agar ekspor yang terjadi tidak melupakan kebutuhan pasokan CPO domestik.

Tabel 5.1 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Penawaran Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien 7,964767 0,1945 Harga riil ekspor CPO (HXCPO) 0,003953 *0,0167 0,25 Nilai tukar riil (XRR) 0,000355 ***0,1243 Pajak ekspor CPO (PE) -0,02590 *0,0045 -0,091 Produksi CPO domestik (QCPO) 1,035426 *0,0006 1,80 Populasi Indonesia (POP) -0,065287 **0,0767 Lag ekspor CPO (XCPO(-1)) 0,060552 0,7753 R2 = 0,9940 F value = 246,59 Prob (F value) = <.0001
Sumber : Lampiran 3. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.2 Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,7145 artinya persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 71,45 persen dan sisanya sebesar 28,55 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-

Godfrey Serial Correlation LM Test sebesar 0,1562 lebih besar dari taraf nyata
yang digunakan yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, harga riil impor minyak goreng, permintaan minyak goreng domestik, pendapatan nasional dan lag impor minyak goreng sawit Indonesia. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap impor minyak goreng sawit Indonesia dan tanda yang diperoleh sesuai dengan hipotesis, dimana ketika terjadi apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, maka jumlah yang diimpor semakin besar. Hal ini disebabkan karena apresiasi nilai tukar yang terjadi pada suatu negara akan menyebabkan harga-harga barang di negara lain relatif lebih murah, sehingga mendorong bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan impor. Variabel nilai tukar tidak berpengaruh nyata terhadap impor minyak goreng. Hal ini disebabkan bahwa impor minyak goreng lebih diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sehingga tidak dipengruhi oleh nilai tukar. Impor minyak goreng sawit memang masih relatif kecil, yakni hanya sebesar 74,18 ribu ton per tahun, namun perkembangannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ratarata perkembangan impor minyak goreng 55,87 persen per tahun. Harga riil impor minyak goreng berpengaruh negatif dan nyata pada taraf 5 persen. Parameter yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini mengindikasikan bahwa harga riil impor minyak goreng tidak mempengaruhi importir untuk melakukan impor minyak goreng dari negara lain. Adanya peningkatan harga riil impor minyak goreng pada tahun 1996 sebesar 0,009 persen justru diikuti oleh impor minyak goreng yang meningkat sebesar 56,9 periode 1990-2006 adalah sebesar

persen. Hal ini dikarenakan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia yang tinggi yaitu sebesar 14,9 kilogram per kapita per tahun. Pernyataan di atas dibuktikan dengan hasil estimasi parameter pada variabel permintaan minyak goreng sawit Indonesia yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor minyak goreng Indonesia pada taraf 5 persen. Permintaan minyak goreng sawit yang semakin meningkat akan menyebabkan impor minyak goreng juga semakin meningkat. Impor minyak goreng Indonesia tidak responsif terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit Indonesia dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0092, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar 0,0092 persen. Pendapatan nasional Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap impor minyak goreng Indonesia. Tanda parameter yang diperoleh telah sesuai dengan hipotesis sebelumnya. Impor minyak goreng Indonesia tidak responsif terhadap perubahan pendapatan nasional Indonesia dalam jangka pendek dan mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,0085, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan pendapatan nasional sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng Indonesia sebesar 0,0085 persen. Impor minyak goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap impor minyak goreng sawit pada tahun analisis. Koefisien yang diperoleh juga bertanda negatif dan tidak sesuai dengan hipotesis. Besarnya impor

minyak goreng sawit disesuaikan dengan kebutuhan akan permintaan minyak goreng dalam negeri, sehingga jumlah impor minyak goreng tahun sebelumnya tidak mempengaruhi jumlah impor minyak goreng pada tahun analisis. Jika dilihat dari nilai elastisitas pada persamaan permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia (Tabel 5.2), variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah variabel permintaan minyak goreng domestik. Artinya, apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahan impor minyak goreng yang semakin lama semakin bertambah, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan untuk mengamankan pasokan minyak goreng dalam negeri baik untuk permintaan langsung bagi masyarakat umum maupun permintaan tidak langsung oleh industri pengguna minyak goreng sawit.

Tabel 5.2 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien -604938,89 0,0091 Nilai Tukar (XRR) 0,019515 0,4384 Harga Riil Impor (PIMMG) 1364,17 *0,0090 Permintaan MG (QDMG) 0,254952 *0,0082 0,0092 Pendapatan Nasional (GDP) 0,00045219 *0,0546 0,0085 Lag Impor MG (IMMG(-1)) -0,028656 0,8826 R2 = 0,7145 F value = 5,003281 Prob (F value) = 0,0014837
Sumber : Lampiran 4. Keterangan : * Nyata pada taraf 5 %

5.1.3 Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,9982 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 99,82 persen dan sisanya sebesar 0,18 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,2783 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng sawit domestik, luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi, upah riil tenaga kerja dan lag produksi minyak goreng sawit.

Harga riil minyak goreng sawit domestik berpengaruh positif terhadap produksi minyak goreng sawit. Hal ini sesuai dengan parameter yang diharapkan, bahwa adanya peningkatan pada harga minyak goreng sawit merupakan insentif bagi para produsen minyak goreng untuk memproduksi lebih banyak lagi produk keluarannya. Variabel harga minyak goreng sawit domestik tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi minyak goreng sawit pada taraf 15 persen, hal ini dikarenakan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan strategis masyarakat Indonesia, dimana penetapan harga dan kuantitasnya akan selalu mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga harga dan ketersediannya terjamin dan terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akibatnya, adanya peningkatan pada harga minyak goreng tidak berpengaruh terhadap produksi minyak goreng. Dengan laju peningkatan luas areal kelapa sawit sekitar 3,42 juta Ha per tahun, produksi minyak goreng sebagai industri hilir dari industri minyak sawit juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu sebesar 11,15 persen per tahun. Dibuktikan dari hasil estimasi pada persamaan produksi minyak goreng bahwa luas areal kelapa sawit berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen terhadap produksi minyak goreng sawit, hal ini sesuai dengan hipotesis dimana adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang diproduksi sebagai bahan baku dari industri minyak goreng sawit, sehingga jumlah minyak goreng yang diproduksi juga bertambah. Jika dilihat dari nilai elastisitasnya, produksi minyak goreng tidak responsif terhadap perubahan luas areal kelapa sawit dalam jangka pendeknya, yaitu sebesar 0,35. Dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan luas

areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35 persen. Kebanyakan dari produsen minyak goreng memiliki industri terpadu mulai dari perkebunan sawit, pengolahan CPO dan pabrik minyak goreng, sehingga adanya peningkatan luas areal kelapa sawit akan meningkatkan jumlah CPO yang diproduksi dan selanjutnya akan meningkatkan jumlah produksi minyak goreng sawit, hal ini dibuktikan dari hasil estimasi pada variabel produksi CPO domestik yang berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas produksi CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,32 artinya kenaikan jumlah produksi CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan jumlah produksi minyak goreng sebesar 0,32 persen.

Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap produksi minyak
goreng sawit pada taraf 5 persen dengan koefisien dugaan bertanda negatif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 membuat produsen minyak goreng sawit mengurangi jumlah produksinya karena mahalnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi. Upah riil tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap produksi minyak goreng sawit, hal ini telah sesuai dengan hipotesis dimana adanya kenaikan dari biaya produksi akan membuat produsen untuk mengurangi jumlah produksinya. Variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng. Hal ini dikarenakan industri minyak goreng sawit adalah industri yang bersifat padat modal. Biaya-biaya produksi yang dikeluarkan lebih banyak digunakan untuk

perawatan dan perbaikan mesin-mesin dalam proses produksi, sehingga upah tenaga kerja tidak mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil produsen minyak goreng dalam proses produksinya. Variabel lag produksi minyak goreng sawit berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag produksi minyak goreng sawit meningkat, maka produksi minyak goreng sawit tahun analisis juga akan meningkat. Dari perhitungan nilai elastisitas pada Tabel 5.3 di bawah juga menunjukkan bahwa apabila pemerintah ingin mengatasi permasalahn kurangnya ketersediaan minyak goreng di pasaran, lebih baik pemerintah membuat suatu kebijakan yang mendukung adanya perluasan areal dan peningkatan produktivitas kelapa sawit, sehingga produksi CPO domestik dapat ditingkatkan untuk industri pengolahan CPO domestik seperti industri minyak goreng.

Tabel 5.3 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien -146,656801 0,8905 Harga riil minyak goreng sawit domestik 0,187798 0,2469 (HMGDR) Luas areal kelapa sawit 685,940763 *0,0308 0,35 (LA) Produksi CPO (QCPO) 296,603047 *0,0460 0,32 Dummy krisis ekonomi (DK) -797,436665 *0,0335 Upah riil (UPR) -0,00932414 0,8213 Lag produksi minyak goreng sawit (QMG(-1)) 0,390933 **0,1083 R2 = 0,9982 F value = 841,222 Prob (F value) = 0,0001
Sumber : Lampiran 5. Keterangan : ** Nyata pada taraf 10 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.4 Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Nilai koefisien determinasi pada persamaan permintaan minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,9736 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 97,36 persen dan sisanya sebesar 2,64 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,8446 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi harga riil minyak goreng

sawit domestik, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan lag permintaan minyak goreng sawit Indonesia (Tabel 5.5). Harga riil minyak goreng sawit domestik mempunyai koefisien dugaan bertanda negatif sesuai dengan parameter yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap permintaan minyak goreng sawit. Artinya, ketika ada peningkatan harga pada komoditi minyak goreng sawit, maka masyarakat dan industri pengguna industri minyak goreng akan mengurangi jumlah konsumsinya atau jumlah permintaannya. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek bernilai -0,23 artinya adanya peningkatan harga minyak goreng sawit domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan menurunkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,23 persen. Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai pengaruh yang nyata dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan, hal ini dikarenakan minyak goreng kelapa merupakan substitusi dari minyak goreng sawit. Adanya kenaikan pada harga minyak goreng kelapa menyebabkan permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat karena beralihnya konsumsi masyarakat dan industri pengguna minyak goreng kelapa ke minyak goreng sawit. Nilai elastisitas harga riil minyak goreng kelapa domestik dalam jangka pendek bernilai 0,19 artinya adanya peningkatan harga minyak goreng kelapa domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan jumlah permintaan minyak goreng sawit sebesar 0,19 persen. Variabel pendapatan per kapita Indonesia berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia dengan koefisien

dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Nilai elastisitas pendapatan per kapita dalam jangka pendek bernilai 1,57. Dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan permintaan minyak goreng sawit sebesar 1,57 persen. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng sawit semakin meningkat dengan meningkatnya pendapatan seseorang dan jumlah penduduk Indonesia. Variabel lag permintaan minyak goreng sawit berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit tahun analisis. Tanda parameter yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan, apabila lag permintaan minyak goreng sawit meningkat, maka permintaan minyak goreng sawit tahun analisis juga akan meningkat. Kecenderungan konsumen yang rentan akan isu-isu yang berkembang dan keputusan ekonomi di masa lalu akan mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Nilai elastisitas dari variabel-variabel pada persamaan permintaan minyak goreng sawit Indonesia mengindikasikan bahwa jika tidak ada usaha pemerintah untuk mengintroduksi produk substitusi minyak goreng sawit dan peningkatan ketersediaan minyak goreng, maka variabel-variabel tersebut dalam jangka panjang akan memberikan respon perubahan yang cukup besar terhadap permintaan minyak goreng sawit.

Tabel 5.4 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien -2070,861915 0,0332 Harga riil minyak goreng sawit (HMGDR) -0,137087 *0,0441 -0,17 Harga riil minyak goreng kelapa (HMKD) 0,431732 ***0,1226 0,19 Pendapatan/kap (ICPK) 0,422148 *0,0144 1,10 Lag permintaan MG (QDMG(-1)) 0,689786 *0,0004 R2 = 0,9736 F value = 116,3347 Prob(F value) = 0,0001
Sumber : Lampiran 6. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % * Nyata pada taraf 5 %

5.1.5 Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia Nilai koefisien determinasi pada persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia bernilai 0,5403 artinya persamaan produksi minyak goreng sawit Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang terdapat dalam model tersebut sebesar 54,03 persen dan sisanya sebesar 45,97 persen dijelaskan oleh variabel lain yang terdapat diluar model. Nilai Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test sebesar 0,6347 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar 15 persen atau 0,15 sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi. Harga riil minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi oleh penawaran minyak goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, harga riil CPO domestik, dummy krisis ekonomi dan lag harga minyak goreng sawit (Tabel 5.5).

Hubungan yang negatif antara harga dan penawaran minyak goreng sawit domestik telah memenuhi logika ekonomi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika penawaran suatu barang meningkat maka harga dari barang tersebut akan turun. Variabel penawaran minyak goreng tidak signifikan terhadap harga minyak goreng sawit, hal ini disebabkan oleh karakteristik dari minyak goreng sawit itu sendiri, dimana komoditas ini telah menjadi konsumsi pokok bagi masyarakat maupun industri pengguna minyak goreng sawit di Indonesia dan dapat menyebabkan keresahan sosial jika terjadi gejolak. Oleh karena itu, pemerintah akan mengeluarkan berbagai kebijakan pengendalian jika terjadi kemelut dari sisi ekonomi maupun ketersediaan produk tersebut, agar harga dan ketersediannya selalu terjamin dan terjangkau. Hubungan yang positif dan sesuai dengan hipotesis yang telah ditetapkan juga ditunjukkan dari hasil estimasi harga riil CPO domestik terhadap harga riil minyak goreng sawit. Ketika harga input meningkat, porsi biaya yang ditanggung industri akan semakin besar, sehingga solusi menaikan harga keluaran merupakan alternatif yang logis bagi para pelaku industri. Variabel harga CPO domestik ini berpengaruh signifikan terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia. Nilai elastisitas harga riil CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,68 artinya adanya peningkatan harga CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan harga riil minyak goreng sawit sebesar 0,68 persen. Kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga minyak goreng lebih baik difokuskan pada stabilisasi harga CPO domestik. Penetapan harga minimum dan maksimum patut untuk dicoba selain PE. Harga minimum digunakan ketika harga

CPO domestik sangat rendah dibanding harga internasional dan harga maksimum pada kondisi sebaliknya. Hal ini dilakukan agar kondisi harga CPO domestik pada tingkat dimana industri CPO diuntungkan dan begitu juga industri pengolahan CPO. Harga riil minyak goreng kelapa mempunyai koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Variabel ini berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng sawit Indonesia pada taraf 10 persen. Artinya, adanya peningkatan dalam harga minyak goreng kelapa akan mendorong para konsumen pengguna minyak goreng kelapa untuk beralih ke minyak goreng sawit, sehingga membuat permintaan akan minyak goreng sawit semakin meningkat dan selanjutnya harga minyak goreng sawit juga akan mengalami kenaikan.

Dummy krisis Indonesia berpengaruh nyata terhadap harga minyak goreng
sawit pada taraf 10 persen dengan koefisien dugaan bertanda positif sesuai dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yang ditandai dengan kenaikan harga sejumlah barang-barang pokok ternyata berpengaruh pada harga minyak goreng sawit.

Lag harga minyak goreng sawit tidak berpengaruh nyata terhadap harga
minyak goreng sawit dengan koefisien dugaan bertanda negatif yang tidak sesuai dengan parameter yang diharapkan. Apabila lag harga minyak goreng sawit meningkat, maka harga minyak goreng sawit tahun analisis belum tentu akan meningkat. Hal ini disebabkan intervensi pemerintah dalam penentuan harga minyak goreng sering berubah dari waktu ke waktu, sehingga harga minyak goreng sawit tahun sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga minyak goreng

sawit pada tahun analisis. Intervensi pemerintah dalam penentuan harga minyak goreng sawit ini terutama terjadi ditingkat pabrik. Pengendalian ini pada dasarnya bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi mengingat pentingnya peranan minyak goreng sawit dalam perekonomian. Salah satu intervensi pemerintah dalam hal harga minyak goreng sawit adalah dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan adanya Program Stabilisasi Harga minyak goreng (PSH). Tabel 5.5 Hasil Estimasi Parameter dan Elastisitas pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia Variabel Parameter Estimasi Probabilitas Elastisitas Jk. Pendek (Esr) Koefisien 4303,141 0,0100 Penawaran minyak goreng sawit (QSMG) -0,116881 0,2192 Harga riil CPO domestik (HCPO) 2,459150 ***0,1208 0,68 Harga riil minyak goreng kelapa (HMKD) -2,417950 **0,0623 Dummy krisis ekonomi (DK) 1243,969 **0,0814 Lag harga minyak goreng sawit -0,049384 0,8968 (HMGD(-1)) R2 F value = 0,5403 = 2,350661

Prob(F value) = 0,0117162
Sumber : Lampiran 7. Keterangan : *** Nyata pada taraf 15 % ** Nyata pada taraf 10 %

5.2

Hasil Validasi Model Sebelum melakukan simulasi model, terlebih dahulu dilakukan validasi

model. Pada penelitian ini, validasi model menggunakan kriteria Root Mean

Square Percent Error (RMSPE) dan Ststistic U-Theil. Keakuratan model melalui

nilai statistics of fit menghasilkan nilai RMSPE lebih kecil dari 23 persen. Artinya, nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan tingkat kesalahan 23 persen pada persamaan QDMG. Bias (UM), Reg (UR) dan Var (US) mendekati nilai idealnya yaitu nol, sedangkan nilai Dist (UD) dan Covar (UC) juga mendekati nilai idealnya satu. Begitu juga dengan nilai U-Theil mendekati nol, yang mengindikasikan bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Hasil validasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan di Sektor Industri CPO terhadap Keseimbangan Pasar Minyak Goreng Sawit Dalam Negeri Kesalahan Peubah HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO RMS % Error 15,1994 22,4842 2,7877 5,5164 16,3633 Bias (UM) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Reg (UR) 0,00 0,00 0,01 0,02 0,00 Dist (UD) 1,00 1,00 0,99 0,98 1,00 Var (US) 0,21 0,01 0,01 0,07 0,00 Covar (UC) 0,79 0,99 0,99 0,93 1,00 0,0939 0,0379 0,1536 0,1030 0,0242 U-Theil

Sumber : Lampiran 9.

5.3

Perubahan Pajak Ekspor CPO Sebesar Sepuluh Persen Tabel 5.7 di bawah ini menunjukkan hasil simulasi berdasarkan

peningkatan pajak ekspor CPO sebesar sepuluh persen. Peningkatan pajak ekspor CPO sebesar sepuluh persen diduga akan mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta

diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen. Adanya kebijakan kenaikkan PE sebesar sepuluh persen diduga akan menurunkan permintaan minyak goreng sawit dan meningkatkan harga minyak goreng sawit. Secara ekonomi, ketika harga CPO dunia meningkat akan menimbulkan kecenderungan bagi industri CPO untuk mengekspor. Karena itu, ketika ekspor mencapai posisi tertinggi sehingga terjadi gejolak pada harga minyak goreng, ada dua versi yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, volume ekspor CPO yang terlalu tinggi berakibat pada pasokan CPO untuk industri minyak goreng sawit menjadi berkurang. Dampak dari hal tersebut adalah produksi minyak goreng sawit menjadi berkurang, sehingga ketersediaan minyak goreng untuk permintaan domestik tidak tercukupi dan pada akhirnya harga dari minyak goreng sawit ini melonjak. Kedua, naiknya harga minyak goreng sawit adalah karena adanya kenaikan harga minyak nabati dunia termasuk CPO. Jika dilihat dari hasil simulasi yang telah dilakukan, penjelasan versi kedua lebih masuk akal. Adanya lonjakan harga minyak goreng sawit adalah karena adanya kenaikkan harga minyak nabati dunia, sehingga permintaan akan minyak goreng sawit mengalami penurunan dengan meningkatnya harga minyak goreng sawit. Karena dari hasil simulasi, produksi minyak goreng tidak

mengalami penurunan dan justru mengalami kenaikan, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa tidak adanya kekurangan pasokan CPO domestik walaupun ekspor sedang tinggi-tingginya.

Untuk ekspor CPO sendiri diduga akan mengalami penurunan ketika PE ditingkatkan sebesar sepuluh persen. Dengan adanya peningkatan PE, para produsen CPO akan mengurangi jumlah ekspornya karena semakin berkurangnya penerimaan yang mereka peroleh. Ketersediaan CPO untuk industri minyak

goreng sawit akan semakin bertambah dengan adanya pengurangan ekspor CPO. Adanya dampak multiflier dari kenaikan harga minyak goreng sawit juga akan mengakibatkan jumlah produksi minyak goreng semakin meningkat. Dimana harga minyak goreng yang tinggi menjadi insentif bagi para produsen minyak goreng untuk meningkatkan jumlah outputnya. Kenaikan PE juga akan menurunkan impor minyak goreng sawit, hal ini dimungkinkan karena kebutuhan akan minyak goreng sawit dapat dipenuhi dari produksi minyak goreng dalam negeri. Dari hasil simulasi di atas, adanya kebijakan kenaikan PE akan berimplikasi pada : 1. Melemahkan posisi daya saing Indonesia di pasar dunia. Hal ini ditandai dengan hilangnya potensi pasar ekspor Indonesia ketika permintaan CPO dunia sedang tinggi-tingginya, serta kekhawatiran akan berpindahnya pembeli ke negara kompetitor (Malaysia). 2. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Askadarimi (2007), adanya kebijakan kenaikan PE akan menurunkan pendapatan yang diterima oleh petani kelapa sawit. 3. PE yang tinggi akan memicu kegitan penyelundupan. Dengan pajak ekspor CPO yang semakin tinggi, ekspor CPO legal memang semakin berkurang,

namun ekspor CPO ilegal atau penyelundupan CPO semakin tinggi, hal ini dikarenakan produsen CPO lebih tertarik dengan harga CPO dunia yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga CPO domestik, sehingga para produsen CPO lebih memilih menjual CPO ke pasar internasional dengan cara ilegal. Selama Januari sampai dengan Februari 2008, penyelundupan CPO ke luar negeri melonjak drastis, Oil World memperkirakan penyelundupan CPO mencapai 400 ribu ton, meningkat dibandingkan tahun 2007 periode JanuariSeptember yang hanya 660 ribu ton. Oil World mencatat, ekspor CPO Indonesia yang terdaftar pada periode Juli-September 2006 mencapai 2,93 juta ton dan turun menjadi 2,18 juta ton pada periode yang sama di tahun 2007, penurunan itu terjadi akibat adanya ekspor CPO yang tidak terdaftar karena adanya penetapan pajak ekspor yang semakin tinggi. 4. Bagi pihak industri minyak goreng, adanya PE akan memberikan sedikit jaminan tersedianya input untuk proses pengolahan dan bagi pemerintah dapat menjadi alternatif penerimaan bukan pajak. 5. Pemerintah diharapkan untuk lebih memfokuskan pada kebijakan

pengendalian harga minyak goreng dengan memberikan subsidi kepada industri atas kenaikan harga CPO. Subsidi ini penting agar harga minyak goreng dapat ditekan dengan disubsidinya biaya input oleh pemerintah.

Tabel 5.7 Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor Sebesar Sepuluh Persen Variabel Harga riil minyak goreng sawit (HMGDR) permintaan minyak goreng sawit (QDMG) produksi minyak goreng sawit (QMG) Impor minyak goreng sawit (IMMG) Ekspor minyak sawit (XCPO)
Sumber : Lampiran 10.

Nilai Dasar

Predicted Mean
3,400 60,3136 9,773 15,4530 4,3137

Skenario Simulasi PE naik 10 % %∆ Predicted Mean 3,473 60,3126 9,787 15,4528 4,2739 2,1470 -0,0017 0,1433 -0,0013 -0,9226

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 1.

Kesimpulan Model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit dalam negeri menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan identitas mencakup penawaran ekspor CPO Indonesia, penawaran minyak goreng sawit Indonesia dan keseimbangan penawaran dan permintaan minyak goreng sawit Indonesia. Sedangkan persamaan struktural terdiri dari model faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia, permintaan impor minyak goreng sawit Indonesia, produksi minyak goreng sawit Indonesia, permintaan minyak goreng sawit Indonesia dan harga minyak goreng sawit Indonesia.

2.

Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah produksi CPO domestik, dimana peningkatan produksi CPO sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan ekspor CPO sebesar 1,80 persen.

3.

Penawaran minyak goreng sawit Indonesia berasal dari minyak goreng sawit yang diimpor dan minyak goreng sawit produksi Indonesia. Impor minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil impor

minyak goreng sawit, permintaan minyak goreng domestik dan pendapatan nasional Indonesia, sedangkan nilai tukar riil dan lag impor minyak goreng tidak berpengaruh nyata. Nilai elastisitas pada persamaan impor minyak goreng semakin tidak elastis dalam jangka panjang. Variabel yang mempunyai nilai elastisitas yang lebih responsif adalah permintaan minyak goreng domestik dengan nilai elastisitas sebesar 0,0092 dalam jangka pendek, dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris

paribus), maka peningkatan permintaan minyak goreng sawit domestik
sebesar 1 persen diduga akan meningkatkan impor minyak goreng sebesar 0,0092 persen dalam jangka pendek. 4. Produksi minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, produksi CPO domestik, dummy krisis ekonomi Indonesia dan lag produksi minyak goreng sawit. Sedangkan harga riil minyak goreng sawit domestik dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi minyak goreng sawit Indonesia. Nilai elastisitas jangka pendek dari variabel luas areal kelapa sawit sebesar 0,35. Dengan asumsi jika faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus), maka peningkatan luas areal kelapa sawit sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan produksi minyak goreng sebesar 0,35 persen. 5. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia merupakan agregasi dari jumlah konsumsi minyak goreng sawit secara langsung dan konsumsi minyak goreng oleh industri pengguna minyak goreng sawit. Permintaan minyak goreng sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil minyak

goreng sawit, harga riil minyak goreng kelapa, pendapatan per kapita dan

lag permintaan minyak goreng sawit.
6. Variabel-variabel yang mempengaruhi secara nyata harga minyak goreng sawit domestik adalah harga riil CPO domestik, harga riil minyak goreng kelapa dan dummy krisis ekonomi Indonesia. Nilai elastisitas harga riil CPO domestik dalam jangka pendek bernilai 0,68 artinya adanya peningkatan harga CPO domestik sebesar 1 persen dalam jangka pendek diduga akan meningkatkan harga riil minyak goreng sawit sebesar 0,68 persen. 7. Validasi model dengan menggunakan kriteria statistics of fit, menunjukkan model layak untuk digunakan sebagai peramalan. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan sepuluh persen pajak ekspor CPO akan mengakibatkan penurunan permintaan minyak goreng sawit, impor minyak goreng sawit dan volume ekspor CPO masing-masing sebesar 0,0017 persen, 0,0013 persen dan 0,9226 persen, serta diduga akan meningkatkan harga minyak goreng sawit sebesar 2,1470 persen dan produksi minyak goreng sawit sebesar 0,1433 persen.

6.2

Saran

1. Adanya kenaikkan pajak ekspor CPO justru berdampak negatif bagi para produsen dan petani sawit karena menurunkan pangsa pasar dan daya saing Indonesia di pasar dunia, untuk itu diperlukan adanya kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor. Perlu juga adanya perhatian khusus dari pemerintah

dalam hal senjang pengambilan keputusan pada penetapan pajak ekspor agar penyesuaiannya mengikuti pola perubahan harga CPO dunia yang fluktuatif. 2. Penerapan operasi pasar yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasar minyak goreng dapat efektif jika

infrastrukturnya dipersiapkan secara baik dengan koordinasi yang baik dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjangkau kalangan yang benar-benar kurang mampu. 3. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang lebih relevan yang berkaitan dengan harga minyak goreng sawit domestik. Perlu juga dilakukan penelitian tentang kebijakan pengendalian mana yang paling efisien yang dapat dipilih oleh pemerintah dalam mengatasi masalah keseimbangan pasar dan harga minyak goreng tetapi tidak mengorbankan potensi ekspor CPO Indonesia yang cukup menarik ketika harga CPO dunia sedang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA Ardana, I. K. 2004. Struktur Produksi dan Peranan Minyak Goreng dalam Perekonomian Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Askadarimi, I. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Minyak Sawit (CPO) Indonesia [skripsi]. Program Studi Ekonomi dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 1990-2006. Harga Perdagangan Besar Sektor Industri. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Konsumen Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Indeks Harga Pedagang Besar Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistik Impor Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistik Industri Besar dan Sedang Volume II dan III. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 2006. Statistik Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. 1990-2006. Statistik Ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Statistical Year Book of Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ______. 1990-2006. Neraca Bahan Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 1990-2006. Laporan Tahunan Bank Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta Corinthian Indopharma Corpora. 2003. Studi tentang Pemasaran Minyak Goreng di Indonesia. Jakarta.

Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. UI Press, Jakarta. Departemen Perindustrian. 1990-2006. Perkembangan Impor Komoditi Indonesia Menurut KLUI 5 Digit. Departemen Perindustrian, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). 2007. Road Map Kelapa Sawit. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Djaenudin, D. R. 2000. Analisis Pasar Minyak Goreng Domestik : Dampak Kebijakan Pemerintah dan Kemungkinan Pemberlakuan Liberalisasi Perdagangan [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Indonesian Palm Oil Comission (IPOC). 2007. Indonesian Palm Oil Statistics 2006. Indonesian Palm Oil Comission (IPOC), Jakarta.
Jamaludin, J. 2005. Dampak Kebijakan Perdagangan Gandum-Tepung Terigu terhadap Keseimbangan Tepung Terigu di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kindleberger, C. P. dan P. H. Lindert. 1995. Ekonomi Internasional [terjemahan]. Edisi Keempat. Erlangga, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics : Second Edition. Harper & Row Publishers, Inc. Barnes & Nobles Import Division, New York. Lipsey, R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta. Mahisya, F. 2004. Analisis Permintaan Ekspor CPO Indonesia : Suatu Pendekatan Error Correction Model [skripsi]. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga, Jakarta. Margaretha, E. 2005. Dampak Liberalisasi Perdagangan Disektor Industri Tekstil Terhadap Neraca Perdagangan Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Binarupa Aksara, Jakarta.

Nurdiyani, F. 2007. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Minyak Goreng Kelapa di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ratri, C. D. 2004. Analisis Dampak Rencana Penerapan Pungutan Ekspor Kakao Terhadap Integrasi Pasar Kakao Indonesia [skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta. Sitepu R. Karo-karo, Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika : Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugema I, M Fadhil Hasan, Aviliani, Usman H, Sugiyono. 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. INDEF, Jakarta. Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada Komoditi Minyak Sawit dab Hasil Industri yang Menggunakan Bahan Baku Minyak Sawit di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumaryanto dan Marcellus, R. 1996. Sistem Agribisnis dan Peranan Minyak Goreng dalam Perekonomian Nasional. hal. 37-88. Dalam : Amang, Beddu, Pantjar Simatupang dan Anas Rachma, (Eds.). Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press. Bogor. Widayunita, P. 2007. Analisis Daya Saing Industri Semen Indonesia Periode 1978-2005 [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. YKPN, Jogjakarta.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kebijakan Pemerintah Pada Industri Kelapa Sawit Indonesia Tanggal 11 Des’78 16 Des’78 Surat Keputusan SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No.268/KP/XII/78 SK Bersama tiga menteri Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi : No. 764/Kpts/UM/12/1978 No. 252/M/SK/12/1978 No. 275/KPB/XII/78 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 001/Dagri/Kp/79 SK 17/Dagri/Kp/I/83 SK 22/Dagri/Kp/I/83 SK Menteri Perdagangan No. 47/KMK/001/84 Paket Kebijakan Deregulasi Hal Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk tujuan ekspor Pengaturan tataniaga minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri dan juga untuk tujuan ekspor

11 Jan’79 23 Jan’83 1984 1986 3 Juni’91

1992

Paket Deregulasi

31 Agst’94 4 Juli’97

SK Menteri Keuangan No. 439/KMK.017/1994 SK Menteri Keuangan No. 300/KMK.01/1997 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 456/MPP/Kep/12/1997

17 Des’97

Pengaturan alokasi atau jatah untuk kebutuhan dalam negeri beserta harganya Pemberlakuan lisensi dari Departemen Perdagangan untuk ekspor. Pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenis sebesar 37.18%. Pembebasan Pajak Ekspor minyak sawit. Pembebasan sistem tataniaga kelapa sawit dan pajak ekspor CPO. Jika dibutuhkan impor diperbolehkan dengan bea masuk 5%. Penetapan minyak goreng sawit ke dalam daftar negatif investasi, baik untuk PMA, PMDN, dan non PMA/PMDN. Investasi diizinkan jika terpadu dengan pengembangan perkebunan sawit (penyediaan bahan baku 65%). Tarif bea tambahan (20%) dihapuskan. Penetapan pajak ekspor CPO bervariasi 40%-50%. Penurunan pajak ekspor CPO dan produk turunannya dari sekitar 10%-12% menjadi 2%5% secara ad-volerem. Penetapan pajak ekspor tambahan (PET) untuk RBD-PO dan Olein 30% dan RBD Olein 28%.

Tanggal 19 Des’97 24 Des’97 22 April’98

Surat Keputusan SK Menteri Keuangan No. 622/KMK.01/1997 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 420/DJPDN/XI/1997 SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan

Hal Penetapan alokasi/kuota 80% dari produksi untuk pasokan dalam negeri. Pelarangan ekspor. Pengaturan pengolahan CPO, pembatalan (outstanding contract), pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow. Kenaikan PE (CPO : 40% menjadi 60% dan RBD Olein 35% menjadi 55%). Pelarangan ekspor sawit produksi PTPN. Penurunan PE CPO dari 60% menjadi 40%. Penurunan PE CPO dari 40% menjadi 30%. Penurunan PE CPO dari 30% menjadi 10%. Penurunan PE CPO menjadi 5%. Penurunan PE CPO menjadi 3%. Pajak Ekspor CPO 1.5%. Penentuan Harga Patokan Ekspor (HPE) mengacu pada harga minyak sawit dunia. HPE ditetapkan setiap bulan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri. HPE berlaku satu bulan mulai 10 Mei-9 Juni 2006, yaitu US $ 358/MT.

7 Juli’98

SK Menteri Keuangan No. 334/KMK.07/1998 SK Menteri Keuangan No. 30/KMK.01/1999 SK Menteri Keuangan No. 189/KMK.017/1999 SK Menteri Keuangan No. 360/KMK.017/1999 SK Menteri Keuangan No. 387/KMK.017/2000 SK Menteri Keuangan No. 66/KMK.071/2001 SK Menteri Keuangan No. 130/KMK.010/2005 Peraturan Pemerintah No. 35 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 17/M-Dag/Per/3/2006 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/M-Dag/Per/5/2006

29 Jan’99 3 Juni’99 21 Juli’99 12 Sept’00 2001 2005 10 Sept’05 29 Mar’06 8 Mei’06

Sumber : http://www.deperin.go.id

Lampiran 2. Data Riil Penelitian Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 XCPO (Juta Ton) 0,815580 1,167689 1,030272 1,632012 1,631203 1,265024 1,671957 2,967589 1,479278 3,298987 4,110027 4,903218 6,333708 6,386409 8,661647 10,376200 12,101000 HXCPO (US $/Ton) 303,2 299,5 327,4 338,0 413,4 481,9 474,9 430,6 188,2 165,8 134,1 112,1 159,0 186,6 176,3 135,04 142,08 QCPO (Juta Ton) 2,412612 2,657600 3,266250 3,421449 4,008062 4,479670 4,898658 5,448508 5,930415 6,455590 7,000508 8,396472 9,622345 10,440834 12,326419 14,619830 16,000000 XRR (Rp/US $) 2403,18 2300,16 2276,62 2118 2018,12 1941,87 1887,02 4061,28 3249,228 3394,28 3068,68 3207,40 2505,82 2226,05 2303,44 2206,61 1785,25 QMG (000 Ton) 2413 2658 3266 3421 4008 4480 4899 5385 5902 6250 6950 7660 9060 10110 10955 11938 12921 IMMG (000 Ton) 27 39 310 158 130 72 113 100 27 9 24 20 52 26 45 51 58

QSMG (000 Ton) 2440 2697 3576 3579 4138 4552 5012 5485 5929 6259 6974 7680 9112 10136 11000 11989 12979

POP (Juta Jiwa) 179,2478 182,9401 186,0427 186,5448 189,6751 192,7128 195,5249 198,6758 201,5378 204,7839 195,1033 201,7033 202,7074 214,3741 217,0723 218,8688 222,192

QDMG (000 Ton) 1573,94 1476,53 1701,31 2013,04 2202,41 2383,88 2569,11 2699,94 2830,49 2880,33 2842,04 2917,74 3027 3169 3357 3546 4108,25

PI (2000=100) 106,47 75,30 94,02 128,83 98,53 141,90 152,75 164,14 146,98 154,83 156,48 100,00 69,47 93,76 103,44 146,12 98,65

GDP HK’93 (Milyar Rupiah) 959550 1019354 1085199 1155694 1242834 1344995 1450149 1518305 1317868 1329436 1394845 1442985 1505216 1579559 1656826 1750656 1846655

UPR (Rp/HOK) 27923,29 27308,65 26051,03 26233,01 26677,58 28319,08 29440,99 30478,58 21500,98 18175,19 18779 17031,39 16483,53 15533,73 15507,33 15591,48 15391,61

LA (Ha) 1126677 1310996 1464686 1613187 1804149 2024986 2249514 2922296 3560196 3901802 4158077 4713435 5067058 5283557 5447562 5641721 5824566

HCPO (Rp/Kg) 674,91 754,43 799,12 694 904,27 1074,14 908,3 1014,61 1581,69 1171,4 867,31 631,92 796,03 867,8 910,47 895,3 921,2

HMGDR (Rp/Kg) 1827,74 2112,31 2519,06 2566,62 3118,27 3917,03 3360,96 5478,3 3631,98 3680,59 3418,54 3078,23 3520,66 3694,08 3779,05 3422,92 3091,333

HMKD (Rp/Kg) 1154,91 1128,31 1413,17 1132,2 1108,91 1205,73 1168,29 1100,18 1700,55 1661,83 1284,39 1045,43 1186 1232,23 1291,34 1025,3 1029,93

PIMMG (US$/ton) 443,4484 443,4497 443,5317 443,5422 443,5048 443,4806 443,5193 443,4743 443,5115 443,4977 443,5 443,4981 443,5161 443,4867 443,5383 443,5013 443,6543

DK 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

ICPK (000 Rp/Kap) 5353,204 5572,064 5833,064 6195,262 6552,436 6979,272 7416,697 7642,123 6539,061 6491,897 7149,264 7153,998 7425,56 7368,236 7632,6 7998,655 8311,078

IHPB (1993=100) 79,88 94,83 104,71 100 107,14 122,00 104,02 112,15 360,25 264,12 231,21 246,23 244,67 239,61 259,72 268,07 280,12

IHK (1993=100) 79,27 86,82 91,1 100 109,26 118,7 126,39 140,35 249,29 254,31 278,1 324,25 356,77 380,27 403,31 445,48 503,85

Sumber : BPS, Deptan, Deperin dan Depdag 1990-2006, diolah.

Keterangan : XCPO : Ekspor CPO HXCPO : Harga riil Ekspor CPO QCPO : Produksi CPO XRR : Nilai tukar QMG : Produksi minyak goreng GDP : Pendapatan nasional ICPK : Pendapatan/kap HMKD : Harga riil minyak goreng kelapa PIMMG : Harga riil impor minyak goreng DK : Dummy krisis ekonomi

IMMG QSMG POP QDMG PI HMGDR UPR LA HCPO

: Impor minyak goreng : Penawaran minyak goreng : Populasi : PermintaanMinyakgoreng : Price index, CIF Rotterdam : Harga riil minyak goreng sawit : Upah riil : Luas areal kelapa sawit : Harga riil CPO domestic

Lampiran 3. Hasil Estimasi Parameter pada Penawaran Ekspor CPO Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 The SAS System

1

SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: SEXPORT Dependent variable: XCPO Analysis of Variance Sum of Squares 186.14818 1.13234 187.28052 Mean Square 31.02470 0.12582

Source Model Error C Total

DF 6 9 15

F Value 246.588

Prob>F 0.0001

Root MSE Dep Mean C.V.

0.35471 4.31351 8.22313

R-Square Adj R-SQ

0.9940 0.9899

Parameter Estimates Parameter Estimate Standard Error T for H0: Parameter=0 |T| 1.402 2.932 1.695 -3.758 5.155 -1.999 0.294

Variable

DF

Prob >

INTERCEP HXCPO XRR PE QCPO POP LAGXCPO

1 1 1 1 1 1 1

7.964767 0.003953 0.000355 -0.025899 1.035426 -0.065287 0.060552

5.681348 0.001348 0.000209 0.006892 0.200860 0.032666 0.205803

0.1945 0.0167 0.1243 0.0045 0.0006 0.0767 0.7753

Lampiran 4. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Impor Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997 The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DIMPORT Dependent variable: IMMG Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square

2

Source Prob>F Model 0.0014837 Error C Total

DF

F Value

5 10 15

61037.43780 24384.31252 85421.75000

12207.48756 2438.43125

5.003281

Root MSE Dep Mean C.V.

49.38047 77.12500 64.02655

R-Square Adj R-SQ

0.7145 0.5718

Parameter Estimates Parameter Estimate -604938.89 0.019515 1364.166822 0.254952 0.00045219 -0.028656 Standard Error 187432.000000 0.024180 422.564790 0.077568 0.000208 0.189214 T for H0: Parameter=0 -3.228 0.807 3.228 3.287 2.176 -0.151

Variable INTERCEP XRR PIMMG QDMG GDP LAGIMMG

DF 1 1 1 1 1 1

Prob>|T| 0.0091 0.4384 0.0090 0.0082 0.0546 0.8826

Lampiran 5. Hasil Estimasi Parameter pada Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997

3

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: PRODUCE Dependent variable: QMG Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square

Source Prob>F Model 0.0001 Error C Total

DF

F Value

6 9 15

158567696.78 282745.16000 158850441.94

26427949.463 31416.12889

841.222

Root MSE Dep Mean C.V.

177.24596 6866.43750 2.58134

R-Square Adj R-SQ

0.9982 0.9970

Parameter Estimates Parameter Estimate -146.656801 0.187798 685.940763 296.603047 -797.436665 -0.00932414 0.390933 Standard Error 1035.451907 0.151634 268.212579 128.208859 318.191885 0.040087 0.219313 T for H0: Parameter=0 -0.142 1.238 2.557 2.313 -2.506 -0.233 1.783

Variable INTERCEP HMGDR LA QCPO DK UPR LAGQMG

DF 1 1 1 1 1 1 1

Prob > |T| 0.8905 0.2469 0.0308 0.0460 0.0335 0.8213 0.1083

Lampiran 6. Hasil Estimasi Parameter pada Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997

4

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: DMINYAK Dependent variable: QDMG Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square

Source Prob>F Model 0.0001 Error C Total

DF

F Value

4 11 15 Root MSE Dep Mean C.V.

6729156.0607 159068.49156 6888224.5522 120.25295 2732.75438 4.40043

1682289.0152 14460.77196

116.3347

R-Square Adj R-SQ

0.9736 0.9685

Parameter Estimates Parameter Estimate -2070.861915 -0.137087 0.431732 0.422148 0.689786 Standard Error 850.842772 0.060333 0.258135 0.145392 0.139807 T for H0: Parameter=0 -2.434 -2.272 1.673 2.904 4.934

Variable INTERCEP HMGDR HMKD ICPK LAGQDMG

DF 1 1 1 1 1

Prob > |T| 0.0332 0.0441 0.1226 0.0144 0.0004

Lampiran 7. Hasil Estimasi Parameter pada Harga Minyak Goreng Sawit Indonesia dengan Menggunakan Program SAS 6.12

22:20 Monday, July 14, 1997

5

The SAS System SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model: HARGA Dependent variable: HMGDR Analysis of Variance Sum of Squares Mean Square

Source Prob>F Model 0.0117162 Error C Total

DF

F Value

5 10 15

4524042.8236 3849167.2726 8373210.0963 620.41658 3399.37081 18.25092

904808.56472 384916.72726

2.350661

Root MSE Dep Mean C.V.

R-Square Adj R-SQ

0.5403 0.3104

Parameter Estimates Parameter Estimate 4303.141208 -0.116881 2.459150 -2.417950 1243.968554 -0.049384 Standard Error 1358.443115 0.089164 1.450211 1.248058 593.057321 0.371212 T for H0: Parameter=0 3.168 -1.311 1.696 -1.937 2.098 -0.133

Variable INTERCEP QSMG HCPO HMKD DK LAGHMGDR 1 1 1 1 1 1

DF

Prob>|T| 0.0100 0.2192 0.1208 0.0623 0.0814 0.8968

Lampiran 8. Hasil Uji Autokorelasi, Heteroskedastisitas dan Normalitas pada Masing-masing dengan Menggunakan Program SAS 6.12

The SAS System MODEL Procedure 2SLS Estimation Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF DF Model Error

Equation R-Sq XCPO 0.9899

SSE

MSE

Root MSE

R-Square

Adj

7

9

1.13234

0.12582

0.35471

0.9940

Heteroscedasticity Test Equation Variables XCPO Test Statistic DF Prob

White's Test Breusch-Pagan

16.00 5.30 QCPO,

15 6

0.3821 Cross of all vars 0.5063 1, HXCPO, XRR, PE, POP, LAGXCPO

Autocorrelation Test Equation XCPO Lag Statistic Value 1.973 3.744 4.149 Prob 0.1602 0.1538 0.2458

1 Godfrey's AR 2 Godfrey's AR 3 Godfrey's AR

Normality Test Equation XCPO System Test Statistic Shapiro-Wilk W Mardia Skewness Mardia Kurtosis Henze-Zirkler T Value 0.960 0.056 -0.950 0.240 Prob 0.6395 0.8129 0.3431 0.8102

22:20 Monday, July 14, 1997

14

The SAS System MODEL Procedure 2SLS Estimation Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF Model DF Error

Equation R-Sq IMMG 0.9086

SSE

MSE

Root MSE

R-Square

Adj

5

11

119558

10868.9

104.25412

0.9396

Heteroscedasticity Test Equation Variables IMMG Test Statistic DF Prob

White's Test Breusch-Pagan

16.00 15 5.77 4 LAGIMMG

0.3821 Cross of all vars 0.2169 1, XRR, PIMMG, GDP,

Autocorrelation Test Equation IMMG Lag 1 2 3 Statistic Godfrey's AR Godfrey's AR Godfrey's AR Value 11.04 11.81 12.16 Prob 0.7145 0.6125 0.5679

Normality Test Equation IMMG System Test Statistic Shapiro-Wilk W Mardia Skewness Mardia Kurtosis Henze-Zirkler T Value 0.864 4.922 0.625 2.101 Prob 0.2107 0.2065 0.5317 0.3257

22:20 Monday, July 14, 1997

19

The SAS System MODEL Procedure 2SLS Estimation Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF Model DF Error

Equation R-Sq QMG 0.9973

SSE

MSE

Root MSE

R-Square

Adj

6

10

285339

28533.9

168.91972

0.9982

Heteroscedasticity Test Equation Variables QMG Test Statistic DF Prob

White's Test Breusch-Pagan

16.00 7.63

15 5

0.3821 Cross of all vars 0.1779 1, LA, QCPO, DK, UPR, LAGQMG

Autocorrelation Test Equation QMG Lag 1 2 3 Statistic Godfrey's AR Godfrey's AR Godfrey's AR Value 1.175 2.235 7.540 Prob 0.2783 0.3271 0.0565

Normality Test Equation QMG System Test Statistic Shapiro-Wilk W Mardia Skewness Mardia Kurtosis Henze-Zirkler T Value 0.971 0.077 -0.350 -2.540 Prob 0.8178 0.7812 0.7258 0.0112

22:20 Monday, July 14, 1997

24

The SAS System MODEL Procedure 2SLS Estimation Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF Model DF Error

Equation R-Sq QDMG 0.7536

SSE

MSE

Root MSE

R-Square

Adj

4

12

1357898

113158.2

336.38989

0.8029

Heteroscedasticity Test Equation Variables QDMG LAGQDMG Test Statistic DF Prob

White's Test Breusch-Pagan

16.00 4.60

14 3

0.3134 0.2037

Cross of all vars 1, HMKD, ICPK,

Autocorrelation Test Equation QDMG Lag 1 2 3 Statistic Godfrey's AR Godfrey's AR Godfrey's AR Value 0.038 0.713 4.736 Prob 0.8446 0.7001 0.1922

Normality Test Equation QDMG System Test Statistic Shapiro-Wilk W Mardia Skewness Mardia Kurtosis Henze-Zirkler T Value 0.845 3.302 2.339 2.133 Prob 0.2110 0.5692 0.3193 0.2329

22:20 Monday, July 14, 1997

29

The SAS System MODEL Procedure 2SLS Estimation Nonlinear 2SLS Summary of Residual Errors DF DF Model Error

Equation R-Sq HMGDR 0.2652

SSE

MSE

Root MSE

R-Square

Adj

5

11

4511723

410156.6

640.43471

0.4612

Heteroscedasticity Test Equation Variables HMGDR Test Statistic DF Prob

White's Test Breusch-Pagan

16.00 8.55

15 4

0.3821 0.0733

Cross of all vars 1, HCPO, HMKD, DK, LAGHMGDR

Autocorrelation Test Equation HMGDR Lag 1 2 3 Statistic Godfrey's AR Godfrey's AR Godfrey's AR Value 0.123 0.244 1.628 Prob 0.6347 0.8852 0.6531

Normality Test Equation HMGDR System Test Statistic Shapiro-Wilk W Mardia Skewness Mardia Kurtosis Henze-Zirkler T Value 0.945 0.804 0.555 0.211 Prob 0.4011 0.3698 0.5787 0.8328

Lampiran 9. Hasil Validasi Model Kebijakan Perdagangan dengan Menggunakan Program SAS 6.12
15:28 Wednesday, July 9, 1997 137 The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation

Solution Summary Dataset Option DATA= Variables Solved Dataset WIDA 5

Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.0033E-16 Maximum Iterations 1 Total Iterations 16 Average Iterations 1 Observations Processed Read 17 Solved 16 Failed 1 Variables Solved For: HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO

15:28 Wednesday, July 9, 1997 138 The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Variable HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO Nobs 16 16 16 16 16 N 16 16 16 16 16 Mean 3399 2733 6866 77.1250 4.3135 Std 747.1372 677.6540 3254 75.4638 3.5335 Predicted Mean 3.400 60.3136 9.787 15.4530 4.3137 Std 6.487942 98.158 48.64 25.155 3.5227

Statistics of Fit Mean Error 0.4334 600403 2906 154453 0.000173 Mean % Error 0.8671 22546 41.0446 418187 0.5109 Mean Abs Error 305.4141 600403 2906 154453 0.2330 Mean Abs % Error 9.08035 22546 41.04459 418187 11.05769 RMS Error RMS % Error 15.1994 22.4842 2.7877 5.5164 16.3633

Variable HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO

N 16 16 16 16 16

R-Square 0.7540 0.858039 0.1009 0.4579739 0.9940

358.8133 607782 3306 156367 0.2660

Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Variable N MSE Inequality Coef U1 U

Corr Bias Reg Dist Var Covar (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) 0.000 0.956 0.998 -.436 0.997 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.01 0.02 0.000 1.000 1.000 0.99 0.98 1.000 0.21 0.01 0.01 0.07 0.00 0.79 0.99 0.99 0.93 1.00

HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO

16 16 16 16 16

128747 3.69398E11 10930387 2.44506E10 0.07077

0.1032 21.2600 0.4376 14.71824 0.0483

0.0939 0.0379 0.1536 0.1030 0.0242

Lampiran 10. Hasil Simulasi Kenaikkan Pajak Ekspor sebesar 10 Persen dengan Menggunakan Program SAS 6.12
15:28 Wednesday, July 9, 1997 118

The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Actual Variable HMGDR QDMG QMG IMMG XCPO Nobs 16 16 16 16 16 N 16 16 16 16 16 Mean 3399.0000 2733.0000 6866.0000 77.1250 4.3135 Std 747.1372 677.6540 3254.0000 75.4638 3.5335 Predicted Mean 3.4730 60.3126 9.7870 15.4528 4.2739 Std 7.063563 98.159000 48.580000 25.156000 3.547900

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close