Facial Palsy

Published on March 2017 | Categories: Documents | Downloads: 53 | Comments: 0 | Views: 375
of 11
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

Facial Palsy

1. Definisi Kelumpuhan saraf wajah (facial nerve palsy) menyebabkan hilangnya ekspresi wajah dan hal ini paling sering disebabkan oleh kondisi peradangan jinak yang dapat sembuh dengan sendiri, dikenal sebagai Bell’s Palsy (BP). BP adalah kondisi yang ditandai oleh onset akut kelumpuhan saraf wajah yang tidak diketahui penyebabnya. Kejadian ini sekitar 20/tahun/100.000 penduduk dan menyebabkan gangguan yang cukup besar dalam kegiatan sosial antara pasien. Meskipun penyebab sebenarnya dari BP tidak diketahui, mekanisme penyakitnya yang diterima secara luas adalah peradangan pada saraf wajah selama kejadiannya berlangsung melalui labirin bagian tulang dari canalis facialis, yang menyebabkan kompresi dan demielinasi akson dan gangguan suplai darah ke saraf sendiri. BP didefinisikan sebagai kelumpuhan motor neuron bagian bawah dengan onset akut dan idiopatik. BP dianggap sebagai gangguan neurologis umum jinak yang penyebabnya tidak diketahui. Ini memiliki onset akut dan hampir selalu mononeuritis (Garg, 2012). 2. Etiologi Penyebabnya antara lain kegagalan mikrosirkulasi dari

vasonervorum, infeksi virus, neuropati iskemik, reaksi autoimun, prosedur bedah seperti ekstraksi gigi anestesi lokal , infeksi , osteotomi , prosedur preprosthethic , eksisi tumor atau kista , bedah TMJ dan pengobatan bedah fraktur wajah dan sumbing bibir / langit-langit. Penyebab virus telah diterima secara luas, namun tidak ada virus telah diisolasi secara konsisten pada pasien dengan BP. Bukti untuk hipotesis virus telah terutama didasarkan pada pengamatan klinis dan perubahan titer antibodi virus.

Patogenesis kelumpuhan mungkin virus neuropati itu sendiri atau neuropati iskemik yang disebabkan oleh infeksi virus. Meskipun kelumpuhan wajah akut dapat terjadi selama terjangkit penyakit virus seperti gondok, rubella, herpes simplex, dan infeksi virus Epstein -Barr atau sebagai akibat dari reaktivasi dari virus herpes manusia dalam ganglia geniculata. Beberapa pasien mungkin lebih mudah cenderung untuk

peradangan saraf wajah oleh paparan patogen sebelumnya , seperti Herpes simplex virus , virus Epstein - Barr dan sitomegalovirus . Ada peningkatan jumlah laporan tentang partikel virus herpes simplex partikel ditemukan pada biopsi saraf wajah pada pasien dengan BP. Kelumpuhan saraf wajah mungkin berasal dari pusat atau perifer, lengkap atau tidak lengkap. Penyebabnya bervariasi dan termasuk trauma, pembentukan tumor, masalah iatrogenik, kondisi idiopatik, infark cerebral, cerebral

pseudobulbar dan virus. Hal ini menghasilkan distorsi wajah yang khas yang sebagian ditentukan oleh keterlibatan cabang-cabang saraf. Pada literatur juga dilaporkan tiga mekanisme, di mana prosedur (perawatan) gigi dapat merusak struktur saraf: trauma langsung pada saraf dari jarum, pembentukan hematoma intraneural atau kompresi dan toksisitas anestesi lokal. Trauma langsung tampaknya tidak mungkin karena banyak pasien melaporkan mengalami trauma pada saraf ketika mereka merasa shock karena sensasi listrik pada suntikan jarum. Namun, hampir semua gejala ini diselesaikan sepenuhnya tanpa adanya sisa kerusakan saraf. Selain itu, kondisi umum seperti hipertensi dan diabetes mellitus, yang mungkin menjadi predisposisi serangan tunggal atau ganda. Kasus-kasus familial ipsilateral yang rekurens dan kelumpuhan saraf wajah kontralateral memiliki sifat pewarisan autosomal dominan dan resesif. Predisposisi genetik ini juga dapat mencakup variasi dalam respon imun masing-masing individu terhadap antigen yang menghasut (Garg, 2012).

3. Epidemiologi Bell palsy, atau kelumpuhan wajah idiopatik (IFP), terjadi sekitar 60-80% facial plasy pada lower motor neuron dan memiliki kejadian 2030 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden tertinggi pada kelompok usia 15-45 tahun dan meningkat pada kehamilan dan diabetes. Dalam sebagian besar kasus, bell’s palsy adalah self limited, nonprogressive, dan spontan timbul dengan minoritas yang sangat kecil pasien tersisa dengan disfungsi neurologis residual. Riwayat keluarga yang positif

telah diperkirakan akan timbul pada sekitar 4-14% kasus (Kubik, 2012), 4. Manifestasi Klinis Ada tiga gejala umum terjadi pasien karena facial palsy. Epiphora karena kurangnya tone dalam kelopak mata bawah dan kegagalan akibatnya punctum untuk melakukan kontak dengan bola mata sering terjadi. Nyeri merupakan keluhan yang sering dan mungkin di telinga, menyebar lebih luas di atas kepala, leher bawah atau ke mata. Hal ini biasanya terjadi selama beberapa hari dan mungkin mendahului palsy hingga 72 jam, tetapi kadang-kadang datang pada beberapa hari setelah lumpuh dan bisa berat dan persisten. Nyeri tekan pada foramen stylomastoideum mungkin terjadi. Gejala-gejala lain dari BP termasuk rasa sakit dan mati rasa pada sisi yang terkena wajah, terutama di pelipis, daerah mastoid, dan sepanjang sudut mandibula. Mulut mungkin kering karena penurunan sekresi saliva dan sensasi rasa berubah pada dua pertiga anterior lidah dan hyperaesthesia lengkap pada distribusi saraf trigeminal serta hyperacusis pada sisi yang terkena (Garg, 2012). 5. Klasifikasi BP telah diklasifikasikan ke dalam 5 kategori berikut sesuai dengan perjalanan klinis penyakit: unilateral non-berulang, berulang unilateral, bilateral simultan, baik bilateral dan berulang bilateral.

6. Different Diagnosis Onset yang bertahap dan durasi kelumpuhan wajah dengan nyeri wajah terkait juga konsisten dengan lesi space-occupying. Selain kasus dengan BP, minimal penebalan saraf wajah dengan redaman kontras yang mungkin diamati juga dalam kasus Guillan Syndrome Bare, pasca operasi, kelumpuhan wajah yang traumatis dan radioterapi berikut, kelemahan wajah pusat unilateral (otot wajah bagian bawah) mungkin karena lesi dari korteks kontralateral, subcortical white matter, atau kapsul internal. Selain kelemahan wajah, gejala dapat mencakup hemiparesis, kehilangan hemisensory, atau hemineglect (gangguan berat persepsi spasial). Lyme neuroborreliosis- spirocheta Borrelia burgdorferi dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Lyme neuroborreliosis harus dicurigai pada pasien yang datang dengan kelemahan wajah terisolasi dan yang memiliki riwayat gigitan kutu dengan ruam atau yang tinggal di daerah di mana penyakit lyme adalah endemik. Tumor yang melibatkan saraf wajah terhitung kurang dari 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf wajah. Tumor harus dicurigai jika kemajuan kelemahan selama beberapa minggu, jika massa hadir di telinga, leher, atau kelenjar parotis, dan jika tidak ada perbaikan fungsional terlihat dalam waktu 4 sampai 6 minggu (Garg, 2012). 7. Diagnosis Baru-baru ini perhatian terfokus pada virus Herpes Simpleks tipe I (HSV-1) yang dianggap sebagai penyebab inflamasi tersebut. Hal ini berdasarkanpada penelitian Mukarami dkk dikutip dari Desatnik yang mendeteksi DNA HSV-1 pada 79% pasien Bell’s palsy dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Menurut Holland10 (2008) HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus Bell’s palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13% kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam bentuk Ramsay

Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan saraf fasialis yang idiopatik. Infeksi virus Herpes Zoster ini juga berhubungan dengan prognosis yang jelek dan menimbulkan inflamasi saraf yang irreversibel. Untuk menentukan adanya virus ini, dapat digunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mengisolasi DNA virus pada cairan endoneural saraf fasialis selama fase akut. Selain itu dapat pula dilakukan biopsi pada otot sekitar daerah auricular bagian posterior yang dipersarafi oleh saraf fasialis (Edward, 2012). Menurut Yanagihara dkk., yang dikutip dari Singhi berdasarkan studi yang dilakukannya terhadap etiologi, derajat, sisi lesi dan progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bell’s palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu : -3 minggu) Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat menyebabkan edema saraf. -9 minggu) Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang.

Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf (Edward, 2012). Pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok serta pemeriksaan lokalis pada daerah wajah, tidak ditemukan kelainan. Hasil pemeriksaan audiometri dan timpanometrinya normal. Reflek stapedius juga baik. Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani

pemeriksaan

THT

yang

lengkap

seperti

pemeriksaan

otoskopi,

pemeriksaan massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari N.VII dan N.VIII.2 Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka dianjurkan pemeriksaan Auditory

Brainstem Response (ABR) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Edward, 2012). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan kelopak mata dalam melindungi kornea (Edward, 2012). Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis kasus Bell’s palsy, kecuali bila dicurigai adanya penyebab yang lain. Pemeriksaan radiologi dilakukan bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), ada riwayat trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan (Edward, 2012). Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu neoplasma tulang temporal, tumor otak, tumor parotis atau untuk mengevaluasi multiple sklerosis. Gambaran MRI pada kasus Bell’s palsy dapat berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap (Edward, 2012). Dalam mendiagnosis Bell’s palsy perlu dibedakan apakah kelumpuhannya parsial (inkomplit) atau komplit. Sistim House-

Brackmann digunakan untuk menentukan derajat kerusakan saraf fasialis dengan cara menilai fungsi motorik otot-otot wajah. Sistem

HouseBrackmann terdiri dari 5 derajat. Derajat I berfungsi normal, derajat II disfungsi ringan, derajat III dan IV disfungsi sedang, derajat V disfungsi

berat dan derajat VI merupakan kelumpuhan total. Derajat II-V merupakan kelumpuhan parsial sedangkan derajat VI merupakan kelumpuhan komplit. (Edward, 2012). Pada metoda Freyss dinilai 4 komponen yaitu pemeriksaan fungsi motorik dari sepuluh otot wajah, tonus otot, sinkinesis dan hemispasme. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Perancis. Pemeriksaan reflek stapedius tidak dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan Singhi dkk, yang mengatakan bahwa lokasi lesi saraf fasialis sering terdapat pada segmen labirin, dimana pada segmen ini terdapat ganglion genikulatum. Segmen ini merupakan segmen tersempit dalam kanalis fasialis sehingga bila terjadi inflamasi ringan saja pada saraf, dapat menyebabkan kompresi saraf tersebut (Edward, 2012). Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis ini dilakukan beberapa pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes gustometri dan tes salivasi. Tes Schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf Petrosus dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukan kerusakan pada Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialis di proksimal ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan (Edward, 2012). Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada kasus Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu (Edward, 2012). Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf khorda timpani dengan menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa

manis, asam dan asin. Tes ini sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus Wharton’s dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit. Bila produksi saliva berkurang dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi baik. Menurut Quinn dkk., pada kasus Bell’s palsy sering terdapat kesenjangan topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan reflek stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan, tetapi fungsi salivasinya masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demyelinisasi di sepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer (Edward, 2012). 8. Penatalaksanaan Tiemstra dkk., mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat

bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus (Edward, 2012). Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi, menurut Tiemstra dkk., prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk., prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total pemberian prednison 10 hari) (Edward, 2012). Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya diduga virus herpes zoster, maka dosis

Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari. Kombinasi penggunaan kortikosteroid dan antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau intravena (Edward, 2012). Di samping terapi obat-obatan, pada kasus Bell’s palsy juga dilakukan perawatan mata dan fisioterapi. Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial

tarsorrhaphy (Edward, 2012). Menurut Sukardi, fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Di samping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari atau dengan faradisasi (Edward, 2012). Terapi pembedahan pada kasus Bell’s palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menunjukkan

penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid (Edward, 2012). 9. Prognosis Prognosis Bell’s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan. Kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bell’s palsy dengan House-Brackmann kurang dari derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen (Edward, 2012). Menurut Yeo dkk., EnoG merupakan alat yang dapat membantu memperkirakan prognosis penyakit. Alat ini dapat mencatat compound action potential dari otot fasialis setelah diberikan stimulasi elektrik supramaksimal pada saraf fasialis bagian distal dari foramen stilomastoid. Rekurensi pada kasus Bell’s palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-anak. Chen dkk., melaporkan terdapat 6% kasus Bell’s palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bell’s palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit (Edward, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Edward, Yan and Munilson, Jacky and Triana, Wahyu. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy.

http://repository.unand.ac.id/id/eprint/17446. Diakses tanggal 7 September 2013. Garg, Kavita Nitish et al. 2012. Bell’s Palsy : Aetiology, Classification, Differential Diagnosis and Treatment Consideration : A Review. www.journalofdentofacialsciences.com. 1(1): 1-8. Kubik, Mark et al. 2012. Familial Bell’s Palsy: A Case Report and Literature Review. Case Reports in Neurological Medicine. 2012: 1-4.

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close