Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

Published on January 2017 | Categories: Documents | Downloads: 48 | Comments: 0 | Views: 368
of 16
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

1

Gibb dan Goldziher: Biografi dan Pemikirannya*
Oleh: Muhammad Ziyad, Muhammad Hasbi
Muhammad Satori, Najmi Faza, Nur Ahsan

A. Konteks Studi
Sisi menarik dari Gibb dan Goldziher, secara historis mereka tercatat
dalam agregat orientalis dengan peran antagonisme yang tinggi terhadap Islam.
Pengaruh mereka juga sangat signifikan di dalam Islam, terutama sejauh
penulusuran penulis adalah Ignaz Goldziher dengan paham Ingkar Sunnah yang
dipeloporinya. Memang, paham ini bukan merupakan gagasan autentik
Goldziher. Tengku Azhar mencatat,1 paham ini tumbuh subur pada abad ke-2
Hijriyah, bertepatan dengan the Golden Age Abbasiyah. Imâmunâ al-Syâfi‘î
mengidentifikasi paham ini ke dalam tiga bagian: ada yang menolak seluruh
Sunnah, ada pula yang menolak selama Sunnah tersebut dipandang tidak
concern dengan al-Qur’an, dan ada yang hanya menolak Sunnah berstatus ahad
saja. Tetapi, 127 tahun lalu Goldziher telah menghidupkan kembali paham ini,
bahkan mencetuskan gerakan Ingkar Sunnah. Apa yang dilakukan Goldziher
menuai sukses besar. Terbukti, paham dan gerakan Ingkar Sunnah kemudian
menyebar ke seluruh dunia. Di Mesir, salah satu tokohnya adalah Dr. Ali Hasan
Abdul Qadir, Dr. Thaha Husein, Dr. Ahmad Amin, dan Abu Royyah. Sementara
di Indonesia, pada tahun 80an muncul Azwar Syamsu. Dan dalam
perkembangannya muncul lagi tokoh-tokoh baru semisal Abdur Rahman,
Sanwani, Lukman Saad, dan seterusnya. Menurut penelitian, aliran Ingkar
Sunnah di Indonesia pada mulanya diprakarsai oleh Marinus Taka, seorang
keturunan Indo-Jerman yang tinggal di Depok lama, Jawa Barat. Sebagian dari
mereka memang sudah dibui. Tetapi paham ini sangat mungkin masih
berseliweran di mana-mana. Di sinilah, yang ketiga, tugas kita sekarang lebih
dari sekedar bagaimana mengumandangkan realitas masa lalu itu dalam
kekinian, tetapi juga perlu disertai upaya memberi “pertolongan pertama”
terhadap riwayat yang terpelanting itu dari kebenaran. Dengan kata lain, apa

*

Karya tulis ini merupakan pembaharuan hasil revisi tugas makalah yang pernah diajukan
pada mata kuliah Orientalisme, di bawah bimbingan Iwan Kuswandi, M.Pd.I, semester VII Institut
Dirosat Islamiyah Al Amien Prenduan, Sumenep, 2014/2015.
1
Tengku Azhar, Gerakan Ingkar Sunnah Mengancam Sunnah, diakses pada tanggal, 19
Oktober 2014, dari http://forumstudysekteislam.wordpress.com

2

yang salah dalam sejarah adalah tugas kita sekarang untuk meluruskannya,
sedemikian rupa sehingga kesalahan itu tidak kembali terulang secara massif.
Dalam hal ini, apa yang dikatakan George Santayana, seorang filsuf Spanyol,
kiranya sudah cukup jelas, “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk
untuk mengulanginya.”2
Khawatirnya, karena tulisan ini tidak merujuk langsung pada sumber
yang ideal, nanti hanya akan menjadikan tulisan ini subjektif belaka. Walau pun
memang, tidak ada pengalaman yang tidak subjektif. Tetapi paling tidak, dengan
mengembalikan semua data pada referensi semestinya akan dapat mengurangi
kecenderungan subjektivitasnya.
Siapa sebenarnya sosok H.A.R. Gibb dan Ignaz Goldziher? Seperti apa
pula pemikiran mereka tentang Islam? Dan bagaimana kita menyikapi
konfrontasi pemikiran mereka?
B. H.A.R. Gibb (1895-1971)
a. Curriculum Vitae
Nama
Hidup
Keluarga
Ayah
Ibu
Istri
Anak-Anak
Pendidikan

Profesi

: Hamilton Alexander Rosskeen Gibb
: 02 Januari 1895 – 22 Oktober 1971
: Alexander Crawford Gibb
: Jane Ann Gardner
: Hellen Jessie Stark
: 1. Ian
2. Dorothy Greenslade
: 1. Royal High School, Edingburg
2. Edinburg University
3. London University
: 1. Guru Besar Bahasa Arab di London
2. Guru Besar Bahasa Arab di Oxford
3. Guru Besar Bahasa Arab di Harvard
4. Direktur Harvard’s Center For Middle Estern
Studies
5. Penulis

b. Rekam Jejak3
1895. Ketika itu dalam suasana tahun baru (new year). Lembaran Januari di
Alexandria, Mesir, masih tanggal 02. Seiring dengan itu, sepasang
kekasih asal Skotlandia, Alexander Crawford Gibb dan Jane Ann
Gardner, tengah berbahagia atas kelahiran buah hati mereka, Hamilton
Alexander Rosskeen Gibb atau biasa disebut Gibb.

2

Sejarah, diakses pada tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://id.wikipedia.org.
Tulisan ini diadaptasi dari dua sumber utama, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, diakses
pada tanggal, 21 Oktober 2014, dari http://www.conservapedia.com dan http://an.wikipedia.org.
3

3

1897. Ini tentu adalah tahun yang paling menyedihkan bagi seorang Jane
Ann Gardner. Karena sejak tahun ini, ia harus kehilangan suaminya
dan membesarkan buah hatinya sebatang kara, di negeri yang sama
sekali asing.
1900. Jane Ann Gardner akhirnya memutuskan untuk kembali ke Skotlandia
dengan membawa serta Gibb yang sudah berumur 5 tahun. Selama 4
tahun kemudian, di Skotlandia, Gibb menjalani kursus privat.
1904. Gibb untuk pertama kalinya menempuh pendidikan formal di Royal
High School, Edingburg. Di sekolah itu, Gibb menekuni bidang
Classical Studies.
1912. Lulus dari Royal High School, Gibb melanjutkan studinya dalam
program kehormatan bahasa Semit, Edingburg University.
1913. Gibb harus kehilangan sosok ibu yang talah mengandung, melahirkan,
dan membesarkan dirinya, bahkan satu-satunya yang paling berharga
dalam hidupnya sepanjang 16 tahun ini.
1914. Dalam sejarah kemanusiaan dunia, ini adalah tahun pertama meletusnya perang global paling mematikan di Eropa, meminjam istilah
Charles à Court Repington “The First World War” (Perang Dunia I).
Perang ini melibatkan dua kekuatan besar dunia, antara aliansi
Britania Raya, Prancis, dan Rusia, dengan aliansi Jerman, AustriaHongaria, dan Italia. Berlangsung dari tanggal, 28 Juli 1914 – 11
November 1918, perang ini telah menelan puluhan juta orang. 4
Pendidikan Gibb pun menjadi terganggu.
1917. Untuk tugas militer, Gibb dikirim ke Prancis, selanjutnya ke Italia.
Selama tugas itu Gibb memberikan service terbaik. Tak heran kalau
kemudian ia dianugrahi gelar Master of Arts.
1919. Perang global sudah usai. Gibb meninggalkan Skotlandia menuju
Inggris. Ia mempelajari bahasa Arab di School of Oriental and African
Studies, London University.
1921. Gibb mulai menata karir dengan mengajar bahasa Arab pada sekolah
almamaternya, di Inggris. Kegiatan ini berlangsung hingga 1937.
1922. Gibb menerima gelar MA dari School of Oriental and African Studies,
London University setahun setelah ia mengabdikan diri di sekolah

4

Perang Dunia, diakses pada tanggal, 05 Desember 2014, dari http://id.wikipedia.org

4

almamaternya itu. Di tahun ini pula Gibb menikahi gadis pujaannya,
Hellen Jessie Stark.
1923. Usia pernikahan Gibb sebetulnya baru berumur setahun, tetapi Gibb
mungkin sudah sangat siap untuk memulai perubahan besar dalam
hidupnya, di mana ia akan menjadi sosok ayah yang bisa dibanggakan,
sekaligus suami bagi istri yang tengah bersiap melahirkan putra
pertama mereka tahun ini. Gibb memberi nama puteranya itu Ian
(1923-2005).
1926. Dorothy Greenslade adalah puteri kedua Gibb dan Stark yang lahir
selang 3 tahun dari Ian.
1930. Gibb menerima gelar profesor dari School of Oriental and African
Studies, London University sekaligus menggarap suatu proyek dengan
menjadi editor untuk Encyclopedia of Islam.
1937. Gibb hengkang dari London menuju Oxford. Ia aktif sebagai guru
besar dan meraih gelar profesor bahasa Arab dari St. John’s College.
1949. Muhammadanism karya Gibb diterbitkan dan menjadi sebuah basic
text yang digunakan pelajar Islam Barat (western students of Islam).
1955. Gibb menjadi direktur Harvard’s Center For Middle Estern Studies. Di
tahun yang sama, Gibb meraih dua gelar profesor sekaligus, profesor
bahasa Arab dan profesor universitas dari Harvard.
1971. Gibb menghembuskan nafas terakhirnya pada 22 Oktober. Selama
hidupnya, Gibb terlibat dalam berbagai asosiasi dan menulis tidak
sedikit buku.
c. Pemikiran H.A.R. Gibb tentang Islam
Pemikiran Gibb tentang Islam bisa dilihat dari berbagai karyakaryanya. Said mencatat, hampir semua karya tulis Gibb mengenai Islam
dan bahasa Arab mengusung tema utama ketegangan antara Islam sebagai
suatu kenyataan Timur yang transendental dan bersifat memaksa, dengan
realitas-realitas pengalaman manusia sehari-hari. 5 Interpretasi terbaik dari
pernyataan tema tersebut, bahwa Timur dipandang merupakan suatu belahan
dunia sebagai hunian sosiologis yang selalu dibelenggu oleh dogma-dogma
yang meniscayakan segenap penganutnya harus tunduk dan patuh secara
penuh dengan tentu saja tanpa menghilangkan sama sekali dispensasidispensasi yang sudah diatur ketat dalam setiap kepercayaan Timur yang
5

Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur
Sebagai Subjek, (Pen.) Ahmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p. 432.

5

kompleks dan dinamis. Keniscayaan akan totalitas kepatuhan semacam itu
jelas dapat menggiring pada satu spekulasi bahwa sosiologis Timur terdiri
dari “robot-robot” agama yang menyandera kebebasan mutlak manusia demi
kepercayaan-kepercayaan terhadap adanya yang lain di luar materi semesta
ini. Gibb, sebagaimana disebut Said, selalu terpancing untuk lebih banyak
mempelajari realitas kehidupan beragama semacam itu dalam eksotisme
masyarakat Timur, daripada mempelajari masyarakat itu sendiri. Karena
itulah, Said menyebut Gibb sebagai sosok orientalis yang sangat “religius”. 6
Namun demikian, pemikiran Gibb tentang itu semua tidak lahir dari ruang
hampa. Pemikiran Gibb lebih merupakan reaksi dari intensitas berbagai
persinggungannya dengan banyak tokoh sepanjang sejarah. Salah satu tokoh
yang paling awal memengaruhi alam pimikiran Gibb adalah Duncan
MacDonald.7
Sampai di sini, sebelum membicarakan konstruksi pemikiran Gibb,
ada baiknya penulis perlu memaparkan terlebih dahulu hal-ihwal yang
menyangkut latar-belakang pemikirannya. Dalam catatan Said, pasca dua
Perang Dunia, penguasaan Barat atas Timur belum selesai. Di saat yang
sama, ketegangan antara Barat dan Timur memang semakin meningkat.
Namun Barat pantang menyerah. Barat tetap berhasrat menguasai Timur.
Untuk itu, strategi yang digunakan kali ini perlu dirubah dengan melalui
pendekatan kebudayaan, tepatnya dengan mengkaji literatur-literatur Timur.
Barat, menurut Gibb, perlu memperhatikan kondisi kultural Timur secara
keseluruhan, beberapa di antaranya karena Timur kala itu telah menjadi
sejenis tantangan bagi Barat, dan karena Barat tengah dihantam krisis
kebudayaan paling mengerikan yang sebagian disebabkan oleh semakin
berkurangnya kekuasaan Barat atas kawasan-kawasan dunia pada umumnya,
dan oleh ancaman-ancaman seperti Barbarisme, kepentingan-kepentingan
teknis yang sempit, kegersangan moral, nasionalisme yang keras, dan
sebagainya.8 Gibb sendiri, yang oleh Said dianggap sebagai orientalis terbaik
selama periode dua Perang Dunia, mengkaji keseluruhan budaya Timur
secara anti positivistik, intuitif, dan simpatik. Dengan cara itu, Gibb berhasil
menyajikan Timur dengan lebih kritis. Namun, apa yang dilakukan Gibb
sebetulnya tidak benar-benar tulus. Said menaruh kecurigaan besar semua itu
6

Ibid., p. 409.
Ibid., p. 429.
8
Ibid., p. 397-399.
7

6

ada hubungannya dengan upaya menundukkan Timur terhadap Barat. Harus
dipahami betapa oleh para orientalis, termasuk Gibb, Timur tetap dipandang
harus diletakkan sebagai entitas yang rendah; dan sebaliknya, di saat yang
sama citra Barat perlu terus ditingkatkan. Sebagai implikasinya muncul
gagasan-gagasan semisal ketidakmampuan Timur untuk berdagang dan
untuk mengatur ekonomi secara rasional, hingga gagasan-gagasan tentang
Islam, dalam hubungannya dengan Kristen dan Yahudi, yang harus terus
dipandang oleh para orientalis sebagai suatu tipe dari sebuah kebudayaan
Timur yang sangat mencemaskan dan mengancam eksistensi Barat-Kristen
serta agama-agama lain. Maka Islam harus diperlakukan tak lebih sebagai
suatu agama yang tidak boleh tidak harus disajikan dengan citra yang begitu
menakutkan. Semua dilakukan semata-mata agar ancaman-ancaman Timur
terhadap Barat yang sudah mulai terasa pasca Perang Dunia II dapat segera
diatasi secara sistematis.9
Sekarang, saatnya mendiskusikan pemikiran-pemikiran Gibb secara
spesifik tentang Islam. Said menuturkan, Gibb memiliki pandangan yang
diadopsinya dari pemikiran MacDonald, pertama, bahwa Islam adalah
sistem kehidupan yang kohern. Sistem tersebut dikohernkan oleh doktrin,
metode praktik keagamaan, dan gagasan tentang tatanan masyarakat, dan
bukan oleh masyarakat itu sendiri yang mengatur hidupnya dengan sistem
tersebut.10 Pandangan ini sepenuhnya benar. Al-Qur’an bahkan dengan tegas
menyebut jati dirinya sebagai Teks yang universal. Ini artinya tidak ada satu
pun di dalam Teks otoritatif itu yang tidak disinggung. Dan, setiap bagian
dari dictum al-Qur’an bersifat kohern, saling mengukuhkan, dan tidak ada
yang kontradiktif. Yang demikian karena al-Qur’an merupakan kebenaran,
dan seperti telah diungkapkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa “kebenaran tidak
akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, tetapi saling mencocokinya,
dan bahkan menjadi saksi atasnya.” 11
Kedua, selama ini Islam tidak bisa menanggulangi kesulitan-kesulitan
epistemologis dan metodologis dalam memandang suatu objek. Pandangan
ini setidaknya mewakili aspek mentalitas Timur. Karena Islam dan Timur
pada umumnya memiliki kecenderungan untuk terlalu mudah percaya
kepada hal-hal yang Gaib hingga tidak mampu menyusun suatu sistem bagi
9

Ibid., p. 399-404.
Ibid., p. 429.
11
Dikutip Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis
Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), p. 5.
10

7

hal-hal yang bisa dilihat. Dengan kata lain, seperti dikatakan MacDonald,
begitu mudahnya Timur-Islam dikuasai oleh suatu gagasan hingga tidak
mampu melihat hal-hal yang lain. Akibatnya, Timur-Islam kata MacDonald
tidak memiliki pandangan yang utuh tentang kehidupan dan tidak mampu
memahami bahwa teori kehidupan harusnya meliputi semua kenyataan.
Pernyataan-pernyataan tersebut mengandung makna bahwa Islam dan Timur
tidak mampu menghadirkan sendiri sistem pengetahuan yang lebih duniawi
oleh karena keterpakuan dan kecenderungannya pada persoalan-persoalan
metafisis. Ini jelas berbeda dari watak Barat yang sekular. Menurut Said,
pemikiran semacam ini tidak lain hanya untuk menunjukkan bahwa TimurIslam adalah berbeda dari Barat. Dan ini sesungguhnya lebih merupakan
suatu pengulangan yang mencerminkan sejenis keputusan dari para
orientalis, dan sama sekali bukan kenyataan yang sebenarnya tentang TimurIslam. Padahal, kata Said, tak seorang pun mengingkari fakta pencapaian
luar biasa dari sains Islam. Dan, ketika manusia Timur dikatakan berbeda
dari manusia Barat lantaran terlalu mudah dikuasai oleh suatu gagagasan,
tidak disadari bahwa orientalisme juga begitu mudah dikuasai oleh gagasan
tentang perbedaan antara Barat dan Timur. 12 Namun, Said mungkin lupa
bahwa kemajuan sains Islam hanyalah suatu “pinjaman” dari warisan tradisi
Barat yang diwakili Yunani pada masa lampau. Ilmu pengetahuan yang telah
diharamkan Barat berabad-abad telah dibawa ke dalam dunia Islam dengan
berpijak pada spirit wahyu, sehingga itu kemudian menjadikan Islam sebagai
lampion peradaban. Dan Gibb, maupun MacDonald, juga tidak menyadari
betapa China sebagai representasi Timur telah jauh menembus kemajuan
Islam dan Barat di bidang ilmu alam. Tak heran apabila Nabi saw bahkan
mewanti-wanti umtanya untuk menuntut ilmu hingga negeri China (wa law
bi al-Shîn).
Ketiga, konsekuensi dari watak Islam yang lemah seperti di atas, dan
di saat yang sama kemudian Islam mengadopsi pola keilmuan maupun
kehidupan Barat yang sekular, Gibb, dan juga para orientalis lain, kemudian
melihat Islam sebagai sebuah superstruktur yang telah dirusak oleh
nasionalisme, agitasi komunis, dan westernisasi ―yang kesemua itu bersifat
politis― maupun oleh upaya-upaya Muslim sendiri untuk ikut campur

12

Edward W. Said, Orientalisme…. Op.cit., p. 429-431.

8

dengan wewenang intelektualnya.13 Gibb menulis dalam sebuah artikelnya,
“Whether Islam?”, dalam Whether Islam? A Survey of Modern Movements
in the Moslem World yang disunting Gibb pada 1932:
“Islam, sebagai suatu agama telah sedikit kehilangan kekuatannya.
Tetapi, Islam, sebagai penengah kehidupan sosial (dalam dunia
modern), tengah disingkirkan. Di samping atau bahkan di atas Islam,
kekuatan-kekuatan baru tengah mengerahkan dan memaksakan
kekuasaannya yang terkadang bertentangan dengan tradisi-tradisi dan
ajaran-ajaran sosial Islam. Dengan kata lain yang lebih sederhana, apa
yang terjadi adalah sebagai berikut: sebelum saat ini, orang Muslim
sudah terbiasa tidak memiliki kepentingan atau fungsi politik. Begitu
pula, mereka begitu sulit menjangkau literatur-literatur yang ada
kecuali literatur keagamaan. Mereka juga tidak mempunyai perayaanperayaan dan kehidupan komunal kecuali yang berhubungan dengan
agama. Bahkan sangat sedikit atau bahkan tak seorang pun dari
mereka yang melihat dunia luar kecuali dengan kacamata agama.
Konsekuensinya, bagi mereka, agama berarti segala-galanya. Namun
demikian, situasi berubah pada saat ini. Kini, lebih-lebih di Negara
yang telah maju, kepentingan telah meluas dan kegiatan-kegiatan
orang-orang Muslim tidak lagi dibatasi oleh agama. Mereka juga
dihadapkan pada masalah-masalah politik. Mereka membaca –atau
orang-orang membacakannya pada mereka– segudang artikel
mengenai beragam masalah yang sama sekali tidak ada hubunngannya
dengan agama. Bahkan, sudut pandang keagamaan nyaris tidak
dibahas sama sekali. Masalah-masalah yang ada diputuskan dengan
dengan prinsip-prinsip yang sama sekali berbeda.”14
Kita tentu tidak bisa memungkiri apa yang dikatakan Gibb. Di tengah era
imperialisme Barat yang menghancurkan hampir seluruh dunia Islam, ada
banyak sekali kaum intelektual yang dengan terpaksa mengakui segala apa
yang datang dari “luar” untuk kepentingan-kepentingan politis yang sebenarnya tanpa disadari menjadi boomerang bagi hilangnya identitas Islam yang
sejati. Agama bukan lagi hal yang utama bagi Timur-Islam. Bagaimana
China yang pada akhirnya menjadi komunis yang anti Tuhan, dan Turki
yang membuang semua dimensi religiusitasnya, dan banyak hal-hal lainnya.
Pada bagian ini, selanjutnya akan dikupas pemikiran Gibb tentang
Muhammad. Dalam Mohammedanism, Gibb menulis sebagai berikut:
“Bagi kita tidak perlu dibicarakan lagi bahwa pengaruh yang
diperoleh Muhammad atas kemauan dan kecintaan para sahabatnya
adalah disebabkan oleh pribadinya. Tanpa hal tersebut niscaya mereka
akan sedikit sekali menaruh perhatian terhadap klaim sebagai seorang
Nabi, karena kualitas moral yang dimilikinya, bukan lantaran ajaran
keagamaan, bahwa masyarakat Madinah memohonkan bantuannya.
Akhirnya, tanpa disangsikan lagi, bahkan juga dalam pandangan para
13
14

Ibid., p. 433.
Ibid., p. 434.

9

sahabatnya, kedua aspek (risalah dan pribadinya) di dalam
kehidupannya itu tidak dapat dipisahkan/dibedakan, begitu pula dalam
pandangan seluruh Muslim dari generasi-generasi belakangan.”15
Berdasarkan pernyataan Gibb di atas, Muhammad memiliki pengaruh besar
dan dicintai sahabat-sahabatnya, bukan semata-mata karena risalah yang
dibawanya begitu sempurna, melainkan karena kepribadian Muhammad
yang anggun sehingga sanggup meruntuhkan kerasnya hati dan pikiran para
sahabatnya, bahkan Umar sekalipun yang popularitas keganasannya tak
terbantahkan menjadi takluk di hadapan Muhammad. Tetapi, selanjutnya
Gibb menulis:
“Bila seseorang memalingkan perhatian dari kegiatan umum dalam
kehidupan Muhammad itu kepada kepribadiannya dan pengaruhnya
dalam bidang moral dan sosial, tidaklah selamanya mudah diperoleh
titik temu antara kebencian theologis dari penulis-penulis Barat pada
masa lampau dengan apologi yang tidak meyakinkan dari penulispenulis pada zaman baru. Penelitian sumber-sumber belum cukup
jauh membuat kita mampu membedakan dengan penuh keyakinan
antara hadits yang murni pada masa-masa permulaan dengan ciptaanciptaan belakangan. Mestilah diakui bahwa tokoh Muhammad itu
menderita sekali oleh omong-kosong tentang tetek-bengek yang
berkaitan dengan Muhammad oleh para pengikutnya pada generasigenerasi belakangan.”16
Di sini, Gibb kemudian sangat menyayangkan, mengapa sahabat-sahabat
Nabi tega merendahkan keagungan sosok yang dipuja dan dielu-elukan itu
dengan menisbatkan Hadits-Hadits palsu kepadanya, justru ketika Nabi
sudah tiada. Memang, Hadits-Hadits palsu bertebaran di mana-mana sejak
tumbuhnya konflik politik dalam internal Islam pada masa-masa konfrontasi
antara Ali dan Mu’awiyah. Hadits-Hadits palsu, menurut Gibb, telah
mencoreng reputasi Nabi di satu pihak, dan Islam di lain pihak. Di antara
Hadits-Hadits palsu itu misalnya hadits yang diriwayatkan Humaid dari
Anas yang menyatakan, “Akulah pamungkas para Nabi. Tidak ada Nabi lagi
setelahku, kecuali Allah menghendaki.” 17
Yang tak kalah menarik dari pemikiran Gibb adalah komentarnya
terhadap mistisisme Islam. Gibb mengatakan, Islam sebenarnya bukanlah
agama yang memiliki pandangan-pandangan terlalu asketik. Pandangan
Islam lebih duniawi. Misalnya, Islam mengutuk pembujangan dan sistem
15

Dikutip Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam: Antara yang
Menghujat dan yang Memuji, (Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2004), p. 135.
16
Ibid., p. 135-136.
17
ِ
ِ
ِ
ِ
Redaksi hadits tersebut berbunyi, “ُ‫اء الل‬
َ ‫ االَّ أَ ْن يَ َش‬، ‫ الَنَب َّى بَ ْعدى‬. ‫”أَنَا َخاتَ ُم النَّبيِّ يْ َن‬. Mahmud
Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, (Surabaya: Al Hidayah, t.t.), p. 91.

10

kependetaan. Kalau pun memang kemudian ditemukan proses asketisme itu
di dalam Islam, bisa dipastikan merupakan bias dari proses pergumulannya
dengan dunia luar.18 Apa yang dikatakan Gibb tidak bisa disalahkan begitu
saja, pun demikian tidak juga sepenuhnya bisa dibenarkan. Bahwa Islam
“tidak sepenuhnya” memiliki pandangan yang “terlalu” asketis, itu benar.
Islam merupakan agama yang lengkap dan utuh, yang memberikan tempat
kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiriah) dan esoterik
(batiniah) sekaligus. Memberikan tekanan kepada salah satu dari dua aspek
tersebut justru akan menghasilkan kepincangan dan menyalahi prinsip
keseimbangan dalam Islam. 19 Tetapi, apabila dikatakan bahwa mistisisme
hanyalah efek persentuhan peradaban Islam dengan dunia luar, ini tidak
benar. Tanpa pengaruh dari luar pun, sebetulnya kemunculan mistisisme di
dalam Islam memiliki kemungkinan yang cukup kuat. Ada banyak sekali
ayat dan hadits yang mendukung faham dan praktek mistisisme. Misalnya di
dalam al-Qur’an dikatakan:
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat padanya daripada
urat lehernya.”20
Di dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah juga telah ditegaskan:
“Allah menyatakan, ‘Siapa pun yang menentang kekasihku, aku pasti
memeranginya. Aku menyayangi hamba yang setelah memenuhi
kewajibannya ia mendekatkan diri kepadaku dengan amal ibadah
sunnah yang paling kusenangi. Dan ketika aku sudah menyayanginya,
akulah yang menjadi telinga dan matanya, tangan dan kakinya; dan
jika memohon, pasti aku kabulkan; dan jika meminta perlindungan,
pasti aku lindungi.”21
C. Ignaz Goldziher
a. Curriculum Vitae
Nama
Hidup
Pendidikan

18

: Ignac Yitzhaq Yehuda Goldziher
: 22 Juni 1850 – 13 November 1921
: 1. Budapest University
2. Berlin University
3. Leipzig University
4. Leiden University
5. Wina University
6. Al Azhar University

Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 105-106.
Asep Usman Ismail, “Masalah al-Walâyah dalam Tasawuf: Pandangan Hakîm al-Tirimdzî
dan Ibn Taymiyyah,” Paramadina, Jurnal Pemikiran Islam, Volume I, Nomor, 2, 1999, p. 120.
20
Q.s. Qâf/50: 16.
21
Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Riyâdh al-Shâlihîn min Kalâm Sayyid alMursalîn, (Pekalongan: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), p. 194-195.
19

11

Profesi

: Penulis

b. Rekam Jejak
1850. Ini adalah tahun di mana Goldziher dilahirkan di Székesfehérvár pada
paruh akhir bulan Juni, tanggal 22. Ia belajar di banyak universitas
ternama atas dukungan József Eötvös, Menteri Budaya Hongaria. 22 Ia
45 tahun lebih tua dari Gibb.
1855. Tetapi, inteligensi Goldziher tak bisa diragukan. Diceritakan misalnya
bagaimana Goldzhier pada usianya yang masih 5 tahun ternyata sudah
mampu membaca Bible asli dalam bahasa Ibrani.23 Fantastis!
1865. Menginjak usianya yang ke-15, Goldziher mendaftarkan diri di
Budapest University, Hungaria, untuk memulai program S1-nya. Di
sana, ia bertemu dengan Arminius Vambery (1803-1913). Vambery
seorang dosen di Budapest dan menjadi orang pertama yang banyak
mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Seperti Goldziher,
Vambery sendiri adalah keturunan Yahudi.
1866. Di usia yang ke-16, Goldziher mampu menerjemahkan dua buah kisah
Turki ke dalam bahasa Hungaria. 24 Ini menunjukkan sosok Goldziher
yang luar biasa.
1869. Goldziher melanjutkan studinya di Berlin, kemudian lanjut ke Leipzig
University. Di Leipzig, ia dibimbing selama dua tahun oleh seorang
orientalis Jerman, Heinrich Fleisher, seorang pakar filologi.
1870. Goldziher meraih gelar doktoralnya dengan karya, “Penafsir Taurat
dari Tokoh Yahudi Abad Pertengahan.” 25 Berikutnya, Goldziher
masih menerustkan studinya ke Leiden University dan Wina.
1871. Ini adalah tahun di mana Goldziher kembali ke Budapest.
1872. Goldziher menjadi Dosen Privat (Privatdozent) di almamaternya, di
Budapest. Privatdozent ketika itu masih merupakan jabatan khusus
untuk intelektual muda yang diberi kesempatan mengajar di kampus,
namun tanpa diagaji. Bersamaan dengan itu, Goldziher terpilih
sebagai anggota Akademi Sains Hungaria.26

22

Ignác Goldziher, diakses pada tanggal, 01 November 2014, dari http://en.wikipedia.org
Ibnu Abdil Bar, Mengenal Ignaz Goldziher, diakses pada tanggal, 06 Desember 2014, dari
http://www.oaseimani.com
24
Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, diakses pada tanggal, 06 Desember
2014, dari http://www.gaulislam.com
25
Ibid.
26
Ibnu Abdil Bar, Mengenal Ignaz Goldziher…. Loc.cit.
23

12

1873. Di bawah naungan pemerintah Hongaria, ia memulai perjalanan
melalui Suriah, Palestina, dan Mesir hingga 1874. Di Suriah, ia belajar
pada Syekh Thahir al-Jazairi. Sementara di Mesir, Dor Bey, seorang
keturunan Swiss yang bekerja di Kementerian Mesir memperkenalkan
Goldziher pada Riyad Pasha, seorang Menteri Pendidikan Mesir.
Kepada Riyad, Goldziher mengemukakan keinginannya untuk belajar
di Al Azhar University. Melalui rekomendasi sang menteri, Goldziher
akhirnya diterima di Al Azhar, Kairo. Ketika itu Mufti Masjid Al
Azhar adalah ‘Abbasi. ‘Abbasi sempat termakan kelihaian Goldziher
dalam berdiplomasi. Untuk melancarkan misinya, Goldziher merubah
nama menjadi Ignaz al-Majari, bahkan sempat mengaku Muslim dan
ikut serta dalam shalat Jum’at. Di Al Azhar, Goldziher menjadi murid
dari beberapa masyâyikh sekelas al-Asmawi, Mahfud al-Maghribi, dan
lain-lain.
1889. Goldziher mendapat penghargaan besar dengan menerima medali
emas dari Stockholm Oriental Congress.
1890. Goldziher menerbitkan Muhammedanische Studien.
1921. Goldziher menutup mata di Budapest pada tanggal, 13 November.
c. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Islam
Goldziher termasuk orientalis berbahaya. Ia tidak saja menyerang Hadits
sebagai sumber otoritatif (hujjiyyah) kedua dalam Islam, tetapi juga
menyerang hukum Islam dengan menuduhnya macam-macam.
Dalam Muhammedanische Studien, Goldziher menyebut tidak ada
jaminan bahwa sebagian besar Hadits ―artinya tidak seluruhnya― bersifat
autentik. Hal ini mengingat falsifikasi Hadits yang pernah menjadi fenomena
tersendiri dalam perjalanan sejarah klasik perkembangan Islam menuju
kematangannya.27 Hadits-Hadits, waktu itu, tidak lebih dari kesan-kesan atau
bahkan kebohongan-kebohongan yang dijustifikasikan (mâ udhîfa) kepada
Nabi untuk kepentingan-kepentingan menyesatkan, misal memerangi orangorang durhaka, memuluskan pencapaian tujuan-tujuan kekuasaan, melawan
isme-iseme yang bertentangan, dan semacamnya. Fenomena ini “terutama”
dapat ditemui pada masa-masa pergolakan sosio-politik di bawah tahta
dinasti Umawi. 28 Suatu misal, al-Tirmidzi pernah mengeluarkan sebuah
27

Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Islam (Jakarta: Gema Insani,
2008), p. 29.
28
Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 84-85.

13

Hadits ilegal (al-mardûd) versi Hakim al-Atsram dari Abu Tamimah alHujaymi.
“Seseorang yang menggauli perempuan suci atau haid melalui
anusnya, ia benar-benar sudah kafir sesuai dengan apa yang turun
kepada Muhammad.”
Komentar al-Tirmidzi setelah itu bahwa ia sendiri sama sekali tidak pernah
mengenal Hadits ini kecuali dari versi yang bersangkutan, yaitu Hakim alAtsram dari Abu Tamimah al-Hujaymi. Selebihnya ia mengatakan bahwa alBukhari bahkan menvonis Hadits ini dha‘îf dari segi mata rantai perawinya.
Sebab, seperti diungkapkan al-Thahhan, ulama “menyepakati” kelemahan
pribadi Hakim al-Atsram di dalam hubungannya dengan relasi periwayatan.
“Fîhi lîn!” tegas Ibnu Hajar.29
Hal-hal lain yang menyebabkan Hadits perlu dicurigai adalah dugaan
bahwa mata rantai periwayatan Hadits sebenarnya terbentuk dari beberapa
kekuatan yang hidup sesudah Nabi. Kekuatan-keuatan ini kemungkinan
bersekongkol sehingga apa yang diriwayatkan kemudian seolah-olah
menjadi padu dan saling mengukuhkan satu sama lain.

30

Pandangan

Goldziher ini didukung oleh sejumlah orientalis lainnya. Henri Lammens
dan Leone Caetani, misalnya, mereka berseloroh bahwa historisitas mata
rantai periwayatan Hadits baru dimulai jauh setelah redaksi Hadits ada, atau
menurut Josef Horovitz, historisitas mata rantai periwayatan Hadits baru
diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama sebagai pengaruh
dari tradisi lisan dalam Yahudi. 31 Tuduhan ini keliru. Sejak awal, Nabi
sering menggelar pertemuan-pertemuan yang diikuti oleh tidak sedikit kaum
Muslimin. Sangat mungkin ketika itu mereka menerima dan menyebarkan
Hadits-Hadits dalam versi yang sama, baik secara tekstual maupun secara
substansial. Apalagi redaksi Haditsnya mudah diingat. Ini artinya, persoalan
mata rantai periwayatan bukan hal yang baru. Di sini mungkin perlu
ditekankan bahwa kualitas Hadits tidak semata-mata ditentukan oleh
kuantitas mata rantai perawi. Betapa pun banyaknya jumlah perawi, tetapi
data pribadinya buruk atau redaksi Haditsnya cacat, tentu saja akan dapat
menurunkan derajat suatu Hadits yang diriwayatkan.
Lebih lanjut, faktor lain yang tak kalah penting dari itu bahwa dalam
perkembangannya, menurut Goldziher, redaksi Hadits tidak sedikit yang
29

Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîts…. Op.cit., p. 64-65.
Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 84-85.
31
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Islam…. Op.cit., p. 30.
30

14

kontra kemajuan.32 Kita tidak bisa mengelak dari tuduhan ini, karena jumlah
Hadits palsu juga tidak sedikit. Tetapi, tidak bisa kemudian ini dijadikan
landasan untuk menvonis semua Hadits yang sepintas bertentangan atau
tidak dapat menopang perkembangan mutakhir sebagai Hadits palsu. Ada
kriteria-kriteria yang cukup “ketat” untuk menetapkan status sebuah Hadits.
Terhadap hukum Islam, Goldziher memandangnya tak lebih sebagai
hasil dari pengaruh perundang-undangan Romawi. Dalam bahasa Sheldon
Amush, bahwa “sesungguhnya perundang-undangan Muhammad tidak lain
hanyalah Gestanian dengan kemasan Arab.” Muhammad diklaim menguasai
hukum Romawi, dan para fuqahâ’ memiliki jaringan dengan madzhabmadzhab qânûn Romawi serta hukum-hukum yang berlaku dan diajarkan di
sana, di negara-negara taklukan Islam bekas imperium Romawi. Hal itu
ditengarai dengan adanya kemiripan-kemiripan antara hukum Islam dan
perundang-undangan Romawi. 33 Muhammad memang pernah berlabuh di
Syam selama dua kali. Dan setelah ekspansi Islam di sejumlah wilayah
imperium Romawi, baik sekolah-sekolah maupun mahkamah-mahkamah
Romawi begitu pun produk hukumnya memang tidak sepenuhnya punah.
Benar bukan tepat di wilayah Islamnya, tetapi bagaimana di sekitarnya,
seperti di Roma dan Constantin. Kemudian apakah semua kenyataan itu
cukup kuat untuk menjadi bukti adanya pengaruh hukum Romawi dalam
hukum Islam semata hanya karena ditemukan kemiripan-kemiripan di antara
keduanya? Ada-tidaknya kemiripan tidak serta merta menandakan adatidaknya pengaruh.34 Bukankah betapa banyak orang yang mirip di dunia ini,
tetapi sama sekali tidak memiliki ikatan darah?
D. Kesimpulan
Apa yang dapat disimpulkan di sini adalah sebagai berikut.
Pemikiran Gibb.
1. Semua karya tulis Gibb mengenai Islam dan bahasa Arab mengusung tema
utama ketegangan antara Islam sebagai suatu kenyataan Timur yang
transendental dan bersifat memaksa, dengan realitas-realitas pengalaman
manusia sehari-hari.

32

Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 84
Ibid., p. 99-100.
34
Ibid., p. 100-101.
33

15

2. Pemikiran Gibb dipengaruhi oleh berbagai persinggungannya dengan banyak
tokoh sepanjang sejarah. Salah satu tokoh yang paling awal memengaruhi
alam pimikiran Gibb adalah Duncan MacDonald.
3. Barat perlu memperhatikan kondisi kultural Timur secara keseluruhan.
4. Islam adalah sistem kehidupan yang kohern.
5. Islam tidak bisa menanggulangi kesulitan-kesulitan epistemologis dan
metodologis dalam memandang suatu objek.
6. Islam merupakan sebuah superstruktur yang telah dirusak.
7. Pengaruh yang diperoleh Muhammad atas kemauan dan kecintaan para
sahabatnya adalah disebabkan oleh pribadinya, bukan ajarannya.
8. Muhammad pasti menderita sekali dengan adanya falsifikasi Hadits oleh para
pengikutnya.
9. Islam sebenarnya bukanlah agama yang memiliki pandangan-pandangan
terlalu asketik. Pandangan Islam lebih duniawi.
Pemikiran Goldziher.
1. Tidak ada jaminan bahwa sebagian besar Hadits ―artinya tidak seluruhnya―
bersifat autentik.
2. Hadits-Hadits tidak lebih dari kesan-kesan bahkan kebohongan-kebohongan
yang dijustifikasikan (mâ udhîfa) kepada Nabi untuk berbagai kepentingankepentingan yang menyesatkan
3. Falsifikasi Hadits dapat ditemui pada masa-masa pergolakan sosio-politik di
bawah tahta dinasti Umawi.
4. Mata rantai periwayatan Hadits sebenarnya terbentuk dari beberapa kekuatan
yang hidup sesudah Nabi. Kekuatan-keuatan ini kemungkinan bersekongkol
sehingga apa yang diriwayatkan kemudian seolah-olah menjadi padu dan
saling mengukuhkan satu sama lain.
5. Dalam perkembangannya, redaksi Hadits tidak sedikit yang kontra kemajuan.
6. Hukum Islam tak lebih sebagai hasil dari pengaruh perundang-undangan
Romawi.

16

BIBLIOGRAFI

Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi. Riyâdh al-Shâlihîn min Kalâm
Sayyid al-Mursalîn. (Pekalongan: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t.)
Achmad Zuhdi DH. Pandangan Orientalis Barat tentang Islam: Antara yang
Menghujat dan yang Memuji. (Surabaya: Karya Pembina Swajaya,
2004)
Aksin Wijaya. Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis
Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009)
Asep Usman Ismail. “Masalah al-Walâyah dalam Tasawuf: Pandangan Hakîm
al-Tirimdzî dan Ibn Taymiyyah.” Paramadina, Jurnal Pemikiran Islam,
Volume I, Nomor, 2, 1999
Edward W. Said. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan
Timur Sebagai Subjek. (Pen.) Ahmad Fawaid. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010)
Hafsa Mutazz. Sosok Orientalisme dan Kiprahnya. Diakses pada tanggal, 06
Desember 2014, dari http://www.gaulislam.com
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb. Diakses pada tanggal, 21 Oktober 2014,
dari http://an.wikipedia.org
Hamilton Alexander Rosskeen Gibb. Diakses pada tanggal, 21 Oktober 2014,
dari http://www.conservapedia.com
Ibnu Abdil Bar. Mengenal Ignaz Goldziher. Diakses pada tanggal, 06 Desember
2014, dari http://www.oaseimani.com
Ignác Goldziher. Diakses pada tanggal, 01 November 2014, dari http://en.
wikipedia.org
Mahmud Thahhan. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. (Surabaya: Al Hidayah, t.t.)
Perang Dunia. Diakses pada tanggal, 05 Desember 2014, dari http://id.
wikipedia.org
Sejarah. Diakses pada tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://id.wikipedia.org
Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Islam. (Jakarta: Gema
Insani, 2008)
Tengku Azhar. Gerakan Ingkar Sunnah Mengancam Sunnah. Diakses pada
tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://forumstudysekteislam.wordpress.
com

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close