Im Sonia

Published on June 2016 | Categories: Documents | Downloads: 46 | Comments: 0 | Views: 475
of 68
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir. Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009). Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009). Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia. Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran, stress, atau depresi. Sisanya adalah

1

2

gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu yang mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia (Listiani, 2007). Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang kesehatan tidur, nikotin dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat stimulan. Stimulan merupakan zat yang memberikan efek menyegarkan seperti halnya kafein dan coklat. Namun demikian, ada juga sebagian efek dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok dapat merasa tenang dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009). Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini dibuktikan dengan penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009). Pada penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009). Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk

3

merokok setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok (Prasadja,2009). Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan kualitas tidur yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin. Dari perekaman gelombang otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa perokok lebih banyak tidur ringan dibandingkan tidur dalam; terutama pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok (Prasadja,2009). Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 225 miliar batang rokok (Nusantaraku,2009). Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok aktif di provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan

4

merokok di Jawa Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai 50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008). Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya perokok di usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9 persen, lebih banyak dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1 persen atau 5,8 persen untuk kelompok usia di atas 30 tahun (Profil Kesehatan Indonesia,2008). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puskesmas Lurah Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon pada bulan April 2010 di beberapa sekolah di wilayah kerjanya, didapatkan hasil bahwa presentasi terbesar perokok remaja terdapat di STM PGRI Plumbon. Dari 41 siswa yang dijadikan sampel penelitian didapatkan hasil,33 orang adalah perokok dan hanya 8 orang saja yang tidak merokok. Dengan kata lain, 80,49% siswa adalah perokok (Data Puskesmas Lurah,2010). Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun

dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon. Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola tidur (insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat, perokok sedang dan perokok ringan.

5

1.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi masalah penelitian adalah : Tingginya angka perokok aktif pada siswa di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon. Tingginya angka perokok aktif ini dapat

meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia) pada siswa di sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat menyebabkan kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

1.3. 1.3.1

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

1.3.2

Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada remaja usia 1519 tahun di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

6

2. Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon. 3. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon. 4. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon setelah dikontrol oleh variabel stress sebagai perancu.

1.4. 1.4.1

Manfaat Penelitian Bagi Pembaca Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).

1.4.2

Bagi Sekolah dan Siswa Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan siswa pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk menghindari gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi tidur itu sendiri.

7

1.5. 1.5.1

Ruang Lingkup Penelitian Ruang Lingkup Tempat Lingkup tempat penelitian ini adalah di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

1.5.2

Ruang Lingkup Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2010.

1.5.3

Ruang Lingkup Sasaran Penelitian ini ditujukan kepada seluruh siswa STM PGRI Plumbon Kelas I, II, dan III pada tahun ajaran 2009/2010.

8

.BAB II TINJAUAN TEORITIS

2.1. KONSEP ISTIRAHAT DAN TIDUR 2.1.1. Pengertian Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang. Dengan istirahat dan tidur yang cukup,tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. Istirahat dan tidur sendiri memiliki makna yang berbeda pada setiap individu. Secara umum, istirahat berarti suatu keadaan tenang,relaks, tanpa tekanan emosional,dan bebas dari perasaan gelisah. Jadi, beristirahat bukan berarti tidak melakukan aktivitas sama sekali. Terkadang,berjalan-jalan di taman juga bisa dikatakan sebagai suatu bentuk istirahat (Hidayat, 2006) Sedangkan tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan aktifitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fsiologis tubuh,dan penurunan respons terhadap stimulus eksternal. Hampir sepertiga dari waktu kita,kita gunakan untuk tidur. Hal tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa tidur dapat memulihkan atau mengistirahatkan fisik setelah seharian beraktivitas, mengurangi stress dan kecemasan, serta

8

9

dapat meningkatkan kemampuan dan konsenterasi saat hendak melakukan aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2006). 2.1.2. Fisiologi Tidur Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua system pada batang otak,yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki selsel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran; memberi stimulus visual,pendengaran,nyeri,dan sensori raba;serta emosi dan proses berfikir. Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR (Qimi, 2009). 2.1.3. Ritme Sirkadian Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda. Pada manusia,bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor lingkungan (mis; cahaya, kegelapan, gravitasi dan stimulus elektromagnetik). Bentuk bioritme yang paling umum adalah ritme sirkadian-yang melengkapi siklus selama 24 jam. Dalam hal ini, fluktuasi denyut jantung,tekanan darah,temperature,sekresi hormone, metabolisme dan penampilan serta perasaan individu bergantung pada ritme sirkadiannya. Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang sangat kompleks. Sinkronisasi sirkadian terjadi jika individu memiliki pola tidur-bangun yang mengikuti jam biologisnya:

10

individu akan bangun pada saat ritme fisiologis paling tinggi atau paling aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebut paling rendah (Qimi, 2009). 2.1.4. Tahapan Tidur Menurut Hidayat (2006), berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan bantuan alat elektroensefalogram (EEG), elektro-okulogram (EOG), dan elektrokiogram (EMG), diketahui ada dua tahapan tidur, yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). 2.1.4.1. Tidur NREM Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombangpendek karena gelombang otak yang ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek daripada gelombang alfa dan beta yang ditunjukkan orang yang sadar. Pada tidur NREM terjadi penurunan sejumlah fungsi fisiologi tubuh. Di samping itu,semua proses metabolisme termasuk tanda-tanda vital, metabolisme, dan kerja otot melambat. Tidur NREM sendiri terbagi atas 4 tahap (I-IV). Tahap I-II disebut sebagai tidur ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur dalam (deep sleep atau delta sleep). 2.1.4.2. Tidur REM Tidur REM biasanya terjadi setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-30 menit. Tidur REM tidak senyenyak

11

tidur NREM, dan sebagian besar mimpi terjadi pada tahap ini. Selama tidur REM,otak cenderung aktif dan metabolismenya meningkat hingga 20%. Pada tahap ini individu menjadi sulit untuk dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba, tonus otot terdepresi, sekresi lambung meningkat,dan frekuensi jantung dan pernapasan sering kali tidak teratur. 2.1.5. Siklus Tidur Selama tidur , individu melewati tahap tidur NREM dan REM. Siklus tidur yang komplet normalnya berlangsung selama 1,5 jam, dan setiap orang biasanya melalui empat hingga lima siklus selama 7-8 jam tidur. Siklus tersebut dimulai dari tahap NREM yang berlanjut ke tahap REM. Tahap NREM I-III berlangsung selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV selama ± 20 menit. Setelah itu, individu kembali melalui tahap III dan II selama 20 menit. Tahap I REM muncul sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit (Hidayat, 2006). 2.1.6. Faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur. Menurut Qimi (2009) factor-faktor tersebut adalah penyakit, lingkungan, kelelahan, gaya hidup, stress emosional, stimulan dan alcohol, diet, merokok,dan motivasi.

12

2.1.6.1. Penyakit Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distress fisik yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak daripada biasanya.Di samping itu, siklus bangun-tidur selama sakit juga dapat mengalami gangguan. 2.1.6.2. Lingkungan Faktor lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat proses tidur. Tidak adanya stimulus tertentu atau adanya stimulus yang asing dapat menghambat upaya tidur. Sebagai contoh, temperatur yang tidak nyaman atau ventilasi yang buruk dapat mempengaruhi tidur seseorang. Akan tetapi, seiring waktu individu bisa beradaptasi dan tidak lagi terpengaruh dengan kondisi tersebut. 2.1.6.3. Kelelahan Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Semakin lelah seseorang,semakin pendek siklus tidur REM yang dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya siklus REM akan kembali memanjang. 2.1.6.4. Gaya hidup Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitasnya agar bisa tidur pada waktu yang tepat.

13

2.1.6.5. Stress emosional Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang. kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini

menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur. 2.1.6.6. Stimulant dan alcohol Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur. Sedangkan konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

mengganggu siklus tidur REM. Ketika pengaruh alkohol telah hilang, individu sering kali mengalami mimpi buruk. 2.1.6.7. Diet Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya terjaga di malam hari. Sebaliknya, penambahan berat badan dikaitkan dengan peningkatan total tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam hari. 2.1.6.8. Merokok Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh. Akibatnya, perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.

14

2.1.6.9. Medikasi Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. hipnotik dapat mengganggu tahap III dan IV tidur NREM, metabloker dapat menyebabkan insomnia dan mimpi buruk, sedangkan narkotik (mis; meperidin hidroklorida dan morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan

menyebabkan seringnya terjaga di malam hari. 2.1.6.10. Motivasi Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi perasaan lelah seseorang. sebaliknya, perasaan bosan atau tidak adanya motivasi untuk terjaga sering kali dapat mendatangkan kantuk. 2.1.7. Gangguan tidur yang umum terjadi Menurut Qimi (2009) ada beberapa gangguan tidur yang umum terjadi yaitu : 2.1.7.1. Insomnia Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur ini umumnya ditemui pada individu dewasa. Penyebabnya bisa karena gangguan fisik atau karena faktor mental seperti perasaan gundah atau gelisah. Ada tiga jenis insomnia: 1. Insomnia inisial. Kesulitan untuk memulai tidur.

15

2. Insomnia intermiten. Kesulitan untuk tetap tertidur karena seringnya terjaga. 3. Insomnia terminal. Bangun terlalu dini dan sulit untuk tidur kembali. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi insomnia antara lain dengan mengembangkan pola tiduristirahat yang efektif melalui olahraga rutin, menghindari rangsangan tidur di sore hari, melakukan relaksasi sebelum tidur (misalnya; membaca, mendengarkan music),dan tidur jika benar-benar mengantuk. 2.1.7.2. Parasomnia Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau muncul saat seseorang tidur. Gangguan ini umum terjadi pada anak-anak. Beberapa turunan parasomnia antara lain sering terjaga (mis; tidur berjalan, night terror), gangguan transisi bangun-tidur (mis; mengigau), parasomnia yang terkait dengan tidur REM (mis; mimpi buruk),dan lainnya (misalnya; bruksisme). 2.1.7.3. Hipersomnia Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan

16

sistem saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan metabolisme (mis; hipertiroidisme). Pada kondisi tertentu, hipersomnia dapat digunakan sebagai mekanisme koping untuk menghindari tanggung jawab pada siang hari. 2.1.7.4. Narkolepsi Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tak

tertahankan yang muncul secara tiba-tiba pada siang hari. Gangguan ini disebut juga sebagai “serangan tidur” atau sleep attack. Penyebab pastinya belum diketahui. Diduga karena kerusakan genetik system saraf pusat yang menyebabkan tidak terkendalinya periode tidur REM. Alternatife seperti;

pencegahannya

adalah

dengan

obat-obatan,

amfetamin atau metilpenidase, hidroklorida, atau dengan antidepresan seperti imipramin hidroklorida. 2.1.7.5. Apnea saat tidur Apnea saat tidur atau sleep apnea adalah kondisi terhentinya nafas secara periodic pada saat tidur. Kondisi ini diduga terjadi pada orang yang mengorok dengan keras, sering terjaga di malam hari, insomnia, mengatup berlebihan pada siang hari, sakit kepala disiang hari, iritabilitas, atau mengalami perubahan psikologis seperti hipertensi atau aritmia jantung.

17

2.2. KONSEP REMAJA Seringkali dengan gampang orang mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau disebut juga usia belasan. Hurlock (1999) menyatakan bahwa “Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa”. Remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak dan masa kehidupan orang dewasa. Bila ditinjau dari segi tubuhnya, mereka terlihat sudah dewasa tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja primitive) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Anak dianggap sudah dewasa bila sudah mampu mengadakan reproduksi. Istilah adolescence seperti yang digunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, sosial dan fisik (Hurlock, 1999) Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu yang terkait (seperti Biologi dan Ilmu Faal) remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik di mana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya (Sarlito, 2002 dalam Soamole, 2006). Dalam pengertian ini remaja dipandang dari sudut fisik dimana individu disebut remaja apabila individu tersebut secara fisik telah mampu untuk melakukan reproduksi.

18

Selain itu juga, Sugeng (1995) mengatakan “Bahwa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak dan masa kehidupan dewasa dan remaja sering menunjukkan kegelisahan, pertentangan, dan keinginan mencoba segala sesuatu.” Dalam hal ini remaja dikatakan sebagai individu yang masih belum jelas identitas dirinya atau juga disebut dengan individu yang masih mencari jati dirinya. Misalnya saja remaja mempunyai rasa keingin tahuan yang tinggi, jarang sekali remaja yang memegang prinsip atas dirinya. Pada tahun 1974, WHO memberi definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yang biologik, psikologik, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut : 1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan yang relative lebih mandiri . (Muangman (1980) dalam Soamole, 2006). Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah. Untuk definisi remaja di Indonesia diartikan dengan pertimbangan pertimbangan sebagai berikut :

19

1) Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik) 2) Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap usia akil balig, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak. 3) Mulai ada tanda-tanda menyempurnakan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral. 4) Orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memnuhi persyaratan kedewasaan secara rasional maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja. Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Remaja tidak termasuk kedalam golongan anak-anak, tetapi juga tidak termasuk golongan dewasa. Remaja berada di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Biasanya masa remaja dianggap telah mulai ketika anak secara seksual menjadi matang, dan kemudian berakhir pada saat ia mencapai usia yang secara hukum disebut usia dewasa yaitu ± 24 tahun. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berusia belasan tahun (12-21 tahun) yang tergolong dalam masa transisi antara masa anak-anak menuju masa dewasa. Dalam masa transisi inilah remaja cenderung untuk ingin disebut sebagai orang

20

yang sudah dewasa. Agar terkesan sebagai orang yang sudah dewasa remaja cenderung melakukan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang dewasa, salah satu contohnya adalah bagi remaja laki-laki dengan merokok (Sugeng, 1995).

2.3. KEBIASAAN MEROKOK Seseorang dikatakan perokok jika telah menghisap minimal 100 batang rokok. Merokok dapat mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri, banyak penyakit yang telah terbukti menjadi akibat buruk merokok baik secara langsung maupun tidak langsung. Tembakau atau rokok paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Rokok secara luas telah menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut Departemen Kesehatan Dalam Gizi dan Promosi Masyarakat, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok yang tinggi. Variasi produk dan harga rokok di Indonesia telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu produsen sekaligus konsumen rokok terbesar di dunia (Pdpersi, 2003). Rata- rata merokok yang dilakukan oleh kebanyakan laki-laki dipengaruhi oleh faktor psikologis meliputi rangsangan sosial melalui mulut, ritual masyarakat, menunjukkan kejantanan, mengalihkan diri dari kecemasan, kebanggaan diri. Selain faktor psikologis juga dipengaruhi oleh faktor fisiologis yaitu adiksi tubuh terhadap bahan yang dikandung rokok

21

seperti nikotin atau juga disebut kecanduan terhadap nikotin (Sitepoe, 1997). 2.3.1. Kategori Perokok Menurut Bustan (2000) dan Trim (2006), kategori perokok dibagi menjadi dua yaitu : 2.3.1.1. Perokok Pasif Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok sigaret kemungkinan besar berbahaya terhadap mereka yang bukan perokok, terutama di tempat tertutup. Asap rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin. 2.3.1.2. Perokok Aktif Perokok aktif adalah asap rokok yang berasal dari isapan perokok atau asap utama pada rokok yang dihisap (mainstream). Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

22

2.3.2. Jumlah Rokok Yang Dihisap Menurut Bustan (2000) dan Bangun (2008), jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari. Kategori perokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu : 2.3.2.1. Perokok Ringan Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang per hari. 2.3.2.2. Perokok Sedang Disebut perokok sedang jika menghisap 10 – 20 batang per hari. 2.3.2.3. Perokok Berat Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang. Bila sebatang rokok dihabiskan dalam sepuluh kali hisapan asap rokok maka dalam tempo setahun bagi perokok sejumlah 20 batang (satu bungkus) per hari akan mengalami 70.000 hisapan asap rokok. Beberapa zat kimia dalam rokok yang berbahaya bagi kesehatan bersifat kumulatif (ditimbun), suatu saat dosis racunnya akan mencapai titik toksis sehingga akan mulai kelihatan gejala yang ditimbulkan (Sitepoe, 1997). 2.3.3. Lama Menghisap Rokok Menurut Bustan (2000) merokok dimulai sejak umur < 10 tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-response effect, artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya. Apabila

23

perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok sigaret dapat berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur awal merokok yang lebih dini (Bart, 1994). 2.3.4. Cara Menghisap Rokok Menurut Bustan (2000), cara manghisap rokok dapat dibedakan menjadi : 2.3.4.1. Begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal) 2.3.4.2. Ditelan sampai ke dalam mulut (dimulut saja) 2.3.4.3.Ditelan sampai di kerongkongan (isapan dalam) 2.3.5. Jenis Rokok Yang Dihisap Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatnya yaitu tembakau. Di Indonesia tembakau ditambah cengkeh dan bahan–bahan lain dicampur untuk dibuat rokok. Selain itu juga masih ada beberapa jenis rokok yang dapat digunakan yaitu rokok linting, rokok putih, rokok cerutu, rokok pipa, rokok kretek, rokok klobot dan rokok tembakau tanpa asap (tembakau kunyah) (Sitepoe, 1997). Dalam peraturan (PP) Nomor 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan, pemerintah tidak menentukan kandungan kadar nikotin sebesar 1,5 mg dan kandungan kadar tar serbesar 20 mg pada rokok kretek. Dan rokok kretek menggunakan tembakau rakyat. Tetapi menurut Direktur Agro Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) Yamin Rahman menyatakan kandungan kadar nikotin pada rokok kretek

24

melebihi 1,5 mg yaitu 2,5 mg dan kandungan kadar tar pada rokok kretek melebihi 20 mg yaitu 40 mg. Rokok kretek mengandung 60–70% tembakau, sisanya 30%–40% cengkeh dan ramuan lain.(Pdpersi, 2003).

2.4. KEBIASAAN MEROKOK PADA REMAJA Pada umumnya remaja itu selalu ingin bertualang, mencoba sesuatu yang belum pernah dialaminya. Mereka ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Dengan sembunyi sembunyi remaja pria mencoba merokok karena seringkali mereka melihat orang dewasa melakukannya, seolah-olah mereka ingin membuktikan bahwa mereka mampu berbuat seperti orang dewasa (Sugeng, 1995). Menurut Hurlock (1999) bahwa “Pada usia remaja rokok dan minuman alkohol digunakan sebagai lambang kematangan”. Begitu banyaknya fenomena sekarang ini yang dapat kita lihat bawa para remaja terlebih lagi remaja laki-laki sudah melakukan aktivitas merokok atau menjadi perokok. Harus kita sedihkan bahwa merokok bagi para remaja khususnya remaja yang masih berusia sekolah menengah sudah menjadi hal biasa dan dapat dibanggakan bagi mereka, bahkan banyak dari mereka yang sudah menjadi perokok aktif. Di Indonesia, anak-anak berusia muda mulai merokok disebabkan beberapa faktor diantaranya yaitu karena kemauan

25

sendiri, melihat teman-temannya, dan diajari atau dipaksa merokok oleh teman-temannya (Sitepoe, 1997). Merokok juga merupakan salah satu yang dilakukan oleh para remaja untuk menyatakan bahwa mereka diterima dan teridentifikasi menjadi suatu kelompok tertentu. Remaja cenderung merokok jika mereka: 1) Memiliki teman-teman atau keluarga yang merokok. 2) Sukar mengatakan "tidak", terutama kepada teman-teman atau orang orang yang ingin buat mereka terkesan. 3) Tidak mengetahui resikonya. (Darvill dan Powell, 2002 dalam Soamole, 2006). Dewasa ini banyak remaja (laki-laki) melakukan aktivitas merokok. Seperti yang dikemukakan Abu Al-Ghifari (2003) “Bagi remaja modern merokok merupakan satu jenis pilihan aktivitas yang populer dilakukan untuk memanfaatkan waktu senggang”. Bagi mereka merokok bukanlah suatu hal yang tabu tetapi sudah menjadi suatu hal yang biasa dilakukan di lingkungan sosial mereka. Merokok sudah menjadi kebiasaan bagi remaja di Indonesia. Kebiasaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang. Tidak ada aspek khusus dalam pembentukan kebiasaan, tetapi Corey (2001) menggolongkan kedalam dua faktor penentu kebiasaan yaitu paradigma tentang diri sendiri dan paradigma tentang kehidupan (Corey, 2001 dalam Soamole, 2006).

26

Untuk kebiasaan merokok pada remaja sendiri akan ditinjau beberapa hal mengapa remaja memiliki kebiasaan merokok, diantaranya: 2.4.1. Alasan remaja merokok. Begitu banyak sebab atau alasan yang disampaikan para remaja mengapa dia melakukan aktivitas merokok. Sebagian besar para remaja melakukan aktivitas merokok dikarenakan ia ingin terkesan dewasa, gagah atau “Macho”. Menurut Trim (2006), faktor pendorong remaja mulai melakukan aktivitas merokok, antara lain : 1) Rasa ingin tahu sampai menjadi ketergantungan. 2) Untuk meningkatkan kesan "kejagoan". 3) Hasrat berkelompok dengan kawan senasib dan sebaya. 4) Adanya stress atau konflik batin atau masalah yang sulit diselesaikan. 5) Dorongan sosial dari lingkungan yang "mendesak" remaja untuk merokok atau kalau tidak dianggap tidak solider dengan lingkungan sosialnya. 6) Ketidak tahuan akibat bahaya merokok Merokok pada anak-anak karena kemauan sendiri disebabkan ingin menunjukkan bahwa dirinya dewasa (Sitepoe, 2000). Alasan alasan yang menyebabkan seseorang merokok dan membuat merokok menjadi sesuatu yang menggairahkan bisa bermacam-macam dan bersifat pribadi. Seperti yang dikemukakan oleh Abu Al-Ghifari (2003)

27

“Alasan remaja laki-laki merokok adalah mereka membayangkan bahwa dengan merokok maka mereka dianggap sudah dewasa, tidak lagi anak kecil, dan bisa memasuki kelompok teman sebaya sekaligus kelompok yang mempunyai ciri gaya tertentu yaitu merokok”. Alasan utama lainnya remaja merokok adalah karena ajakan atau paksaan teman atau pengaruh lingkungan yang sukar ditolak.Bergabung dengan suatu kelompok tertentu bagi remaja masa kini mungkin merupakan hal yang penting. remaja ingin diidentifikasikan sebanyak mungkin dengan teman-teman sebaya mereka (Al Ghifari, 2003). 2.4.2. Lingkungan remaja yang mempengaruhi remaja merokok. Merokok pada remaja tidak begitu saja dikarenakan karena faktor remaja itu sendiri, selain itu juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhi. Menurut Trim (2006) ada tiga lingkungan yang dapat mempengaruhi remaja merokok di antara : 2.4.2.1. Lingkungan keluarga. Tidak sedikit remaja yang merokok dikarenakan di dalam lingkungan keluarganya ada yang merokok. Misalnya saja, seorang remaja laki-laki merokok dikarenakan melihat ayahnya suka merokok. Ia sangat kagum dengan ayahnya sehingga ia ingin seperti ayahnya dan remaja tersebut suka mengimitasikan tingkah ayahnya sampai pada kebiasaan buruk ayahnya yaitu merokok.

28

Selain hal tersebut, ada juga orang tua yang tidak keberatan anak remaja laki-lakinya merokok. 2.4.2.2. Lingkungan tempat tinggal. Selain lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal pun dapat mempengaruhi remaja merokok. Bila dalam suatu

lingkungan tempat tinggal merokok bukan merupakan suatu hal yang kurang baik, bahkan sampai anak kecil pun merokok terlebih lagi para remaja. Dalam lingkungan tempat tinggal di mana merokok pada remaja masih di anggap suatu hal yang tabu, maka para remaja akan merasa canggung bila merokok. Tetapi, bila lingkungan tempat tinggal mendukung remaja untuk merokok maka perilaku merokok pada remaja ini tidak akan bisa dikendalikan bahkan akan menciptakan banyak perokok. 2.4.2.3. Lingkungan pergaulan remaja. Lingkungan yang ketiga ini adalah lingkungan yang sangat menentukan pada remaja. Remaja cenderung mendengarkan atau melakukan apa yang dibenarkan dalam kelompoknya, dan remaja cenderung melawan pada orang dewasa (orang tua). Meskipun orang tua melarang remaja tersebut merokok, tetapi bila ia bergaul dengan sekelompok remaja yang merokok, maka kemungkinan besar remaja itu akan merokok.

29

2.4.2.4. Moment-moment saat merokok. Tidak semua perokok pada remaja melakukan aktivitas merokok terus menerus atau dengan seenaknya. Biasanya remaja mempunyai moment-moment (waktu-waktu) tertentu untuk

melakukan aktivitas merokok. Mereka melakukan aktivitas merokok mungkin hanya pada saat berkumpul dengan temannya, atau pada saat suasana tertentu misalnya berkemah atau mendaki gunung. Bagi remaja yang bukan benar-benar pecandu rokok, ia tidak melakukan aktivitas merokok jika tidak ada moment khusus. Misalnya saja merokok pada saat berkumpul dengan teman, mungkin dikarenakan ia ingin menghargai teman lainnya yang merokok atau tidak ingin dikucilkan oleh teman-temannya.

30

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI KONSEPTUAL, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1. KERANGKA KONSEP Berdasarkan tinjauan teoritis diatas maka dibuatlah kerangka konsep tentang hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia). Pada penelitian ini peneliti membatasi variabel – variabel yang diteliti sebagai berikut : 1. Variabel Independen adalah kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rokok yang dihisap per hari. Dengan sub variabel, perokok berat, perokok sedang,dan perokok ringan. 2. Variabel Dependen adalah gangguan pola tidur yang dikhususkan pada insomnia. 3. Variabel Perancu adalah stress. Stress dimasukan sebagai variabel perancu karena dapat berpengaruh terhadap variabel dependen (insomnia) maupun variabel independen (kebiasaan merokok).

30

31

Secara sistematis kerangka konsep dapat di gambarkan sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen

Kebiasaan Merokok Perokok berat Perokok sedang Perokok ringan Gangguan Pola tidur (Insomnia)

Stress

Ket : Variabel Penelitian Variabel Perancu

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Kebiasaan Merokok pada Remaja usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur ( insomnia )

32

3.2.

DEFINISI KONSEPTUAL 1. Insomnia Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas (Hidayat,2006). Pengukuran

insomnia dengan menggunakan skala insomnia Pittsburgh (2001).
Skala menggunakan 29 pertanyaan yang dapat mengidentifikasi adanya gangguan insomnia dengan skor 0-3 per item (Saryono, 2010).

2. Kebiasaan Merokok Adalah kebiasaan merokok berdasarkan pada jumlah rokok yang dihabiskan perhari. a. Perokok Berat Perokok yang menghabiskan rata-rata > 20 batang per hari. b. Perokok Sedang Perokok yang menghabiskan rata-rata 10-20 batang per hari. c. Perokok Ringan Perokok yang menghabiskan < 10 batang per hari. ( Bustan, 2000 ) 3. Stress Stres menurut Hans Selye dalam Sriati (2008) menyatakan bahwa stres adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Pengukuran stress dengan menggunakan skala DASS

33

(depression anxiety stress scale) yang berjumlah 7 item dengan skor 03 per item (Saryono, 2010).

3.3.

DEFINISI OPERASIONAL Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian

NO 1

VARIABEL Variabel Dependen Gangguan Pola Tidur (insomnia)

DEFINISI OPERASIONAL Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Adalah kebiasaan merokok berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap per hari

CARA UKUR Angket

ALAT UKUR Kuesion er

HASIL UKUR Insomnia=1 Jika skor pada alat ukur > 29 Tidak insomnia=2 Jika skor pada alat ukur ≤ 29

SKALA Ordinal

2

Variabel Independen Kebiasaan merokok pada remaja

Angket

Kuesion er

(Saryono, 2010) Perokok berat=1 Bila menghisap >20 batang per hari Perokok sedang=2 Bila menghisap 1020 batang per hari Perokok ringan=3 Bila menghisap <10 batang per hari (Bustan, 1997)

Ordinal

3

Variabel Perancu Stress

Adalah respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya.

Angket

Kuesion er DASS

Sangat berat=1 Jika skor > 20 Berat=2 Jika skor 15-19 Sedang=3 Jika skor 10-14 Ringan=4 Jika skor 7-9 Normal atau Tidak stress=5 Jika skor 0-6 (Saryono, 2010)

Ordinal

34

3.4.

HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Hα : Ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon. Ho : Tidak Ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 1519 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1.

RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian observasional atau survei dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian pada objek penelitian yang bersifat sesaat. Penelitian dan pengamatan pada variabel bebas dan variabel terikat dari

35

objek penelitian dilakukan secara bersamaan dalam waktu yang terbatas, artinya objek tidak diteliti atau diamati secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu.

4.2.

VARIABEL PENELITIAN Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel independen, variabel dependen dan variabel perancu. 4.2.1. Variabel Independen Variabel Independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (Sastroasmoro dan Ismael, 1995). Dalam penelitian ini variabel independennya adalah kebiasaan merokok pada remaja.

4.2.2. Variabel Dependen Variabel Dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Sastroasmoro dan Ismael, 1995). Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah gangguan pola tidur (insomnia). 4.2.3. Variabel Perancu Variabel perancu adalah jenis variabel yang berhubungan (asosiasi) dengan variabel independen dan berhubungan dengan variabel
35

36

dependen. Variabel ini dapat mempengaruhi variabel independen maupun dependen sehingga variabel ini dapat membawa kita pada kesimpulan yang salah. Dalam penelitian ini variabel perancu akan dieliminasi dengan teknik restriksi sehingga kesimpulan yang dihasilkan terbebas dari pengaruh variabel perancu (Sastroasmoro dan Ismael, 1995). Variabel perancu dalam penelitian ini adalah stress.

4.3.

POPULASI DAN SAMPEL 4.3.1. Populasi Berdasarkan lokasi penelitian yaitu di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas I, II dan III di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Keseluruhan subjek yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa yang pada tahun pelajaran 2009/2010 berstatus sebagai siswa di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan data yang diperoleh maka, perincian jumlah populasi penelitian adalah 119 siswa. 4.3.2. Sampel 4.3.2.1. Teknik Sampel

37

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Dalam penelitian ini semua anggota populasi dijadikan sebagai sampel penelitian. Alasan penelitian menggunakan penelitian populasi dikarenakan jumlah populasi yang diteliti dianggap tidak terlalu banyak dan dapat dijangkau peneliti. 4.3.2.2. Kriteria Sampel 4.3.2.2.1. Kriteria Inklusi 1. Siswa perokok aktif 2. Siswa yang bersedia menjadi responden 4.3.2.2.2. Kriteria Ekslusi 1. Siswa yang tidak hadir saat penelitian 2. Siswa yang tidak bersedia menjadi

responden.

4.3.2.3. Jumlah Sampel Jumlah sampel awal dalam penelitian ini adalah 119 siswa. Pada saat penelitian siswa yang hadir berjumlah 85 siswa. Dari 85 siswa tersebur siswa yang perokok aktif berjumlah 63 siswa. Setelah dibagikan angket, ternyata data yang valid dan dapat diolah sejumlah 51. Dengan metode restriksi untuk menghilangkan pengaruh variabel

38

perancu didapatkan sampel akhir dalam penelitian ini adalah 42 siswa.

4.4.

PENGUMPULAN DATA

4.4.1. Cara pengumpulan data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan angket yang berisi daftar pertanyaan kepada responden penelitian. 4.4.2. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner yang diberikan kepada reponsen adalah untuk mendapatkan gambaran tentang variabel kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rokok yang dihisap per hari. Kuesioner juga digunakan untuk mengidentifikasi variabel adanya gangguan pola tidur (insomnia) dan adanya stress sebagai variabel perancu. Kuesioner yang digunakan bersumber dari Saryono (2010) adalah kuesioner yang telah berstandar dan telah diuji validitas dan reliabilitas sehingga dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

4.5.

PENGOLAHAN DATA Pengolahan data adalah suatu hal yang sangat penting mengingat data yang terkumpul di lapangan masih merupakan data yang masih

39

mentah yang berguna sebagai bahan informasi untuk menjawab tujuan penelitian. Menurut Budiarto (2001), kegiatan dalam proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan tabulating data. 1. Editing Yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban, konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner. 2. Coding Yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses pengolahan data. 3. Entry Yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer. 4. Tabulating Yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti guna memudahkan analisis data

4.6.

ANALISA DATA

4.6.1. Analisa Univariat Merupakan analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dalam hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2005). Hasil analisis univariat akan disajikan dalam bentuk table, grafik dan narasi.

40

Rumus :

P=

F x100% N

Keterangan : P = Presentase F = Frekuensi N = Jumlah responden (Nursalam, 2000) Analisa univariat dalam penelitian ini meliputi gambaran distribusi dan presentasi siswa yang merokok, siswa yang insomnia, dan siswa yang mengalami stress. 4.6.2. Analisa Bivariate Analisis bivariate dimaksudkan untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:188). Dalam penelitian ini kebiasaan merokok merupakan variabel bebas dan gangguan pola tidur (insomnia) merupakan variabel terikat. Analisi bivariate dilakukan dengan menggunakan uji chi square (X2) dengan menggunakan α =0,05 dan 95% Confidence Interval (CI). Rumus chi kuadrat tersebut adalah sebagai berikut : X2= ∑(O-E) E Keterangan: X2 O = = Chi Kuadrat Nilai Hasil Pengamatan (Observed)

41

E

=

Ekspetasi (Expected)

(Nursalam,2000). Kriteria uji, apabila p < α maka H 0 ditolak, berarti ada hubungan antara dua variabel tersebut. Apabila p ≥ α maka H0 gagal ditolak atau Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut.

4.7.

Lokasi Dan Waktu Penelitian 4.7.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon. 4.7.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010.

4.8.

Prosedur Penelitian Langkah-langkah dalam prosedur penelitian adalah : 4.8.1. Tahap Persiapan 1. Menentukan judul penelitian 2. Memilih lahan penelitian 3. Bekerjasama dengan lahan penelitian untuk studi pendahuluan 4. Studi kepustakaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian 5. Menyusun proposal penelitian serta instrumen 6. Pelaksanaan seminar proposal

42

7. Perbaikan hasil seminar proposal 8. Menyusun instrumen dan perbaikan instrumen 9. Mengurus perizinan untuk pelaksanaan penelitian 4.8.2. Tahap Pelaksanaan 1. Mendapat izin melakukan penelitian dari institusi terkait. 2. Melakukan observasi responden dan menyebarkan kuesioner atau angket. 3. Mengumpulkan hasil kuesioner atau angket yang telah diisi oleh responden dan dilakukan tahap selanjutnya; 4. Melakukan analisa data 4.8.3. Tahap Akhir 1. Menyusun laporan hasil penelitian 2. Sidang atau presentasi hasil penelitian

4.9.

Etika Penelitian Untuk mencegah timbulnya masalah etik, maka dilakukan hal sebagai berikut: 1. Informed consent kepada responden tentang

perlunya penelitian, jika responden setuju maka diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti.

43

2.

Anonimity yang berarti bahwa kuesioner yang diisikan oleh responden tanpa memberikan data diri secara khusus (tidak mencantumkan nama responden).

3.

Privacy yang berarti identitas responden tidak akan diketahui oleh orang lain dan bahkan oleh peneliti itu sendiri.

4.

Bebas dari bahaya dimana penelitian ini tidak akan berdampak secara langsung terhadap diri responden atau tidak membahayakan.

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 5.1.1. Identitas Sekolah Nama Sekolah : SMK PGRI Plumbon

44

Status Sekolah NSS Akreditasi

: Swasta : 322021714001 : Program Teknik Otomotif Akreditasi A (Sangat Baik) Berlaku mulai Tahun ajaran 2009 sampai dengan 2014

Alamat Sekolah

: Jl. Pangeran Antasari Plumbon Cirebon. Telp. (0231) 320 890

5.1.2. Rekapitulasi Siswa Tahun Pelajaran 2009/2010 Tabel 5.1 Rekapitulasi Siswa Tahun Pelajaran 2009/2010 Jumlah Siswa Kelas Program Keahlian L P JML Teknik Otomotif / Teknik I 34 34 Kendaraan Ringan II III Teknik Otomotif / Teknik Kendaraan Ringan 47 1 48

Teknik Mekanik Otomotif 37 37 Jumlah 118 1 119 Sumber : Profil SMK PGRI Plumbon Tahun Ajaran 2009/2010 5.2. Hasil Penelitian 5.2.1. Gambaran Responden Penelitian
44

Responden dalam penelitian ini adalah seluruh siswa perokok aktif di STM PGRI Plumbon. Siswa yang hadir saat penelitian berjumlah 85 siswa dari 119 siswa secara keseluruhan. Dari 85 siswa tersebut, siswa yang perokok aktif berjumlah 63 dan yang tidak merokok berjumlah

45

22 siswa. Adapun distribusi siswa perokok dan bukan perokok adalah sebagai berikut: Tabel 5.2 Distribusi Jumlah Siswa Perokok dan Bukan Perokok No. 1. 2. Status Siswa Perokok Bukan Perokok Total Jumlah 63 22 85 Persentase (%) 74,12 25,88 100,0

Sumber : Data Penelitian, 2010. Berdasarkan data penelitian setelah dilakukan cleaning data dengan mengeliminasi data yang tidak valid maka dari 63 siswa perokok yang mengisi angket diperoleh jumlah data valid sebanyak 51 dan tidak valid sebanyak 12. Data yang tidak valid tersebut disebabkan oleh instrumen yang cacat dan adanya beberapa item yang tidak di jawab oleh siswa yang dapat menyamarkan analisa data. Selanjutnya berdasarkan jumlah data valid diatas dilakukan analisa data penelitian.

5.2.2. Analisa Univariat 5.2.2.1. Gambaran Kebiasaan Merokok Pada Remaja Berdasarkan data penelitian dapat

diketahui bahwa sebagian besar responden pada penelitian ini adalah perokok ringan yang

menghisap kurang dari 10 batang setiap harinya

46

sedangkan. Lebih jelasnya distribusi perokok berdasarkan jumlah rokok yang dihisap

responden per hari dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.3 Gambaran Kebiasaan Merokok Pada Remaja No. 1. 2. 3. Kebiasaan Merokok Perokok Ringan (<10 batang/hari) Perokok Sedang (10-20 batang/hari) Perokok Berat (> 10 batang/hari) Total Sumber : Data Penelitian, 2010. Berdasarkan data diatas didapatkan hasil bahwa siswa di STM PGRI Plumbon sangat didominasi oleh perokok ringan yang menghisap kurang dari 10 batang per hari sebanyak 41 siswa dengan persentase mencapai 80,4%. Jumlah perokok sedang pada siswa di STM PGRI Plumbon sebanyak 6 siswa (11,8%) dan perokok berat hanya 4 orang (7,8 %). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut : Jumlah 41 6 4 51 Persentase (%) 80,4 11,8 7,8 100,0

Grafik 5.1 Kebiasaan Merokok Pada Remaja

47

50

40 Frequency

30

20

10

0

Perokok Beratt

Perokok Sedang

Perokok Ringan

Kebiasaan Merokok Pada Remaja

5.2.2.2. Gambaran Gangguan Pola Tidur (insomnia) Berdasarkan data penelitian, sebagian besar siswa tidak mengalami insomnia yaitu sebanyak 40 siswa (78,4%) dan hanya 11 siswa yang mengalami insomnia (21,6%). Distribusi frekuensi gangguan pola tidur (insomnia) dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 5.4 Gambaran Gangguan Pola Tidur (insomnia) No. 1. Gangguan Pola Tidur Insomnia Jumlah 11 Persentase (%) 21,6

48

2.

Tidak Insomnia Total

40 51

78,4 100,0

Sumber : Data Penelitian, 2010. Tabel tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar siswa yang diteliti tidak mengalami insomnia (78,4%) dan hanya 21,4% saja yang mengalami insomnia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut : Grafik 5.2 Gangguan Pola Tidur (insomnia)

40

30

20

5.2.2.3. Gambaran Stress Pada Remaja Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar siswa tidak mengalami stress. Secara keseluruhan siswa yang tidak mengalami stress sebanyak 42 siswa (82,4%), yang mengalami stress ringan 5 siswa (9,8%), stress sedang 2 siswa (3,9%), stress

Frequency
10 0 insomnia tidak insomnia

Gangguan Pola Tidur (insomnia)

49

berat 2 siswa (3,9%), dan tidak ada seorangpun yang mengalami stress sangat berat (0%). Distribusi frekuensi stress pada remaja dapat dilihat pada table berikut : Tabel 5.5 Gambaran Stress Pada Remaja No. 1. 2. 3 4 5 Tingkatan Stress Stress Sangat Berat Stress Berat Stress Sedang Stress Ringan Normal Total Sumber : Data Penelitian, 2010. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut : Jumlah 0 2 2 5 42 51 Persentase (%) 0 3,9 3,9 9,8 82,4 100,0

Grafik 5.3 Stress Pada Remaja

50

50

Frequency

40

30

20

10

0

Berat

Sedang

Ringan

Normal

Stress Pada Remaja

5.2.3. Analisa Bivariat Analisa bivariat dalam penelitian ini hanya satu, yaitu mengkaji hubungan kebiasaan merokok pada remaja dengan gangguan pola tidur (insomnia). Tetapi, analisa bivariat dalam penelitian ini melalui dua tahap analisa. Hal ini dikarenakan adanya variabel perancu yaitu stress pada remaja. Analisa bivariat dalam penelitian ini meliputi analisa sebelum eliminasi variabel perancu dan setelah eliminasi variabel perancu. Analisa setelah mengeliminasi variabel perancu adalah analisa akhir yang lebih valid sehingga digunakan dalam menetapkan kesimpulan akhir.

5.2.3.1. Analisa Sebelum Eliminasi Variabel Perancu

51

Analisa ini untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja dengan gangguan pola tidur tanpa memperhitungkan variabel perancu. Analisa yang

diperoleh tergambar dalam tabel berikut :

Tabel 5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Remaja dengan Gangguan Pola Tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Tahun 2010 Gangguan Pola Tidur (insomnia) Insomni a 0 1. Perokok Berat (0%) 1 2. Perokok Sedang (16,7%) 10 3. Perokok Ringan (24,4%) 11 Total (21,6%) (78,4%) (100%) (75,6%) 40 (100%) 51 (83,3%) 31 (100%) 41 0,502 (100%) 5 (100%) 6 Tidak Insomnia 4

No

Kebiasaan Merokok Pada Remaja

Total

P value

4

Sumber : Data Penelitian, 2010. Dari data tersebut, didapatkan hasil bahwa pada perokok berat, dari empat siswa perokok berat tidak ada seorangpun yang mengalami insomnia. Jadi 100% perokok berat tidak mengalami insomnia. Pada perokok sedang, 1

52

diantara 6 mengalami insomnia (16,7%), dan lima lainnya tidak mengalami insomnia (83,3%). Pada perokok ringan 10 diantara 41 siswa mengalami insomnia (24,4%) dan 31 siswa lainnya tidak mengalami insomnia (75,6%). Berdasarkan data diatas didapatkan hasil p

value=0,502. P value >0,05 artinya Ho gagal ditolak atau Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja dengan gangguan pola tidur (insomnia). 5.2.3.1. Analisa Setelah Eliminasi Variabel Perancu Analisa ini penting dilakukan untuk hasil penelitian yang lebih akurat mengingat adanya variable perancu yaitu stress pada remaja. Stress pada remaja dapat mempengaruhi kebiasaan merokok maupun gangguan pola tidur

(insomnia). Teknik yang digunakan dalam mengeliminasi variabel perancu dalam penelitian adalah teknik restriksi. Teknik restriksi adalah teknik mengeliminasi

variabel perancu dengan cara menghilangkannya dalam desain. Jika stress adalah perancu dalam hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) maka dengan cara restriksi, sampel dengan stress positif akan dieliminasi dalam penelitian. Jadi sampel yang

53

dianalisa adalah sampel yang tidak mengalami stress atau normal. Dari distribusi frekuensi stress pada remaja jumlah siswa yang tidak mengalami stress atau normal adalah sejumlah 42 siswa (82,4%). Selanjutnya 42 siswa itulah yang akan dianalisa dengan menggunakan metode chi square dengan batas kemaknaan α=0,05. Berikut adalah tabel hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) setelah variabel perancu dieliminasi.

Tabel 5.6 Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Remaja dengan

54

Gangguan Pola Tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Tahun 2010 Setelah dikontrol stress sebagai variabel perancu Kebiasaan Merokok Pada Remaja Gangguan Pola Tidur (insomnia) Insomni a 0 1. Perokok Berat (0%) 0 2. Perokok Sedang (0%) 6 3. Perokok Ringan (17,6%) 6 Total (14,3%) (85,7%) (100%) (82,4%) 36 (100%) 42 (100%) 28 (100%) 34 0,439 (100%) 5 (100%) 5 Tidak Insomnia 3

No

Total

P value

3

Sumber : Data Penelitian, 2010. Berdasarkan data diatas didapatkan bahwa pada perokok berat dan perokok sedang tidak ada seeorangpun yang mengalami insomnia. Jadi 100% perokok berat dan perokok sedang tidak mengalami insomnia. Pada perokok ringan 6 dari 34 siswa mengalami insomnia (17,6%) dan 28 siswa lainnya tidak mengalami insomnia (82,4%). Pada analisa diatas didapatkan hasil p value=0,439. Artinya p value > α (0,05) maka Ho gagal ditolak atau Ho diterima jadi kesimpulannya tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja dengan gangguan pola tidur (insomnia).

55

BAB VI PEMBAHASAN

56

6.1. Keterbatasan Penelitian Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat cross sectional (potong lintang), dimana rancangan ini mempunyai kelemahan yaitu pengambilan data variabel independen dan dependen dilakukan pada satu waktu sehingga data yang didapat bisa jadi akan berbeda jika diambil pada waktu yang lain tergantung kepada kondisi responden saat penelitian. Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner. Kelemahan kuesioner, karena sudah disediakan alternatif jawabannya (bersifat tertutup) sehingga jawaban yang diberikan responden terpaku pada jawaban yang sudah ada dan tidak bisa mengembangkan jawaban yang lebih luas dan lengkap. Jumlah responden dalam penelitian ini sangat terbatas dikarenakan kondisi tempat penelitian yang bersifat dinamis dan tidak dapat diprediksi dalam arti jumlah responden dapat berbeda setiap harinya dikarenakan kondisi siswa yang kompleks. Instrumen untuk penilaian insomnia yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala insomnia pittsburg yang telah berstandar. Namun pada kenyataannya instrumen ini hanya menilai insomnia secara umum tanpa memperhitungkan gangguan baik pada fase tidur NREM maupun REM. Jika instrumen yang digunakan mampu menilai gangguan tidur lebih spesifik pada fase NREM dan REM dimungkinkan akan didapatkan hasil yang berbeda dalam penelitian ini.
56

57

Dalam penelitian ini mencantumkan variabel perancu. Variabel perancu dalam penelitian ini dieliminasi dengan menggunakan teknik restriksi. Dengan teknik restriksi analisa yang dihasilkan akan terbebas dari pengaruh variabel perancu. Kelemahan dari teknik ini hanya menghilangkan variabel tersebut dalam disain penelitian dan tidak dapat mengetahui sejauh mana pengaruh variabel perancu baik terhadap variabel dependen maupun variabel independen. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel perancu terhadap variabel dependen maupun independen membutuhkan analisa lanjutan dengan teknik regresi logistik yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

6.2. Pembahasan Hasil Penelitian 6.2.1. Univariat 6.2.1.1. Kebiasaan Merokok Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok aktif di Jawa Barat mencapai 26,7 persen. Hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai 50,4 persen (Depkes RI,2008).

58

Merokok bagi para remaja khususnya remaja yang masih berusia sekolah menengah sudah menjadi hal biasa dan dapat dibanggakan bagi mereka, bahkan banyak dari mereka yang sudah menjadi perokok aktif. Di Indonesia, anak-anak berusia muda mulai merokok disebabkan beberapa faktor diantaranya yaitu karena kemauan sendiri, melihat teman-temannya, dan diajari atau dipaksa merokok oleh teman-temannya (Sitepoe, 2000: 17). `Pada umumnya remaja itu selalu ingin bertualang, mencoba sesuatu yang belum pernah dialaminya. Mereka ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Dengan sembunyi sembunyi remaja pria mencoba merokok karena seringkali mereka melihat orang dewasa melakukannya, seolah-olah mereka ingin

membuktikan bahwa mereka mampu berbuat seperti orang dewasa (Sugeng, 1995: 12). Hasil penelitian yang dilakukan pada siswa di STM PGRI Plumbon menggambarkan tingginya angka perokok remaja yaitu sebesar 74,12%. Dari jumlah perokok tersebut, 41 siswa adalah perokok ringan (80,4%), 6 siswa perokok sedang

(11,8%), dan 4 siswa perokok berat (7,8%). Hal ini menggambarkan bahwa merokok adalah suatu yang tidak

59

asing bagi remaja terutama siswa sekolah menengah. Hal ini di buktikan dengan tingginya angka perokok di STM PGRI Plumbon mencapai 74,12%. Hal ini sejalan dengan pendapat Sitepoe (2000) yang menyatakan bahwa remaja merokok adalah hal yang biasa. Kebanyakan dari mereka juga adalah perokok ringan (80,4%) yang artinya mereka hanya merokok kurang dari 10 batang per hari yang artinya sebagian besar dari mereka hanya mencoba dan belum sampai tingkat perokok sedang maupun berat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sugeng (1995), yang menyatakan bahwa remaja merokok karena ingin mencoba hal-hal baru yang belum pernah dilakukannya. 6.2.1.2. Gangguan Pola Tidur (insomnia) Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur ini umumnya ditemui pada individu dewasa. Salah satu penyebab yang dibahas dalam penelitian ini adalah kebiasaan merokok. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil 11 siswa mengalami insomnia (21,6%) dan 40 siswa tidak mengalami insomnia (78,4%). Angka tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar siswa tidak mengalami insomnia. Angka

60

insomnia tersebut belum menggambarkan kejadian insomnia akibat kebiasaan merokok. Angka tersebut menggambarkan kondisi siswa yang insomnia dengan berbagai sebab yang bervariasi, termasuk akibat stress yang berperan sebagai variable perancu dalam penelitian ini. 6.2.2.3. Stress Berdasarkan hasil penelitian, 42 siswa (82,4%) dalam keadaan normal atau tidak mengalami stress, 5 siswa (9,8%) mengalami stress ringan, 2 siswa (3,9%) mengalami stress sedang dan 2 siswa (3,9%) mengalami stress berat. Stress adalah variable perancu dalam penelitian ini. Stress dapat mempengaruhi kebiasaan merokok maupun insomnia. Pada saat seseorang mengalami stress, maka ia cenderung melakukan hal yang tidak biasa dilakukannya contohnya merokok, disamping itu pada saat seseorang stress maka ia cenderung akan mengalami insomnia. Dengan teknik restriksi, pada analisa bivariat, responden yang mengalami stress baik stress ringan, sedang, maupun berat akan dieliminasi sehingga responden yang diperhitungkan pada analisa akhir hanya responden yang normal atau tidak mengalami stress. 6.2.2. Bivariat

61

6.2.2.1. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gangguan Pola Tidur (insomnia) Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata

membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur. Pada penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur. Dari penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok (Prasadja,2009). Berdasarkan hasil penelitian sebelum mengeliminasi

variable perancu, didapatkan hasil bahwa 11 siswa perokok mengalami insomnia (21,6%) dan 40 siswa perokok tidak mengalami insomnia (78,4%). Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan metode chi square didapatkan hasil bahwa p value=0,502 yang artinya p value > 0,05 dan Ho gagal ditolak atau Ho diterima sehingga ditarik kesimpulan bahwa

62

tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia). Berdasarkan hasil analisa setelah mengeliminasi variable perancu didapatkan hasil bahwa 6 siswa perokok mengalami insomnia (14,3%) dan 36 siswa tidak mengalami insomnia (85,7%). Berdasarkan hasil analisa dengan menggunakan metode chi square didapatkan hasil p value = 0,439 yang artinya p value > 0,05 dan Ho gagal ditolak atau Ho diterima sehingga ditarik kesimpulan akhir bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia). Hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok baik dengan atau tanpa memperhitungkan stress sebagai variable perancu dengan gangguan pola tidur (insomnia). Hal ini berlawanan dengan penelitian Punjabi dkk (2002) seperti yang diungkapkan Prasadja (2009) bahwa pada perokok usia muda atau perokok pemula cenderung mengalami insomnia akibat efek menagih dari rokok yang tak tertahankan. Prasadja juga mengungkapkan bahwa pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan

63

sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok (Prasadja,2009). Hal inipun berlawanan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).

BAB VII

64

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan Setelah dianalisa dan dilakukan pembahasan terhadap data yang telah diperoleh, maka dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah perokok aktif di STM PGRI Plumbon terbagi menjadi perokok ringan 41 siswa (80,4%), perokok sedang 6 siswa (11.8%), dan perokok berat 4 siswa (7,8%). 2. Siswa yang mengalami insomnia sejumlah 11 siswa (21,6%) dan 40 siswa (78,4%) tidak mengalami insomnia. 3. Sebelum mengeliminasi variabel perancu diambil kesimpulan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia). 4. Setelah mengeliminasi variabel perancu, diambil kesimpulan akhir bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di STM PGRI Plumbon Kabupaten Cirebon.

7.2. Saran
64

65

7.2.1. Bagi Siswa Dalam penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia), tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa secara medis rokok memilik efek negative terhadap semua system tubuh. Jadi kepada siswa diharapkan untuk menghentikan kebiasaan merokok dan bagi yang tidak merokok agar jangan mencoba untuk merokok. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghentikan kebiasaan merokok yaitu dengan minum air sekurang-kurangnya 8 gelas perhari, mengkonsumsi buah dan sayuran segar serta rutin berolahraga dan sedapat mungkin menghindari pergaulan dengan para perokok selama beberapa minggu. 7.2.2. Bagi Sekolah Sekolah adalah sarana pendidikan yang efektif bagi siswa dan remaja khususnya. Oleh karena itu diharapkan adanya sosialisasi dari pihak sekolah dengan bekerjasama dengan institusi kesehatan yang ada tentang bahaya merokok agar sedini mungkin diminimalkan kebiasaan merokok pada siswanya. 7.2.3. Bagi Institusi Kesehatan Rokok adalah masalah yang sulit teratasi karena jumlah populasinya yang semakin bertambah terutama pada usia remaja. Institusi kesehatan yang ada diharapkan lebih meningkatkan promosi kesehatan terutama tentang bahaya merokok. Karena sebagian besar perokok

66

adalah usia remaja dan usia remaja sangat potensial untuk menjadi perokok maka diharapkan promosi kesehatan lebih digencarkan di sekolah-sekolah terutama sekolah menengah. 7.2.4. Bagi Peneliti Lain Dalam penelitian ini membahas tentang hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia). Diharapkan bagi peneliti lain agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengadakan penelitian terkait kebiasaan merokok dengan efek negative lain yang mungkin ditimbulkan. Penelitian yang mengkaji efek-efek negative tentang merokok dapat memberikan keyakinan masyarakat akan bahaya rokok dan merupakan sarana promosi kesehatan yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

67

Alghifari, Abu. 2003. Remaja Korban Mode. Bandung : Mujahid. Anonim. 31 Mei 2009. 10 Negara dengan Jumlah Perokok Terbesar di Dunia http://nusantaranews.wordpress.com. Diakses 6 April 2010. Diakses 6 April 2010. Bangun, A.P. 2008. Sikap Bijak Bagi Perokok. Jakarta : Indocamp. Budiarto. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta: Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika. Hurlock, Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta. PT Gramedia. Listiani, Amelia S.S. 2007. Rahasia Tidur Malam yang Nyenyak. Jakarta : Interaksara. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nursalam. 2000. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Infomedika. Pdpersi. 2003. Ada Apa Dengan Rokok. http.// www.red-bondowoso.or.id. Diakses 6 April 2010. Prasadja, Andreas. 29 Agustus 2009. Kesehatan Tidur dan Kebiasaan Merokok. http://sleepclinicjakarta.tblog.com/. Diakses 6 April 2010. Prasadja, Andreas. 2008. Cermin Dunia Kedokteran. Obstructive Sleep Apnea, 35, 331-333. Qimi. 20 Juni 2009. Gangguan Pola Tidur. http://www.kaltimpost.co.id. Diakses 6 April 2010.

68

Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Bantul : Nulia Medika. Saryono. 2010. Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan. Bantul : Nulia Medika. Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 1995. Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Jakarta. FKUI. Sitepoe, Mangku. 1997. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Jakarta:Gramedia. Smet, Bart.1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Soamole, Iqbal. 2006. HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP MEROKOK DENGAN KEBIASAAN MEROKOK PADA REMAJA . Skripsi S1. UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2006. Sriati, Aat. 2008. Tinjauan Tentang Stress. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran Bandung. Sugeng, Hariyadi. 1997. Perkembangan Peserta Didik. Semarang. IKIP Semarang. Trim, Bambang. 2006. Merokok itu Konyol. Jakarta : Ganesha Exact.

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close