Skrip Si

Published on March 2017 | Categories: Documents | Downloads: 81 | Comments: 0 | Views: 665
of 122
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content



KAJIAN TEKNIS PENGARUH PENGEBORAN MIRING PADA
PELEDAKAN LAPISAN TANAH PENUTUP TERHADAP
PRODUKTIVITAS ALAT MUAT SHOVEL LIEBHERR
9350 DI COLLAR 2 -3 PT. SAPTAINDRA SEJATI
TUTUPAN KALIMANTAN SELATAN



SKRIPSI



Oleh
HERI WIRATMOKO
NIM. 112 04 0173













JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2011

KAJIAN TEKNIS PENGARUH PENGEBORAN MIRING PADA
PELEDAKAN LAPISAN TANAH PENUTUP TERHADAP
PRODUKTIVITAS ALAT MUAT SHOVEL LIEBHERR
9350 DI COLLAR 2 -3 PT. SAPTAINDRA SEJATI
TUTUPAN KALIMANTAN SELATAN



SKRIPSI

Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta



Oleh
HERI WIRATMOKO
NIM. 112 04 0173













JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2011

KAJIAN TEKNIS PENGARUH PENGEBORAN MIRING PADA
PELEDAKAN LAPISAN TANAH PENUTUP TERHADAP
PRODUKTIVITAS ALAT MUAT SHOVEL LIEBHERR
9350 DI COLLAR 2 -3 PT. SAPTAINDRA SEJATI
TUTUPAN KALIMANTAN SELATAN


SKRIPSI



Oleh
HERI WIRATMOKO
NIM. 112 04 0173










Disetujui J urusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Tanggal : ...........................

Pembimbing I Pembimbing II



( Ir. Sudarsono, MT ) ( Dra. Indun Titisariwati, MT )
v
RINGKASAN
Pada tahun 2010 PT. Saptaindra Sejati job site PT. Adaro ditargetkan untuk
melakukan pembongkaran overburden sebesar 75.244.836 bcm/tahun, 85% dari
kegiatan tersebut atau sekitar 63.958.110 bcm/tahun dilakukan dengan menggunakan
kegiatan pemboran dan peledakan. Pada daerah penelitian yaitu di Collar 2 sampai
Collar 3 terdapat kemiringan jenjang yang landai (40
o
) dikarenakan daerah tersebut
merupakan dinding akhir (Final Wall) dari pit tersebut. Namun berdasarkan penelitian
yang dilakukan PT. SIS, daerah tersebut masih ekonomis untuk ditambang lagi dan
dilakukan perluasan pit. Karena telah ditemukan kembali seam batubara pada jarak 100
meter dari jenjang akhir. Maka dilakukan kembali pengupasan lapisan tanah penutup
agar dapat melakukan kegiatan produksi pada seam batubara yang baru.
Pada kenyataan dilapangan pada daerah collar 2 sampai collar 3 sering dijumpai
material hasil peledakan yang tidak ikut terbongkar pada bagian toe yang biasanya
disebut “candi”. Dimana untuk kegiatan pemuatan pada bagian toe, alat muat sering
kesulitan untuk loading pada daerah tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan pada lokasi
peledakan yaitu pada daerah collar, ada material yang tidak terkena energi peledakan
sehingga tidak terbongkar. Sehingga dengan penggunaan lubang miring dapat
membantu memberaikan batuan tersebut. Yang kemudian akan dianalisa pengaruhnya
terhadap produksi alat muat.
Dari pengamatan dilapangan, untuk daerah collar dengan geometri peledakan
lubang tegak yang diterapkan saat ini yaitu, burden baris pertama sebesar 3m, burden
baris kedua sampai dengan baris seterusnya 8m, spacing 9m, stemming 4,2m,
subdrilling 0,5m, powder charge 4,3m, kedalaman lubang ledak 8,5m, dengan powder
factor rata-rata sebesar 0,27 kg/bcm. Dengan pemboran lubang miring pada baris
pertama dimana burden sebesar 3m, baris kedua sebesar 5m, dan baris ketiga sampai
dengan seterusnya 8m, hal ini dimaksudkan agar nilai dari burden tetap (8m). Spasing,
stemming, subdrilling, powder charge dan kedalaman lubang sama, powder factor rata-
rata sebesar 0,30 kg/bcm.
Dari hasil pengamatan dilapangan, untuk hasil peledakan bor miring pada
daerah collar berhasil mengurangi tonjolan pada daerah toe. Peningkatan produksi
karena lebih banyak material yang dapat terbongkar dibandingkan dengan material yang
tertinggal. Pada peledakan lubang tegak terjadi peningkatan produktifitas alat muat
Shovel, dimana produktifitas Shovel SH01A saat melakukan aktifitas pemuatan hasil
peledakan geometri lubang tegak sebesar 450,18 bcm/jam dan untuk pemuatan hasil
peledakan geometri lubang miring sebesar 552,04 bcm/jam. Produktifitas SH02A saat
pemuatan hasil peledakan lubang tegak sebesar 411,43 bcm/jam dan untuk pemuatan
hasil peledakan lubang miring sebesar 585,47. Terjadi kenaikan recovery sebesar
13,55% dari hasil peledakan lubang miring pada daerah collar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa peledakan lubang miring pada daerah collar dapat meningkatkan
produktifitas alat muat dibandingkan dengan peledakan lubang tegak untuk daerah
collar.

KATA PENGANTAR




Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya-lah
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan lancar.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Teknik dari Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Yogyakarta. Skripsi ini
disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PT. Saptaindra Sejati job site
PT. ADARO Kalimantan Selatan dari tanggal 14 Maret sampai dengan 24 J uni 2010.
Atas segala bantuan, bimbingan, dukungan serta saran-saran dalam
penyusunan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Andri Wijaya Kusuma, Pembimbing lapangan PT. Saptaindra Sejati job site
PT. Adaro Indonesia Kalimantan Selatan
2. Prof. Dr. H. Didit Welly Udjianto, MS, Rektor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta.
3. Dr. Ir.S Koesnaryo, M.Sc , Dekan Fakultas Teknologi Mineral
4. Ir. Anton Sudiyanto , MT, Ketua J urusan Teknik Pertambangan.
5. Ir. Sudarsono, MT, Pembimbing I.
6. Dra. Indun Titisariwati, MT, Pembimbing II.
7. Kedua orang tua yang banyak memberikan dorongan, bimbingan dan doa.
8. Dosen dan rekan-rekan mahasiswa J urusan Teknik Pertambangan Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, terima kasih atas dukungan
dan sarannya.
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perusahaan dan pemerhati
pertambangan.
Yogyakarta,
Penulis,

Heri Wiratmoko
viii
DAFTAR ISI



Halaman
RINGKASAN .................................................................................................. ....... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. ........... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... .......... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ........... x
DAFTAR TABEL .................................................................................... ............ xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. ........... xiii
BAB Halaman
I PENDAHULUAN ............................................................................ ............ 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. ......... 1
1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... ......... 2
1.3. Metode Pelitian ............................................................................. ….…. 2
1.4. Batasan Masalah ....................................................................... …….…. 3
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................. . 3
II TINJAUAN UMUM ................................................................................... . 4
2.1. Keadaan Geografi ................................................................................ . 4
2.2. Keadaan Geologi .................................................................................. . 6
2.3. Cadangan Batubara dan Produksi Batubara ...................................... .. 10
2.4. Kegiatan Penambangan ..................................................................... . 12

III DASAR TEORI .......................................................................................... . 18
3.1. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Peledakan .................. . 19
3.2. Pola pemboran. ....................................................................................... .25
3.3. Pola Peledakan .................................................................................... . 30
3.4. Geometri Peledakan ............................................................................ . 32
3.5. Produksi Alat Muat ............................................................................ . 37

IV PEMBORAN DAN PELEDAKAN YANG DILAKSANAKAN ............. . 40
4.1. Pemboran ........................................................................................... . 40
4.2. Peledakan ........................................................................................... . 46
4.3. Pengamatan Kegiatan Pemuatan Dilapangan .................................... . 52

V PEMBAHASAN ....................................................................................... . 54
5.1. Persiapan Lokasi Pemboran ................................................................. . 54
5.2. Pemboran ............................................................................................... .55
5.3. peledakan ............................................................................................... .57

ix
BAB Halaman
5.4. Produksi ................................................................................................. .60
5.5. Recovery Peledakan ............................................................................... .62

VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. . 63
6.1. Kesimpulan ......................................................................................... . 63
6.2. Saran .................................................................................................. .. 63

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... . 64
LAMPIRAN .................................................................................................... .. 65




















x
DAFTAR GAMBAR


Gambar Halaman
2.1. Peta Kesampaian Daerah .............................................................................. . 5
2.2. Stratigrafi Cekungan Barito .......................................................................... . 9
2.3. Stratigrafi Lokal Daerah Tutupan .............................................................. . 10
2.4. Pengupasan Tanah Pucuk .......................................................................... . 13
2.5. Pemboran ................................................................................................... . 14
2.6. Peledakan .................................................................................................... . 15
2.7. Disposal Area ............................................................................................... .15
2.8. Penggalian dan Pengangkutan di Pit .......................................................... . 16
2.9. Pemuatan Batubara di ROM ....................................................................... . 17
2.10. Pengangkutan Batubara dari ROM ke Crushing Plant di Kelanis............ . 17
3.1. Pembentukan Lereng Akhir pada Kegiatan Penambangan ......................... . 19
3.2. Mekanisme Pecahnya Batuan ................................................................... . 20
3.3. Arah Pemboran .......................................................................................... . 25
3.4. Pola Bujur Sangkar.. ..................................................................................... .26
3.4. Pola Persegi Panjang .................................................................................. . 26
3.5. Pola Zigzag Bujur Sangkar ........................................................................ . 26
3.6. Pola Zigzag Persegi Panjang ....................................................................... . 27
3.7. Pengaruh Energi Peledakan pada Pola Pemboran ...................................... . 27
3.8. Ketidakteraturan Tata Letak....................................................................... . 28
3.9. Penyimpangan Arah dan Sudut Pemboran ................................................. . 29
3.10. Kedalaman dan Kebersihan Lubang Bor ................................................ . 30
3.12. Peledakan Tunda Antar Baris ................................................................... . 31
3.13. Peledakan Tunda antar Beberapa Lubang ................................................. . 32
3.14. Peledakan Tunda Antar Lubang ................................................................ . 32
3.15. Pengaruh Burden bagi Hasil Peledakan ..................................................... . 34
3.16. Pengaruh Diameter Lubang Tembak bagi Tinggi Stemming ................... . 36
4.1. Alat Bor Drilltech D 50 KS ........................................................................ . 41
xi
Gambar Halaman
4.2. Alat Bor D 245 S.......... ............................................................................... . 42
4.3 Alat Bor Reedrill SKF Infinity Series .......................................................... . 43
4.4. Pemboran Tegak .......................................................................................... . 44
4.5. Pemboran Miring ......................................................................................... . 44
4.6. Material yang Tertinggal Dilapangan ............................................................. .45
4.7. Pola Peledakan Box Cut .................................................................................. .49
4.8. Pola Peledakan Echelon Cut ........................................................................... .49
4.9. Pengisian Emulsi pada Lubang Tembak ......................................................... .50
4.10.Fragmentasi Hasil Peledakan Dilapangan....................................................... .50
4.11.MMU 7451 ...................................................................................................... .51
4.12.Inhole Delay 500ms dan Spartan Booster ....................................................... .52
5.1. Design Pemboran Miring ................................................................................ .56
5.2. Peledakan Bor Tegak pada Daerah Collar ...................................................... .57
5.3. Peledakan Bor Miring pada Daerah Collar..................................................... .58
5.4. Konfigurasi Waktu Tunda pada Pola Peledakan Echelon .............................. .59
5.5. Lokasi Hasil Peledakan Lubang Miring ......................................................... .60














xii
DAFTAR TABEL


Tabel Halaman
2.1. Data Curah Hujan Tahun 2002 - 2009 ............................................................ . 5
2.2. Cadangan Batubara PT. Adaro indonesia ..................................................... . 11
2.3. J umlah Produksi Batubara PT. Adaro Indonesia .......................................... . 12
4.1. Data Geometri Peledakan untuk Kondisi Normal......................................... . 47
4.2. Data Geometri Peledakan untuk Pemboran Tegak pada Daerah Penelitian . 47
4.3. Data Geometri Peledakan untuk Pemboran Miring ...................................... . 48
5.1. Data Geometri Peledakan Lubang Tegak ..................................................... . 58
5.2. Data Geometri Peledakan Lubang Miring Pada Row-1 ................................ . 58



















xiii
DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran Halaman
A. KESEDIAAN WAKTU KERJ A DAN SASARAN PRODUKSI ................. . 65
B. SPESIFIKASI PERALATAN PEMBORAN DAN ALAT MUAT ............... . 67
C. PRODUKSI ALAT BOR ............................................................................... . 76
D. PERHITUNGAN GEOMETRI PELEDAKAN ............................................. . 84
E. HASIL PENGAMATAN DAN FRAGMENTASI ....................................... . 90
F. PERHITUNGAN J UMLAH BAHAN PELEDAK ....................................... . 95
G. WAKTU EDAR ALAT MUAT DAN PRODUKTIVITAS ALAT MUAT . 103


 
BAB I
PENDAHULUAN

PT Saptaindra Sejati adalah salah satu kontraktor PT Adaro Indonesia yang
merupakan salah satu perusahaan batubara yang terdapat di Kalimantan Selatan.
Sistem penambangan yang diterapkan oleh PT. Adaro Indonesia adalah sistem
tambang terbuka (Surface Mining) dengan metode " Strip mine " yang kegiatan
penambangannya meliputi : pembukaan lokasi tambang dan pembersihan lahan,
pengupasan lapisan penutup, penggalian dan pengangkutan batubara.
Metode " Strip mine " dilakukan karena wilayah tambang Tutupan
mempunyai kemiringan seam batubara antara 30
0
- 50
0
. Salah satu kegiatan
penambangannya adalah pengupasan lapisan penutup dengan cara pemboran dan
peledakan. Kegiatan pemboran yang dilakukan saat ini menggunakan dua unit alat
bor Drilltech D 50 KS, dua unit alat bor Drilltech D 245 S dan dua unit Reedrill SKF
Infinity Series dengan jenis mata bor yang digunakan adalah button bit berdiameter
7 7/8 inch. Sedangkan bahan peledak yang digunakan adalah Emulsi.

1.1. Latar Belakang
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh PT. Saptaindra Sejati (SIS) dalam
memproduksi adalah dengan kegiatan pemboran dan peledakan. Peledakan yang
dilakukan pada tanah lapisan penutup, berfungsi untuk memberaikan material
kompak. Lapisan penutup di PT. SIS terdiri dari batupasir.
Pada daerah penelitian yaitu di Collar 2 sampai Collar 3 terdapat kemiringan
jenjang yang landai (40
o
) dikarenakan daerah collar merupakan dinding akhir (Final
Wall) dari pit tersebut. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan PT. SIS,
daerah tersebut masih ekonomis untuk ditambang lagi dan dilakukan perluasan pit.
Karena telah ditemukan kembali seam batubara pada jarak 100 meter dari jenjang
akhir. Maka dilakukan kembali pengupasan lapisan tanah penutup agar dapat
melakukan kegiatan produksi pada seam batubara yang baru.

 
PT. SIS sebelumnya melakukan peledakan dengan pemboran tegak pada
daerah collar. Namun masih terdapat material yang keras pada bagian bottom
burden. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukanlah pemboran miring pada row-1
(pertama) yang hanya dilakukan diawal kegiatan pemboran dan peledakan di daerah
Final Wall. Kemudian akan dianalisa pengaruhnya terhadap produktifitas alat muat
yang digunakan.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengurangi terbentuknya tonjolan pada toe (candi)
2. Mengetahui pengaruh peledakan dengan pemboran miring terhadap
produktivitas alat muat.

1.3. Metode Penelitian
Metode penelitian berdasarkan hasil kegiatan selama penelitian di PT.SIS
yaitu :
1.3.1. Studi literature
Dengan mengumpulkan data-data yang ada kaitannya dengan kegiatan peledakan
maupun hasil pengamatan selama dilapangan.
1.3.2. Pengumpulan data
Data yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan ini dikumpulkan dengan cara :
1. Pengambilan data primer (pengamatan lapangan), dilakukan dengan
cara mengamati secara langsung kegiatan pemboran dan peledakan
dilapangan. Data tersebut antara lain:
a. Pengukuran kemiringan jenjang
b. Metode pemboran dan peledakan
c. Bahan peledak yang digunakan
d. Produksi pemboran dan peledakan
e. Hasil pemboran dan peledakan
f. Cycletime alat muat


 
2. Pengambilan data sekunder :
a. Data dari kegiatan harian Drill and Blast Department
b. Data produksi bulanan dari MCR (Monitoring Control Room)
1.3.3. Interview (Wawancara)
Metode ini dilakukan dengan cara tanya jawab kepada operator dilapangan dan
Group Leader yang menangani kegiatan peledakan pada PT.SIS beserta staf dan
kontraktornya.

1.4. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Lokasi penelitian terletak pada daerah Low Wall yaitu Collar 2 – Collar 3 pada
area tambang terbuka Tutupan.
2. Pembahasan dan pemecahan masalah dibatasi pada penggunaan teknik
pemboran dengan kemiringan sebagai upaya meningkatkan produktifitas alat
muat Power Shovel pada saat loading di daerah Collar 2-3.
3. Penelitian hanya membahas mengenai geometri pemboran dan peledakan serta
digging time alat muat sebagai parameter pengaruh peledakan.
4. Kegiatan peledakan pada daerah penelitian dibatasi sampai dengan 10 meter dari
seam batubara.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan studi perbandingan bagi penelitian yang ada kaitannya dengan
permasalahan pemboran dan peledakan.
2. Sebagai bahan masukan untuk melakukan perencanaan kegiatan pemboran dan
peledakan selanjutnya yang sesuai dengan kondisi dilapangan.





 
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1. Keadaan Geografi
2)
2.1.1. Lokasi dan Kesampaian Daerah
Lokasi PKP2B Eksplorasi & Eksploitasi PT. Adaro Indonesia terletak di
daerah administratif Kalimantan Selatan yang berada di Kabupaten Tabalong
(Kecamatan Muara harus, Murung Pudak, Upau, Tanta dan Kelua), kabupaten
Balangan (Paringin, Lampihong, Awayan dan Batumandi). Dari Banjarmasin,
ibukota provinsi Kalimanatan Selatan tambang PT Adaro tutupan (Gambar 2.1)
dipisahkan oleh jarak sepanjang 220 km yang biasanya ditempuh selama 4 - 5 jam
dan 15 km dari kota Tanjung dengan jalan beraspal. Untuk daerah pengolahan,
pemasaran atau pengapalan batubara terletak di Desa Kelanis kecamatan Dusun
Hilir/Mangkatip dan Desa Rangga ilung, Kecamatan Jenamas serta Pasar Panas,
Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.
Daerah penambangan batubara PT.Adaro Indonesia merupakan daerah yang
termasuk dalam wilayah kuasa pertambangan Eksploitasi DU. 182/Kal-Sel.
Daerah operational PT. Adaro Indonesia secara geografis berada pada:
• 115º33’30” sampai dengan 115º36’10” Bujur Timur
• 2º7’30” sampai dengan 2º25’30” Lintang Selatan.
Areal PKP2B PT. Adaro Indonesia meliputi empat lokasi endapan cadangan
yaitu daerah Paringin, Tutupan, Wara dan Warukin. Operasi penambangan batubara
tambang Paringin dimulai beroperasi bulan September 1991, sedangkan tambang
Tutupan mulai beroperasi bulan Desember 1996. Sedangkan tambang Wara pernah
dilakukan penambangan tetapi karena tidak dianggap ekonomis, maka penambangan
di Wara dihentikan, sedangkan di Warukin walaupun memiliki cadangan yang
banyak, tetapi batubaranya adalah batubara muda dan terletak di perkampungan
penduduk.


 













Sumber : Departemen Business and Development PT. Adaro Indonesia, 1988
Gambar 2.1. Peta Kesampaian Daerah

2.1.2. Kondisi Iklim dan Cuaca
Daerah tambang Tutupan memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 28º -
35º. Di wilayah tambang tutupan curah hujan bulanan maksimum 668.5 mm pada
bulan Desember dan curah hujan bulanan minimum mencapai 7 mm pada bulan
Agustus. Curah hujan tertinggi terjadi pada setiap bulan Desember – Maret setiap
tahunnya, sedangkan curah hujan terendah terdapat pada bulan Juni – Agustus setiap
tahunnya.
Tabel 2.1. Data Curah Hujan Tahun 2002-2009
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des
2002 209.5 256.5 226.0 241.5 146.0 116.5 41.0 92.5 111.0 180.0 240.5 157.5
2003 488.5 390.5 456.5 316.5 187.5 158.5 52.5 25.0 45.0 46.5 244.0 392.5
2004 249.5 322.0 513.5 332.0 141.0 101.0 63.0 134.0 112.5 135.0 442.0 370.0
2005 614.0 372.5 461.5 228.0 268.0 174.0 163.0 7.0 81.0 18.0 417.0 668.5
2006 528.0 301.0 600.5 374.0 376.3 275.0 200.5 63.0 126.5 298.0 474.8 586.8
2007 276.5 389.0 486.0 373.7 277.7 384.9 98.5 105.0 122.5 61.5 176.8 -
2008 439.0 434.6 167.8 258.4 206.1 274.2 99.1 57.2 53.3 227.1 324.5 142.5
2009 220.1 138.3 373.2 321.9 72.5 68.4 177.1 125.1 75.0 154.4 350.0 434.4

 
2.1.3. Flora dan Fauna
Keadaan flora disekitar wilayah PT. Adaro Indonesia hampir sama dengan
daerah lain di Indonesia. Flora yang mendominasi di daerah ini adalah seperti pohon
karet, rumput ilalang, pohon bambu, cemara, dan lain-lain , yang dapat tumbuh
dengan subur sesuai dengan keadaan iklim tropis. Keadaan fauna yang mendominasi
pada daerah ini adalah binatang ternak sapi, ayam, kambing, monyet, dll. Selain itu
masih terdapat juga adanya hewan rusa walaupun jarang.
2.2. Keadaan Geologi
2)
2.2.1. Morfologi
Keadaan topografi di daerah tambang Tutupan adalah mendatar dari
ketinggian 30 meter diatas muka laut dan kondisi berawa sedangkan daerah
perbukitannya setinggi 200 meter dan di aliri banyak sungai-sungai kecil. Pada
daerah yang lebih rendah dipenuhi oleh sawah masyarakat, perkebunan karet dan
padang rumput. Sedangkan daerah perbukitannya dipenuhi dengan hutan.
2.2.2. Stratigrafi
Wilayah kuasa pertambangan PT Adaro Indonesia secara regional termasuk
dalam cekungan kutai, Cekungan Kutai ini, dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Cekungan Barito yang terdapat di sebelah barat Pegunungan Meratus dan Cekungan
Pasir yang terdapat di sebelah Timur Pegunungan Meratus. Secara khusus wilayah
kerja penambangan PT Adaro Indonesia terletak pada Cekungan Barito yang terletak
di terletak di tepi bagian timur Sub-cekungan Barito di dekat Pegunungan Meratus.
Subcekungan Barito merupakan bagian selatan cekungan Kutai yang berupa suatu
cekungan luas dan meliputi Kalimantan bagian Selatan dan Timur selama zaman
Tersier. Cekungan Barito, terdiri dari empat formasi yang berumur eosin sampai
plesitosen. Adapun urut-urutan stratigrafi formasi cekungan Barito berdasarkan
waktu terbentuknya adalah :



 
2.2.2.1. Formasi Tanjung
Formasi paling tua yang ada di daerah penambangan, berumur Eosen,
yang diendapkan pada lingkungan paralis hingga neritik yang ketebalannya 900-
1100 meter, terdiri dari perselingan batu pasir kwarsa, batu lempung dan batu
lanau sisipan batubara. Bersisipan juga batu gamping dan ditemukan
konglomerat. Formasi ini diendapkan pada lingkungan paralik hingga neritik
dengan ketebalan sekitar 900 meter. Hubungannya tidak selaras dengan batu pra-
tersier.
2.2.2.2. Formasi Berai
Formasi ini diendapkan pada lingkungan lagon hingga neritik tengah
dengan ketebalan hingga 107-1300 meter. Berumur oligosen bawah sampai
miosen awal, hubungannya selaras dengan formasi Tanjung yang terletak
dibawahnya. Formasi ini terdiri dari pengendapan laut dangkal di bagian bawah,
batu gamping dan napal di bagian atas.
2.2.2.3. Formasi Warukin
Yang diendapkan pada lingkungan neritik dalam hingga deltaic dengan
ketebalan 1000-2400 meter, dan merupakan formasi paling produktif, berumur
mioesen tengah sampai plestosen bawah. Pada formasi ini ada tiga lapisan paling
dominan, yaitu :
1. Batu lempung dengan ketebalan ± 100 meter
2. Batu lumpur dan batu pasir dengan ketebalan 600-900 meter, dengan bagian
atas terdapat deposit batubara sepanjang 10 meter.
3. Lapisan batubara dengan tebal cadangan 20-50 meter, yang pada bagian
bawah lapisannya terdiri dari pelapisan pasir dan batupasir yang tidak
kompak dan lapisan bagian atasnya yang berupa lempung dan batu lempung
dengan ketebalan 150-850 meter. Formasi warukin ini hubungannya selaras
dengan formasi Berai yang ada dibawahnya.
2.2.2.4. Formasi Dohor
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral hingga supralitoral, yang
berumur miosen sampai plioplistosen dengan ketebalan 450-840 meter. Formasi
ini letaknya tidak selaras dengan ketiga formasi dibawahnya dan tidak selaras

 
dengan endapan alluvial yang ada diatasnya. Formasi ini adalah perselingan
batuan konglomerat dan batupasir yang tidak kompak, diformasi ini juga
ditemukan batu lempung lunak, lignit dan limonit.
Formasi yang mengandung endapan batubara pada PT Adaro Indonesia
adalah formasi Tanjung dan Warukin. Adapun stratigrafi cekungan Barito tersusun
atas perselingan batupasir, batubara dan batu lempung (gambar 2.2).
2.2.3. Geologi Daerah
Secara garis besar lokasi kontrak kerja PT. Adaro terletak pada formasi
warukin yang banyak mengandung endapan batubara yang diselingi oleh batu
lempung dan batupasir. Tambang batubara PT. Adaro Indonesia terdapat pada tiga
blok yang terpisah yaitu : blok Tutupan ( gambar 2.3 ), Wara dan Paringin. Blok
tutupan mengandung tiga lapisan batubara utama (major seam) yaitu T100, T200,
T300, serta beberapa lapisan minor yaitu pada T100 adalah A, B, C, D pada T200
adalah E, F dan pada T300 adalah G, H. Batubara pada blok Tutupan memiliki
ketebalan sampai 50 meter dengan kemiringan berkisar antara 30° sampai 50°.
Dalam blok Paringin ada satu lapisan utama P500 dan terdapat juga lapisan minor.
Pada blok Paringin ketebalan batubara mencapai 38 meter, dengan kemiringan
berkisar antara 10° sampai 25°. Blok Wara memiliki tiga lapisan batubara utama
yaitu W100, W200, dan W300 dengan kemiringan lapisan 10° sampai 35° dan
ketebalan batubara adalah 12 sampai 14 meter.
2.2.4. Struktur Geologi
Bukit Tutupan dengan panjang sekitar 20 km tersebar dari timur laut ke barat daya.
Bukit ini dibentuk oleh adanya pergerakan dua struktur sesar yang berdekatan satu
dengan lainnya. Salah satu struktur sesar itu adalah struktur sesar Dahai tersebar
sepanjang bagian barat kaki bukit Tutupan, yang awalnya ada di Desa Buliak di
selatan dan terus berlanjut sampai timur laut diluar areal kontrak PT. Adaro
Indonesia. Sesar ini diintepretasikan seperti terletak pada batas antara formasi Dahor
di sebelah barat dan formasi Warukin di timur. Formasi Warukin terdorong diatas
Formasi Dahor, adapun sesar lain adalah Tanah abang-Tutupan Timur mendorong

 
sesar yang keluar sepanjang timur kaki bukit. Sesar tersebut meluas sepanjang
selatan Dahai sampai ke lapangan minyak timur laut Tepian timur.Kejadian sesar-
sesar ini telah dibuktikan lewat data seismic dan pengeboran pada sumur minyak.
Tanah Abang-Tutupan Timur merupakan salah satu struktur antiklin yang saat ini
masih ada dan terletak di bagian barat kaki bukit Tutupan.
STRATIGRAFI CEKUNGAN BARITO
(ADARO RESOURCES REPORT, 1999)
UMUR STRATIGRAFI LITOLOGI
KOLOM
STRATIGRAFI
TEBAL
(m)
KUARTER
PLIOSEN
ATAS
ALLUVIUM
FORMASI DAHOR
ATAS
TENGAH
FORMASI
WARUKIN
TENGAH
BAWAH
ANGGOTA
BATUBARA
ANGGOTA
PASIR
ATAS
ANGGOTA
PASIR
BAWAH
ANGGOTA
LEMPUNG
ANGGOTA
MARL
ATAS
ANGGOTA
BATUGAMPING
ANGGOTA
MARL
BAWAH
ATAS
BAWAH
BASEMENT PRATERSIER
EOSEN
FORMASI
TANJUNG
OLIGOSEN
FORMASI
BERAI
BAWAH
MIOSEN
Deposit sungai dan rawa
Batuan klastik, konglomerat, batupasir,
batulanau dan batulempung.
Seam batubara berketebalan 30 - 40 m,
interbedded dari batulempung calcareous
dan pasir halus.
Lapisan tebal dari sangat halus hingga
kasar, batulanau, batulempung dan
beberapa seam batubara, konglomerat
sebagai dasar.
Interkalasi dan pasir halus, batulanau,
batulempung dan beberapa seam
batubara tipis.
Serpih, kadang-kadang calcareous,
pasir halus dan marl.
Marl, lempung, lanau dan interbedded
dari lapisan batugamping tipis, berisi
pita-pita batubara.
Batugamping kristalin, interbedded
lapisan tipis marl.
Marl, batugamping, serpih, lanau dan
beberapa interbedded seam batubara.
Interkalasi dari serpih dan pasir dengan
beberapa seam batubara tipis.
Serpih, pasir dan konglomerat
Serpih, kuarsit dan batuan beku
900
250
600
225
450
600
500
850
lebih dari
840
FASIES
UPPER
DELTA
PLAIN
LOWER
DELTA
PLAIN
DELTA
FRONT
PRODELTA
DELTA FRONT
MARINE
LOWER
DELTA
PLAIN
LOWER
DELTA
PLAIN
PRODELTA
PRODELTA
PRATERSIER

Sumber : Departemen Geologi PT. Adaro Indonesia
Gambar 2.2 Stratigrafi Cekungan Barito

10 
 



















Sumber : Departemen Geologi PT. Adaro Indonesia
Gambar 2.3. Stratigrafi Lokal Daerah Tutupan
2.3. Cadangan Batubara dan Produksi Batubara
Cadangan adalah bahan galian yang dapat di tambang secara ekonomis dari
suatu sumberdaya yang telah di ketahui. Menurut Mc Kelvey (1976), Cadangan
Batubara dapat di bedakan menjadi empat, yaitu Cadangan Terukur (Measured
reserve), cadangan terindikasi (indicated reserve), cadangan tereka (inferred reserve)
11 
 
dan cadangan terduga (hypothetical reserve). Hal utama yang membedakan jenis
cadangan batubara di atas hanya terletak pada derajat keyakinan geologis dan
ekonomis cadangan tersebut untuk ditambang.
Kegiatan eksplorasi telah menemukan cadangan batubara dalam jumlah yang
sangat besar (lebih dari satu milyar ton) yang terdapat di tiga daerah, yaitu: Paringin,
Wara dan Tutupan. Batubara disini didapat dalam Formasi Warukin yang berumur
Miosen Atas. Jumlah cadangan di tiga tempat tersebut.
Tabel 2.2 Cadangan Batubara PT Adaro Indonesia

Daerah
Terukur
(Juta Ton)
Terindikasi
(Juta Ton)
Tereka
(Juta Ton)
Paringin
Tutupan
Wara
50
570
160
12
20
260
15
50
310
Jumlah 780 292 375
Sumber : Statistik PT. Adaro Indonesia, Tahun 2008
Cadangan daerah Tutupan, Wara dan Paringin cukup besar, tetapi
masing–masing daerah mempunyai kualitas yang berbeda, sehingga pemasarannya
akan berbeda pula (lihat Tabel 2.2). PT.Adaro Indonesia memulai kegiatan eksplorasi
pada tahun 1982. Studi kelayakan dibuat pada tahun 1988, dan pada tahun 1990
kegiatan konstruksi tambang dimulai, Produksi pendahuluan envirocoal dimulai pada
tahun 1991 sebanyak 248 ribu ton. Adapun jumlah batubara yang telah diproduksi
oleh PT Adaro Indonesia dari tahun 2000 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada tabel
2.3 Sejalan dengan peningkatan produksi, kegiatan eksplorasi terus dilakukan untuk
mengetahui cadangan batubara yang layak tambang. Saat ini produksi, kegiatan
eksplorasi terus dilakukan untuk mengetahui cadangan batubara yang layak tambang.
Saat ini produksi tambang batubara PT Adaro Indonesia sekitar 90 % berasal dari
tambang Tutupan. Secara keseluruhan cadangan batubara PT. Adaro Indonesia untuk
tambang terbuka sampai kedalaman 250 meter diperkirakan mencapai dua milyar
ton.
12 
 
Tabel 2.3 Jumlah Produksi Batubara PT Adaro Indonesia
Tahun Coal (Juta Ton)
2000 15.481.193
2001 17.707.965
2002 20.804.230
2003 22.523.247
2004 24.330.581
2005 26.686.197
2006 34.368.053
2007 36.037.866
2008 38.078.667
2009 36.617.558
Sumber : Statistik PT. Adaro Indonesia, Tahun 2009

2.4. Kegiatan Penambangan
Penambangan batubara PT. Adaro Indonesia menggunakan metoda tambang
terbuka yang dilakukan oleh lima kontraktor penambangan yaitu PT Pama Persada
Nusantara, Bukit Makmur, PT. Rahman Abadi Jaya, PT. Saptaindra Sejati dan PT.
Ranting Mutiara Insani dengan menggunakan alat muat gali dan alat angkut. Adapun
urutan kegiatan penambangan yang dilakukan antara lain :
1. Pembukaan lokasi penambangan dan pembersihan lahan
2. Pengupasan tanah pucuk
3. Pengupasan tanah penutup
4. Penimbunan tanah penutup ke disposal
5. Pengupasan dan pengangkutan batubara
6. Pengangkutan batubara dari ROM ke Crushing Plant
7. Pengolahan batubara
8. Pengapalan
13 
 
2.4.1. Pembukaan Lokasi Penambangan dan Pembersihan Lahan (Land
Clearing )
Pembukaan lahan adalah tahap awal kegiatan penambangan, dengan
membersihkan lahan dari semak-semak dan pohon-pohon. Pembersihan lahan
dilakukan dengan menggunakan alat mekanis (bulldozer). Pembersihan lahan
dilakukan secara bertahap dengan luas tertentu sesuai dengan kemajuan
penambangan yang telah direncanakan.

2.4.2. Pengupasan Tanah Pucuk ( Pre Stripping Top Soil )
Setelah pembukaan dan pembersihan lahan, kegiatan selanjutnya adalah
pengupasan lapisan tanah pucuk/top soil yang sangat kaya akan unsur hara. Biasanya
ketebalan tanah pucuk adalah ± 10 sampai 30 cm. Tanah pucuk tersebut dipisahkan
dari tanah penutup yang bersifat subur dan dan disimpan untuk keperluan reklamasi
di kemudian hari. Pengupasan lapisan tanah pucuk memerlukan alat mekanis yaitu
bulldozer, backhoe dan power shovel sebagai alat gali (gambar 2.5).


Gambar 2.4 Pengupasan Tanah Pucuk
2)
2.4.3. Pengupasan Lapisan Tanah Penutup ( Over Burden )
Pengupasan tanah penutup harus sesuai dengan design yang sudah
direncanakan oleh perusahaan, biasanya pengupasan tanah penutup dibuat jenjang
per jenjang dengan tinggi rata-rata 12 meter, lebar 5 meter, dengan kemiringan untuk
low wall 40° atau mengikuti kemiringan batubara, sedangkan untuk high wall
14 
 
biasanya lebih curam yaitu antara 50° sampai 60°. Pengupasan tanah penutup
dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Direct-Digging
Pengupasan tanah penutup dapat dilakukan dengan penggalian langsung oleh
shovel atau backhoe. Penggalian langsung ini hanya untuk material tanah
penutup yang sangat lunak sampai lunak.
2. Riping dan Dozing
Pengupasan tanah penutup dilakukan dengan ripper untuk menggali hingga
tanah terbongkar dan dozzer untuk mendorong tanah penutup yang relatif
lunak untuk kemudian diangkut oleh dump truck.
3. Drilling dan Blasting
Apabila kedua cara di atas sudah tidak efektif untuk membongkar maka
batuan tersebut harus dibongkar dengan menggunakan cara peledakan.
Sebelum kegiatan peledakan dilakukan, maka diperlukan kegiatan
penyediaan lubang ledak yang dalam hal ini dilakukan dengan cara pemboran
(lihat gambar 2.5 dan 2.6).


Gambar 2.5 Pemboran (Drilling)
2)


15 
 

Gambar 2.6 Peledakan (Blasting)
2)


2.4.4. Penimbunan Tanah Penutup Ke Disposal
Setelah tanah penutup dikupas maka perlu suatu tempat untuk lokasi
penumpukan dan penyimpanan tanah penutup tersebut (disposal ) dari lokasi
penambangan (pit). Pengangkutan dari pit ke area disposal digunakan dump truck
yang besarnya disesuaikan dengan volume lapisan tanah penutup. Alat yang
digunakan untuk pengangkutan yaitu Komatsu HD 785, HD 1500, HITACHI EH
1700 dan Caterpillar 785C(Dump Truck).
Untuk design lokasi penimbunan ini diatur oleh PT. Adaro dengan
mempertimbangkan daerah yang sudah dibebaskan (lihat gambar 2.7).


Gambar 2.7 Disposal Area
2)

16 
 
2.4.5. Pengupasan dan Pengangkutan Batubara
Batubara dikupas setelah lapisan tanah penutup diatasnya diambil untuk
mendapatkan batubara yang bersih dari pengotor dan batubara halus, maka lapisan
batubara biasanya disisakan sekitar 30 cm dengan menggunakan alat gali ukuran
kecil (PC 200/PC 300) untuk mencegah kontaminasi cara ini disebut cleaning
batubara. Penggalian batubara biasanya dengan menggunakan alat, yaitu big fleet PC
3000, Hit EX 2500, Lieb 994, O&K RH 120E. Jarak pengangkutan dari pit ke ROM
rata-rata 2 km. Alat yang digunakan untuk pengangkutan yaitu HD 785, HD 1500,
dan HITACHI EH 1700 (gambar 2.8).


Gambar 2.8 Penggalian dan Pengangkutan Batubara di Pit
(Digging and Hauling Coal on Pit)
2)

2.4.6. Pengangkutan Batubara dari ROM ke Crushing Plant
Dari ROM batubara tambang Tutupan diangkut ke crushing plant di Kelanis
menggunakan Trailer yang biasanya membawa 2 vessel, dengan kapasitas satu vessel
rata-rata 40 ton sampai 60 ton menggunakan haul road sejauh 76 km. Selain
menggunakan trailer, pengangkutan batubara ini dapat juga menggunakan dump
truck tronton roda 10 (gambar 2.9 dan 2.10).
17 
 

Gambar 2.9 Pemuatan Batubara di ROM (Run Of Mine)
2)



Gambar 2.10 Pengangkutan Batubara Dari ROM ke Crushing Plant di Kelanis
(Hauling Coal from ROM to Coal Handling Process, Kelanis)
2)






18 
 
BAB III
DASAR TEORI

Salah satu metode pembongkaran pada batuan adalah metode pemboran dan
peledakan. Metode pemboran dan peledakan bertujuan untuk membongkar batuan
dari keadaan aslinya ke dalam ukuran – ukuran tertentu, guna memenuhi target
produksi dan memperlancar proses pemuatan dan pengangkutan.
Salah satu indikator untuk menentukan keberhasilan suatu kegiatan pemboran
dan peledakan adalah tingkat fragmentasi batuan yang dihasilkan dari kegiatan
pemboran dan peledakan tersebut. Diharapkan ukuran fragmentasi batuan yang
dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan penambangan selanjutnya.
Suatu operasi peledakan dinyatakan berhasil dengan baik pada kegiatan
penambangan apabila (Koesnaryo, 2001):
Target produksi terpenuhi (dinyatakan dalam ton/hari atau ton/bulan).
Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah batuan
yang berhasil dibongkar per kilogram bahan peledak (disebut powder factor).
Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit bongkah
(kurang dari 15 % dari jumlah batuan yang terbongkar per peledakan).
Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata (tidak ada overbreak,
overhang, retakan-retakan).
Aman
Dampak terhadap lingkungan (flyrock, getaran, kebisingan, gas beracun,
debu) minimal.
Untuk memenuhi kriteria-kriteria di atas, diperlukan kontrol dan pengawasan
terhadap teknis pemboran guna mempersiapkan lubang ledak dalam suatu operasi
peledakan.
Pada lapisan penutup dilakukan dua macam peledakan, yaitu peledakan untuk
produksi dan peledakan untuk jenjang akhir. Peledakan produksi bertujuan untuk
membongkar lapisan penutup yang berada di atas lapisan batubara sebanyak
19 
 
mungkin. Peledakan untuk jenjang akhir lebih diperhatikan, karena peledakan ini
bertujuan untuk membuat suatu jenjang (lereng akhir) yang relatif aman dan stabil.
Pada gambar 3.1. dapat dilihat lereng akhir yang terbentuk. Lereng akhir
tersebut merupakan batas dari suatu pit. Pada batas tersebut secara teknis kegiatan
penambangan masih dapat dilakukan dan dari segi ekonomis masih menguntungkan.












Gambar 3.1.
Pembentukan lereng akhir pada kegiatan penambangan
3.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Peledakan
Kegiatan peledakan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor rancangan yang
tidak dapat dikendalikan dan faktor rancangan yang dapat dikendalikan.
3.1.1. Faktor Rancangan yang Tidak Dapat Dikendalikan
Adalah faktor - faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh kemampuan
manusia, hal ini disebabkan karena prosesnya terjadi secara alamiah. Yang termasuk
faktor – faktor ini adalah karakteristik massa batuan, struktur geologi, pengaruh air,
dan kondisi cuaca.
20 
 














Gambar 3.2
Mekanisme Pecahnya Batuan
5)


3.1.1.1. Karakteristik Massa Batuan
Dalam kegiatan pemboran dan peledakan, karakteristik massa batuan
yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan fragmentasi batuan yaitu
kekerasan batuan, kekuatan batuan, elastisitas batuan, abrasivitas batuan, dan
kecepatan perambatan gelombang pada batuan, serta kuat tekan dan kuat tarik
batuan yang akan diledakkan.
Semakin tinggi tingkat kekerasan batuan, maka akan semakin sukar
batuan tersebut untuk dihancurkan demikian juga dengan batuan yang memiliki
kerapatan tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin berat massa suatu batuan,
maka bahan peledak yang dibutuhkan untuk membongkar atau menghancurkan
batuan tersebut akan lebih banyak. Elastisitas batuan adalah sifat yang dimiliki
batuan untuk kembali ke bentuk atau keadaan semula setelah gaya yang diberikan
Pada tahap pertama terjadi 
penghancuran batuan 
disekitar lubang ledak dan 
diteruskannya energi ledakan 
Bidang Bebas
Energi ledakan menghancurkan 
batuan disekitar lubang ledak
Energi ledakan diteruskan ke segala arah 
Retakan disekitar lubang ledak
Pada tahap kedua energi
ledakan yang bergerak sampai
bidang bebas menghancurkan
batuan pada dinding jenjang
tersebut
Bidang Bebas 
Pecahnya batuan pada 
dinding jenjang diakibatkan 
Bidang Bebas 
Lubang ledak
Batas bidang
Pada  tahap  terakhir,  energi 
ledakan yang dipantulkan oleh 
bidang  bebas  pada  tahap 
sebelumnya,dan  ekspansi  gas 
21 
 
kepada batuan tersebut dihilangkan. Secara umum batuan memiliki sifat Elastis
Fragile yaitu batuan dapat dihancurkan apabila mengalami regangan yang
melewati batas elastisitasnya. Abrasivitas batuan merupakan suatu parameter
batuan yang mempengaruhi keausan (umur) dari mata bor yang digunakan untuk
melakukan pemboran pada suatu batuan. Abrasivitas batuan tergantung kepada
mineral penyusun batuan. Semakin keras mineral penyusun batuan maka tingkat
abrasivitasnya akan semakin tinggi pula.
Kecepatan perambatan gelombang pada setiap batuan berbeda. Batuan
yang keras mempunyai kecepatan rambat gelombang yang tinggi, secara teoritis
batuan yang memiliki kecepatan rambat gelombang yang tinggi akan hancur
apabila diledakkan dengan menggunakan bahan peledak yang memiliki kekuatan
yang tinggi
Sifat kuat tekan dan kuat tarik batuan juga digunakan dalam
penggolongan terhadap mudah atau tidaknya batuan untuk dibongkar. Batuan
akan hancur atau lepas dari batuan induknya apabila bahan peledak yang
digunakan memiliki tegangan tarik yang lebih besar daripada kuat tarik batuan itu
sendiri.
3.1.1.2. Struktur Geologi
Struktur geologi yang berpengaruh pada kegiatan peledakan adalah
struktur rekahan (kekar) dan struktur perlapisan batuan. Kekar merupakan
rekahan – rekahan dalam batuan yang terjadi karena tekanan atau tarikan yang
disebabkan oleh gaya – gaya yang bekerja dalam kerak bumi atau pengurangan
bahkan kehilangan tekanan dimana pergeseran dianggap sama sekali tidak ada.
Dengan adanya struktur rekahan ini maka energi gelombang tekan dari bahan
peledak akan mengalami penurunan yang disebabkan adanya gas-gas hasil reaksi
peledakan yang menerobos melalui rekahan, sehingga mengakibatkan penurunan
daya tekan terhadap batuan yang akan diledakkan. Penurunan daya tekan ini akan
berdampak terhadap batuan yang diledakkan sehingga bisa mengakibatkan
terjadinya bongkah pada batuan hasil peledakan bahkan batuan hanya mengalami
keretakan. Berkaitan dengan struktur kekar ini penentuan arah peledakan
menurut R.L. Ash (1963) adalah:
22 
 
1. Pada batuan sedimen bidang kekar berpotongan satu dengan yang lain, sudut
horizontal yang dibentuk oleh bidang kekar vertikal biasanya membentuk
sudut tumpul dan pada bagian lain akan membentuk sudut lancip.
2. Fragmentasi yang dihasilkan umumnya mengikuti bentuk perpotongan bidang
kekar. Apabila peledakan diarahkan pada sudut runcing akan menghasilkan
pecahan melebihi batas (over break) dan retakan-retakan pada jenjang.
Peledakan selanjutnya menghasilkan bongkah, getaran tanah (ground
vibration), ledakan udara (air blast) dan batu terbang (fly rock). Untuk
menghindari hal tersebut peledakan diarahkan keluar dari sudut tumpul.
3. Jika dijumpai kemiringan kekar horizontal atau miring maka lubang ledak
miring akan memberikan keuntungan karena energi peledakan berfungsi
secara efisien. Jika kemiringan vertikal fragmentasi lebih seragam dapat
dicapai bila peledakan dilakukan sejajar dengan kemiringan kekar.

Struktur perlapisan batuan juga mempengaruhi hasil peledakan. Apabila
lubang ledak yang dibuat berlawanan dengan arah perlapisan, maka akan
menghasilkan fragmentasi yang lebih seragam dan kestabilan lereng yang lebih
baik bila dibandingkan dengan lubang ledak yang dibuat searah dengan bidang
perlapisan. Secara teoritis, bila lubang ledak arahnya berlawanan dengan arah
kemiringan bidang pelapisan, maka pada posisi demikian kemungkinan
terjadinya backbreak akan sedikit, lantai jenjang tidak rata, tetapi fragmentasi
hasil peledakan akan seragam dan arah lemparan batuan tidak terlalu jauh.
Sedang jika arah lubang ledak searah dengan arah kemiringan bidang perlapisan,
maka kemungkinan yang terjadi adalah timbul backbreak lebih besar, lantai
jenjang rata, fragmentasi batuan tidak seragam dan batu akan terlempar jauh serta
kemungkinan terhadap terjadinya longsoran akan lebih besar .
3.1.1.3. Pengaruh Air
Kandungan air dalam jumlah yang cukup banyak dapat mempengaruhi
stabilitas kimia bahan peledak yang sudah diisikan kedalam lubang ledak.
Kerusakan sebagian isian bahan peledak dapat mengurangi kecepatan reaksi
bahan peledak sehingga akan mengurangi energi peledakan, atau bahkan isian
akan gagal meledak (missfire). Untuk mengatasi pengaruh air, digunakan bahan
23 
 
peledak yang mempunyai ketahanan terhadap air. Contoh bahan peledak yang
tahan terhadap pengaruh air adalah Powergel. Powergel mempunyai komposisi
Amonium nitrate, Fuel oil, Parafin oil, Chemical gassing, Microballons,
Emulsifier. Powergel mampu bertahan didalam lubang ledak berair selama 21
hari dengan syarat batuan unreaktif. Apabila lubang ledak berada pada batuan
yang reaktif maka powergel hanya mampu bertahan 12 jam (load and shoot).
3.1.1.4. Kondisi cuaca
Kondisi cuaca mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan
peledakan, terutama untuk kondisi hujan. Dengan kondisi hujan maka akan
sering terjadi petir, yang akan membahayakan proses peledakan, terutama untuk
peledakan yang menggunakan metode listrik.
3.2.2. Faktor Rancangan yang Dapat Dikendalikan
Adalah faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia
dalam merancang suatu peledakan untuk memperoleh hasil peledakan yang
diharapkan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah :
3.2.2.1. Diameter Lubang Ledak
Di dalam menentukan diameter lubang ledak berdasarkan dari volume
massa batuan yang akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang
diinginkan, mesin bor yang digunakan, dan kapasitas alat muat yang akan
dipergunakan untuk kegiatan pemuatan material hasil peledakan. Penentuan
diameter lubang ledak akan berpengaruh terhadap penentuan panjang burden.
3.2.2.2. Kedalaman Lubang Ledak
Kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang yang
diterapkan. Untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka hendaknya
kedalaman lubang ledak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana
kelebihan daripada kedalaman ini disebut subdrilling.
3.2.2.3. Kemiringan lubang ledak
Kemiringan pemboran secara teoritis ada dua, yaitu pemboran tegak dan
pemboran miring. Menurut Mc Gregor K. (1967), kemiringan lubang ledak
24 
 
antara 10 – 20 dari bidang vertikal yang biasanya digunakan pada tambang
terbuka telah memberikan hasil yang baik.
Adapun arah pemboran dalam membuat lubang bor pada sistem jenjang
ada dua macam, yaitu :
1. Pemboran dengan lubang ledak miring
a. Keuntungan dari lubang ledak miring adalah :
- Dinding jenjang dan lantai jenjang yang dihasilkan relative lebih rata.
- Mengurangi terjadinya pecah berlebihan pada batas baris lubang ledak
bagian belakang (back break).
- Fragmentasi dari hasil tumpukan hasil peledakan yang dihasilkan lebih
baik, karena ukuran burden sepanjang lubang yang dihasilkan relatif
lebih rata.
- Powder faktor lebih rendah, ketika gelombang kejut yang dipantulkan
untuk menghancurkan batuan pada lantai jenjang lebih efisien.
b. Kerugian dari lubang ledak miring adalah :
- Kesulitan dalam penempatan sudut kemiringan yang sama antar lubang
ledak serta dibutuhkan lebih banyak ketelitian dalam pembuatan lubang
ledak, sehingga membutuhkan pengawasan yang ketat.
- Mengalami kesulitan dalam pengisian bahan peledak.
2. Pemboran dengan lubang ledak tegak
a. Keuntungan dari lubang ledak tegak adalah :
- Pemboran dapat dilakukan dengan lebih baik dan akurat.
- Kelurusan lubang bor yang seragam dapat terkontrol, karena merupakan
faktor yang penting dalam mengurangi biaya pemboran dan peledakan.
- Perbedaan burden dan spacing sesuai desain pada bagian bawah lubang
dapat terkontrol (tidak mengalami perubahan).
b. Kerugian dari lubang ledak tegak adalah :
- kemungkinan timbulnya tonjolan pada lantai jenjang (toe) besar.
- Pada bagian atas jenjang kurang bagus karena ada back break.
- Fragmentasi kurang dan pada bagian lantai dasar daya ledak tidak biasa
sepenuhnya tersalurkan.
25 
 
- Kemungkinan terdapat boulder pada bagian atas.








Gambar 3.11
Arah pemboran
10)

3.2.2.4. Pola Pemboran
Dalam penambangan suatu bahan galian yang keras dan kompak,
pemberaiannya dilakukan dengan cara pemboran dan peledakan. Keberhasilan
salah satunya terletak pada ketersediaan bidang bebas (free face) yang
mencukupi.
Minimal dua bidang bebas (free face) yang harus ada pada peledakan.
Peledakan dengan hanya ada satu bidang bebas (free face), disebut crater
blasting, akan menghasilkan kawah dengan lemparan fragmentasi ke atas dan
tidak terkontrol. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, dibuat 2 bidang
bebas, yaitu :
a. Dinding bidang bebas, dan
b. Puncak jenjang (top bench).
Selanjutnya terdapat tiga pola pemboran ya mungkin dibuat teratur, yaitu :
1. Pola bujursangkar (square patterm), yaitu jarak burden dan spasi yang
sama (gambar 3.3).
26 
 


Gambar 3.3
Pola bujur sangkar
2. Pola persegipanjang (rectangular patterm), yaitu jarak
spasi dalam satu baris lebih besar dibandingkan dengan burden (gambar
3.4).


Gambar 3.4
Pola persegi panjang
3. Pola zigzag (staggered patterm), yaitu antar lubang bor dibuat zigzag yang
berasal dari pola bujursangkar maupun pola persegipanjang (gambar 3.5
dan 3.6).

Gambar 3.5
Pola zigzag bujur sangkar

2 m
2 m 
2 m
1 m 
2 m 
2 m 
27 
 

Gambar 3.6
Pola zigzag persegi panjang
Menurut hasil penelitian di lapangan pada jenis batuan kompak, menunjukan
bahwa hasil produktivitas dan fragmentasi peledakan dengan menggunakan pola
pemboran selang-seling lebih baik dari pada pola pemboran sejajar, hal ini
disebabkan energi yang dihasilkan pada pemboran selang-seling lebih optimal dalam
mendistribusikan energi peledakan yang bekerja dalam batuan (Gambar 3.7).










Gambar 3.7
Pengaruh energi ledakan pada pola pemboran


3 m 
1 m
Bidang Bebas 
Bidang Bebas
Area tidak terkena energi 
peledakan 

PARALEL PATTERN 
STAGGERED PATTERN 
 
Area pengaruh energi peledakan 
Lubang ledak
Area pengaruh energi peledakan
Area tidak terkena energi peledakan 
Lubang ledak
28 
 
Baik buruknya hasil peledakan akan sangat ditentukan oleh mutu lubang bor :
1. Keteraturan tata letak lubang bor.
Tujuan pemboran adalah untuk meletakkan bahan peledak pada posisi
yang sudah direncanakan. Setiap batuan akan memberikan reaksi yang
berbeda terhadap peledakan. Reaksi ini bervariasi sangat luas dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, perlapisan, struktur geologi
dan lain-lain yang selalu berubah dari titik ke titik.
Tidaklah mungkin untuk menyusun suatu pola peledakan yang dapat
mengakomodasi semua variasi itu. Untuk itu, didalam prakteknya, lubang-
lubang bor dirancang dengan pola yang teratur, sehingga bahan peledak dapat
terdistribusi secara merata dan dengan demikian setiap kolom bahan peledak
akan mempunyai beban yang sama (lihat gambar 3.8}.

Gambar 3.8
Ketidakteraturan tata letak
2. Penyimpangan arah dan sudut pemboran
Hal ini perlu dicermati terutama dalam pemboran miring, pada
pemboran miring maka posisi alat bor akan sangat menentukan. Walaupun
tata letak lubang bor dipermukaan sudah sempurna, namun bila posisi alat bor
tidak benar-benar sejajar dengan posisi alat bor pada lubang sebelumnya
= lubang bor  setelah    dibor
= rancangan lubang bor 
29 
 
maka dasar lubang bor akan menjadi tidak teratur. Hal yang sama akan
dihasilkan bila sudut kemiringan batang bor juga tidak sama.
Penyimpangan arah dan sudut pemboran dipengaruhi oleh :
a. Struktur batuan
b. Keteguhan batang bor
c. Kesalahan collaring (awal pemboran)
d. Kesalahan posisi alat bor













Gambar 3.9
Penyimpangan arah dan sudut pemboran
3. Kedalaman dan kebersihan lubang bor
Lantai (permukaan) bor biasanya tidak rata dan datar sehingga
kedalaman lubang bor juga tidak akan seluruhnya sama. Untuk itu area
yang akan di bor sebaiknya akan disurvey dulu agar kedalaman masing-
masing lubang bor dapat ditentukan. Setelah dilakukan pemboran material
bisa masuk kedalam lubang yang mengakibatkan kedangkalan lubang bor
(lihat gambar 3.10).
30 
 
Gambar 3.10
Kedalaman dan kebersihan lubang bor
3.2.2.5. Pola Peledakan
Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang-lubang
bor dalam satu baris dengan lubang bor pada baris berikutnya ataupun antar
lubang bor yang satu dengan lubang bor yang lainnya.
Pola peledakan ini ditentukan berdasarkan urutan waktu peledakan serta
arah runtuhan batuan, pola peledakan diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Box cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan
membentuk kotak.
2. Corner cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke salah satu
sudut dari bidang bebasnya.
3. V cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan
membentuk huruf V.
Berdasarkan urutan waktu peledakan, pola peledakan diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Pola peledakan serentak, yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan secara
serentak untuk semua lubang ledak.
2. Pola peledakan berurutan, yaitu suatu pola yang menerapkan peledakan
dengan waktu tunda antara baris yang satu dengan baris yang lainnya.
Secara umum pola peledakan menunjukan urutan atau sekuensial ledakan
dari sejumlah lubang ledak. Adanya urutan peledakan berarti terdapat jeda waktu
ledakan diantara lubang-lubang ledak yang disebut dengan waktu tunda atau
Permukaan tidak rata (datar)
Material masuk (pengotor)
8,5 m 8,5 m
31 
 
delay time. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan waktu
tunda (delay time) pada sistem peledakan antara lain adalah:
1. Mengurangi getaran
2. Mengurangi overbreak dan batu terbang (fly rock)
3. Mengurangi getaran dan suara
4. Dapat mengarahkan lemparan fragmentasi batuan
5. Dapat memperbaiki ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan
Apabila pola peledakan tidak tepat atau seluruh lubang ledak diledakkan
sekaligus. Maka akan terjadinya sebaliknya yang merugikan, yaitu peledakan
yang mengganggu lingkungan dan hasilnya tidak efektif dan tidak efisien.
Mengingat area peledakan pada tambang terbuka (quarry) cukup luas.
Maka peranan pola peledakan menjadi penting jangan sampai urutan
peledakannya tidak logis. Urutan peledakan tidak logis biasa disebabkan oleh :
1. penentuan waktu terlalu dekat
2. penentuan urutan ledakannya yang salah
3. dimensi geometri peledakan tidak tepat
4. bahan peledaknya kurang atau tidak sesuai dengan perhitungan.
Terdapat beberapa kemungkinan sebagai acuan dasar penentuan pola
peledakan pada tambang terbuka, yaitu sebagai berikut :

a. Peledakan tunda antar baris (gambar 3.12).

Gambar 3.12
Peledakan tunda antar baris


1 1 1 1
2 2 2 2
3 3 3
32 
 
b. Peledakan tunda antar beberapa lubang (gambar 3.13).

Gambar 3.13
Peledakan tunda antar beberapa lubang
c. Peledakan tunda antar lubang (gambar 3.14).

Gambar 3.14
Peledakan tunda antar lubang
3.3 Geometri Peledakan
Untuk memperoleh hasil pembongkaran batuan sesuai dengan yang
diinginkan, maka perlu suatu perencanaan peledakan dengan memperhatikan
besaran-besaran geometri peledakan. Dan salah satunya dengan menggunakan teori
coba-coba atau yang sering disebut dengan Geometri Peledakan “Rules of Thumb”
(Dyno Nobel). Dasar dari penggunaan Teori “Rules of Thumb” adalah dari percobaan
para praktisi di lapangan maupun dari produsen bahan peledak yang tujuannya ingin
mempermudah dalam menentukan geometri peledakan karena geometri yang selama
ini digunakan seperti R.L. Ash (1963) dan C.J. Konya (1972) menyajikan batasan
range/konstanta untuk menentukan dan menghitung geometri peledakan, terutama
9 6 3 1
10 7 4 2
11 8 5
IP
4 3 2
1
5 4 3 2
6 5 4
IP
33 
 
menentukan ukuran burden berdasarkan diameter lubang tembak, kondisi batuan
setempat dan jenis bahan peledak., sehingga para praktisi dilapangan mencetuskan
pendesainan geometri “Rules of Thumb” yang penggunaannya lebih simpel dan
disesuaikan dengan kondisi lapangan.
3.3.1 Diameter Lubang Ledak / Blast Hole Diametre
Ukuran diameter lubang tembak merupakan faktor yang penting dalam
merancang suatu peledakan, karena akan mempengaruhi dalam penentuan jarak
burden dan jumlah bahan peledak yang digunakan pada setiap lubangnya. Untuk
diameter lubang tembak yang kecil, maka energi yang dihasilkan akan kecil.
Sehingga jarak antar lubang bor dan jarak ke bidang bebas haruslah kecil juga,
dengan maksud agar energi ledakan cukup kuat untuk menghancurkan batuan. Begitu
pula sebaliknya.Pemilihan diameter lubang ledak di didalam teori “Rules of Thumb”
dipengaruhi oleh besarnya tinggi jenjang / bench height . Namun dalam
pengamatan saya kali ini pemilihan diameter lubang ledaknya berdasarkan laju
produksi yang direncanakan. Karena makin besar diameter lubang akan diperoleh
laju produksi yang besar pula dengan persyaratan alat bor dan kondisi lapangan yang
baik. Berikut adalah formula dari teori “Rules of Thumb” dalam penentuan
diameter lubang ledak :
Blast Hole Diametre (mm) ≤ 15 x Bench Height (m)……………..…….(3.1)
3.3.2. Burden
Burden dapat didefinisikan sebagai jarak dari lubang bor terhadap bidang
bebas (free face) yang terdekat pada saat terjadi peledakan. Peledakan dengan jumlah
baris (row) yang banyak, true burden tergantung penggunaan bentuk pola peledakan
yang digunakan delay detonator dari tiap-tiap baris delay yang berdekatan akan
menghasilkan free face yang baru. Burden juga berpengaruh pada fragmentasi dan
efek peledakan (gambar 3.15)
Burden merupakan variabel yang sangat penting dan kritis dalam mendesain
peledakan. Dengan jenis bahan peledak yang dipakai dan jenis batuan yang dihadapi,
terdapat jarak maksimum burden agar hasil ledakan menjadi baik.
34 
 
Jarak burden sangat erat hubungannya dengan besar kecilnya lubang bor yang
digunakan, secara garis besar jarak burden optimum adalah:
Burden = (25 – 40) x Blast Hole Diameter.............................................(3.2)









3.3.3. Spacing
Spacing adalah jarak antara lubang tembak dalam satu baris (row). Spacing
merupakan fungsi daripada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan terlebih
dahulu. Spacing yang lebih kecil dari ketentuan akan menyebabkan ukuran batuan
hasil peledakan terlalu hancur. Tetapi jika spacing lebih besar dari ketentuan akan
menyebabkan banyak terjadi bongkah (boulder) dan tonjolan (stump) diantara dua
lubang ledak setelah peledakan. Pada Geometri Rules of Thumb menerapkan
peledakan dengan pola equilateral (segitiga sama sisi) dan beruntun tiap lubang
ledak dalam baris yang sama.
Spacing = 1,15 x Burden………………………………………………….(3.3)
3.3.4. Subdrilling
Subdrilling adalah tambahan kedalaman daripada lubang bor dibawah
rencana lantai jenjang. Subdrilling perlu untuk menghindari problem tonjolan pada
Gambar 3.15
Pengaruh burden bagi hasil peledakan
3)

∗ Burden terlalu besar  
∗ B > 40 Ǿ lubang  bor 
∗ Burden terlalu   kecil 
∗ B < 40 Ǿ lubang bor 
∗ Burden yang baik/cukup 
∗ B  =  40 Ǿ lubang bor 
Flyrock 
Flyrock 
Boulder
35 
 
lantai (toe), karena dibagian ini adalah tempat yang paling sukar diledakkan. Dengan
demikian, gelombang ledak yang ditimbulkan pada lantai dasar jenjang yang akan
bekerja secara maksimum.
Subdrilling = (3 – 15) x Blast Hole Diameter.........................................(3.4)
3.3.5. Stemming
Stemming adalah panjang isian lubang ledak yang tidak diisi dengan bahan
peledak tapi diisi dengan material seperti tanah liat atau material hasil pemboran
(cutting), dimana stemming berfungsi untuk mengurung gas yang timbul sehingga
air blast dan flyrock dapat terkontrol. Untuk bahan stemming batuan hasil dari
crushing jauh lebih baik daripada cutting rock (material bekas pemboran). Namun
dalam hal ini panjang stemming juga dapat mempengaruhi fragmentasi batuan hasil
peledakan. Dimana stemming yang terlalu panjang dapat mengakibatkan
terbentuknya bongkah apabila energi ledakan tidak mampu untuk menghancurkan
batuan di sekitar stemming tersebut, dan stemming yang terlalu pendek bisa
mengakibatkan terjadinya batuan terbang dan pecahnya batuan menjadi lebih kecil
(gambar 3.16).
Panjang pendeknya stemming juga akan mempengaruhi hasil dari peledakan,
jika stemming terlalu panjang, maka :
a. Ground vibration tinggi (getar tinggi)
b. Lemparan kurang
c. Fragmentasi area jelek
d. Suara kurang
Jika stemming terlalu pendek :
a.Fragmentasi diarea bawah jelek
b.Terdapat toe di floor (tonjolan di floor)
c.Terjadi flying rock (batu terbang)
d.Suara keras (noise) or (airblast)

Stemming ≥ 20 x Blast Hole Diametre or (0,7 – 1,2) x Burden………….(3.5)

36 
 
3.3.6. Bench Height/Tinggi Jenjang
Tinggi jenjang berhubungan erat dengan parameter geometri peledakan
kainnya dan ditentukan terlebih dahulu atau terkadang ditentukan kemudian setelah
parameter atau aspek-aspek lainnya diketahui. Tinggi jenjang maksimum biasanya
dipengaruhi oleh kemampuan alat bor dan ukuran mangkok serta tinggi jangkauan
alat muat.


Umumnya peledakan pada tambang terbuka dengan diameter lubang besar,
tinggi jenjang berkisar antara 10 -15 m. pertimbangan lain yang harus diperhatikan
adalah kestabilan jenjang jangan sampai runtuh, baik karena daya dukungnya lemah
atau akibat getaran peledakan. Dapat disimpulkan bahwa dengan jenjang yang
pendek memerlukan diameter lubang bor yang kecil, sementara untuk diameter
lubang bor yang besar dapat diterapkan pada jenjang yang lebih tinggi.
Bench Height ≥ Blast Hole Diametre / 15………………………………...(3.6)
3.3.7. Blast Hole Depth / Kedalaman Lubang Ledak
Kedalaman lubang ledak sangat berhubungan erat dengan ketinggian jenjang,
burden dan arah pemboran. Kedalaman lubang tembak merupakan penjumlahan dari

Ǿ besar
Ǿ  kecil 
Stemming
panjang
Stemming
pendek
Gambar 3.16.
Pengaruh diameter lubang tembak bagi tinggi stemming
 
37 
 
besarnya stemming dan panjang kolom isian bahan peledak. Kedalaman lubang ledak
biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi (kapasitas alat muat) dan
pertimbangan geoteknik.
Blast Hole Depth = Bench Height + Subdrilling…………………………(3.7)

3.3.8. Charge Length / Panjang Kolom Isian Bahan Peladak
Bagian dari lubang tembak yang berisikan bahan peledak dan juga primer.
Dalam perhitungan besarnya kolom isian bahan peledak menggunakan rumus
sebagai berikut :
Charge Length = ≥ 20 x Blast Hole Diametre…………………………….(3.8)
3.3.9. Powder Factor (PF)
Powder factor adalah perbandingan antara jumlah bahan peledak dengan
berat batuan yang diledakkan. Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut:
PF = 0.5 – 1 Kg per Square Meter of Face………………………………...(3.9)
3.4 Produksi Alat Muat
Produksi alat muat dapat dilihat dari kemampuan alat tersebut dalam
penggunaannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi produksi alat muat
adalah waktu edar, efesiensi kerja, faktor pengisian (fill factor) dan metode
pemuatan.
3.4.1. Waktu Edar
Waktu edar adalah waktu yang diperlukan oleh alat mekanis untuk
menyelesaikan sekali putaran kerja. Semakin kecil waktu edar alat, maka semakin
tinggi produktifitasnya.
a. Waktu edar alat muat di lapangan pada umumnya terdiri dari :
• Waktu untuk mengisi/menggali (t
1
)
• Waktu untuk berputar dengan muatannya (t
2
)
• Waktu untuk menumpahkan muatan (t
3
)
38 
 
• Waktu untuk berputar muatan kosong (t
4
)
Jadi total waktu edar (Ct) : t
1
+ t
2
+ t
3
+ t
4
(menit)
3.4.2. Metode Pemuatan
Untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan sasaran produksi maka metode
pemuatan juga harus diperhatikan. Dengan alat muat Hydraulic Shovel pola
pemuatan mengikuti kemajuan penambangan dengan cara pembongkaran dan
peledakan. Berdasarkan kemajuan jenjang ada tiga metode yang dilakukan oleh alat
muat dan alat angkut, yaitu :
a. Frontal Cut
Yaitu alat muat didepan jenjang dan menggali ke permuka kerja (lurus) lalu
kesamping. Pada pola pemuatan ini alat muat melayani lebih dulu alat angkut
sebelah kirinya kemudian setelah penuh dilanjutkan pada alat angkut sebelah
kanannya. Swing angel bervariasi antara 10
0
– 110
0
namun untuk operasi
lebih efisien menggunakan swing angel 60
0
.
b. Drive By Cut
Alat muat bergerak memotong dan sejajar muka penggalian. Cara ini lebih
efisien untuk alat muat dan alat angkut, walaupun swing angel-nya lebih
besar dari frontal cut, karena alat angkut secara berurutan dimuati oleh alat
muat
c. Parallel Cut
Pola peledakan ini dilakukan dengan posisi alat angkut beerada disamping
alat muat. Alat angkut mendekati alat muat dari belakang kemudian mengatur
posisi agar membelakangi alat muat. Setelah sampai di samping alat muat,
kemudian diberi muatan dan kembali.
3.4.3. Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja adalah penilaian terhadap pelaksanaan suatu pekerjaan, atau
merupakan perbandingan antara waktu yang dipakai untuk bekerja dengan waktu
yang tersedia. Beberapa faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap efisiensi
kerja, antara lain :

39 
 
a. Waktu kerja penambangan
Waktu kerja penambangan adalah jumlah waktu kerja yang digunakan untuk
melakukan kegiatan penambangan, meliputi kegiatan penggalian, pemuatan,
dan pengangkutan. Efisiensi kerja akan semakin besar apabila banyaknya
waktu kerja penambangan semakin mendekati jumlah waktu yang tersedia.
b. Hambatan yang terjadi
Jika jumlah jam kerja dapat dimanfaatkan secara efektif, maka diharapkan
sasaran produksi kegiatan pemuatan dan pengangkutan dapat terpenuhi.
Namun kenyataannya dilapangan sering terjadi beberapa hambatan sehingga
mengurangi jam kerja efektif alat.
c. Banyaknya curah hujan
Turunnya hujan akan berpengaruh terhadap volume produksi dari kegiatan
kerja dilapangan, terutama apabila seringkali terjadi dengan curah hujan yang
besar. Maka dari itu perlu sekali diperhatikan besar kecilnya curah hujan dan
hari hujan rata-rata yang pernah terjadi, untuk dianalisa bagaimana pengaruh
hujan tersebut terhadap waktu kerja maupun volume yang dihasilkan.










40 
 
BAB IV
PEMBORAN DAN PELEDAKAN YANG DI LAKSANAKAN



Tujuan utama kegiatan pemboran dan peledakan PT. Adaro Indonesia adalah
untuk membongkar lapisan tanah penutup (overburden), sehingga target produksi
pembongkaran overburden sebesar 75.244.836 bcm/tahun dapat tercapai.
Dalam memilih rancangan suatu peledakan agar tujuan dari kegiatan
pemboran dan peledakan tercapai, perlu ditinjau karakteristik massa batuan dan
peledakan yang selama ini diterapkan.

4.1 Pemboran
4.1.1 Alat Bor
Pemboran merupakan salah satu kegiatan penting yang dilakukan sebelum
pengisian bahan peledak dan pembuatan rangkaian peledakan pada daerah yang akan
diledakkan. Pemboran ini bertujuan untuk membuat lubang ledak.
Alat bor yang digunakan dalam kegiatan pemboran ada enam unit bor yang
terdiri dari :
1. Dua unit bor merk Drilltech D 50 KS (Lampiran B) dengan panjang batang
bor 8 m, dan mata bor yang digunakan adalah Button Bit dengan diameter 7
7/8 inch. Alat bor tersebut dilengkapi dengan kompressor dengan kapasitas
udara sebesar 1.050 cfm (29,7 m
3
/mt) mampu menghasilkan tekanan 100 psi
(6,9 bar) dengan putaran 1800 rpm (Gambar 4.1.).
2. Dua unit bor merk Drilltech D 245 S (Lampiran B) dengan panjang batang
bor 8 m, dan mata bor yang digunakan adalah Buttton Bit dengan diameter 7
7/8 inch. Alat bor tersebut dilengkapi dengan kompressor berkapasitas udara
sebesar 900 cfm (25,5 m
3
/mt) mampu menghasilkan tekanan 100 psi (6,9 bar)
(Gambar 4.2.).
41 
 

Gambar 4.1.
Alat bor Drilltech D 50 KS
3. Dua unit bor merk Reedrill SKF Infinity Series (Lampiran B) dengan panjang
batang bor 11,5 m, dan mata bor yang digunakan adalah Buttton Bit dengan
diameter 7 7/8 inch. Alat bor tersebut dilengkapi dengan kompressor dengan
kapasitas udara sebesar 1.050 cfm (29,7 m
3
/mt) mampu menghasilkan
tekanan 125 psi (8,6 bar) dengan putaran 0 - 220 rpm (gambar 4.3).
4.1.2 Arah dan Pola Pemboran
Arah pemboran yang diterapkan saat ini adalah arah pemboran tegak pada
row-1 dengan kedalaman 8,5 m. (Gambar 4.4).

42 
 

Gambar 4.2
Alat Bor Drilltech D 245 S
Pada kondisi seperti ini, energi dari peledakan tidak sampai pada bagian
bawah dari jenjang sehingga mengakibatkan pada daerah tersebut tidak terbongkar
sehingga menyulitkan proses loading alat muat. Untuk kondisi saat ini dimana
digunakan burden baris pertama 3m dan pemboran tegak, menyebabkan terbentuk
tonjolan pada toe.

43 
 

Gambar 4.3.
Alat Bor Reedrill SKF Infinity Series
Menurut Mc Gregor K bahwa salah satu keuntungan menggunakan
pemboran miring dapat mengurangi terbentuknya tonjolan (stump) sehingga
dilakukanlah pemboran miring untuk burden baris pertama dengan freeface yang
optimal diperoleh sebesar 3m (asumsi dari
1
/
2
burden). Dilanjutkan dengan burden
selanjutnya pada baris kedua dengan jarak 5m sehingga diperoleh true burden
dilapangan (lihat gambar 4.5). Sehingga untuk baris ketiga dan selanjutnya
digunakan burden kondisi normal yaitu 8m (Lampiran D).

44 
 








Gambar 4.4.
Pemboran Tegak






Gambar 4.5.
Pemboran Miring Pada Row-1
Namun pada kondisi di daerah collar akan mengakibatkan adanya material
yang tidak terberai karena tidak berada dalam jangkauan daya ledak, sehingga
nantinya akan mempengaruhi produktifitas alat muat saat melakukan kegiatan
pemuatan pada daerah tersebut (gambar 4.6). Dengan adanya pemboran miring yang
nantinya akan disesuaikan dengan kemiringan slope, diharapkan material yang tidak
ikut terberai dapat dengan mudah di muat oleh alat muat. Sehingga dapat dikurangi
waktu edar alat muat pada daerah tersebut sehigga dapat meningkatkan produktifitas
 
Freeface 
9,53 m
8 m
3 m
8,5 m
Freeface 
8 m
8,5 m
50
0
Potensi terbentuk candi 
12,53 
m
8 m
8,5 m
8,5 m
20
0
8,5 m 
50
0

m
8 m
5 m
45 
 
alat muat. Nantinya cukup dengan mengguakan alat muat Hydraulic Shovel untuk
memuat candi tersebut tanpa harus menggunakan Hydraulic Excavator (Back Hoe).










Gambar 4.6.
Material Yang Tertinggal Dilapangan
4.1.3 Kecepatan pemboran
Adalah suatu nilai yang menunjukkan besarnya waktu yang dibutuhkan oleh
alat bor untuk membuat lubang - lubang bor dalam suatu pola pemboran dengan
kedalaman tertentu.
Untuk mengetahui kecepatan pemboran pada alat bor, maka harus diketahui
waktu yang dibutuhkan oleh alat bor untuk membuat keseluruhan lubang tembak
dalam setiap kegiatan peledakannya. Waktu total yang diperoleh kemudian dibagi
sesuai dengan jumlah lubang tembak, waktu rata – rata inilah yang dianggap sebagai
kecepatan pemboran (Vt).
Dari hasil pengamatan dilapangan untuk alat bor Reedrill SKF Infinity Series
DM100-001A didapatkan kecepatan pemboran untuk lubang miring sebesar 1,26
m/menit dengan waktu edar 7,12 menit, dan untuk lubang tegak sebesar 1,82
m/menit dengan waktu edar 4,65 menit (Lampiran C).

 
46 
 
4.1.4 Effisiensi pemboran
Effisiensi pemboran merupakan perbandingan antara waktu kerja produktif
dari alat bor dengan waktu kerja yang tersedia setiap harinya dan dinyatakan dalam
bentuk persentase. Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh effisiensi kerja alat
bor sebesar 80,25 % (Lampiran C).
4.1.5 Volume setara
Volume setara adalah suatu bilangan yang menyatakan volume tertentu
batuan yang berhasil diledakkan pada setiap satuan panjangnya. Dan dinyatakan
dalam m³/m, atau dalam Cuft/ft.
Dari pengamatan pada daerah collar 2-3 di lapangan dan kemudian dilakukan
perhitungan, didapatkan nilai volume setara untuk kondisi saat ini sebesar 67 m
3
/m.
4.1.6 Produksi pemboran
Produksi pemboran dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kecepatan,
pemboran, volume setara dan effisiensi pemboran.
Berdasarkan hasil pengamatan pada daerah collar dan perhitungan di
lapangan pada alat Reedrill SKF Infinity Series DM100-001A maka didapat nilai
produksi pemboran untuk pemboran tegak sebesar 5871,4 bcm/jam (Lampiran C).
4.2. Peledakan
4.2.1 Geometri peledakan
Geometri peledakan merupakan suatu rancangan yang diterapkan pada suatu
peledakan yang meliputi burden, spacings, stemming, subdrilling, powder charge,
tinggi jenjang dan kedalaman lubang tembak. Data geometri peledakan dapat dilihat
pada tabel 4.1.
4.2.2. Pola peledakan dan Waktu tunda
Terdapat 2 (dua) pola peledakan yang digunakan yaitu :
a. Box cut, yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan. (Gambar
4.7.).
b. Corner cut (echelon cut), yaitu pola peledakan yang arah runtuhan
batuannya ke salah satu sudut dari bidang bebasnya (Gambar 4.8.).

47 
 
Tabel 4.1.
Data Geometri Peledakan Untuk Kondisi Normal
No Geometri Peledakan Kondisi Saat ini
1 Burden 8 meter
2 Spasi 9 meter
3 Stemming 4,2 meter
4 Subdrilling 0,5 meter
5 Powder Charge 4,3 meter
6 Kedalaman lubang Bor 8,5 meter
7 Kemiringan lubang 0
0


Tabel 4.2 .
Data Geometri Peledakan Untuk Pemboran Tegak Pada Daerah Penelitian
No Geometri Peledakan Kondisi di
lapangan
1 Burden :
Ff – 1
1 – 2
2 – 3 (dst)

3 meter
8 meter
8 meter
2 Spasi 9 meter
3 Stemming 4,2 meter
4 Subdrilling 0,5 meter
5 Powder Charge 4,3 meter
6 Kedalaman lubang Bor 8,5 meter
7 Kemiringan lubang 0
0


Metode peledakan yang diterapkan pada tambang Tutupan PT. SIS Job Site
PT. Adaro Indonesia adalah metode non electric (nonel). Sedangkan pola peledakan
yang diterapkan adalah pola peledakan beruntun per lubang (hole by hole) dengan
waktu tunda 25 ms dan 109 ms, dengan inhole delay 500 ms.
System penyalaan menggunakan metode nonel, proses penyalaan awal tetap
menggunakan Blasting Machine yang meledakkan detonator pada Initiation Point.
48 
 
Tabel 4.3.
Data Geometri Peledakan Untuk Pemboran Miring


No
Geometri Peledakan Kondisi di
lapangan
1 Burden :
Ff – 1
1 – 2
2 – 3 (dst)

3 meter
5 meter
8 meter
2 Spasi 9 meter
3 Stemming 4,2 meter
4 Subdrilling 0,5 meter
5 Powder Charge 4,3 meter
6 Kedalaman lubang Bor 8,5 meter
7 Kemiringan lubang 20
0


4.2.3 Pemakaian bahan peledak
Bahan peledak yang digunakan adalah Emulsi Trojan 4070 dengan
perbandingan berat 30 % Ammonium Nitrat dan 70 % Emulsion. Dengan bahan
penguat ledak Spartan 400 booster. Pengisian bahan peledak pada kegiatan
peledakan pada PT. SIS menggunakan dua unit Mobile Mixing Unit (Gambar 4.9.).
Dengan diameter lubang ledak sebesar 200,025 mm maka untuk setiap meter lubang
ledak pada kondisi saat ini dan geometri pemboran miring memerlukan bahan
peledak sebanyak 36,1 kg/m (Lampiran F).
4.2.4 Arah peledakan
Kegiatan peledakan pada PT. Adaro Indonesia sudah cukup teratur, Pemilihan
arah yang dilakukan di didasarkan pada :
1. Posisi jalan tambang yang ada,
2. Posisi Sump.
3. Ada tidaknya kegiatan pemuatan batubara disekitar lokasi peledakan.
4. Metode pemuatan material hasil peledakan.
49 
 







Gambar 4.7.
Pola Peledakan Box Cut









Gambar 4.8.
Pola Peledakan Echelon Cut

4.2.5 Powder factor
Powder factor adalah banyaknya bahan peledak yang diisikan kedalam
lubang tembak untuk menghancurkan sejumlah volume batuan tertentu. Pada kondisi
pemboran tegak didapatkan nilai powder factor sebesar 0,27 kg/bcm (Lampiran F).
4.2.6 Peralatan dan Perlengkapan Peledakan
4.2.6.1 Peralatan
Peralatan peledakan (blasting equipment) adalah alat-alat yang diperlukan
untuk menguji dan menyalakan rangkaian peledakan, sehingga alat tersebut dapat
dipakai berulang-ulang. Berikut adalah contoh dari peralatan pada kegiatan
peledakan:
Ket : 
            TLD 25 ms 
            TLD 109 ms 
            LiL 
            BM  
Ket : 
            TLD 25 ms 
            TLD 109 ms 
            LiL  
            BM 
50 
 
a. Blasting Machine, yang digunakan untuk memberi inisiasi awal.
b. Mobile Mixing Unit, yang digunakan untuk mengisi emulsi/powergel ke lubang
tembak (Gambar 4.11.).





Gambar 4.9.
Pengisian Emulsi pada Lubang Tembak










Gambar 4.10.
Fragmentasi Hasil Peledakan Dilapangan
51 
 

















Gambar 4.11.
MMU 7451
4.2.6.2 Perlengkapan
Perlengkapan peledakan (blasting accessories atau blasting supplies) adalah
material yang diperlukan untuk membuat rangkaian peledakan sehingga isian bahan
peledak dapat dinyalakan. Perlengkapan peledakan hanya dapat dipakai sekali saja.
Perlengkapan peledakan:
a. Bahan peledak utama adalah Emulsi , dengan kecepatan detonasi 6300 m/s dan
bobot isi sebesar 1,15 gr/cm
3
.
b. Bahan penguat peledakan adalah Booster (Gambar 4.12.).
c. Surface delay detonator dengan waktu tunda 25 ms dan 109 ms.
d. Inhole delay dengan waktu tunda 500 ms (Gambar 4.12.).
e. Kabel penghubung (lead in line), yang digunakan untuk merangkai detonator
listrik dan dihubungkan ke Blasting Machine.



52 
 
f.





Gambar 4.12.
Inhole Delay 500 ms dan Spartan Booster
4.3 Pengamatan Kegiatan Pemuatan Dilapangan
Dari pengamatan dilapangan, alat muat yang digunakan pada kegiatan
pemuatan material hasil peledakan pada daerah freeface adalah Hydraulic Shovel
Liebherr 9350. Pengamatan pemuatan dilapangan didasarkan terhadap waktu edar,
waktu edar alat meliputi waktu menggali material (digging time), waktu mengangkat
dan memutar bucket saat bermuatan (lift & swing time), waktu menumpahkan
material (dumping time), waktu untuk memutar bucket untuk mulai menggali saat
tidak berisi (swing empty time).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dilapangan, untuk lokasi daerah
collar 2-3 peledakan lubang miring dengan jumlah lubang ledak sebanyak 266
lubang dengan geometri dilapangan (tabel 4.3.) pada tanggal 24 April 2010,
diperoleh waktu edar rata-rata pemuatan untuk alat muat Shovel Liebherr 9350
memuat truk jungkit Komatsu HD 785 sebanyak 3 kali curah sebesar 88,2 detik
dengan waktu yang dibutuhkan untuk menggali material sebesar 34,5 detik, waktu
untuk mengangkat dan memutar bucket saat berisi 20,7 detik, waktu untuk
menumpah material 11,97 detik dan waktu untuk memutar bucket kosong kembali
untuk menggali sebesar 20,7 detik.

53 
 
Sedangkan kegiatan pemuatan untuk daerah collar dengan hasil peledakan
geometri peledakan lubang tegak diperoleh waktu edar rata-rata pemuatan untuk alat
muat Shovel Liebherr 9350 pada tanggal 10 April 2010 memuat truck jungkit
Komatsu HD 785 sebanyak 3 kali curah sebesar 89,07 detik dengan waktu yang
dibutuhkan untuk menggali material sebesar 37,23 detik, waktu untuk mengangkat
dan memutar bucket saat berisi 21,15 detik, waktu untuk menumpah material 11,82
detik dan waktu untuk memutar bucket kosong kembali untuk menggali sebesar 18,9
detik.
Hal ini menunjukan bahwa penggunaan lubang miring untuk daerah collar
dapat meningkatkan produktifitas alat muat yang loading di daerah tersebut.

















54 
 
BAB V
PEMBAHASAN


Pengupasan lapisan tanah penutup pada tambang batubara Tutupan PT.Adaro Indonesia
dilakukan dengan metode pemboran dan peledakan. Diterapkannya metode pemboran dan
peledakan saat ini dalam rangka memenuhi target produksi pembongkaran lapisan tanah
penutup sebesar 75.244.836 bcm/tahun, 85 % dari target produksi tersebut atau sekitar
63.958.110,6 bcm/tahun dilakukan dengan menggunakan kegiatan pemboran dan peledakan.
Berdasarkan laporan PT. SIS, untuk proses peledakan pada daerah collar 2-3 akan
meninggalkan overburden yang tidak terberai dengan menggunakan pola pemboran lubang
tegak yang biasanya disebut “candi”, dimana untuk kegiatan pemuatan didaerah tersebut
tidak mencapai target yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Oleh karena itu diperlukan
pendekatan masalah sehingga produktifitas alat muat pada daerah candi dapat ditingkatkan
sehingga mencapai target produksi.
Pada teknis pemboran dalam rangka penyediaan lubang tembak dan teknis
peledakan dengan geometri yang sudah diterapkan saat ini, dengan metode pendekatan
peralatan, perlengkapan dan kesiapan kerja pemboran dan peledakan dapat diketahui
besarnya efisiensi alat dan dapat menilai apakah hasil peledakan saat ini telah dapat
memenuhi target produksi alat muat pada daerah collar 2-3 yang memiliki kemiringan slope
40
0
, dimana semua itu tercermin dalam pola pemboran dan peledakan yang diterapkan serta
waktu edar dan waktu pemuatan.
5.1. Persiapan Lokasi Pemboran
Pada proses penyiapan lokasi untuk kegiatan pemboran dan peledakan menggunakan
Bulldozer Komatsu D155A, dimana Bulldozer Komatsu D155A akan meratakan lokasi
dengan melakukan penggusuran material untuk mengetahui batas dari lapisan batubara yang
masih tertutup material untuk dilakukan proses selanjutnya yaitu proses pembuatan titik
pemboran sampai dengan peledakan.
Tingkat akurasi dari penentuan titik bor sangat penting bagi kegiatan pemboran dan
peledakan. Penyimpangan pada pemboran dapat mengakibatkan terbentuknya boulder dan
tonjolan pada toe. Hal ini sangat merugikan bagi kegiatan produksi karena dapat
55 
 
menurunkan produktifitas dari alat muat. Selain tingkat akurasi penempatan rencana titik
bor, kemampuan operator dalam mengoperasikan alat. Sering dijumpai dilapangan bahwa
operator dalam melakukan pemboran menghadapi kesulitan dalam menempatkan bit tepat
pada titik yang akan dilakukan pengeboran. Untuk itu dibutuhkan minimal 1 orang helper
untuk setiap lokasi pemboran. Yang berfungsi membantu operator menempatkan alat bor
tepat pada titik pengeboran.
Kemiringan jenjang harus diketahui dahulu oleh surveyor agar dapat diketahui besar
sudut kemiringan dari mast (batang bor) alat bor. Kenyataan dilapangan, kedalaman lubang
bor dapat bervariasi dikarenakan lantai lokasi yang kurang rata sehingga hasil yang diperoleh
kurang baik. Maka perlu persiapan lokasi yang lebih baik lagi.
5.2. Pemboran
5.2.1. Arah pemboran
Pemboran tegak yang dilakukan selama ini pada daerah collar 2-3 belum mampu
memberaikan batuan pada bagian bawah (bottom burden) dari row-1 dengan slope 40
0
, hal
ini menyebabkan terciptanya daerah yang tidak terkena kekuatan ledak yang nantinya akan
berpengaruh pada produktifitas alat muat yang melakukan aktifitas pemuatan di daerah
tersebut, dan tidak terciptanya bidang bebas baru bagi lubang-lubang ledak yang meledak
kemudian. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan pemboran miring (gambar
5.1)
Pemboran miring pada collar 2-3 yang dilakukan saat ini dimaksudkan agar burden
pada kondisi normal terpenuhi, sehingga batuan pada bagian bawah jenjang dapat terberai
dan kemudian dapat dilakukan aktifitas pemuatan oleh alat muat Hydraulic Shovel untuk
memuat material pada daerah collar 2-3 tersebut, dan nantinya dapat digunakan sebagai
bidang bebas baru bagi lubang-lubang ledak berikutnya (gambar 5.2). Hal ini cukup effektif
dilapangan untuk meningkatkan produktifitas alat muat.





56 
 










Gambar 5.1
Desain Pemboran Miring
5.2.2. Produksi alat bor
Kemampuan dari masing-masing unit bor untuk membuat lubang tembak sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
• Jenis material
• Kondisi permukaan kerja
• Kondisi unit bor
• Operator
Diantara keempat hal tersebut di atas, yang paling berpengaruh adalah jenis material.
Semakin tinggi elevasi permukaan kerja, maka material yang akan di bor bersifat semakin
liat.
Target produksi overburden pada tahun 2010 adalah 75.244.836 bcm, sedangkan
pembongkaran yang dilakukan dengan menggunakan pemboran dan peledakan per tahun
sebesar 85 % dari target produksi overburden. Sasaran produksi pemboran dan peledakan per
bulan yang dikehendaki adalah sebesar 5.329.842,55 bcm/bulan atau sebesar 177.661,42
bcm/hari dengan asumsi 30 hari dalam sebulan (Lampiran A).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan perhitungan dengan faktor pengali
kecepatan pemboran, volume setara dan effisiensi pemboran, maka didapat nilai produksi
pemboran dari unit bor Reedrill SKF Infinty Series DM100-0001A yang tersedia untuk
8 m
8,5 m
8,5 m
20
0
 
8,5 m 
Freeface 
50
0
70
0
3 m
8 m
5 m
57 
 
melakukan pemboran miring 3572,4 bcm/jam sedangkan untuk pemboran tegak sebesar
5871,4 bcm/jam (Lampiran C).
5.3. Peledakan
5.3.1. Geometri peledakan
Geometri pada daerah collar 2-3 dimana burden pada baris pertama dengan slope
40
0
yang diterapkan saat ini sepanjang 3m dengan pemboran tegak sedangkan yang
diusulkan sepanjang 3m dengan pemboran miring, kemudian jarak burden untuk baris 1-2
saat ini sepanjang 8m sedangkan untuk pemboran miring 5m dengan lubang tegak hal ini
dimaksudkan agar burden yang dihasilkan tetap yaitu 8m (gambar 5.2 dan gambar 5.3).
Hal ini dimaksudkan agar batuan yang berada pada bagian bawah dapat ikut terberai,
sehingga untuk proses pemuatan tidak perlu sampai mendatangkan alat Hydraulic Excavator
(Back Hoe) untuk menghilangkan material yang keras pada daerah tersebut. Dengan bidang
bebas tersebut diharapkan dapat memberikan hasil fragmentasi dan tumpukan batuan hasil
peledakan sesuai dengan dimensi bucket dari alat muat selanjutnya yang melakukan aktifitas
pemuatan pada daerah tersebut.











Gambar 5.2
Peledakan Bor Tegak Pada Daerah Collar 2-3




8 m
3 m
8,5 m Freeface 
8 m
8,5 m
50
0
12,53 
m
58 
 











Tabel 5.1
Data Geometri Peledakan Lubang Tegak
No Geometri Peledakan Tegak
1 Burden
Ff – 1
1 – 2
2 – 3

3 meter
8 meter
8 meter
2 Spasi 9 meter
3 Stemming 4,2 meter
4 Subdrilling 0,5 meter
5 Powder Charge 4,3 meter
6 Kedalaman lubang Bor 8,5 meter
7 Kemiringan 0
0








Gambar 5.3
Peledakan Bor Miring Pada Daerah Collar
9,53 
9,53 m 9,53 m
8 m
8,5 m
8,5 m
20
0
8,5 m 
50
0

m
8 m
5 m
59 
 

Tabel 5.2
Data Geometri Peledakan Lubang Miring Pada Row-1
No Geometri Peledakan Miring
1 Burden
Ff – 1
1 – 2
2 – 3

3meter
5 meter
8 meter
2 Spasi 9 meter
3 Stemming 4,2 meter
4 Subdrilling 0,5 meter
5 Powder Charge 4,3 meter
6 Kedalaman lubang Bor 8,5 meter
7 Kemiringan 20
0
(baris 1)

5.3.2. Pola peledakan dan Waktu tunda
Metode peledakan yang diterapkan saat ini yaitu metode non electric (nonel).
Sedangkan pola penyalaan yang diterapkan (gambar 5.4) adalah pola peledakan beruntun per
lubang dengan waktu tunda 25 ms dan 109 ms, dengan inhole delay 500 ms.
Proses penyalaan awal menggunakan Blasting Machine yang meledakkan detonator
pada Initiation Point. Hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan biaya dimana Blasting
Machine lebih murah harganya di bandingkan Shoot Gun yang digunakan sebagai penyala
awal pada metode non electrik.
Dengan pemakaian TLD 109 ms pada control row dan TLD 25 ms pada lubang
berikutnya dengan inhole delay 500 ms dapat mengurangi flyrock yang dihasilkan pada tahap
akhir proses peledakan akibat ekspansi gas akan terjadi setelah lubang ledak terakhir
terinisiasi



60 
 










Gambar 5.4
Konfiguasi Waktu Tunda Pada Pola Peledakan Echelon

5.3.3. Pengisian bahan peledak
Pengisian bahan peledak pada kegiatan peledakan di tambang batubara Tutupan
menggunakan tiga unit Mobile Mixing Unit. Dengan diameter lubang ledak sebesar 200,025
mm maka untuk setiap meter lubang ledak memerlukan emulsi sebanyak 36,1 kg/m
(Lampiran F).
Kemampuan produksi alat dalam pengisian bahan peledak merupakan suatu nilai yang
menyatakan banyaknya lubang yang mampu diisi bahan peledak oleh satuan unit pada setiap
satuan waktu tertentu.
Setelah dilakukan kegiatan peledakan, tidak dijumpai adanya kenampakan pada
jenjang (gambar 5.5), seperti berikut ini :
a. Batuan yang pecah melebihi batas akhir dari jenjang atau melebihi batas akhir dari
lubang tembak (overbreak).
b. Adanya sisa tonjolan batuan setelah dilakukan peledakan yang menggantung pada
dinding bagian atas dari jenjang (overhang).
c. Adanya sisa batuan yang menonjol pada lantai jenjang (toe).
                   
 
                                                  109           109       109           109        109          109          109         109          109 
                                         
                                      25            25             25           25            25            25           25            25            25           25 
                   
                               25             25            25          25            25             25            25         25             25            25 
                     
                         25             25           25           25            25            25          25           25            25           25 
           
                  25              25           25            25           25           25           25           25             25           25 
 
Keterangan  : 
 
 
Blasting machine                         TLD 109 ms                     
  
Detonator                                     TLD 25 ms 
61 
 
d. Adanya retakan di belakang batas jenjang setelah dilakukan peledakan (backbreak).

Gambar 5.5
Lokasi hasil peledakan lubang miring

5.4. Produksi
Kegiatan produksi dari alat muat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang secara
langsung berhubungan dengan peledakan maupun tidak. Adapun beberapa faktor tersebut
yaitu fragmentasi, digging time, waktu hambatan, kemampuan alat muat, kemampuan
operator alat muat, efisiensi kerja, juga dipengaruhi cuaca.
5.4.1. Digging Time
Digging time merupakan waktu yang diperlukan oleh alat muat untuk menggali
material hasil peledakan yang selanjutnya dituangkan ke dalam alat angkut. Berdasarkan
hasil pengamatan dilapangan dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara digging time
penggalian batuan hasil peledakan lubang tegak dengan hasil peledakan lubang miring.
Dimana pada kondisi peledakan dengan pemboran tegak akan meninggalkan material yang
tidak terberai pada lapisan bawah tanah penutup yang biasanya disebut candi. Yang nantinya
akan berpengaruh pada produktifitas alat muat pada daerah tersebut.
Dapat dilihat dari alat muat Hydraulic Shovel Liebherr 9350, terjadi perubahan
digging time penggalian batuan hasil peledakan antara peledakan lubang miring dengan hasil
peledakan lubang tegak. Pada daerah collar 2-3 dengan hasil peledakan geometri lubang
tegak alat muat Shovel Liebherr 9350 diperoleh digging time rata-rata sebesar 12,41 detik
62 
 
dengan bucket munjung 70% sedangkan dengan pemuatan hasil peledakan menggunakan
lubang miring dengan alat muat Shovel Liebherr diperoleh digging time sebesar 11,5 detik
dengan bucket munjung 85,71%, dari data tersebut diketahui bahwa peledakan dengan
lubang bor miring akan mempengaruhi waktu penggalian dan besarnya prosentase bucket
munjung pada saat penggalian yang secara otomatis akan meningkatkan produksi dari alat
muat. Penggunaan desain pemboran miring mampu menghasilkan digging time lebih kecil
dari desain pemboran tegak, dengan pertimbangan persen boulder lebih sedikit serta faktor –
faktor lain dianggap konstan.

5.4.2. Waktu Hambatan
Proses pemuatan material dari alat muat ke alat angkut terdapat waktu yang
digunakan baik untuk menunggu truck yang kadang jalannya tidak konstan, juga untuk
mengantisipasi boulder yang terdapat pada material yang akan dimuat oleh alat muat
diantaranya digunakan untuk memukul boulder yang tidak terlalu besar sehingga dapat
dimuat. Waktu hambatan pada geometri peledakan lubang miring dapat dilihat dari alat muat
Hydraulic Shovel Liebherr 9350 terdapat adanya pengurangan waktu edar. Menggunakan
geometri peledakan lubang tegak dengan alat muat Shovel Liebherr 9350 SH01A diperoleh
waktu edar rata-rata sebesar 89,07 detik, dan dengan geometri peledakan menggunakan
lubang miring didapat waktu edar rata-rata sebesar 88,2 detik. Sedangkan waktu edar rata-
rata Shovel Liebherr 9350 SH02A adalah 91,89 detik pada peledakan dengan pemboran
tegak dan 86,22 detik pada peledakan dengan pemboran miring (Lampiran G).

5.5 Recovery Peledakan
Recovery hasil peledakan dengan menggunakan pemboran tegak menghasilkan
recovery rata-rata 79,26% dengan menyisakan inventory material rata-rata setinggi 1,65
meter. Sedangkan recovery hasil peledakan dengan pemboran miring menghasilkan recovery
rata-rata 95,57% dengan menyisakan inventory material rata-rata setinggi 0,35 meter.
Hal ini menandakan bahwa peledakan dengan pemboran miring menghasilkan
persentase recovery lebih tinggi dibandingkan peledakan dengan pemboran tegak. Yang
berarti lebih banyak material yang dapat diambil dan meninggalkan sedikit material yang
ditinggalkan.



63 
 
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan, analisa dan pembahasan terhadap kegiatan pemboran
dan peledakan serta pemuatan material hasil peledakan di PT. Saptaindra Sejati Job Site PT.
Adaro Indonesia Kalimantan Selatan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Hasil peledakan dengan geometri lubang miring pada daerah collar yang diterapkan saat
ini telah mampu meningkatkan produktifitas untuk alat muat yang melakukan kegiatan
loading yaitu SH01A sebesar 23,15% dan SH02A sebesar 40,85%.
2. Peledakan dengan menggunakan pemboran miring lantai yang lebih rata dan
mengurangi terbentuknya tonjolan pada toe atau biasa disebut candi.
3. Dari hasil pengamatan diperoleh penurunan cycletime sebesar 89,07 detik, dan dengan
geometri peledakan menggunakan lubang miring didapat waktu edar rata-rata sebesar
88,2 detik. Sedangkan waktu edar rata-rata Shovel Liebherr 9350 SH02A adalah 91,89
detik pada peledakan dengan pemboran tegak dan 86,22 detik pada peledakan dengan
pemboran miring sehingga akan meningkatkan produktifitas alat.
4. Meningkatkan nilai recovery peledakan sebesar 13,55% dari 1,65 meter tinggi material
yang tersisa menjadi hanya 0,35 meter.

6.2. SARAN

1. Sebelum dilakukan kegiatan pemboran untuk penyediaan lubang ledak, surveyor dan
blaster perlu untuk mengetahui kemiringan dari freeface atau slope yang sudah
terbentuk sehingga dapat ditentukan besarnya sudut kemiringan lubang bor.
2. Perlu adanya pengawasan di lapangan dengan bantuan helper untuk mengawasi titik
pemboran yang akan di bor oleh alat bor, karena sering ditemukan lubang bor
64 
 
menyimpang dari titik bor yang telah ditentukan sehingga akan berpengaruh pada
geometri peledakan dan hasil peledakannya.
3. Perlunya persiapan lokasi yang baik agar alat bor dapat melakukan pemboran dengan
benar, dilapangan sering dijumpai kedalaman lubang bor yang berbeda-beda untuk satu
geometri peledakan yang disebabkan tidak ratanya medan kerja.
4. Evaluasi hasil peledakan dengan lubang miring untuk daerah collar secara terus
menerus, agar didapatkan geometri pemboran dan peledakan yang optimal (perlu dicoba
untuk kemiringan mast 25
o
-30
o
).
 

71

DAFTAR PUSTAKA



1. Ash. R.L. (1963), The Mechanics of Rock Breakage, Pit and Quarry
Magazine.

2. Doddy Syahrial, (2010), Analisa Geometri Peledakan Pada PT. Saptaindra
Sejati Job Site PT. Adaro Indonesia Dengan Metoda ”Rules Of Thumb”
Kalimantan Selatan.

3. Dyno Nobel, (1995), Efficient Blasting Techniques, Blast Dynamics.

4. Hustrulid W., (1999), Blasting Principles For Open Pit Mining. Colorado
School of Mines, Golden, Colorado, USA.

5. J imeno C.L. and J imeno E.L., (1995), Drilling and Blasting of Rocks,
Balkema/ Rotterdam/ Brookfield.

6. J Naapuri., (1988), Tamrock, Surface Drilling And Blasting, Norway.

7. Koesnaryo.S. (1988), Rancangan Peledakan Batuan, J urusan Teknik
Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta

8. Mc Gregor K. (1967), The Drilling Of Rock, CR Books Ltd, A Maclaren
Company, London.

9. Partanto Prodjosumerio, (1989), Tambang Terbuka (Surface Mining), J urusan
Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

10. Singgih Saptono, (2006), Teknik Peledakan, J urusan Teknik Pertambangan,
Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

11. Yanto Indonesianto, (2006), Pemindahan Tanah Mekanis, J urusan Teknik
Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

12. Yulian Haribowo (2006), Skripsi, Penggunaan Lubang Bor Miring Pada
Daerah Floor Batubara Untuk Mengoptimalkan Produktifitas Alat Muat
Pada PT Pamapersada Nusantara Job Site PT Adaro Di Tambang Batubara
Tutupan Kalimantan Selatan, J urusan Teknik Pertambangan, Fakultas
Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.


65

LAMPIRAN A
KESEDIAAN WAKTU KERJA DAN SASARAN PRODUKSI




Kesediaan Waktu Kerja
  
Bulan 
 Jan‐
10 
Feb‐
10 
Mar‐
10 
Apr‐
10 
Mei‐
10 
Jun‐
10 
Jul‐
10 
Agt‐
10 
Sep‐
10 
Okt‐
10 
Nov‐
10 
Des‐
10 
workday  31  28  31  30  31  30  31  31  30  31  30  31 
blasting  30  28  30  30  31  30  31  30  26  31  29  29 

Kesediaan hari kerja di PT. Saptaindra Sejati adalah banyaknya hari yang
dimanfaatkan untuk operasi penambangan. Jam kerja yang berlaku diperusahaan
dibagi menjadi dua gilir kerja (shift) dan tiga gilir kerja (shift) dalam sehari.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April. Pada kegiatan pemboran berlaku aturan
dua gilir kerja dalam sehari seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel A.1
Waktu Gilir Kerja
Gilir kerja I
Jadwal Kerja Keterangan Waktu (jam)
07.00 - 12.30 Waktu Kerja 5,5
12.30 - 13.00 Waktu Istirahat 0,5
13.00 - 17.45 Waktu Kerja 4,75
Total waktu Kerja 10,25
Gilir kerja II
Jadwal Kerja Keterangan Waktu (jam)
18.00 - 24.00 Waktu Kerja 6
00.00 - 01.00 Waktu Istirahat 1
01.00 - 06.00 Waktu Kerja 5
Total waktu kerja 11
Total waktu kerja 21,25


Khusus untuk hari jum'at pada gilir kerja I, Waktu Istirahat di mulai dari
pukul 11.30 s/d pukul 13.00 WITA.
Jadi jumlah jam kerja rata-rata dalam sehari :
( )
hari jam
ggu hari
ggu jam ggu jam
/ 1 , 21
min / 7
min / ) 1 25 , 20 ( min / 6 25 , 21
=
× + ×
=

Efektifitas jam kerja :
1 jam efektif yang digunakan adalah 50 menit
Efektif kerja = 50/60 = 0,8333 = 83,33 %
Jadi efektifitas waktu kerja adalah
= hari jam hari jam / 582 , 17 % 33 . 83 / 1 , 21 = ×
Jumlah jam kerja dalam bulan April :
bulan jam hari jam bulan hari / 2 , 633 / 1 , 21 / 30 = ×
A. Sasaran produksi
Target produksi overburden pada tahun 2010 adalah 75.244.836 bcm,
sedangkan pembongkaran yang dilakukan dengan menggunakan pemboran dan
peledakan per tahun sebesar 85 % dari target produksi overburden. Sasaran produksi
pemboran dan peledakan perbulan yang dikendaki adalah sebesar.

tahun bcm tahun bcm / 6 , 110 . 958 . 63 85 . 0 / 836 . 244 . 75 = × =
= bulan bcm
tahun bulan
tahun bcm
/ 55 , 842 . 329 . 5
/ 12
/ ,6 63.958.110
=
= hari bcm
bulan hari
bulan bcm
/ 42 , 661 . 177
/ 30
/ 55 , 842 . 329 . 5
=

Dengan menggunakan geometri 8 x 9 x 8, maka jumlah lubang perhari adalah
hari ang
bcm x x
hari bcm
/ lub 4 , 308
) 8 9 8 (
/ 42 , 661 . 177
= =

≈ 308 lubang / hari




LAMPIRAN B
SPESIFIKASI PERALATAN PEMBORAN DAN ALAT MUAT


Drilltech D 50 KS
Merk : Drilltech
Type : D 50 KS (1050) cfm
Drill Rating
- Hole size : 6" - 9" (152 -228 mm)
- Max. 1
st
pass capacity (Std tooling) : 28'6" (8,7 m)
- Max. 1
st
pass capacity (Special tooling) : 30'9" (9,4 m)
- Total depth capacity : 210' (64 mm)
Undercarriage
- Type : Caterpillar - Model 330
- Length : 15' (4,57 m)
- Pads (shoes) Triple Grouser : 29,5" (750 mm)
- Travel speed : 2 mph (3,2 km/h)
- Gradeability (Mast Down) : 62% (approximately) 31%
- Drive HP each Tracks : 189 Hp (141 Kw)
- Ground Bearing Pressure (Std. Equip.) : 10,5 psi (72,3 kPa)
- Width Over Track : 12'1" (3,68 m)
- Rollers : 7 lower- 2 upper
Drill Power
- Caterpillar : Model 3408E DITA 500 HP
(373 kW)
- Rated Speed : 1800 rpm
- Fuel Capacity : 300 gallons US (11351)

Compressor
- Type : Single Stage Oil Flooded
Screw Type

- Manufacturer : Sullair 1050 cfm (29,7 m
3
/m)
@100 psi(6,9 bar)@1800 rpm
Feed System
- Type : 2 Hydraulic Cylinder & Chain
- Rated Bit Loading : 50.000 lbs (22.680 kg)
- Rated Pullback : 25.700 lbs (11.660 kg)
- Feed Rate : 0 - 125 fpm (38 mpm)
- Retract Rate : 0 - 164 fpm (50 mpm)
Rotary Head
- Type : Gear case type
- Drive Motor : Hydraulic Axial Piston
- Max. Rotary Horsepower : 180 hp (134 Kw)
- Standart Rotary Speed/Torque : 130 rpm @ 87.120 in - lbs
(9.845 Nm)
- Optional Rotary Speed/Torque : 150 rpm @ 72.000 in - lbs
(8.136 Nm)
Total Handling Equipment (Loader)
- Type : Carausel (Inside Mast)
- Number of Positions : 4 or 6
- Pipe Size : 4 Positions - 3 " to 5 - 1/2"
(76 - 140 mm)
: 6 Positions - 6 " to 7"
: (152 - 178 mm)
Weight
- Operating Weight w/Drill Pipe : 96.000 lbs (43.545 kg)
Dimensions
- Length (Mast Down) : 45'4" ( 13,89 m)

- Length (Mast up) : 31'0" ( 9,45 m)
- Width (Operating W/o dust chute) : 14'4" ( 4,38 m)
- Width (Operating W/ dust chute) : 15'2" ( 4,62 m)
- Height (Mast Up) : 46'9" ( 14,2 m)
- Height (Mast down & workdeck rem) : 14'4" ( 4,38 m)
Electrical
- Alternator : 24 VDC 100 amp
- Air Conditioner : 24 VDC
- Batteries : 2 @ 12 volt

Drilltech D 245 S
Merk : Drilltech
Type : D 245 S (1050) cfm
Drill Rating
- Hole size : 6" - 9" (152 -228 mm)
- Max. 1
st
pass capacity (Std tooling) : 28'6" (8,7 m)
- Max. 1
st
pass capacity (Special tooling) : 30'9" (9,4 m)
- Total depth capacity : 210' (64 mm)
Undercarriage
- Type : Caterpillar - Model 330
- Length : 15' (4,57 m)
- Pads (shoes) Triple Grouser : 29,5" (750 mm)
- Travel speed : 2 mph (3,2 km/h)
- Gradeability (Mast Down) : 62% (approximately) 31%
- Drive HP each Tracks : 189 Hp (141 Kw)
- Ground Bearing Pressure (Std. Equip.) : 10,5 psi (72,3 kPa)
- Width Over Track : 12'1" (3,68 m)
- Rollers : 7 lower- 2 upper
Drill Power
- Caterpillar : Model 3408E DITA 500 HP
(373 kW)

- Rated Speed : 1800 rpm
- Fuel Capacity : 300 gallons US (11351)
Compressor
- Type : Single Stage Oil Flooded
Screw Type

- Manufacturer : Sullair 1050 cfm (29,7 m
3
/m)
@100 psi(6,9 bar)@1800 rpm
Feed System
- Type : 2 Hydraulic Cylinder & Chain
- Rated Bit Loading : 50.000 lbs (22.680 kg)
- Rated Pullback : 25.700 lbs (11.660 kg)
- Feed Rate : 0 - 125 fpm (38 mpm)
- Retract Rate : 0 - 164 fpm (50 mpm)
Rotary Head
- Type : Gear case type
- Drive Motor : Hydraulic Axial Piston
- Max. Rotary Horsepower : 180 hp (134 Kw)
- Standart Rotary Speed/Torque : 130 rpm @ 87.120 in - lbs
(9.845 Nm)
- Optional Rotary Speed/Torque : 150 rpm @ 72.000 in - lbs
(8.136 Nm)
Total Handling Equipment (Loader)
- Type : Carausel (Inside Mast)
- Number of Positions : 4 or 6
- Pipe Size : 4 Positions - 3 " to 5 - 1/2"
(76 - 140 mm)
: 6 Positions - 6 " to 7"
: (152 - 178 mm)
Weight
- Operating Weight w/Drill Pipe : 96.000 lbs (43.545 kg)

Dimensions
- Length (Mast Down) : 45'4" ( 13,89 m)
- Length (Mast up) : 31'0" ( 9,45 m)
- Width (Operating W/o dust chute) : 14'4" ( 4,38 m)
- Width (Operating W/ dust chute) : 15'2" ( 4,62 m)
- Height (Mast Up) : 46'9" ( 14,2 m)
- Height (Mast down & workdeck rem) : 14'4" ( 4,38 m)
Electrical
- Alternator : 24 VDC 100 amp
- Air Conditioner : 24 VDC
- Batteries : 2 @ 12 volt


Reedrill SKF Infinity
Merk : Reedrill
Type : SKF Infinity
Rated Capacity
- Bit/Hole diameter : 6" - 9" (152 -229 mm)
- Depth single pass : 11,5 m
With 4 drill pipes in carousel : 54 m
Pull down / Hoisting Capacity
- Rated pull down capacity : Up to 50,000 lbs (22,680 kg)
- Rated hoist capacity : Up to 47,100 lbs (21,364 kg)
- Feed rate : 0 – 141 fpm (0 – 43 m/min)
- Retract rate : 0 – 147 fpm (0 – 44,8 m/min)
- Pulldown stroke : 33’–8’ (10,26m) on mast for a 30’ pipe
- Type : Hydraulic
- Number of cylinders : 1
- Cylinder bore : 7” diameter (17,78 cm)
- Cylinder rod : 5” diameter (12,7 cm)
- Cable type : 1” DYFORM 8

- Nominal Line Tension : 5 to 1 factor against working
- Cable sheaves (cylinder) : 16” OD (40,6 cm)
- Cable sheaves (top and bottom) : 22” OD (55,9 cm)
- Sheaves Pins : 2”(5,1cm) diameter with roller bearing
- Sheave guards : Standard at bottom plate
- Adjustable head guide shoes : Steel with replaceable nylatron
Rotary Drive System
- Rotation Speed : 0 – 220 rpm
- Torque : 0 – 9500 ft-lbs max (12882 Nm)
- Horsepower capacity : 186 hp (138,7 kW)
- Gearbox : Reedrill, Inc. design casting
- Manufacturer : Reedrill
- Main Thrust Bearing : Timken taper roller
- Lubrication : Oil flooded
- Gearing : Spur
- Ratio : 16:04 to 1
- Drive motor : See Hydraulic System
Radiator and Oil Cooler Assembly
- Cooler height : 60” (152,4 cm)
- Cooler width : 90 5/8” (230,2 cm)
- Fan : 48” (122 cm) diameter, 10 blades
- Fan speed : 1550 rpm
- Fan guard : Welded
- Engine radiator : Top tank
Open top tank, pressure cap overflow
tube and sight glass
- Coolant connection : 2-1/2; (63,5mm) toptank; 3 ½ “ (88,9
mm) bottom tank
- Compressor Oil Core
Hose connection : 2 ½ “ O ring boss (63,5 mm)
- Hydraulic Oil Core

Hose connection : 1 “ O ring boss (25,4 mm)
- Air to Air Cooler : 4” (101,6 mm) O.D.
- Standard Ambient Rating : 125° F (52° C)
Compressor
- Manufacturer : sullair corporation
- Type : Oil flooded, single stage crew
- Intake air flow : 1050 cfm (29,7 m
3
/min)
- Max operating pressure : 125 psi (8,6 bar)
- Air cleaner : Donaldson SRG 20

Engine
- Manufacturer : Caterpillar
- Model : C15 ATAAC electronic
- Rated Horse power : 450 hp (335 kW)
- Full load RPM : 2100
- Air cleaner : Donaldson SRG 20
- Starting system : 24 VDC
- Safety shut down system : Energized to run
- Batteries : Four (4) 8 D
- Muffler : Two (2) 5” (127 mm),inlet and outlet
- Muffler guard : 10 ga for personal protection
- Jacket water cooling : Radiator
- Cold weather equipment : not fitted
- Fuel tank : 367 gallon (1389 liters)
- Turbo and Manifold Covers : Blankets
Mast
- Construction : ASTM 500 grade B rectangular tubing
- Main cord size : Front 8”x 4”x ¼”; Rear 4”x 4”x ½”
- Pivot and raising area : Rectangular tubing “A” frame;
Reinforced in high stress areas
- Hydraulic lines : Pressure rated steel hydraulic tubing

- Hose rack : Sheet steel trough for moving hoses
- Table hole diameter : 11”(27,9cm) diameter deck hole
- Angle drilling kit : 0 – 20 degrees in 5 degree increments
Mast Elevating Cylinders
- Number of cylinders : 2
- Cylinder bore : 7” (17,8 cm) diameter
- Cylinder rod : 3 – ½” (8,89 cm) diameter
- Cylinder stroke : 38” (96,52 cm)
- Lift capacity each cylinder : 105,800 lbs (47,991 kg)
- Cylinder connections pins : 1 – ¾” (45 mm) diameter


Hydraulic Shovel Liebherr R9350 
Operating Weight : 310000 kg
Flywheel Horsepower
(SAE) : 1500 HP (1120kW)
Bucket Capacity Range : 15,30 - 18 m
3

Performance :
Swing Speed : 3.7 RPM
Max. Travel Speed : 3 km/h (1.3 MPH)
Engine : LIEBHERR
Model : QSK45
No. of cylinders- : 16-159 x 190 mm
Bore x stroke : (6.26 x 7.48) in
Piston Diplacement : 45 ltr
Hydraulic System : 4 x Variable
Hydraulic Pump : Piston
Max. oil flow : 4 x 754 ltr
Max Oil Pressure : 320 kg/cm
2
Track Shoes Width : 1200 mm
/ground pressure : 2.13 kg/cm
2

Capacity (Refilled)

Fuel Tank : 4200 ltr
Hydraulic oil tank : 2200 ltr
Machine Spec
Boom : 7250 mm
Arm : 4900 mm
Bucket : 18 m
3
- Dimensi Bucket
- Panjang keseluruhan : 4,2 m
- Lebar keseluruhan : 4,2 m
- Tinggi keseluruhan : 3,7 m


Gambar B.1
Dimensi Hydraulic Shovel Liebherr R9350







LAMPIRAN C
PRODUKSI ALAT BOR

A. Effisiensi Kerja Alat Bor
Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja mesin bor, maka dapat diketahui
hambatan kerja pada kegiatan pemboran, yaitu :
Tabel C.1
Hambatan Kerja pada Alat Bor
No Jenis Hambatan Kerja
Gilir Kerja ( menit )
Dapat dihindari Tidak dapat dihindari
1 Pembicaraan 5 menit (P5M) - 5
2 Menuju lokasi kerja - 20
3 P2H - 30
4 Penyalaan dan pemanasan mesin - 10
5 Fuel and lube - 15
6 Move equipment - 60
7 Wait blasting and evacuation - 40
8 Kelebihan waktu istirahat 20 -
9 Pergantian shift 30 -
10 Perbaikan kerusakan alat - 20
Total 50 200
Total waktu hambatan keseluruhan 250 menit

Waktu kerja produktif adalah waktu kerja yang tersedia dikurangi waktu kerja
tidak produktif (waktu hambatan).
Wp = waktu kerja yang tersedia – waktu hambatan
= (21,1 jam x 60 menit) - 250 menit
= 1266 menit - 250 menit
= 1016 menit


Dari data di atas maka dapat dihitung effisiensi kerja alat bor :
Eff = (Waktu kerja produktif / waktu kerja yang tersedia) x 100%
=
menit
menit
12668
1016
x 100%
= 80,25 %

B. Waktu Edar dan Kecepatan Pemboran
Waktu edar adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat lubang dari
permulaan sampai dengan kedalaman tertentu. Waktu edar pemboran dapat dihitung
dengan cara menjumlahkan setiap bagian waktu yang digunakan pada waktu
melakukan pemboran.
Waktu pemboran untuk kedalaman 8,5 m dengan menggunakan 1 buah
batang bor adalah sebagai berikut :
Ct = Pt + Bt + St + Dt
Dengan :
Ct = Waktu edar pemboran
Pt = Waktu untuk mengambil posisi mesin bor ke titik pemboran
Bt = Waktu untuk membor dengan batang bor pertama
St = Waktu untuk meniup cutting dan mengangkat batang bor
Dt = Waktu untuk mengatasi hambatan
Hasil waktu edar tersebut digunakan untuk menghitung kecepatan pemboran
dari masing-masing unit bor. Kecepatan pemboran (Vt) merupakan perbandingan
antara kedalaman lubang bor dengan waktu yang dibutuhkan untuk membuat lubang
bor.

Vt =

kedalaman lubang bor
Waktu edar

Tabel C.2
Data Pengamatan Waktu Pemboran (Cycle Time) Pemboran
Miring
Reedrill SKF Infinity No. Series DM100-0001A
Pada Blok 100-108, Strip 44-46, Elevasi 106-98
No Pt Bt St Dt Kedalaman
Lubang (detik) (detik) (detik) (detik) (meter)
1 0 292.6 18.9 28.3 9
2 86.1 301.5 18.3 25.4 9
3 95.7 299.3 25.6 32.2 9
4 92.3 306.9 23.1 53.8 9
5 90.3 273.3 27.4 47.7 9
6 84.9 284.9 19 43.1 9
7 114.6 287.7 19.6 25.2 9
8 79.4 283.4 21.9 43.5 9
9 104.6 261.8 24.5 36.4 9
10 97.1 255.2 27.8 21.9 9
11 88.6 272.4 20.4 45.6 9
12 73.8 259.6 19.3 36.8 9
13 84.7 277.3 22.2 32.4 9
14 77.5 282.6 21.7 28.9 9
15 86.3 284.9 17.3 37.8 9
16 83.3 303.8 24.8 37.6 9
17 79.1 269.3 18.6 40.8 9
18 63.9 279.4 18.9 36.4 9
19 75.6 295.8 23.2 42.7 9
20 72.6 286.4 21.7 41.5 9
21 93.7 284.6 26.1 39.6 9
22 78.6 281.2 17.5 38.7 9
23 74.8 279.4 19.2 43.7 9
24 76.7 297.4 20.7 46.7 9
25 76.9 292.7 23.8 47.6 9
26 85.2 282.8 21.1 43.8 9
27 92.8 307.7 18.4 46.8 9
28 74.3 311.4 17.2 45.8 9
29 69.4 286.9 18.5 46.4 9

30 76.9 276.1 18.8 43.3 9
31 74.8 287.4 19.2 42.7 9
32 94.7 288.6 19.5 46.1 9
Total 2599.2 9134.3 674.2 1269.2 288
Average 81.2 285.4 21.1 39.7 9
• Pemboran Miring
Ct = Pt + Bt + St + Dt
= 81.2 + 285,4 + 21,1 + 39,7
= 427,4 detik
= 7,12 menit
= 60/7,12
= 8,42 ≈ 8 lubang per jam

Vt =
=
menit
meter
12 , 7
9
= 1,26 meter/menit
Tabel C.3
Data Pengamatan Waktu Pemboran (Cycle Time) Pemboran Tegak
Reedrill SKF Infinity No. Series DM100-0001A
Pada Blok 100-108, Strip 44-46, Elevasi 106-98
No Pt Bt St Dt Kedalaman
Lubang (detik) (detik) (detik) (detik) (meter)
1 0 263.6 29.6 0 8.5
2 38.7 225.6 31.1 0 8.5
3 37 200.6 28.6 0 8.5
4 43.5 200.5 32.3 0 8.5
5 46.6 220.1 18.1 0 8.5
6 43.7 188.4 38.6 0 8.5
7 47.5 173.9 39.4 0 8.5
8 48.6 231.6 35.1 0 8.5
9 40.1 230.4 28.6 10.2 8.5
10 46.1 204.1 37.6 0 8.5
11 39.6 189 19.4 0 8.5
12 24.2 187.6 34 0 8.5
kedalaman lubang bor
Waktu edar

13 31.6 227.5 36.1 0 8.5
14 30.5 211.7 34.6 0 8.5
15 30.6 232.4 34.9 0 8.5
16 35.4 207.4 28 13.4 8.5
17 44.2 211.1 28.4 0 8.5
18 46.6 210.6 24.6 0 8.5
19 42.4 259 36.3 0 8.5
20 37.1 224.2 25.3 0 8.5
21 38.4 218.4 21.4 0 8.5
22 42.5 221.3 25.3 0 8.5
23 36.6 215.4 29.1 0 8.5
24 32.7 225.2 32.6 0 8.5
25 36.8 192.8 19.6 12.4 8.5 
26 34.4 204.1 22.4 0 8.5
27 40.8 210.8 28.6 0 8.5
28 32.6 182.3 20.9 0 8.5
29 29.7 198.4 28.5 0 8.5
30 35.4 201.2 31.4 0 8.5
31 33.9 184.1 33.9 0 8.5
Total 1147.8 6553.3 914.3 36 263.5 
Rata 37.0 211.4 29.5 1.2 8.5
• Pemboran Tegak
Ct = Pt + Bt + St + Dt
= 37.0 + 211.4 + 29.5 + 1.2
= 279,1 detik
= 4.65 menit
= 60/4,65
= 12,9 ≈ 12 lubang per jam

Vt =
=
menit
meter
65 . 4
5 . 8
= 1,82 m/menit

kedalaman lubang bor
Waktu edar


Persamaan kecepatan pemboran rata-rata :
Keterangan :
D
rr
= Kecepatan pemboran rata-rata, meter/menit
H
r
= Kedalaman lubang bor rata-rata, meter
C
tr
= Waktu siklus pemboran rata-rata

Drr =
menit
meter
8 , 5
5 , 8
= 1,46 meter/menit

C. Volume Setara
Volume setara (equivalent volume, Veq) menyatakan volume batuan yang
diharapkan terbongkar untuk setiap meter kedalaman lubang ledak yang dinyatakan
dalam m
3
/m.
Persamaannya :
Keterangan :
Veq = Volume setara, m
3
/m
V = Volume batuan yang diharapkan terbongkar, m
3

L = Kedalaman lubang ledak, m

Volume setara untuk kondisi geometri peledakan yang diterapkan pada daerah
collar saat ini, dengan asumsi jumlah lubang ledak sebanyak 30 lubang dengan pola
pemboran 3 baris dimana setiap baris terdapat 10 lubang adalah sebagai berikut :
V = A x L x jumlah lubang
V
baris1
= [(
1
/
2
x 9,53x 8)+ (3m x 8m)]x 9 m x 10
= 5.590,8 m
3

V
baris2
= 8m x 9m x 8m x 10
= 5.760 m
3

L
V
V
eq

=
tr
r
rr
C
H
D =

V
baris3
= 8m x 9m x 8m x 10
= 5.760 m
3

Jadi volume total yang didapat dari geometri yang diterapkan saat ini dengan
pemboran tegak :
V
total
= 2.541,2 + 5.760 + 5.760
= 17.110,8 m
3
Sehingga volume setara diperoleh sebesar :


= 67 m
3
/m

Sedangkan untuk geometri pemboran miring (Gambar 4.4 hal.65) maka :
V
baris1

Untuk luas segitiga besar
=
1
/
2
x 9,53 x 8m
= 38,12 m
2

Untuk luas segitiga kecil
=
1
/
2
x 2,9 x 8
= 11,6 m
2
Untuk luas persegi panjang
= 0,1 m x 8m
= 0,8 m
2

V
total baris1

= (38,12 m + 11,6 m + 0,8 m) x 9m x 10
= 4.564,8 m
2

V
baris2
Untuk luas segitiga
=
1
/
2
x 2,9m x 8m
= 11,6 m
2

Untuk luas persegi panjang
= 5m x 8m
= 40 m
2


Veq =
17.110,8 m
3

8,5m x 30

V
total baris 2
= (11,6 m + 40 m) x 9m x 10
= 4.644 m
3

V
baris3
= 8m x 9m x 8m x 10
= 6120 m
3


Volume total yang didapat dari geometri pemboran miring :
V
total
= 4.564,8 + 4.644 + 6120
= 15.328,8 m
3

Sehingga volume setara diperoleh sebesar :


= 58,95 m
3
/m
D. Produksi Pemboran
Produksi pemboran adalah suatu nilai yang menyatakan volume batuan yang
akan dibongkar pada setiap satuan waktu.
P = Vt x Veq x Eff x 60
Dengan :
P = Produksi pemboran (bcm/jam)
Vt = Kecepatan pemboran (meter/menit)
Veq = Volume setara (m3/meter)
Eff = Effisiensi kerja alat bor (%)

Untuk alat bor Reedrill SKF Infinity No. Series DM100-0001A diperoleh
besarnya produksi pemboran:
• Geometri pemboran miring :
P = 1,26 meter/menit x 58,95 m
3
/meter x 0,8025 x 60 menit/jam
= 3572,4 bcm/jam
• Geometri pemboran tegak :
P = 1,82 meter/menit x 67 m
3
/meter x 0,8025 x 60 menit/jam
= 5871,4 bcm/jam


Veq =
(9x10)+(8,5mx20)
15.328,8 m
3


LAMPIRAN D

PERHITUNGAN GEOMETRI PELEDAKAN
1. Blast Hole Diametre / Diameter lubang bor
Diameter lubang bor yang digunakan pada teori “Rules of Thumb” adalah
diameter 7 7/8 inchi (200 mm) dikarenakan menyesuaikan ukuran yang digunakan
pada PT Saptaindra Sejati
2. Bench Height / Tinggi Jenjang
Didalam teoritis “Rules of Thumb” Tinggi jenjang juga ditentukan karena
untuk menghitung stiffnes ratio-nya. Tinggi Jenjang harus lebih besar atau sama
dengan diameter lubang dibagikan 15.
H ≥ 200 mm / 15 = 13,335 m = 13,5 m
3. Burden
Burden yang diterapkan pada teori “Rules of Thumb” adalah
min = 25 x 200 mm = 5000 mm = 5,0 m
max = 40 x 200 mm = 8000 mm = 8,0 m
4. Spacing
Spacing yang diterapkan pada teori “Rules of Thumb” adalah :
Min = 1,15 x 5 m = 5,75 m
Max = 1,15 x 8 m = 9,2 m
5. Stemming
Stemming yang diterapkan pada “Rules of Thumb” adalah
Min = 0,7 x 5,0 m = 3,5 m
Max = 1,2 x 8 m = 9,6 m
6. Kolom isian bahan peledak
Kolom isian rata-rata bahan peledak yang diterapkan “Rules of Thumb” adalah
namun besar kolom isian disesuaikan dengan besar jenjang di kurangi dengan
panjang stemming :
Secara teoritis :

Kolom isian ≥ 20 x 200 mm = 4000 mm = 4 m

Disesuaikan dengan stemming maka panjang
kolom isian sebesar:
min = (14 – 3,5) = 10,3 m
max = (14 - 9,6) = 6,9 m

7. Kedalaman
Kedalaman lubang rata-rata yang dapat diterapkan pada teori “Rules of
Thumb”, adalah :
Secara teoritis, dalam lubang = tinggi jenjang + subrilling
Min = 13,5 + 0,6 = 14,1 m
Max = 13,5 + 3 = 16,5 m

1. Data Geometri Plan PT. SIS
Burden (B) = 8 m
Spacing (S) = 9 m
Diameter lubang lubang ledak (d) = 7,875”
Kedalaman (H) = 1,06 B = 8,48 m ≈ 8,5 m
Stemming (T) = 21 d = 4,2 m
Subdrilling (J) = 0,5 m
Tinggi jenjang (L) = H – J = 8,5 – 0,5 m =8 m
Panjang isian bahan peledak (PC) = H – T = 8,5 m – 4,2 m = 4,3 m
ρ Emulsi = 1,15 g/cc
Densitas batuan = 2,25 gr/cc
2. Perhitungan Bahan peledak
− Loading density = ¼ π (d)
2
x ρ Emulsi x 0,1
= ¼ . 3,14 . (7.875 x 2,54)
2
x 1,15 gr/cc x 0,1
= 36,1 kg/m
Aktual di lapangan = 36,1
− Berat Emulsi per lubang = loading density x PC
= 36,1 kg/m x 4,3 m
= 155,23 kg
Aktual dilapangan = 154 Kg
− Powder factor = berat handak (kg)/volume batuan(bcm)
= 155,23 kg / 612 bcm
= 0,25 kg/bcm





Evaluasi Perbandingan Perhitungan Geometri Antara Teori “Rules of Thumbs”
dan Plan PT. SIS
Tabel D.1
Perbandingan Geometri Teori dengan plan
Parameter
Rules of
Thumbs
Plan PT.
SIS
Burden meter
min = 5
8
max = 8
Spacing meter
min = 5,75
9
max = 9,2
Stemming meter
min = 3,5
4,2 max = 9,6
or T = 4
Subdrilling meter
min = 0,6
0,5
max = 3
Bench Height meter 13,5 8
Depth Hole meter
min = 14,1
8,5
max = 16,5
Powder Charge meter 4 4,3
Stiffness Ratio
min = 2,7
1
max = 1,68
Asumsi Jumlah
Lubang
holes 30 30
Loading Density kg/m 36,1 36,1
Jumlah Handak kg
min = 11371,5
4656,9
max = 7472,7
Blast Volume bcm
min = 12075
18360
max = 36432
Pf kg/bcm
min = 0,94
0,25
max =0,20

Pada pemboran tegak, geometri yang diterapkan pada daerah collar adalah
sebagai berikut :
Burden (B)
Freeface dengan baris 1 : 3 m
Baris 1 dengan baris 2 : 8 m
Baris 2 sampai seterusnya : 8 m

Spacing (S) : 9 m
Diameter Lubang : 7
7
/
8
inch
Stemming (T) : 4,2 m
Subdrilling (J) : 0,5 m
Kedalaman lubang ledak (H) : 8,5 m
Lubang isian handak (PC) : 4,3 m
Kemiringan lubang : 0
0

Pattern : Rectangular Staggered Pattern

Dengan melihat geometri peledakan yang diterapkan sekarang, kemudian
dihubungkan dengan terbentuknya candi yang nantinya akan berpengaruh terhadap
produktifitas alat muat, maka untuk peledakan pada daerah freeface dilakukan :
Geometri Peledakan Lubang Miring :
Burden (B)
freeface dengan baris 1 : 3 m
Baris 1 dengan baris 2 : 5 m
Baris 2 sampai seterusnya : 8 m
Spacing (S) : 9 m
Diameter Lubang : 7
7
/
8
inch
Stemming (T) : 4,2 m
Subdrilling (J) : 0,5 m
Kedalaman lubang ledak (H) : 8,5 m
Lubang isian handak(PC) : 4,3 m
Kemiringan : 20
0
(untuk baris 1 saja, selanjutnya tegak)
Pattern : Rectangular Staggered Pattern








Table D.2
Perbandingan geometri pemboran tegak dan pemboran miring
Parameter
Pemboran
tegak
Pemboran
miring
Burden meter
Ff ‐ row 1 = 3 Ff ‐ row 1 = 3 
row 1 ‐ row 2 = 
8 row 1 ‐ row 2 = 5 
row 2 ‐ row 3 = 
8 row 2 ‐ row 3 = 8 
Spacing meter 9  9 
Stemming meter 4,2  4,2 
Subdrilling meter 0,5  0,5 
Bench Height meter 8 8
Depth Hole meter 8,5  8,5 
Powder
Charge meter 4,3 4,3 
Kemiringan derajat 0  20 



















LAMPIRAN E
TABEL HASIL PENGAMATAN DAN TABEL
FRAGMENTASI

Berdasarkan pengamatan selama dilapangan dan data perusahaan maka
didapat data sebagai berikut :
Sebelum dilakukan pemboran miring.
Table E.1
Data Sebelum dilakukan Pemboran Miring
NO DATE
GEOMETRI
PELEDAKAN
(pf)

B S T H Boulder Inventory Recovery
(m) (m) (m) (m) (Kg/bcm) (%) (m) (%)
1
3-Apr-
10 3-8 9 4.2 8.5 0.27 0.50% 1.92 76%
2
10-Apr-
10 3-8 9 4.2 8.5 0.27 0.30% 0.75 90.65%
3
11-Apr-
10 3-8 9 4.2 8.5 0.27 0.70% 2.28 71.15%
rata-rata 8 9 4.2 8.5 0.27 0.50% 1.65 79,26%

Setelah dilakukan pemboran miring.

Table E.2
Data Setelah dilakukan Pemboran Miring
NO DATE
GEOMETRI
PELEDAKAN
(pf)

B S T H Boulder Inventory Recovery
(m) (m) (m) (m) (Kg/bcm) (%) (m) (%)
1
24-Apr-
10 3-8 9 4.2 8.5 0.30 0.03% 0.03 99.60%
2
29-Apr-
10 3-8 9 4.2 8.5 0.30 0.00% 0.47 94.12%
3
8-May-
10 3-8 9 4.2 8.5 0.30 0.20% 0.56 93%
rata-rata 8 9 4.2 8.5 0.30 0.08% 0.35 95.57%
Dari hasil kedua table diatas, dapat diketahui bahwa kegiatan peledakan
dengan pemboran miring menghasilkan boulder rata-rata lebih sedikit dibandingkan
peledakan dengan pemboran tegak. Pada pemboran tegak terdapat boulder sebesar
0,5%, sedangkan pada pemboran miring menghasilkan boulder rata-rata 0,08%.
Terdapat penurunan jumlah boulder rata-rata yang dihasilkan sebesar 0,42%.

Recovery material peledakan juga mengalami peningkatan sebesar 16,31%,
dari hasil peledakan pemboran tegak sebesar 79,26% meningkat menjadi 95,57%
dengan menggunakan peledakan pemboran miring.

TABEL FRAGMENTASI KUMULATIF HASIL PELEDAKAN
1. Pemboran tegak
Table E.3
Fragmentasi kumulatif tanggal 3 April


Ukuran Fragmentasi
(cm)
Fragmentasi
%
Fragmentasi Kumulatif
%
1 - 20 cm 6.5 6.5
21 - 40 cm 20 26.5
41 -60 cm 55 81.5
61 - 80 cm 15 96.5
81 - 100 cm 3 99.5
> 100 cm 0.5 100


Table E.4
Fragmentasi kumulatif tanggal 10 April

Ukuran Fragmentasi
(cm)
Fragmentasi
%
Fragmentasi Kumulatif
%
1 - 20 cm 18 18
21 - 40 cm 20 38
41 -60 cm 40 78
61 - 80 cm 20 98
81 - 100 cm 1.7 99.7
> 100 cm 0.3 100



Table E.5
Fragmentasi kumulatif tanggal 11 April

Ukuran Fragmentasi
(cm)
Fragmentasi
%
Fragmentasi Kumulatif
%
1 - 20 cm 4.3 4.3
21 - 40 cm 20 24.3
41 -60 cm 25 49.3
61 - 80 cm 40 89.3
81 - 100 cm 10 99.3
> 100 cm 0.7 100


2. Pemboran miring


Table E.6
Fragmentasi kumulatif tanggal 24 April

Ukuran Fragmentasi
(cm)
Fragmentasi
%
Fragmentasi Kumulatif
%
1 - 20 cm 10.97 10.97
21 - 40 cm 14 24.97
41 -60 cm 50 74.97
61 - 80 cm 20 94.97
81 - 100 cm 5 99.97
> 100 cm 0.03 100



Table E.7
Fragmentasi kumulatif tanggal 29 Mei

Ukuran Fragmentasi
(cm)
Fragmentasi
%
Fragmentasi Kumulatif
%
1 - 20 cm 10 10
21 - 40 cm 15 25
41 -60 cm 35 60
61 - 80 cm 35 95
81 - 100 cm 5 100
> 100 cm 0 100

Table E.8
Fragmentasi kumulatif tanggal 8 Mei

Ukuran Fragmentasi
(cm)
Fragmentasi
%
Fragmentasi Kumulatif
%
1 - 20 cm 25 25
21 - 40 cm 35 60
41 -60 cm 15 75
61 - 80 cm 14.8 89.8
81 - 100 cm 10 99.8
> 100 cm 0.2 100








LAMPIRAN F
PERHITUNGAN JUMLAH BAHAN PELEDAK

A. Peledakan Pada Pemboran Tegak
Geometri peledakan saat ini adalah :
Burden (B)
freeface dengan baris 1 : 3 m
Baris 1 dengan baris 2 : 8 m
Baris 2 sampai seterusnya : 8 m
Spacing (S) : 9 m
Diameter Lubang : 77/8 inch = 200,025 mm
Stemming (T) : 4,2 m
Subdrilling (J) : 0,5 m
Kedalaman lubang ledak (H) : 8,5 m
Lubang isian handak(PC) : 4,3 m
Kemiringan : 0
0

Pola pemboran : Rectangular Staggered Pattern
Dengan asumsi jumlah lubang ledak 30 lubang setiap baris terdiri dari 10 lubang :














3 m
8 m
8 m
8 m
12,44 m
8,5 m
Freeface
3 m
8,5 m
50
0

Potensi terbentuk candi
12,53 m
8 m












1. Volume batuan yang terbongkar
V = B x S x L x n
A = B x S x n
Dimana :
B = Burden
S = Spacing
L = Tinggi jenjang
n = Jumlah lubang ledak
A = Luas batuan yang terbongkar

V
baris1
= [(
1
/
2
x 9,53x 8)+ (3m x 8m)]x 9 m x 10
= 5.590,8 m
3

V
baris2
= 8m x 9m x 8m x 10
= 5.760 m
3

V
baris3
= 8m x 9m x 8m x 10
= 5.760 m
3

V
total
= 2.541,2 + 5.760 + 5.760
= 17.110,8 m
3

2. Loading density
de = 0,000785 x 200,025
2
x SG bahan peledak
Dimana :
8,5 m
40
o
3
m
9,53 m
Tidak ter pengaruh
ledakan

8 m
12,44 m

de = Loading density (kg/m)
De = Diameter lubang ledak (200,025 mm)
SG = Berat jenis bahan peledak (1,15)
Maka :
de = 36,1 kg/m
3. Jumlah Emulsi yang digunakan
E = de x PC x n
Dimana :
E = Jumlah Emulsi (kg)
de = Loading density (36,1kg/m)
PC = Panjang kolom isian (4,3 m)
n = jumlah lubang ledak (30 lubang ledak)
Maka :
E = 36,1 kg/m x 4,3 m x 30
= 4.656,9 kg
4. Berat Batuan yang Terbongkar
W = V x SG batuan
Dimana :
W = Berat batuan yang diharapkan terbongkar (kg)
V = Volume batuan yang terbongkar (17.110,8 m
3
)
SG = Berat jenis batuan (2, 25 ton/m
3
)
Maka :
W = 17.110,8 m
3
x 2,25 ton/m
3

= 7.604,8 ton
5. Powder factor
Pf = E / V

Dimana :
Pf = Powder factor (ton/bcm)
V = Volume batuan yang terbongkar (17.110,8 bcm)

E = Jumlah bahan peledak yang digunakan (4.656,9 kg)
Maka :


= 0,27 kg/bcm
6. Kebutuhan Handak Per Lubang
Handak Per Lubang = π x r
2
x t x densitas handak
Emulsi = π x 0,1
2
m x 4,3m x 1,15 gr/cc
= 155,27 kg/lubang = 155,27/4,3m = 36,1 kg/m
Actual = 154 kg/lubang


B. Peledakan Pada Pemboran Miring
Dimana untuk geometri lubang miring adalah :
Burden (B)
Freeface dengan baris 1 : 3 m
Baris 1 dengan baris 2 : 5 m
Baris 2 sampai seterusnya : 8 m
Spacing (S) : 9 m
Diameter Lubang : 77/8 inch
Stemming (T) : 4,2 m
Subdrilling (J) : 0,5 m
Kedalaman lubang ledak (H) : 8,5 m
Lubang isian handak(PC) : 4,3 m
Kemiringan : 20
0
(untuk baris 1 saja, selanjutnya tegak)
Pola pemboran : Staggerd
Dengan asumsi jumlah lubang ledak 30 lubang setiap baris terdiri dari 10 lubang:



Pf =
4.656,9 kg
17.110,8 bcm
8,5m
4,3
200,025mm






















1. Volume batuan yang terbongkar
V = B x S x H x n
A = B x S x n
Dimana :
B = Burden
S = Spacing
H = Tinggi jenjang
n = Jumlah lubang ledak
A = Luas batuan yang terbongkar
Pada perhitungan volume batuan terbongkar dibaris ke-1 akan dibagi menjadi
beberapa bagian dikarenakan berbentuk trapesium sembarang.

40
0

9,5 m
8,5 m
2,9 m 0,1 m
12,44 m
8 m
2,9 m
5 m
9,28 m
3
5 m 8 m
8,5 m
8,5 m
20
0

8,5 m
8 m
2,8 m
8 m

V
baris1

Untuk luas segitiga besar
=
1
/
2
x 9,53 x 8m
= 38,12 m
2

Untuk luas segitiga kecil
=
1
/
2
x 2,9 x 8
= 11,6 m
2

Untuk luas persegi panjang
= 0,1 m x 8m
= 0,8 m
2

V
total baris1

= (38,12 m + 11,6 m + 0,8 m) x 9m x 10
= 4.564,8 m
2

V
baris2

Untuk luas segitiga
=
1
/
2
x 2,9m x 8m
= 11,6 m
2

Untuk luas persegi panjang
= 5m x 8m
= 40 m
2

V
total baris 2
= (11,6 m + 40 m) x 9m x 10
= 4.644 m
3

V
baris3
= 8m x 9m x 8m x 10
= 6120 m
3

V
total
= 4.564,8 + 4.644 + 6120
= 15.328,8 m
3



2. Loading density
de = 0,000785 x 200,025
2
x SG bahan peledak
Dimana :
de = Loading density (kg/m)

De = Diameter lubang ledak (200,025 mm)
SG = Berat jenis bahan peledak (1,15)
Maka :
de = 36,1 kg/m

3. Jumlah Emulsi yang digunakan
E = de x PC x n
Dimana :
E = Jumlah Emulsi (kg)
de = Loading density (36,1kg/m)
PC = Panjang kolom isian (4,3 m)
n = jumlah lubang ledak (30 lubang ledak)
Maka :
E = 36,1 kg/m x 4,3 m x 30
= 4656,9 kg

4. Berat Batuan yang Terbongkar
W = V x SG batuan
Dimana :
W = Berat batuan yang diharapkan terbongkar (kg)
V = Volume batuan yang terbongkar (15.547,5 m
3
)
SG = Berat jenis batuan (2,25 ton/m
3
)
Maka :
W = 15.328,8 m
3
x 2,25 ton/m
3

= 34.489,8 ton

5. Powder factor
Pf = E / V
Dimana :
Pf = Powder factor (ton/Bcm)
V = Volume batuan yang terbongkar (15.328,8 Bcm)

E = Jumlah bahan peledak yang digunakan (4656,9 kg)


Maka :


= 0,30 kg/Bcm
























Pf =
4656,9 kg
15.328,8 Bcm




LAMPIRAN G
WAKTU EDAR ALAT MUAT DAN PRODUKTIVITAS ALAT MUAT

Table I.1
Cycle Time Shovel Liebherr 9350 SH01A dan Jumlah Pengisian Dump Truck di
lokasi collar 2 Sebelum Pemboran Miring
Peres
Swing
Kosong
(detik)
Penggalian
(detik)
Swing
Isi
(detik)
Penumpahan
(detik)
Total
(detik) status
1 7.3 17.2 7.3 3.3 35.1 Munjung
2 7.1 13.4 7.3 7.3 35.1 Peres
3 5.4 8.1 6.7 3.8 24 Munjung
4 3.5 11.8 5.9 4.9 26.1 Munjung
5 7.6 10.2 6.6 4.4 28.8 Munjung
6 7.3 9.5 6.2 4.5 27.5 Peres
7 4.2 12.7 7.3 3.3 27.5 Munjung
8 6.4 14.8 7.2 3.3 31.7 Munjung
9 6.7 12 7.4 3.2 29.3 Munjung
10 5.2 14.8 7.1 4.2 31.3 Peres
11 6.2 11.1 8.2 3.1 28.6 Munjung
12 7.3 16.3 7.6 3.3 34.5 Munjung
13 5.5 11 5.5 4.5 26.5 Peres
14 8.9 15.8 6.8 3.1 34.6 Munjung
15 7.6 14.9 8.4 4.1 35 Munjung
16 6.3 11.4 5.2 3.9 26.8 Munjung
17 5.7 13.5 7.1 3.4 29.7 Peres
18 4.5 14.1 6.7 3.5 28.8 Munjung
19 7.8 11.2 6.5 3.7 29.2 Munjung
20 5.9 11.9 4.8 3.8 26.4 Munjung
21 8.1 12.2 6.5 3.6 30.4 Peres
22 7.1 11.4 6.6 3.9 29 Munjung
23 6.2 10.6 6 3.2 26 Munjung
24 9.5 15.3 4.9 5.1 34.8 Munjung
25 6.6 3.4 12.1 4.9 27 Peres
26 5.7 14.4 7.4 3.6 31.1 Munjung
27 4.8 12.3 5.9 3.9 26.9 Peres

28 5.5 11.2 6.8 4.5 28 Munjung
29 6.4 9.8 7.3 3.8 27.3 Munjung
30 4.4 16.4 8.8 3.6 33.2 Munjung
31 6.2 11.3 6.7 3.5 27.7 Munjung
32 6.3 11.8 5.4 4.7 28.2 Munjung
33 7.2 11 8.3 3.9 30.4 Munjung
34 6.4 15.4 6.6 3.8 32.2 Peres
35 5.4 12.3 8.4 3.9 30 Munjung
36 5.3 14.1 5.2 3.1 27.7 Munjung
37 6.2 12.9 7.3 3.5 29.9 Peres
37 6.3 12.5 7.9 3.2 29.9 Munjung
38 5.8 12.2 8.6 4.9 31.5 Peres
40 6.1 10.2 9.3 4.3 29.9 Munjung
251.9 496.4 281.8 157.5 1187.6 70%
6.30 12.41 7.05 3.94 29.69 30%

Waktu rata-rata swing kosong SH01A
= 6,30 detik
Waktu rata-rata penggalian Liebherr SH01A
= 12,41 detik
Waktu rata-rata swing dengan bucket terisi dan waktu penumpahannya
= 7,05 detik
Waktu rata-rata penumpahan ke bucket
= 3,94 detik
Waktu rata-rata Edar
= 29,69 detik
Fill factor = 1,3
Munjung = 70%
Peres = 30%





Table I.2
Cycle Time Shovel Liebherr 9350 SH02A dan Jumlah Pengisian Dump Truck di
lokasi collar 2-3 Sebelum Pemboran Miring

Peres
Swing
Kosong
(detik)
Penggalian
(detik)
Swing
Isi
(detik)
Penumpahan
(detik)
Total
(detik) status
1 6.4 16.1 8.2 4.3 35 Munjung
2 8.1 14.9 6.2 3.6 32.8 Munjung
3 7.3 14 7.4 3.5 32.2 Munjung
4 7.2 14.2 8.1 3.9 33.4 Munjung
5 5.5 16.2 6.9 3.1 31.7 Munjung
6 5.3 11.6 5.4 3.5 25.8 Munjung
7 5.9 11.7 10.4 3.4 31.4 Munjung
8 7.8 12.2 8.4 3.6 32 Munjung
9 8.5 12.1 6.9 3.8 31.3 Munjung
10 9.1 12.4 5.8 4.2 31.5 Munjung
11 6.4 8.9 5.7 3.6 24.6 Peres
12 7.8 10.1 6.1 3.8 27.8 Munjung
13 7.4 11.2 7.2 3.2 29 Peres
14 8.2 11.4 7.6 3.3 30.5 Peres
15 9.5 15.8 10.1 3.1 38.5 Munjung
16 5.7 12.9 5.9 3.9 28.4 Munjung
17 6.2 16.1 7.4 3.5 33.2 Peres
18 6.8 17.8 7.4 3.8 35.8 Peres
19 6.7 10.6 7.2 3.4 27.9 Munjung
20 8.3 11.1 7.1 3.6 30.1 Peres
21 8.1 12.4 6.7 3.5 30.7 Munjung
22 6.7 15.2 6.4 4.6 32.9 Munjung
23 6.4 12.1 6.9 3.7 29.1 Munjung
24 6.4 12.6 7.8 3.7 30.5 Peres
25 7.6 12.3 8.4 4.6 32.9 Munjung
26 7.9 9.1 8.2 4.4 29.6 Peres
27 7.3 12.7 5.8 3.5 29.3 Peres
28 7.2 14.2 8.3 3.9 33.6 Munjung
29 5.5 12.3 6.7 3.7 28.2 Munjung
30 5.3 10.4 7.6 4.1 27.4 Peres
31 8.2 16.8 7.4 3.7 36.1 Munjung
32 7.3 11.2 9.2 3.6 31.3 Peres
33 7.5 11.9 5.6 3.2 28.2 Munjung

34 7.8 11.9 5.4 3.8 28.9 Munjung
35 8.1 12.6 5.9 3.7 30.3 Munjung
36 6.4 16.5 6.5 3.7 33.1 Peres
37 6.2 12.3 5.7 3.5 27.7 Munjung
37 7.6 15.5 6.3 4.7 34.1 Munjung
38 9.3 12.1 6.7 3.8 31.9 Munjung
40 6.4 12.4 6.5 4.3 29.6 Munjung
41 6.7 11.8 7.9 4.5 30.9 Munjung
42 5.3 9.2 5.2 3.7 23.4 Peres
43 6.5 11.4 8.4 3.6 29.9 Peres
44 6.6 12.4 5.6 3.6 28.2 Munjung
45 7.1 12.1 6.7 3.2 29.1 Munjung
46 6.3 12.5 6.1 5.1 30 Munjung
47 5.4 12.4 8.4 3.6 29.8 Peres
48 6.4 12.1 8.2 3.9 30.6 Peres
337.6 611.7 339.9 181 1470.2 66.67%
7.03 12.74 7.08 3.77 30.63 33.33%


Waktu rata-rata swing kosong SH02A
= 7,03detik
Waktu rata-rata penggalian Liebherr SH02A
= 12,74 detik
Waktu rata-rata swing dengan bucket terisi dan waktu penumpahannya
= 7,08 detik
Waktu rata-rata penumpahan ke bucket
= 3,77 detik
Waktu rata-rata Edar
= 30,63 detik
Fill factor = 1,3
Munjung = 66,67%
Peres = 33,33%


Table I.3
Cycle Time Shovel Liebherr 9350 SH01A dan Jumlah Pengisian Dump Truck di
lokasi collar 2-3 Setelah Pemboran Miring
Peres
Swing
Kosong
(detik)
Penggalian
(detik)
Swing
Isi
(detik)
Penumpahan
(detik)
Total
(detik) status
1 9.3 12.1 10.1 3.8 35.3 Munjung
2 5.4 12.4 5.3 3.5 26.6 Munjung
3 7.7 12.5 7.7 4.4 32.3 Peres
4 5.8 12.9 7.3 4.2 30.2 Munjung
5 4.7 12.6 5.5 3.6 26.4 Munjung
6 4.8 12.3 10.4 5.3 32.8 Munjung
7 4.9 12.4 4.6 3.1 25 Munjung
8 4.6 11.9 6.3 3.7 26.5 Munjung
9 6.2 13.3 9.1 3.2 31.8 Munjung
10 7.5 12.3 8.3 4.9 33 Munjung
11 6.1 12.7 7.7 3.5 30 Munjung
12 7.5 13.1 7.1 4.7 32.4 Munjung
13 8.8 11.6 6.4 3.1 29.9 Munjung
14 6.6 13.9 5.3 3.7 29.5 Munjung
15 6.8 13.1 5.7 3.8 29.4 Munjung
16 7.9 12.4 6.3 3.9 30.5 Munjung
17 7.3 10.3 7.8 3.1 28.5 Peres
18 6.4 12.6 7.1 4.5 30.6 Munjung
19 7.5 13.5 8.3 3.6 32.9 Munjung
20 7.1 10.4 7.2 4.6 29.3 Munjung
21 7.3 11.6 7.8 5.7 32.4 Munjung
22 7.7 12.9 7.3 3.9 31.8 Munjung
23 6.8 11.4 6.2 4.6 29 Munjung
24 5.4 11.6 8.4 3.2 28.6 Munjung
25 7.4 11.2 6.5 3.3 28.4 Munjung
26 6.2 10.7 7.7 4.2 28.8 Munjung
27 5.1 8.3 6.3 4.7 24.4 Peres
28 6.4 10.8 9.2 3.7 30.1 Munjung
29 6.8 9.9 5.9 3.6 26.2 Munjung
30 6.7 8.4 5.7 3.9 24.7 Munjung
31 7.2 12.5 5.7 3.7 29.1 Munjung
32 7.5 9.4 7.2 3.4 27.5 Peres
33 7.1 10.6 6.8 3.6 28.1 Munjung
34 7.9 12.9 6.4 3.7 30.9 Munjung

35 7.3 12.7 6.6 3.4 30 Munjung
36 6.3 10.7 6.2 3.1 26.3 Munjung
37 7.6 12.9 6.8 3.2 30.5 Munjung
37 8.7 11.2 7.8 4.9 32.6 Munjung
38 8.5 11.4 5.9 4.5 30.3 Munjung
40 7.5 10.2 5.8 5.6 29.1 Peres
41 7.7 12.7 6.7 3.2 30.3 Munjung
42 6.8 12.5 7.3 4.7 31.3 Munjung
43 6.7 9.5 7.2 4.5 27.9 Munjung
44 8.4 7.7 6.6 3.6 26.3 Peres
45 9.1 11.2 6.4 3.4 30.1 Munjung
46 7.5 11.4 5.8 4.6 29.3 Munjung
47 7.3 9.5 5.2 4.7 26.7 Munjung
48 7 10.5 6.2 4.4 28.1 Munjung
49 5.3 10.3 7.5 4.1 27.2 Peres
340.1 564.9 338.6 195.3 1438.9 85.71%
6.9 11.5 6.9 3.99 29.4 14.29%

Waktu rata-rata swing kosong SH01A
= 6,9 detik
Waktu rata-rata penggalian Liebherr SH01A
= 11,5 detik
Waktu rata-rata swing dengan bucket terisi dan waktu penumpahannya
= 6,9 detik
Waktu rata-rata penumpahan ke bucket
= 3,99 detik

Waktu rata-rata Edar
= 29,4 detik
Fill factor = 1,3
Munjung = 85,71%
Peres = 14,29%


Table I.4
Cycle Time Shovel Liebherr 9350 SH02A dan Jumlah Pengisian Dump Truck di
lokasi collar 2-3 Setelah Pemboran Miring

Peres
Swing
Kosong
(detik)
Penggalian
(detik)
Swing
Isi
(detik)
Penumpahan
(detik)
Total
(detik) status
1 7.5 13.8 6.6 3.8 31.7 Munjung
2 7.8 12.9 7.1 3.7 31.5 Munjung
3 7.5 12.7 6.3 3.8 30.3 Munjung
4 6.4 7.5 7.5 3.9 25.3 Peres
5 6.1 12.9 7.8 3.8 30.6 Munjung
6 5.8 13.6 5.1 3.5 28 Munjung
7 6.3 8.7 5.4 4.1 24.5 Peres
8 5.4 13.4 5.8 4 28.6 Munjung
9 5.5 12.7 6.7 3.6 28.5 Munjung
10 5.2 12.2 5.2 3.8 26.4 Munjung
11 5.5 10.4 7.4 3.3 26.6 Munjung
12 6.3 9.1 7.1 3.5 26 Munjung
13 7.3 12.6 5.8 4.2 29.9 Munjung
14 8.1 12.1 6.2 3.8 30.2 Munjung
15 5.4 12.3 7.3 3.8 28.8 Munjung
16 5.2 12.4 7.9 3.9 29.4 Munjung
17 6.7 13.5 8.2 3.4 31.8 Munjung
18 5.2 13.4 6.2 3.6 28.4 Munjung
19 5.4 12.9 7.8 3.8 29.9 Munjung
20 5.2 8.6 7.1 3.2 24.1 Munjung
21 5.8 12.4 8.3 3.3 29.8 Munjung
22 5.6 13.8 7.2 3.1 29.7 Munjung
23 7.8 8.2 7.8 3.9 27.7 Peres
24 7.3 12.4 7.3 3.5 30.5 Munjung
25 5.5 9.3 6.5 3.6 24.9 Munjung
26 5.7 9.8 7.7 3.6 26.8 Peres
27 7.7 13.5 6.3 3.2 30.7 Munjung
28 7.2 11.8 9.2 5.1 33.3 Munjung
29 5.6 12.7 5.9 3.8 28 Munjung
30 6.7 10.6 8.3 3.7 29.3 Munjung
31 6.5 12.7 6.7 3.7 29.6 Munjung
32 5.8 12.9 7.6 3.5 29.8 Munjung
33 5.4 9.2 7.4 4.7 26.7 Munjung

34 6.3 10.8 9.2 3.8 30.1 Munjung
212.7 397.8 239.9 127 977.4 88.24%
6.26 11.70 7.06 3.74 28.747 11.76%


Waktu rata-rata swing kosong SH02A
= 6,26 detik
Waktu rata-rata penggalian Liebherr SH02A
= 11,7 detik
Waktu rata-rata swing dengan bucket terisi dan waktu penumpahannya
= 7,06 detik
Waktu rata-rata penumpahan ke bucket
= 3,74 detik
Waktu rata-rata Edar
= 28,74 detik
Fill factor = 1,3
Munjung = 88,24%
Peres = 11,76%

Produksi alat adalah besarnya jumlah material yang dihasilkan oleh alat
tersebut yang dioperasikan dalam satu satuan periode tertentu. Semakin besar
produksi suatu alat maka semakin baik tingkat penggunaan alat tersebut.
Produksi teoritis alat muat merupakan kemampuan track loader untuk
memuatkan sejumlah material sesuai dengan target produksi yang telah ditetapkan
dan disesuaikan dengan spesifikasi alat tersebut.
Rumus produksi:
) / ( ) (
3600
jam bcm xMAxEU KBxFf x
CTMxN
Qtm =
Keterangan :
Qtm = Kemampuan produksi alat muat, bcm/jam
CTm = Waktu edar alat muat sekali pemuatan, detik

KB = Kapasitas bucket, m
3

FK = Kapasitas bucket HD, m
3

Ff = Faktor pengisian mangkuk alat muat,
Bm = persentase bucket munjung, %
EU = Effective Utilization, %
MA = Mechanical Avaibility, %
Dari data pada tabel I.1. untuk kegiatan pemuatan hasil peledakan lubang
tegak untuk daerah penelitian di front kerja alat muat Shovel 9350 SH01A diperoleh:
Kapasitas Bucket (KB) = 18 m
3

Cycle time rata-rata = 29,69 detik
Avarage Bucket Fill Factor (Ff) = 1,3
Jumlah bucket munjung = 70%
EU = 85 %
MA = 80%
Jumlah curah (n) = 3
Maka faktor koreksi untuk Shovel 9350 SH01A sebesar :







= 450,18 bcm/jam







Qtm = x (KBxFfxBm) x MA x
EU
CTM x n
3600 detik/jam
= x (18 x 1,3x0,7) x 0,85 x 0,8
29,69 x 3
3600 detik/jam


Dengan cara yang sama, maka didapat tabel produksi alat muat Shovel
Tabel I.5.
Produktifitas Alat Muat Pada Peledakan Lubang Tegak
alat 
kapasitas 
bucket 
cycle 
time 
Bucket 
munjung
Jumlah 
curah  EU  MA  produksi 
   (m³)  detik  (%)     (%)  (%)  (bcm/jam)
SH01A  18  29.69 70 3 85 0.8  450,18
SH02A  18  30.63 66.67 3 85 0.8   411,43

Tabel I.6.
Produktifitas Alat Muat Pada Peledakan Lubang Miring
alat 
kapasitas 
bucket 
cycle 
time
Bucket 
munjung
Jumlah 
curah EU MA  Produksi
   (m³)  detik  (%)     (%)  (%)  (bcm/jam)
SH01A  18  29.4 85.71 3 85 0.8  552,04
SH02A  18  28.7 88.24 3 85 0.8   585,47
Dari tabel diatas diperoleh peningkatan produksi untuk alat muat Shovel 9350
SH01A saat melakukan pemuatan hasil peledakan lubang tegak dengan peledakan
lubang miring sebesar 22,62 % dan 42,30% untuk SH02A.











Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close