Surrogate Mother

Published on February 2018 | Categories: Documents | Downloads: 38 | Comments: 0 | Views: 742
of 15
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

SURROGATE MOTHER (IBU PENGGANTI/SEWA RAHIM) DALAM PERSPEKTIF HUKUM Februari 21, 2013Uncategorized Abstrak : Diskursus mengenai surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim) merupakan diskursus yang masih banyak diperbincangan dalam bidang teknologi kedokteran. Salah satu hal yang menarik adalah karena praktek sewa rahim banyak menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat antara lain dengan hadirnya bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri yang dititipkan pada seorang perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan dengan suami dari si istri tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara berantai, mulai dari hak hidup sampai dengan hak waris dan nasab. Key words : Surrogate mother, Perundang-undangan, Hukum Perdata, Hak Asasi Anak, Hukum Islam Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung. Ditinjau dari aspek teknologi dan ekonomi proses surrogate mother ini cukup menjanjikan terhadap penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi ternyata proses ini terkendala oleh aturan perundang-undangan yang berlaku serta pertimbangan etika, norma-norma yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan perjanjian yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum perikatan nasional, terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu rahim, baik sebagai benda maupun difungsikan sebagai jasa. Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam

rahim istri dari mana ovum berasal; b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertntu. Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut. Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim 1. Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang kerana pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain. 2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukandan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu. 3. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik. 4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause). 5. Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil. Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain. Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang. Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan

merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian. Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu pokok persoalan tertentu. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut : 1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif): a. UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan: 1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; 2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; 3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. b. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan. 1) Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik. 2) Pasal 10 : (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan. c. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman: 1) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1) 2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2) 3) Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4) 2. Bertentangan dengan kesusilaan: a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya. b. Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina. 3. Bertentangan dengan ketertiban umum: a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.

b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda. 4. Point 1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjianperjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undangundang. 5. Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewamenyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Sewa Rahim ditinjau dari Hak Asasi Anak Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus penyewaan rahim anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat berpindah dari ibu yang satu ke ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu yang melahirkan hilang karena tergerus oleh perjanjian orang dewasa, yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya bermaksud memenuhi segala macam keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari tarik menarik dua kehendak ini, anak dijadikan sebagai obyek “perdagangan”. Praktek sewa rahim atau ibu pengganti tidak disadari sudah menghancurkan masa depan kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu tega memberikan bayi yang dikandung dan dilahirkannya kepada orang lain, padahal ia sudah mempertaruhkan nyawanya sendiri. Hanya ada satu jawaban jika itu terjadi yaitu motif ekonomi. Latar belakang ekonomilah yang paling kuat melandasi praktek sewa rahim tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian tidak mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya kelak, baik bagi dirinya sediri maupun bagi bayi yang akan dilahirkannya kelak. Dalam kasus sewa rahim terdapat sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hak tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran : 1. Penelantaran : a. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang dilahirkan oleh “si ibu sewa” tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungnya sendiri. b. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. c. Anak disuramkan asal usulnya. d. Anak dipisahkan dari ibu kandungnya. 2. Perlakuan salah : a. Anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum antara lain tidak dilahirkan di luar pernikahan sah, baik menurut agama maupun negara. b. Anak dieksploitasi secara ekonomi. c. Anak membawa beban psikologi yang berat. Dalam prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak yang dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk melahirkan tanpa nikah dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak buruk serta penderitaan terhadap masa depan anak, di antaranya adalah :

1. Anak terlahir dengan status “anak di luar nikah”. 2. Anak kehilangan hak waris orang tua kandungnya. 3. Anak mendapat stigma buruk di masyarakat. 4. Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua titipan. Mengenai point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau sangkalan dari dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang tua biologis. Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya penolakan anak : 1. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut tidak terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh ayah biologisnya (penitip sperma), apalagi jika anak tersebut terlahir dalam keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya. 2. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh suami dari ibu tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang berbunyi : 1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan. 2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang dilahirkan melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan statusnya sesaat setelah dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia. Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Ada dua kelompok sehubungan dengan permasalahan ini, yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan dan kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah : a. Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu : 1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa MUI mengatakan bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung dengan sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri. Proses kehamilan tidak dalam rahim wanita atau sel telur dari donor, atau benihnya dari pasangan suami isteri, tetapi embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain, maka pelaksanaan inseminasi buatan dan bayi tabung demikian itu tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam. 2. Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya. b. Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:

1. Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya. 2. H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Pendapat di atas menyamakan status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim dengan anak angkat, yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi. Sewa Rahim Menurut Pandangan Hukum Islam • Diskursus tentang Penentuan Orang yang Paling Berhak Atas Anak. Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si anak. Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya : Pendapat pertama : Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan. Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan hujah kebanyakan doktor. Pendapat kedua : Menurut sebahagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang

melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana ‫( الولد للفراش‬anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw. • Diskursus Mengenai Nasab dari Jalur Bapak. Kemudian diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur Bapak, Bapak yang mana yang berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut : Dalam persoalan ini, para ulama terbagi kepada 2 pendapat besar yaitu : Pendapat pertama : Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dilihat dari sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw : ‫ الولد للفرا ش وللعاهر الحجر‬: ‫عن عا ئشة ان النبي صلى ال عليه وسلم قال‬ Artinya : “Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.” Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim dan merupakan kaedah umum syara’ dalam menetapkan haramnya pernikahan dan cara untuk menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan kepada suami dari isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik. Pendapat kedua : Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di Makkatul Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa anak yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas dasar persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justeru, anak itu dinasabkan kepada mereka berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari segi syara’, tapi tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang tidak benar secara shar’i. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah disenyawakan tidak terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan makanan untuk tumbuh menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan seperti kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang haram sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai memutuskan hubungan antara mereka. Pendapat ketiga :

Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah karena Rasulullah saw telah meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zam’ah dari segi zahirnya berdasarkan ‫ الولد للفراش‬. Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allah–lah yang tahu. Pendapat ini mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam beberapa keadaan karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan shar’i yang sah. Hujah ini dijawab bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zam’ah karena dalam kisah anak Zam’ah tersebut, janin itu terhasil daripada percampuran air mani antara dua orang lelaki dan perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu (‘Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua orang pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu dinasabkan kepada mereka. Syarat-syarat terjadinya Penyewaan Rahim Dr. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum ini sampai diberlakukan dan demi untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan antara lain sebagai berikut : 1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami, bukan anak dara atau janda. 2. Wanita itu juga wajib mendapatkan keizinan suaminya, kerana kehamilan akan menghalangnya daripada menyempurnakan beberapa hak suaminya sepanjang tempoh kehamilan dan nifas seperti hubungan seks dan sebagainya. 3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari suaminya, bimbang 4. masih terdapat benih yang disenyawakan pada rahimnya yang akan menyebabkan berlaku percampuran nasab 5. Nafkah ibu tumpang, kos rawatan dan penjagaannya 6. sepanjang tempoh kehamilan dan nifas adalah 7. tanggungjawab suami pemilik benih, atau wali selepasnya, kerana janin tersebut membesar daripada darahnya. Justeru, wajib bagi bapa tersebut membayar kadar kehilangan darah itu. 8. Thabit kesemua hukum penyusuan pada ibu tumpang dengan menggunakan ‘qias aula’ kerana ibu tumpang lebih berat tanggungannya daripada ibu susuan, kecuali suami ibu tumpang tersebut tidak dikira sebagai bapa susuan kepada bayi itu. Ini kerana bapa susuan dikira sebagai bapa bagi anak susuannya kerana susu itu terhasil apabila ibu susuan itu melahirkan anak hasil hubungan mereka suami isteri, berbeza dengan suami ibu tumpang yang tidak memiliki apa-apa hubungan dengan bayi yang dilahirkan. 9. Ibu tumpang berhak untuk menyusukan bayi itu jika beliau ingin berbuat demikian kerana membiarkan susu pada badannya akan memudaratkan fizikal, sebagaimana perasaannya juga terkesan apabila anak itu diambil daripadanya kerana Allah menjadikan penyusuan itu berkaitan dengan proses kelahiran 10. Akhirnya, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan pendapatnya bahawa wajar bagi ibu tumpang ini mendapat keistimewaan yang lebih berbanding ibu susuan, seumpama nafkah daripada anak ini kepada ibu yang melahirkannya sekiranya beliau berkemampuan dan ibunya berhajat kepada nafkah kelak. Posisi Sewa Rahim atau Ibu Pengganti di Indonesia.

Walaupun teknologi kedokteran di bidang infertilisasi semakin canggih, akan tetapi untuk dapat diwujudkan di Indonesia masih sangat beresiko, baik dari aspek perundang-undangannya, aspek sosial budayanya, kultur agamanya, maupun kesiapan mentalnya. Dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 73 tahun 1999 pasal 10 butir 1 dan 2, memang teknologi reproduksi mempunyai peluang untuk terlaksananya praktek sewa rahim walaupun hanya ditujukan kepada pasangan suami istri yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serya berdasarkan pada suatu indikasi medik, namun Penulis berpendapat bahwa Indonesia tidak cukup siap untuk menerapkan teknologi kedokteran tersebut. Hal ini bukan saja kultur budaya bangsa Indonesia yang masih menganggap “tabu” akan tetapi terutama disokong oleh perangkat aturan yang tidak siap, jauh dari tertib. Menerima praktek sewa rahim ini berarti merubah sederet pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku. Untuk membenahi hak-hak anak di luar nikah pun selama 35 tahun tidak ada satu pun draf yang berhasil digolkan sebagai undang-undang, padahal masalah tersebut merupakan amanat dari undang-undang, lihat pasal 43 butir 2 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, apalagi ditambah dengan masalah baru yang melibatkan diskursus panjang tentang nasab, waris, pelanggaran hak asasi manusia, dll. Setidaknya ada beberapa pasal yang dapat dijadikan rujukan sebagai dasar penolakan adanya sewa rahim tersebut antara lain adalah : 1. UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan 127 ayat (1). 2. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999, pasal 4 dan 10. 3. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS. 4. Kesusilaan dan Ketertiban Umum. 5. Pasal 1339 KUH Perdata. MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut : a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama). b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya). c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya. The Internasional Islamic Center for Population Studies and research, Cairo-Mesir, November 2000 : a. In Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio dari donor. b. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk

menghindari penyakit keturunan. c. Penelitian-penelitian untuk pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan. d. Implantasi embrio pada suami yang sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap. e. IVF pada wanita menapause dilarang karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan ibu dan bayinya. f. Tansplantasi uterus masih dalam pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitian pada binatang. g. Penggunaan sel tunas (stem cell) untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning) masih dalam perdebatan, diminta untuk dapat disetujui. h. Reproduktive cloning atau duplikasi manusia tidak diperbolehkan. Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma’ Fiqih Islamic: Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat: a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya. b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita. c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sperma suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut. d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri. e. Sperma dari indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain. Suami dan istri atau salah satu dari keduanya dianjurkan untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan, demi membantu mereka dalam mewujudkan kelahiran anak. Namun, disyaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga diantara mereka. Misalnya, dalam masalah sewa rahim. Jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitu pula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, ini pun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan yang membingungkan, “Siapakah sang ibu bayi dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang mederita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Selain ibu tumpang anak persenyawaan in vitro juga kemungkinan membawa penyakit penyakit pada ibu tumpang. Sama sepeti patogen yang memasuki badan embrio berkemungkinan tidak dipastikan benar bebas dari kuman dan virus yang mana akan mengubah serba sedikit genetik bayi. Disamping sebab kesehatan emosi ibu tumpang juga harus diketahui apakah ia benar ikhlas atau pun terpaksa menjadi ibu tumpang. Emosi yang tidak stabil akan menggangu emosi anak yang dikandung, selain itu, ibu tumpang juga harus diberikan rawatan sepenuhnya sebelum mengandung dan selepas mengandung. Ibu tumpang yang sakit melahirkan anak, kemungkinan akan menyebabkan emosinya terus terganggu, dengan beban pikiran bahwa anaknya itu akan diberikan pada orang, setiap ibu mempunyai perasaan yang tersendiri dan tidak pernah ada ibu yang tidak menyayangi anaknya.

Para ahli fiqh sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan para ahli fiqih lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita “pemilik ilmu pengetahuan dan teknologi”. Bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan suami istri yang sah dibenarkan oleh Islam, selama mereka berdua dalam ikatan perkawinan yang sah. Tetapi kalau bayi tabung tersebut dari hasil bantuan donor sperma atau ovum dari orang lain yang tidak ada hubungan perkawinan yang sah atau dari pembuahan percampuran ovum dan sperma suami istri yang sah, kemudian dimasukkan ke dalam rahim orang lain (sewa rahim), maka hukumnya haram sama dengan zina dan kedudukan bayi tersebut sama dengan anak zina. Demikian pula jika sperma suami dan ovum dari salah seorang istri yang dimasukkan ke dalam rahim istrinya yang lain, maka hukumnya tetap haram, karena terkait dengan masalah warisan dan nasab dari sebelah ibu, yang mana ibunya, istri yang pertama atau yang kedua dan seterusnya. Perbuatan tersebut tergolong zina dan menyulitkan hukum Islam dalam masalah : 1. Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan. 2. Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb. 3. Nabi Salallahu alaihi wassallam mengharamkan penempatan nutfah pada rahim perempuan yang bukan istrinya. Kedudukan ibu senantiasa dikaitkan dengan tugasnya sebagai seorang yang mengandung dan melahirkan, seperti yang ditegaskan Al-Qur’an di dalam beberapa ayat, misalnya surat AlMujadallah ayat 2, “ibu-ibu mereka tidak lain adalah perempuan yang melahirkan mereka”, surat Al-Anfal [8]: 15 “ibunya mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah juga” dan surat Al-Baqoroh [2]: 233, Ia tudharra walidatun bi waladiha (janganlah seorang ibu menderita karena anaknya). PENGERTIAN PENYEWAAN RAHIM Penyewaan rahim dalam bahasa Arab dikenali dengan berbagai nama, diantaranya ,‫ال م المستأجرة‬ ‫ تأجير الحرحا م‬,‫ الر م المستعاحر‬,‫ ال م الكذيبة‬,‫ ال م البديلة‬tetapi lebih dikenali sebagai ‫ الرحم المستأجر‬dan ‫ال م‬ ‫البديلة‬manakala dalam bahasa Inggeris pula dikenali sebagai ‘surrogate mother’. Menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih lelaki (sperma) (yang kebiasaannya suami isteri), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan. Kemudian anak itu diberikan semula kepada pasangan suami isteri itu untuk memeliharanya dan anak tersebut dikira anak mereka dari sudut undang-undang. Kaedah ini dikenali dengan sewa rahim karena lazimnya pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan membayar sejumlah wang kepada ibu tumpang atau syarikat yang menguruskan kerja mencari ibu tumpang (si penyewa rahim) yang sanggup mengandungkan anak percantuman benih mereka dan dengan syarat ibu tumpang tersebut akan menyerahkan anak tersebut setelah dilahirkan atau pada masa yang dijanjikan. SEBAB ATAU TUJUAN PENYEWAAN RAHIM Terdapat beberapa sebab yang akan menyebabkan sewa rahim dilakukan, antaranya: 1) Seseorang wanita tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara biasa kerana ditimpa penyakit atau kecacatan yang menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.

2) Rahim wanita tersebut dibuang kerana pembedahan Wanita tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul bebanan kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat kehamilan. 3) Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (menopause) Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain. C. BENTUK-BENTUK PENYEWAAN RAHIM Bentuk pertama: Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami(sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik , tetapi tetapi rahimnya dibuang kerana pembedahan , kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain. Bentuk kedua: Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukandan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu. Bentuk ketiga: Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik. Bentuk keempat: Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovari dan rahimnyatidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause). Bentuk Kelima : Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan , kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil. D. HUKUM PENYEWAAN RAHIM MENURUT ISLAM Dalam Islam,hukum penyewaan rahim adalah HARAM, hal ini berlandaskan berdasarkan dalildalil dibawah ini: a) Tidak adanya hubungan perkawinan antara pemilik sperma dengan pemilik rahim Hal yang selalu diulangi di dalam Islam adalah adanya anak selalu dilandasi melalui proses perkawinan yang sah antara suami isteri yang tercakup di dalamnya rukun dan segala syarat.Maka di dalam proses sewa rahim tersebut jelaslah bahwa antara pemilik sperma dan pemilik rahim tidak memiliki hubungan perkawinan yang jelas. Dalil syariat telah menetapkan bahwa seorang anak hanya akan lahir dari perkawinan yang sah dan keturunan baik lelaki dan perempuan adalah merupakan rahmat dari sebuah perkawinan.(surat Ra’du 38 dan surat Nahlu 72) b) Adanya ikatan syari’(nikah) antara hak melakukan pembuahan di dalam rahim seseorang dan hak melakukan jima’( menggauli) dengan pemilik rahim. Di dalam fiqih Islam terdapat Qaidah, ” Siapa saja yang berhak melakukan jima’ dengan seorang perempuan maka perempuan berhak hamil dari hasil hubungan tersebut. Maka jelaslah bahwa barang siapa yang tidak berhak untuk melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan maka perempuan tidak berhak menjadikan dirinya hamil. Dan hak menggauli hanya ada pada

suami isteri. Bagaimana jika perempuan tempat tumpangan pembuahan adalah isteri kedua dari seorang laki laki???? Jika suami memiliki dua orang isteri lalu dia menggauli isteri pertama kemudian hasil pencampuran ovum dan sperma dengan isteri pertama diletakkan pada isteri kedua maka dalam keadaan ini hal tersebut tetap dilarang dan dihukum haram karena akan menimbulkan pertentangan antara isteri pertama dan kedua sedangkan pertentangan itu dilarang di dalam Islam ( Surat Al-Anfal ayat 46) Jika kedua isteri telah bersepakat? Bangaimana jawabannya… Kesepakatan ini nantinya akan membawa penyesalan di dalm diri kedua isteri tersebut dan ini juga memisahkan antara anak dan isteri padahal hal itu sangatlah terlarang. c) Tidak sah rahim itu menjadi barang jual beli. Di dalam Islam terdapat hal hal yang dibenarkan oleh syariat untuk dijadikan barang jual beli, namun ada juga yang tidak boleh diperjual belikan diantaranya adalah isteri. Seorang isteri tidak boleh diperjual belikan dan termasuk di dalamnya rahim isteri. Karena kita hanya dapat memamfaatkan isteri itu bagi diri kita saja dan tidak boleh menjadikan manfaat yang dibawa isteri itu terhadap orang lain. Seperti menjual isteri atau menjual rahimnya saja. Maka tidak bolehnya disewa rahim bagi yang bukan suami adalah agar nasab seseorang tetap terjaga karena memerhatikan nasab merupakan salah satu asas dari kehiupan bersyariat. Adanya proses sewa rahim yang demikian itu menunjuki kepada makna zina, bukan zina hakikat tetapi zina secara maknawi dan pelaku zina dalam model sewa rahim ini tidak diberlakukan hukuman had karena zina hakikat itu hanya dianggap zina jika bertemu dua kelamin yang berbeda. d) Syariat Islam mengharamkan segala hal yang membawa kepada persilisihan diantara manusia Islam selalu melarang adanya perselisihan diantara manusia, maka sewa rahim itu akan membawa manusia berselisih dan tidak jelas nasabnya seperti perselisihan antara dua orang perempuan yang mana yang menjadi ibu si anak dan juga pertentangan di dalm warisan. e) Syariat melarang percampuran nasab. Dengan sebab penyewaan rahim itu maka nasab anak akan tercampur dan susah untuk menelitinya apalagi jika sekiranya perempuan yang disewa rahimnya memiliki suami maka akan terjadi perselisihan anak dari hasil sewa rahim yang terlahir atau anak dari suami sebenarnya. Seperti dikisahkan cerita menarik yang terjadi di Jerman , seorang perempuan yang tidak bisa hamil bersepakat dengan perempuan lainnya untuk melakukan kehamilan terhadap hasil hubungannnya dengan suaminya, kemudian perempuan yang disewa rahim tadi hamil dan melahirkan dengan membayar 27 mark jerman. Kemudian setelah lama maka diteliti rupanya anak yang lahir adalah anak dari hasil hubungan perempuan yang disewa rahimnya dengan suaminya, bukan anak dari suami isteri yang membayar tadi. f) Penyewaan rahim akan mengakibatkan terlantarnya anak dan menyebabkan orang tua melepaskan tanggung jawab. Dengan adanya proses penyewaan rahim maka antara orang tua saling melepaskan tanggung jawab dan akan menjadikan anak tersebut kehilangan pelindung dan pendidik. Maka hal ini sangat dilarang oleh agama juga undang undang negara melarang seorang orang tua melepaskan tanggung jawabnya karena anak adalah amanah dan akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah Swt. Lalu kepada siapa sang anak di beri nasab??? Jika perempuan yang disewa rahimnya tidak memilki suami maka anak tadi dinasab langsung kepada suami dari perempuan pemilik ovum. Namun jika perempuan yang disewa rahimnya memilki suami maka kembali harus diteliti melalui test DNA lelaki mana yang berhak menjadi ayahnya, apakah pemilik sperma dari suami perempuan pertama atau lelaki isteri perempuan yang disewa rahimnya.

E. PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI PENYEWAAN RAHIM Para Ulama’ bersepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam keadaan berikut: 1) Menggunakan rahim wanita lain selain isteri 2) Percampuran benih antara suami dan wanita lain 3) Percampuran benih isteri dengan lelaki lain, 4) Memasukkan benih yang disenyawakan selepas kematian suami isteri, Adapun bentuk Bentuk penyewaan rahim yang tidak disepakati pengharamannya oleh para ulama’ ialah sperma suami dan ovum isteri yang disenyawakan , kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain bagi suami yang sama. Keadaan ini berlaku apabila berlaku hajat seperti rahim isteri tidak dapat berfungsi atau dibuang akibat pembedahan, tetapi ovumnya baik. Para ulama’ berselisih pendapat tentang perkara ini dan terbagi kepada 2 golongan: Ø Golongan pertama : Golongan yang mengharamkan Golongan ini berpendapat bahwa penyewaan rahim bentuk ini adalah haram sepertimana bentuk yang lain. Mereka berhujah dengan mengatakan bahawa ia akan membawa banyak masalah dan ada kemungkinan isteri (ibu tumpang) tersebut hamil dalam keadaan suaminya telah ‘bersama’ dengannya. Keadaan ini akan menyebabkan kekeliruan tentang siapa ibu sebenar anak tersebut. Ø Golongan kedua : Golongan yang mengharuskan Mereka berpendapat penyewaan rahim bagi bentuk ini adalah harus kerana kedua-dua wanita tersebut adalah isteri bagi suami yang sama dan isteri yang lain secara sukarela mengandungkan anak bagi madunya. Dalam keadaan ini , bapak anak tersebut telah pasti dan ikatan kekeluargaan wujud dalam lingkungan yang baik, begitu juga tidak wujud pencampuran nasab dari sudut suami dan isteri jika sikap berhati-hati diambil kira bagi memenuhi syarat-syarat yang menjamin tidak berlaku percampuran nasab. Oleh sebab itu, Al- Mujamma’ Al-Fiqhi li Rabitoh Al-‘Alam al-Islami secara majority mengharuskan penyewaan rahim bentuk ini dalam daurah ketujuhnya, dengan syarat pengawasan yang betul betul sempurna agar tidak berlaku percampuran benih, kerana kesilapan dalam percampuran benih dengan yang lain akan member kesan kepada generasi demi generasi. Mereka juga mensyaratkan untuk tidak menggunakan kaedah ini melainkan ketika adanya hajat. Berikut juga dicantumkan beberapa fatwa atau aturan yang terkait dengan hukum penyewaan rahim: 1. Indonesia melarang penyewaan rahim, hal ini termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan. 2. Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. 3. Frans Hendra Winata, anggota Komisi Hukum Nasional dan Dosen Universitas Pelita Harapan mengatakan penyewaan rahim melanggar hukum perkawinan dan dapat dikategorikan hukum pidana dengan pasal perselingkuhan 4. MUI pada 13 Juni 1979 mengeluarkan fatwanya bahwa MUI tidakmelarang setiap orang mendapatkan keturunan dengan cara bayi tabung. Tapi,cara tersebut tidak dengan penyewaan rahim 5. Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Komisi Fatwa MUI Setiawan Budi Utomo menyatakan, teknik inseminasi alias pembuahan buatandibenarkan menurut Islam akan tetapi

jika ditanam dibenih wanita lain yang tidak ada hubungan perkawinan, maka hukumnya sama dengan zina. 6. Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan tujuan apapun di hukumi haram dalam islam menurutImam Al Barmawy dalam kitabnya yang berjudul Hasyiyah Al Barmawy ‘Ala Syarhi Ghoyati Libni Qosim Al Ghuzzy (selesai th. 1074 H.) dan pendapat Imam Romly (W. 1004 H.) BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah kami gali, kaji, dan paparkan maka kami dapat memberikan kesimpulan bahwa : 1) Penyewaan rahim hukumnya haram, hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama’ yang bertumpu pada undang-undang syari’at Islam dan undang-undang Negara 2) Adapun Bentuk penyewaan rahim yang tidak disepakati pengharamannya oleh para ulama’ ialah sperma suami dan ovum isteri yang disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain bagi suami yang sama, atas hal ini ada ulama’ yang mengharamkan dan ada juga yang mengharuskan. B. SARAN Pemerintah hendaknya tegas terhadap permasalahan ini, karena jika tidak, masalah penyewaan rahim wanita bisa merugikan kaum perempuan yang sampai saat ini masih dikesampingkan suaranya dan juga akan mengakibatkan penyelisihan diantara orang-orang yang berkaitan dalam masalah ini dikemudian hari (bertentangan dengan Maqasid As Syari’ah).

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close