trauma

Published on November 2016 | Categories: Documents | Downloads: 39 | Comments: 0 | Views: 328
of 14
Download PDF   Embed   Report

trauma spinal

Comments

Content

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit 1. Definisi Trauma tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Chairudin Rasjad (1998) dalam Arif Muttaqin 2008 menegaskan bahwa semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma yang hebat sehingga sejak awal pertologan pertama dan transportasi ke rumah sakit penderita harus diperlakukan secara hatihati. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang, dan sumsum tulang belakang (medula spinalis) (Muttaqin, 2008). Trauma tulang belakang merupakan kerusakan atau terputusnya medula spinalis yang menyebabkan terputusnya jalur utama motorik dan sensorik ke dan dari tubuh sebagai saluran komunikasi, setiap kerusaan akan mengganggu fungsi di bawah area kerusakan. Cedera tulang belakang bagian atas menyebabkan hilangnya gerakan sensasi ekstremitas dan batang tubuh (kuadriplegia atau tetraplegia jika keempat ekstremitas terkena) (Ensiklopedia Keperawatan, 2008). Trauma Tulang belakang merupakan trauma pada medula spinalis dapat bervariasi. Medula Spinalis sendiri merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis. Trauma ini dapat berupa trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Fransisca, 2008). 2. Etiologi dan Faktor Risiko Adapun jenis dari trauma adalah fraktur, menurut Brunner and Suddart, 2001 penyebab fraktur adalah sebagai berikut : 1) Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras. Trauma dibagi menjadi dua, yaitu :  Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).  Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

2) Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur. 3) Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. 4) Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat. 5) Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll) 6) Luka jejas, tajam, tembak pada daerah verterbrae 7) Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000) Fraktur verterbrae, khususnya verterbrae servikalis dapat disebabkan oleh trauma hiperekstensi, hiperfleksi, ekstensi rotasi, fleksi rotasi, atau kompresi servikalis. Fraktur verterbrae thorakal bagian atas dan tengah jarang terjadi, kecuali bila trauma berat atau ada osteoporosis. Karena kanalis spinal di daerah ini sempit, maka sering disertai gejala neurologis. Mekanisme trauma biasanya bersifat kompresi atau trauma langsung. Pada kompresi terjadi fraktur kompresi verterbrae, tampak korpus verterbrae berbentuk baji pada foto lateral. Pada trauma langsung dapat timbul fraktur pada elemen posterior verterbrae, korpus

verterbrae dan iga di dekatnya.

3. Patofisiologi Terlampir.

4. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala umum dari trauma pada tulang belakang adalah (National Institutes of Health US): 1. Kepala berada pada posisi yang tidak semestinya 2. Mati rasa atau sensasi geli di sepanjang kaki maupun lengan 3. Kelemahan 4. Ketidakmampuan berjalan 5. Paralisis (kehilangan control pergelangan ekstremitas, yakni lengan dan kaki) 6. Tidak ada control pada GIT dan system perkemihan, pasien cenderung tidak bisa mengontrol BAB maupun BAK 7. Syok (pucat, kulit basah dan hangat, jari dan tangan kebiru-biruan, pusing, sakit kepala, dan setengah tidak sadar) 8. Kurang perhatian terhadap stimuli/lingkungan sekitar

9. Leher kaku, sakit kepala, atau nyeri pada leher Menurut ASIA (American Spinal Injury Association) skala terjadinya gangguan dikatagorikan sebagai berikut : 1. A = komplit, tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada segmen sacrum (S4-S5) 2. B = tidak komplit, fungsi sensoris masih berada dibawah staus neurologis 3. C = tidak komplit 4. D = tidak komplit, fungsi motorik 5. E = normal, fungsi motorik dans ensoris normal 5. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan. Masing-masing pemeriksaannya adalah: a) Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada, suara tambahan, ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas darah arteri dan oksimetri. b) Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang sudah ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu dalam pengaturan SCI: 1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada. 2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru. 3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau efek eksogen alkohol dan obat-obatan. c) CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock neurogenik). d) Suhu – hipotermia – shock spinal. e) Pemeriksaan neurologis. Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau incomplete. c) Tes motorik – dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot, koordinasi, pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral. Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai berikut:    Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti Refleks bulbocavernous (S3 atau S4) Kedipan mata (S5)

 

Retensi urine atau inkontinensia Priapisme

d) Seks – Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1. e) Umur – Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25 tahun. SCIWORA terjadi terutama pada anak-anak.  Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang           C5 – Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu C6 – Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus dan brevis) C7 – Ekstensor siku (trisep) C8 – Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah T1 – Jari kelingking (digiti mini) L2 – Hip fleksor (iliopsoas) L3 – Ekstensor lutut (quadrisep) L4 – Ankle dorsifleksor (tibialis anterior) L5 – Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus) S1 – Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)

 Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang                 C2 – Tonjolan oksipital C3 – Fossa supraklavikula C4 – Atas sendi akromioklavikularis C5 – Sisi lateral lengan C7 – Jari tengah C8 – Jari kelingking T1 – Sisi medial lengan T2 – apex dari aksila atau ICS 2 T3 – ICS 3 T4 – ICS 4 lurus puting susu T5 – ICS 5 (tengah antara T4 dan T6) T6 – ICS 6 setinggi xiphisternum T7 – ICS 7 (tengah antara T6 dan T8) T8 – ICS 8 (tengah antara T6 dan T10) T9 – ICS 9 (tengah antara T8 dan T10) T10 – ICS 10 atau umbilikus

           

T11 – ICS 11 (tengah antara T10 dan T12) T12 – Midpoint ligamentum inguinalis L1 – Setengah jarak antara T12 dan L2 L2 – Paha mid-anterior L3 –Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis L4 – Maleolus medial L5 – lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada sendi metatarsophalangeal ketiga S1 – Tumit lateral S2 – Fossa popliteal di garis tengah S3 – tuberositas iskia S4-S5 – Perianal C6 – ibu jari dan lengan lateral

 Imaging a. X-Ray 3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray: 1. Antero-posterior 2. Gambaran lateral 3. Gambaran odontoid-membuka mulut Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu   Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral dada serta lumbal Radiografi leher harus menyertakan C7-T1

b. CT-scan CT-scan untuk mengetahui adanya kelainan tulang belakang atau fraktur. c. MRI MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang belakang, ligamentum atau kondisi lainnya. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang belakang seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang belakang, memar, dan/atau edema. 5. Penatalaksanaan Tulang belakang yang patah dapat membahayakan sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakang ialah bagian dari susunan saraf pusat, yang berisi serabutserabut saraf. Maka apabila sumsum tulang belakang rusak, hubungan antara alat-

alat tubuh dan otak terputus. Pada patah tulang belakang mempunyai tanda-tanda nyeri pada tempat yang patah. Bila disertai kerusakan sumsum tulang belakang : anggota badan yang berada di bawah ruas yang patah akan menjadi lumpuh (Kartono,2008). Tindakan pertolongannya : biarkan penderita dalam keadaan terbaring. Jangan diubah atau disuruh duduk. Siapkan usungan yang beralas keras, misanya dengan menggunakan papan. Dengan hati-hati angkat penderita ke usungan tersebut (Kartono, 2008). Penatalaksanaan trauma tulang belakang, antara lain dengan: 1) Tanpa gangguan neurologis a. Istirahat di tempat tidur, terlentang dengan dasar keras dan posisi miring kekiri dan kekanan untuk mencegah dekubitus (spillow nursing) selama 2 minggu. b. Bila sakit berikan analgesik c. Pada fraktur yang stabil, kalau tidak merasa sakit lagi setelah 2 minggu, latih otot-otot punggung dalam 1-2 minggu. Dilanjutkan dengan mobilisasi, belajar duduk, jalan, memakai brance dan bila tak ada apa-apa pasien dapat pulang. Pada fraktur yang tidak stabil ditunggu lebih lama 3-4 minggu. 2) Dengan gangguan neurologis Kelainan neurologik dapat timbul karena edema, hematomieli, kompresi dan karena luksasi tulang belakang. Kelainan dapat komplit atau inkomplit. Kalau pada observasi keadaan neurologis memburuk, segera dilakukan operasi dekompresi, misalnya tindakan laminektomi dan piksasi tulang belakang. Pada fraktur dengan defisit neurologis, indikasi tindakan operatif adalah untuk stabilisasi fraktur, untuk rehabilitasi dini (duduk, berdiri, dan berjalan). Pada fraktur tulang belakang dengan defisit neurologis yang dilakukan tindakan konservatif (tanpa operasi), setelah 6minggu atau fraktur kuat, dilakukan mobilisasi duduk/berdiri dengan menggunakan external support seperti gipo bohler, gips korset, jaket minerva, tergantung dari tempat fraktur. (Kapita Selekta Kedokteran, jilid 2, 2000).

A. Penataklasanaan Medis Umum 1. Tindakan – tindakan untuk memobilisasi dan memperahankan vertebral dalam posisi lurus

a. Pemakaian

kollar

leher,

bantal

pasir

atau

kantung

IV

untuk

mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien. b. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gardner-Wellbrace pada tengkorak. c. Tirah baring total dan pakaiakan brace halo untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan. d. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar x ditemui spinal tidak stabil. 2. Tindakan – tindakan untuk mengurangi pembengkakan pada medulla spinalis dengan mengunakan glukokortiko steroid intravena. 6. Komplikasi Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa mengakibatkan berbagai macam komplikasi, diantaranya 1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma. 2. Pendarahan Mikroskopik Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahanperdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat. 3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks. Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah. 4. Syok Spinal.

Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum. 5. Hiperrefleksia Otonom. Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis.Dengan

diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah system. Pada orang yang korda spinalisnya utuh,tekanan darahnya terhadap akan segera diketahui oleh

baroreseptor.Sebagai

respon

pengaktifan

baroreseptor,pusat

kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.Respon

parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau

infark miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri. 6. Paralisis Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada transeksi korda spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi

korda dibawah C6 dan disebut paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut :  pneumonia (60,3 %),  ulkus akibat tekanan (52,8 %),  trombosis vena dalam (16,4 %),  emboli pulmo (5,2 %),  infeksi pasca operasi (2,2 %).

Sedangkan untuk fraktur, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: 1. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union). 2. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai. 3. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur. 4. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. 5. Emboli lemak 6. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain. 7. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.

B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Pengkajian Awal Pasien Trauma Tulang Belakang No. 1 Parameter Pengkajian Jalan napas dan tulang belakang Pengkajian dan Intervensi Keperawatan 1. Kaji kepatenan jalan nafas, Observasi apakah ada gigi yang lepas, Muntahan, Obstruksi, Perhatikan posisi kepala klien. Pertimbangan Kasus 1. Gigi susu mungkin patah : tanyakan kepada teman atau saudara klien apakah ada gigi yang sudah hilang atau patah untuk memastikan tidak ada gigi yang patah saat kejadian yang dapat menyumbat saluran nafas 2. Pertahankan kelurusan vertebra (allignment) yang netral selama pengkajian. 3. Evaluasi terhadap ukuran dan penempatan yang benar dari kolar servikal, alat imobilisasi servikal, atau alat imobilisasi lainnya. 4. Membuka kolar servikal untuk menemukan deviasi trakea dan distensi vena jugularis 4. Kolar servikal terpasang dengan pas jika dagu sudah terletak pada bagian penahan dagu, bagian bawah kolar tertahan pada sternum, dan kolar tidak menutup telinga. 2. Ingatkan pasien untuk menjawab pertanyaan dengan kata-kata dan bukan dengan menganggukkan atau menggelengkan kepalanya (mengkaji vokalisasi pasien) 3. Tunjuk seorang regu medis untuk bertanggung jawab atas tindakan stabilisasi servikal pada pasien yang mengalami cidera multiple.

2.

Pernapasan (Breathing)

1. Auskultasi suara pernapasan di aksila untuk menilai keberadaan dan eksualitas.

1. Kaji suara napas

2. Pengkajian dada untuk menemukan kontusi, luka tembus, abrasi, atau gerakan paradoksal 3 Sirkulasi (Sirculation) 1. Pengkajian denyut apical untuk menilai frekuensi, irama dan kualitasnya; bandingkan kualitas dan ekualitas dari denyut nadi apical dengan perifer

2. Inspeksi terhadap adanya DCAP BLS (ditensi, contusion, abrasi, puncture, burn, laserasi, swelling).

1. Mungkin terdapat penyakit jantung

b. Pengkajian Data Dasar 1. Pengkajian fisik didasarkan pada pemeriksaan pada neurologis (Apendiks J) kemungkinan didapati deficit motoric dan sensorik dibawah area yang terkena : a. Syok spinal yang ditandai dengan adanya paralisi flaksid atau arefleksia (hilangnya semua reflex dibawah area terkena). Sering keadaan ini bersifat sementara berkisar dari beberapa hari sampai 6 bulan. Namun, dengan adanya transeksi total, pergerakan otot-otot hiperfleksia atau spastis terjadi kemungkinan setelah edema berkurang. Semua pergerakan yang tidak disadari ini sering merupakan indikasi berakhirnya syok spinal. Obat- obatan seperti baclofen, valium atau dantrolene dapat mengurangi spastisitas. b. Nyeri c. Perubahan fungsi kandung kemih : i. Kandung kemih neurogenic ditandai dengan adanya berkemih secara spontan dalam jumlah yang sedikit dengan interval sering . Pola berkemih seperti ini mencerminkan adanya lesi motor neuron atas. ii. Arkus reflex tetap baik, tetapi mekanisme menghambatnya hilang. Stimulasi ringan seperti mengusap daerah perut atau paha atau genetalia dapat merangsang berkemih. iii. Kandung kemih atonik dikarakteristikkan adanya retensi urin tanpa indivudi merasakan adanya kebutuhan untuk berkemih. Kadang kemih distensi berlebihan, urin menetes terus-menerus. Jenis gangguan fungsi kandung kemih seperti ini mencerminkan gangguan pada motor

neuron bawah (LMN). Arkus reflex hilang dan rangsangan tidak dapat mencapai otak. iv. Kerusakan fungsi seksual pada pria, sering terjadi impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Keadaan ini paling sering terjadi pada kerusakan sumsum tulang di area sacrum. Fungsi seksual tetap normal pada cedera yang terjadi di atas area sacrum meskipun kepuasan seksual bias berkurang. Pada wanita, fungsi seksual umumnya tetap tidak terganggu. v. Perubahan konstipasi. d. Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya. e. Pemeriksaan diagnostic. i. Sinar x tulang belakang menggambarkan letak dan jenis fraktur. fungsi defekasi, dapat berupa inkontinensia dan

2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang sering muncul pada pasien trauma antara lain: a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang, dan deformitas b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit c. Shock hipovolemik berhubungan dengan kehilangan volume cairan, dan perdarahan d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penekanan pembuluh darah dan penurunan perfusi jaringan. e. Nyeri akut berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang dan adanya fraktur.

Lampiran 1 Patofisiologi Cedera Tulang Belakang

Cedera Tulang Belakang

Perdarahan, trombosis dan vasospasme di area injury

Hypoperfusi, hipoksia, & iskemia sel saraf dan sel non-saraf

Reperfusi area iskemia untuk membawa radikal bebas

Invasi area injury oleh neutrofil, makrofag, dan monosit

Peroksidasi membran asam neural Menyebabkan depolarisasi patologis & pelepasan GABA

Produksi cytokines, chemokines, faktor neurotropik

Kerusakan inflamasi Aktivasi ↑ sitoplasma Ca dari enzim lytic Stimulasi berlebih reseptor NMDA /AMPA/Kainite Memicu influx Na Kegagalan repolarisasi Gangguan fungsi Mitokondria Produksi radikal Bebas berlanjut Eksitotoksisitas & malfungsi neural Glial Scar Nogo-A, MAG, OMG mencegah pertumbuhan axonal & regenerasi lebih lanjut mikroglial Nyeri Neuropati

Kematian neuronal

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin,Arif. 2008. Buju Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika Ensiklopedia Keperawatan. 2008. Editor : Chris Brooker. Jakarta : EGC Batticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika. Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close