Trauma Thorax

Published on November 2016 | Categories: Documents | Downloads: 128 | Comments: 0 | Views: 631
of 24
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Cedera thoraks merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak

penderita meninggal setelah sampai ke rumah sakit, dan banyak diantara kematian
ini sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan
terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thoraks dan hanya 15 – 30 % dari
trauma tembus thoraks yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus
trauma thoraks dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh
oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thoraks.1
Trauma thoraks kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama terjadi akibat tikaman
dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera abdomen, kepala, dan
ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk.2
Trauma thoraks yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan
nafas, hemotoraks luas, tamponade jantung, tension pneumothoraks, dada gail
(flail chest), pneumotoraks terbuka dan kebocoran udara trakea-bronkus.Semua
kelainan ini nmenyebabkan gawat dada atau thoraks akut sehingga diagnosis
harus ditegakkan secara cepat dan penanganan dilakukan segera untuk
mempertahankan pernafasan, ventilasi paru, dan pendarahan. Sering tindakan
yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan tindakan
operasi, seperti membebaskan jalan nafas, aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga
perikard, dan menutup sementara luka dada. Akan tetapi, kadang diperlukan
torakotomi darurat. Luka tembus dada harus segera ditutup dengan jahitan yang
kedap udara.2

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

DEFINISI
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang

dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax
yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan
keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan
kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ
disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga
dada).3,4
2.2

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, cedera thoraks berjumlah kira-kira 25 % dari semua

trauma penyebab kematian. Secara keseluruhan, angka mortalitas untuk orangorang dengan cedera thoraks sekitar 10%. Banyak kematian tersebut seharusnya
dapat dicegah dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat. Diantara pasienpasien yang ditransfer ke ruang operasi dalam 24 jam pertama, insiden dari trauma
tumpul dada dilaporkan telah meningkat sebesar 62,5%. Pada penelitian Canadian
selama 5 tahun yang diakui oleh unit trauma, 96,3% mendukung terjadinya
trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera dengan mekanisme penetrasi. Penyebab
trauma tumpul berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri
(10%), jatuh (8%), pembunuhan (7%), dan lain-lain (5%). Insidensi cedera dada
sebesar 46%. Untuk pasien dengan cedera dada, angka mortalitas sebesar 15,7%,
untuk yang tanpa cedera dada sebesar 12,8%.3,4
2.3

ETIOLOGI
Penyebab trauma thorax ada 2 yaitu :1,2
a. Trauma tembus
- Luka Tembak
- Luka Tikam / tusuk

2

b. Trauma tumpul
-Kecelakaan kendaraan bermotor
- Jatuh
- Pukulan pada dada
2.4

PATOFISIOLOGI
Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang

sangat mudah terkena tumbukan/ benturan. Karena dada merupakan tempat
jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan
gangguan ancaman kehidupan. Akibat dari trauma thorax atau dada yang terjadi,
menyebabkan gagal ventilasi (keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas
pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang mirip kantong), kegagalan
sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat
menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada
hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan rangsangan
terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan
sepsis.3,4
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax.
Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen
ke

jaringan

oleh

karena

hipovolemia

(kehilangan

darah),

pulmonary

ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan
perubahan dalam tekanan intrathorax (contoh : tension pneumothorax,
pneumothorax terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).1

3

2.5

KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX

A. Trauma dinding thorax dan paru
1. Tension Pneumothorax
Tension

pneumorothoraxberkembang

ketika

terjadi

one-way-valve

(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui
dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-wayvalve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar
lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah
vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.1
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat
timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah
salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme
flap-valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang
toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).1
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan secara klinis, dan terapi tidak
boleh

terlambat

oleh

karena

menunggu

konfirmasi

radiologi.

Tension

pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan,
takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan
distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan
gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering
membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya
suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothoraxakan dapat
membedakannya.1

4

Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanganan
awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua
garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan :
kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum).
Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan
pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke-5 (setinggi putting susu) di
anterior dari garis midaxilaris.1

Gambar 2.4 Pneumothorax

2. Pneumothorax Terbuka ( Sucking Chest Wound )
Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari
diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena
mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.1
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek

5

flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau
Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka. Penjahitan luka primer seringkali diperlukan.1

Gambar 2.3 Pneumothorax Terbuka

6

3. Flail Chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena
fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis
fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan
hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada
parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi
dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab
timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan
parunya.1,3
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel,
akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga
membantu dalam diagnosis Flail Chest.1
Terapi awal diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang
dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian
cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan
pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan
sangat sensitif terhadap kekurangan/ kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang
lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.1
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa
oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki
ventilasi. Tidak semua pasien membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan

7

hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi
perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang
terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari
frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan
akan memberikan suatu indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.1

Gambar 2.2 Perbedaan Inspirasi dan Ekspirasi Normal dengan Flail Chest

4. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada
golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul
perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian,
sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan
waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita
yang berulang-ulang.1.3
Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa
dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan
bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang
berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal
menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik.
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa
intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.1

8

Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah,
monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer
maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.1
5. Pneumothoraks Sederhana
Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara
pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan
bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari
pnerumotoraks akibat trauma tumpul.1
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan
antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan
menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena
darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi.1
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena
dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis.1
Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks
hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko.
Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa
penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan
kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak
boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada
penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang
tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana
dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya
tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita
harus didekompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.1

9

6. Hemothorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh
trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga
dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan
dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak
sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber
besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura,
mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat
dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau
cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan
terjadinya ruptur diafragma traumatik.1
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya
indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah
yang keluar dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah
yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah
yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika
membutuhkan

transfusi

darah

terus

menerus,

eksplorasi

bedah

harus

dipertimbangkan.1
7. Hemothorax Masif
Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1.500cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini
juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia.
Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang
dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang
terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong
mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis
hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang
dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma.1

10

Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah
yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan
infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian
darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan
dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang
setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga
pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan
untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,
kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera.1
Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari
1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan
torakotomi.Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus
menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi
penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi
untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang
dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya
harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah
(arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai
dasar dilakukannya torakotomi.1
Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan
luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa
kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai
pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi
tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang
sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.1
8. Cedera Trakeobronkial
Cedera terhadap trakea dan bronkus merupakan perlukaan yang luar biasa
dan mempunyai potensi yang seringkali sudah terlihat pada saat penilaian awal.
Perlukaan ini sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi pada 1 inci dari

11

karina. Kebanyakan penderita meninggal di tempat kejadian. Bila penderita sudah
sampai di rumah sakit, resiko kematian meningkat disebabkan karena cedera lain
yang menyertai. Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus melakukan
konsultasi segera.1
Pada penderita dengan perlukaan trakeobronkial sering ditemukan
hemoptisis, emfisema subkutan dan tension pneumothorax dengan pergeseran
mediastinum. Adanya pneumothorax dengan gelembung udara yang banyak pada
WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeobronkial.
Sering dibutuhkan lebih dari satu selang dada pada kebocoran yang besar.
Diagnosis perlukaan ini dilakukan dengan cara bronkoskopi. Intubasi pada cabang
bronkus utama kontralateral dibutuhkan sementara waktu untuk mencukupi
kebutuhan oksigenasi.1
Intubasi seringkali mengalami kesulitan karena adanya distorsi anatomi
akibat hematom paratrakeal, akibat cedera orofaringeal yang menyertai atau
cedera terhadap trakeobronkial itu sendiri. Untuk penderita seperti ini diperlukan
intervensi operasi segera. Untuk penderita yang stabil, terapi operasi dari
perlukaan trakeobronkial dapat ditunda sampai reaksi radang akut dan edema
diserap.1
B. Trauma Jantung dan Aorta
1. Tamponade Jantung
Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun
demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik
dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.
Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif
sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung
dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard,
sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera
memperbaiki hemodinamik.1
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah
adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan

12

arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit
didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher
tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering
disebabkan oleh hipovolemia.1
Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari
10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi
tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya
dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax,
terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung.1
Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa)
adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan
adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension
pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat
membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai
keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif
yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 5 sampai 10 %. Pada
penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan
pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung
perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.1
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita
dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan
mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak
boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode
sederhana

untuk

mengeluarkan

cairan

dari

perikard

adalah

dengan

perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada
penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan
indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid.
Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau

13

torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan
lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.1
Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung,
pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan
meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk
tindakan perikardiosintesis melalui subskifoid. Pada tindakan ini menggunakan
plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling
baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari
kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya
miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis
menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.Karena luka jantung mungkin
menutup sendiri, perikardiosentesis akan memperbaiki gejala untuk sementara.
Namun semua penderita dengan perikardiosentesis yang positif akan memerlukan
torakotomi, atau median sternotomi, utnuk pemeriksaan dan perbaikan cedera
jantungnya. Perikardiosentesis mungkin negatif karena darah dalam rongga
perikardium beku. Persiapan untuk merujuk pasien ini harus dilakukan.
Perikardiotomi melalui suatu operasi torakotomi dapat menyelamatkan nyawa,
namun hanya dapat dikerjakan oleh ahli bedah yang berpengalaman.1

Gambar 2.5 Tamponade Jantung

14

2. Trauma Tumpul Jantung
Cedera tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur
atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai
dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang
tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium.1
Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman
pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau
fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan
dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting
pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau
gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua
dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark
miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi
yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan)
dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada
gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain
merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio
jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dapat
disebabkan adanya serangan infak miokard akut.1
Pemeriksaan troponin tidak dilakukan pada kontusio miokard yang
terdiagnosis karena adanya konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya
disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval
tersebut resiko disritmia akan menurun secara bermakna.1
3. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)
Ruptur aorta traumatik sering menyebabkan kematian segera setelah
kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita
yang selamat, sesampainya di rumah sakit kemungkinan sering dapat
diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan
operasi.1

15

Penderita dengan ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), baisanya
laserasi yang terjadi tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosum.
Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lapisan adventitia yang masih utuh atau
adanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera.
Walaupun ada darah yang lolos ke dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini
adalah suatu hematoma yang belum pecah. Hipotensi menetap atau berulang akan
ditemukan sedangkan perdarahan di tempat lain tidak ada. Bila ruptur aorta
berupa transeksi aorta, maka perdarahan yang terjadi masuk ke dalam rongga
pleura dan menyebabkan hipotensi biasanya berakibat fatal dan penderita harus
dilakukan operasi dalam hitungan menit.1
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun
adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan
temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam
penetapan diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan
foto thorax, terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya.
Apabila ditemukan pelebaran mediastinum pada foto thorax dan diberlakukan
kriteria indikasi agresif untuk pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk
rupture aorta adalah sekitar 3%.1
Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard tetapi Transesofageal
Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras
saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta. Terapi yang dilakukan
dapat berupa penjahitan primer aorta atau reseksi dan dipasang graft. 1
4. Cedera Diafragma
Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa pada sisi kiri, karena
obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga
mengurangi kemungkinkan terdiagnosisnya ataupun terjadinya rupture diafragma
kanan. Sementara itu adanya usus, gaster, atau selang diagnostic mempermudah
mendeteksi pada hemotorax kiri. Cedera tumpul menghasilkan robekan besar
yang menyebabkan timbulnya herniasi organ abdomen. Sedangkan cedera tajam

16

menghasilkan perforasi kecil yang sering membutuhkan waktu tahunan untuk
berkembang menjadi hernia diafragmatika.1
Diagnosis

ruptur

diafragma

sering

terlewatkan

bila

salah

menginterpretasikan foto toraks sebagai elevasi diafragma, dilatasi gaster akut,
pneumohemothorax lokal atau hematom subpulmonal. Jika curiga laserasi pada
diafragma kiri perlu dipasang nasogastric tube (NGT), bila selang NGT tampak
pada rongga thorax, maka tidak perlu dilakukan rontgen dengan kontras. Kadang
diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan foto rontgen walaupun telah dipasang
selang NGT, pada keadaan ini pemeriksaan gastrointestinal bagian atas dengan
kontras dilakukan dengan hati-hati bila diagnosis masih ragu-ragu. Bila cairan
peritoneum ditemukan pada selang NGT, tindakan minimal invasive endoskopi
(torakoskopi) dapat membantu mengevaluasi diafragma pada kasus yang
diagnosisnya sulit ditegakkan.1
Ruptur diafragma kanan jarang terdiagnosa pada awal periode setelah
trauma. Hepar sering mencegah terjadinya herniasi organ abdominal lain masuk
ke rongga thorax. Ruptur diafragma sering ditemukan secara kebetulan, karena
operasi untuk cedera abdominal lain. Terapinya adalah penjahitan langsung.1
C. Manifestasi Cedera Thorax Lain
1. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru,
atau yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi,
penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan
ventilasi tekanan positif , pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk
dipasang pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap
berkembangnya tension pneumothorax.1
2. Crushing Injury to The Chest (Traumatic Asphyxia)
Tergencetnya thorax akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara
terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang

17

meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan
edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.
3. Fraktur Iga, Sternum dan Skapula
Iga merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering
mengalami trauma. Perlukaan yang terjadi pada iga sering bermakna. Terfiksirnya
iga yang fraktur akibat nyeri dapat menyebabkan gangguan ventilasi, oksigenasi
dan reflek batuk. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat
mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna
bila sudah ada penyakit paru-paru sebelumnya.1
Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan
langsung. Kontusio paru dapat menyertai fraktur sternum. Cedera tumpul jantung
harus selalu dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Terapi operasi kadang
diindikasikan untuk fraktur sternum atau skapula. Dislokasi sternoklavikula jarang
menyebabkan bergesernya kaput klavikula ke arah mediastinum dengan
mengakibatkan obstruksi dari vena cava superior.1
Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah (iga ke-4
sampai ke-9). Kompresi anteroposterior dari rongga thorax akan menyebabkan
lengkung iga akan lebih melengkung lagi ke arah lateral dengan akibat timbulnya
fraktur pada titik tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan
cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk
ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti
pneumothorax. Fraktur tulang iga terbawah ( iga 10 sampai 12) harus curiga
adanya cedera hepar atau lien.1
Fraktur tulang iga mungkin tunggal atau multipel. Jika multipel, bentuk
dan gerak thoraks mungkin masih memadai atau mungkin tidak (contoh : thoraks
gail dengan pernapasan paradoksal). Diagnosis fraktur iga ditentukan berdasarkan
gejala dan tanda nyeri lokal. Nyerinya berupa nyeri lokal dan nyeri kompresi kirikanan atau depan-belakang, dan nyeri pada gerak nafas. Jika terjadi fraktur iga
multipel, biasanya dinding thoraks tetap stabil. Akan tetapi, jika beberapa iga
mengalami fraktur beberapa tempat, suatu segmen dinding dada terlepas dari

18

kesatuannya. Fraktur iga tunggal atau majemuk dengan gerak dada yang masih
memadai dan teratur ditangani dengan pemberian analgetik/ anestetik.2
Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi
dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanya deformitas harus curiga fraktur iga.
Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal
dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai
eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa
sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi
epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.1
4. Cedera Tumpul Esofagus
Cedera esofagus lebih sering disebabkan oleh karena cedera tembus.
Cedera tumpul esofagus walaupun jarang terjadi tetapi mematikan bila tidak
teridentifikasi. Cedera tumpul esofagus disebabkan oleh gaya kompresi dari isi
gaster yang masuk ke dalam esofagus akibat cedera berat pada abdomen bagian
atas. Gaya tersebut menyebabkan robekan linear pada esofagus bagian bawah dan
mengakibatkan kebocoran cairan gaster ke dalam mediastinum.Akibat selanjutnya
akan terjadi mediastinitis, yang cepat atau lambat akan pecah ke dalam rongga
pleura yang kemudian akan menyebabkan tejadinya empyema. Cedera esofagus
dapat disebabkan oleh kesalahan pemasangan instrumentasi (contoh : selang
nasogaster, endoskopi dll).1
Gambaran klinis pada ruptur esofagus adalah muntah-muntah. Cedera
esofagus harus dipertimbangkan pada penderita-penderita (1) yang mempunyai
pneumothorax kiri atau hemothorax tanpa adanya fraktur iga, (2) penderita yang
mengalami cedera langsung yang berat terhadap sternum bagian bawah atau
epigastrium dan nyeri atau syok yang tidak proporsional terhadap cedera yang
dialami, atau (3) didapatkan sisa makanan pada selang dada setelah darah keluar.
Adanya udara mediastinum juga membantu diagnosis yang kemudian dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan memakai kontras atau sofagoskopi.1
Terapi yang dilakukan adalah drainase yang luas dari rongga pleura dan
mediastinum dengan penjahitan langsung terhadap luka yang terjadi melalui

19

torakotomi jika hal ini memungkinkan. Operasi yang dilakukan dalam beberapa
jam setelah cedera akan memberikan prognosis yang lebih baik.1
2.6

INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
A. Primary Survey
Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini
dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.1
a. Airway
Menjaga patensi airway dan ventilasi dengan melihat gerakan nafas
pada hidung, mulut dan dada, mendengarkan suara nafasnya dan
merasakan hawa nafas (look, listen, and feel), serta menginspeksi daerah
orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan
mengobservasi retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular. Serta
reposisi kepala dan pasang cervical collar.1,4
Bila ada sumbatan airway atas (stridor), perubahan kualitas suara
(bila masih bias bicara) dan cedera yang luas pada dasar leher dengan
terabanya defek pada region sendi sternoclavicular maka perlu dilakukan
patensi jalan nafas dengan pemasangan endotracheal tube (ETT).1
b. Breathing
Dada dan leher penderita harus terbuka selama menilai breathing
dan vena-vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai
dengan observasi, palpasi, dan auskultasi.1
Gejala yang penting pada cedera thorax adalah hipoksia, termasuk
peningkatan

frekuensi

dan

perubahan

pola

pernafasan,

terutama

pernafasan yang lambat dan memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia
yang lanjut, namun bila tidak ditemukan sianosis bukan berarti
oksigenisasi jaringan adekuat. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu serta
tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open
pneumotoraks, hemotoraksmasif , flail chest.1

20

c. Circulation
Menilai kualitas, frekuensi dan keteraturan nadi. Pada penderita
hipovolemia, denyut nadi a.radialis dan a. dorsalis pedis tidak teraba oleh
karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur
dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna
dan temperature. Vena leher harus dinilai adakah distensi atau tidak, ingat
pada penderita hipovolemia, distensi vena leher tidak tampak walaupun
ada tamponade jantung, tension pneumothoraks atau cedera diafragma.1
Monitoring jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada
penderita. Penderita yang dicurigai cedera thoraks terutama pada daerah
sternum atau cedera deselerasi yang hebat harus dicurigai adanya cedera
miokard apabila ada disritmia. Hipoksia ataupun asidosis akan
mempermudah terjadinya. Kontraksi ventrikel prematur, disritmia yang
kerap terjadi, mungkin membutuhkan terapi dengan bolus lidokain segera
(1mg/kgBB) dilanjutkan dengan drip lidokain (2-4 mg/menit).1
Managemennya berupa resusitasi cairan dengan memasang IV line,
thorakotomi emergency bila diperlukanserta operasi Eksplorasi Vaskular
Emergency.4
B. Resusitasi Fungsi Vital
C. Secondary Survey
Secondary survey membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih
dalam dan teliti. Foto thoraks dibuat jika kondisi penderita
memungkinkan, serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring
pulse oximeter dan elektrokardiogram. Foto thoraks harus dinilai
pengembangan

paru,

adanya

cairan,

ada

tidaknya

pelebaran

mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau hilangnya gambaran
detail anatomis mediastinum. Pada fraktur iga multiple atau fraktur iga
pertama dan/ atau iga kedua harus dicurigai bahwa cedera yang terjadi
pada thoraks dan jaringan lunak dibawahnya sangat berat.1

21

D. Perawatan Definitive
1. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax,
intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya
2. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi
secepat dan sesederhana mungkin.
3. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi
dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau
dekompresi thorax dengan jarum.
4. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang
tinggi terhadap adanya trauma-trauma yang bersifat khusus.

22

BAB III
KESIMPULAN
Cedera thorax sering ditemukan pada penderita cedera multipel dan dapat
mengancam nyawa. Penderita dengan cedera thorax biasanya dapat diterapi atau
diperbaiki kondisi sementara dengan tindakan yang relative sederhana seperti
intubasi, ventilasi, selang dada atau perikardiosintesis dengan jarum. Kemampuan
untuk mengenal cedera ini dan kemampuan melakukan tindakan dapat
menyelamatkan nyawa.1

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Komisi Trauma IKABI. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter.
Jakarta: Komisi Trauma IKABI. 2004 ; 112-125
2. Sjamsuhidajat R, Jong Win D. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005 ; 404-419.
3. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: Flail Chest, Pulmonary
Contusion, and Blast Injury. Crit Care Clin 20 : 71-81. 2004.
4. Gopinath N. Thoracic Trauma. IJTCVS 2004; 20: 144-148

24

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close