121754744 Referat Snake Bite

Published on January 2017 | Categories: Documents | Downloads: 76 | Comments: 0 | Views: 309
of 56
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia dianggap
berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of Poison Control
Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake bites) per tahun nya,
dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa1.
Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka
mortalitas dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian di laporkan pada beberapa
pulau, misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya2.
Terkena bisa ular (envenomed) dan kematian yang disebabkan gigitan ular, merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat pada daerah ini
mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk menuju sarana
kesehatan3.
Ular berbisa –yang terdapat hampir di semua negara, kecuali antartika- melumpuhkan
mangsanya dengan menyuntikkan air liur yang telah dimodifikasi (bisa) yang mengandung racun
ke dalam jaringan mangsa mereka melalui taring-taringnya-gigi berongga khusus. Ular juga
menggunakan bisanya untuk membertahankan diri dan akan menggigit mereka yang
mengancam, mengejutkan, atau memancingnya. Gigitan ular yang disebabkan oleh famili
Viperidae ( contohnya pit viper) dan Elapidae ( contohnya krait dan kobra) adalah yang utama
berbahaya bagi manusia. Pengobatan terbaik untuk gigitan ular manapun adalah membawa
korban ke rumah sakit secepat mungkin di mana antibisa (campuran antibodi yang menetralkan
bisa) dapat diberikan3.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kami menulis mengenai gigitan ular, agar dapat
menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bahaya dan cara penanganan terhadap gigitan
ular, khususnya ular berbisa.

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia.
Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus untuk
mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala dapat
mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa
lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan4 :
a.
b.
c.
d.
e.

Kerusakan jaringan secara umum,
perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang

bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari
rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur,
dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia
tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah
dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan
terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring
menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi5.
B. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA
Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa
yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi
(Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan
ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya
2

masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek
dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king
kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat
dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada
dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk
mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5

Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di Indonesia (Sumber :
Poisonus Snake in Indonesia, 2010)

3

Gambar 2. Gigitan ular dan Bisa (Sumber : www.animalsearth.blogspot.com)
Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Tidak berbisa
Bulat
Gigi Kecil
Lengkung seperti U
Warna-warni

Bentuk Kepala
Gigi Taring
Bekas Gigitan
Warna

Berbisa
Elips, segitiga
2 gigi taring besar
Terdiri dari 2 titik
Gelap

C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi
merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk
enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula
menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung
beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar
dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang
antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangan rendah
(koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh
darah

dan

menyebabkan

perdarahan

sistemik

spontan

(spontaneous

systemic

haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase
A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel
dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan
membran sel dan jaringan.
4

d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan
transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk
mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip
seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar
sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu
bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut
(hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka
gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda
kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan
selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan
saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe4.

5

C. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata.
Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh
hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang
terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya.
Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular
untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa
pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari
fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak
terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian
sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume
dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat
menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis
dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
D. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR
Gigitan Elapidae
(misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snake, mambas,
kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik

6

b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar berbicara,
susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur,
parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan urin
berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung
E. ORANG-ORANG YANG MEMILIKI RESIKO LEBIH BESAR UNTUK TERKENA
GIGITAN ULAR
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular,
pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak mengenakan
alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja. Gigitan ular juga
dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa
ular lain, cicak, katak, atau tikus5.
F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan
sistemik merupakan hal yang sangat penting.
7

Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya bekas
taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular,
bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah
diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah
Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper
(ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat
berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien. Apabila
ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien
saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau
tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera
ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan
ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau
mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi
lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular.
Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa
ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan yang

8

berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk,
warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka
bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.

Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa
dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya.
Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi
panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala
dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya
bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda
gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari
famili Viperidae)2.
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
9

g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis

Gambar 4. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)
Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema
konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terusmenerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrusmene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan
intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau
10

koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria,
perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan
retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal,
paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau atau afonia,
regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan
flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B. candidus,
western Russell’s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan
gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase akut :
syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan,
kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
G. PENATALAKSANAAN KERACUNAN AKIBAT GIGITAN ULAR
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum
korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang
lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat
penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang
membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan
korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit
dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
11

karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan
bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

12

1

2

3

4

5

6

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)

13

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan
penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa
pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien
dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion)
bila ia muntah dalam perjalanan
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi
(pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang
digigit.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus
rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu
kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik
yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan
nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan
resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock,
shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat
terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.
SERUM ANTI BISA ULAR
Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular merupakan
serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma kuda yang dikebalkan
14

terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan hematotoksik, yang kebanyakan ada di
Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular
Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu kadaluwarsa 2 tahun.
Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular
Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat
untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah dan
keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai
larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit,
lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau
bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat
perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara
lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan
secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam.
Efek Samping Serum Anti Bisa Ular
Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan memberikan
perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus hari-hati, mengingat
kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa :
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal,
sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul bila digunakan serum
yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan

15

Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini terjadi dalam
pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum
1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan dari lemari es,
apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga suhunya sama dengan suhu
badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan “relax”
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling sedikit 30 menit
Tes hipersentivitas subkutan
Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih dahulu harus
dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.


Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.
Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik yang dini seperti
pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun,



gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang.
Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin 1:1000.
Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2 ml subkutan dan




amati lagi selama 30 menit.
Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara perlahan-lahan dan
amati lagi paling sedikit 30 menit.

Syarat-syarat pemberian serum secara intravena
1. Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih dahullu, kemudian
dicoba dengan suntikan intramuskuler, baru intravena.
2. Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
3. Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu jam.
Tindakan terhadap reaksi sampingan
1. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)

16

Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi selimut atau botol
berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000 intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri lagi 0,3-0,5
adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid intramuskuler.
Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
2. Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat. Bila sangat
mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat menghilang dalam
24 jam.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang dengan
sendirinya.

INDIKASI PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR2 :
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti atau dicurigai
mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih tanda berikut :
Gejala venerasi sistemik
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil
laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti
lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap
tanda venerasi.
Gejala venerasi lokal :
17

Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang terkena gigitan
(tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Pembengkakan setelah tergigit pada jarijari ( jari kaki dan khususnya jari tangan). Pembengkakan yang meluas ( misalnya di bawah
pergelangan tangan atau mata kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan kaki),
pembesaran kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena
gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti tabel di
bawah ini :
Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka gigit
+
+
+

Nyeri
+/+
+++

III

++

+

+++

IV

+++

+

+++

Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh

Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):


Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU



Derajat II: 3-4 vial SABU



Derajat III: 5-15 vial SABU



Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

18

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat melawan
envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa hari, atau pada
kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian
anti bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular
dapat mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti klinins
menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan pada
satu jam pertama setelah gigitan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik

b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum

19

2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure
monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan
yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika
parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit

TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi gawat
Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien dengan
tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk
pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan
proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi
serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.
Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit. Fasciotomi
diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari derajat keparahan
gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah,
jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

OBSERVASI DAN EVALUASI RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR

20

Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di bawah ini dapat
diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.

Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa
ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat terjadi
kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari ‘depot’ pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung
oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi
eliminasi antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab’) 2 80-100 jam; Fan
12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi
antibisa.
21

kriteria pengulangan dosis inisiasi anti bisa ular :
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis
yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa
diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan
pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang
antara 1-2 jam.
d. Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan.

22

DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDA
K
TIDA
K

YA

ULAR DIBAWA KE
TIDA
RS
K

TERDAPAT
TANDA
ENVENOMASI
(KERACUNAN)

TIDA
K
RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

Insisi cross bila
memenuhi kriteria

YA
TIDA
K

TERDAPAT TANDA
ENVENOMASI
((KERACUNAN)

TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK
DARI ENVENOMASI
(KERACUNAN) ULAR YANG
UMUM BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG SAMA

TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA

TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA1
TIDA
K

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

YA

TIDA
K

RAWAT

ULAR DAPAT
TERIDENTIFIKASI

ULAR
DITETAPKAN
TIDAK BERBISA

YA

TIDA
K

YA

BERIKAN
ANTIBISA
POLISPESIFIK
UNTUK SPESIES
ULAR YANG
BERADA DI AREA
GEOGRAFIS

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

TERSEDIA
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

RAWAT

TENANGKAN KORBAN,
BERI SERUM
ANTITETANUS,
PULANGKAN KORBAN

TIDA
K

YA

RAWAT

BERIKAN
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

TERAPI
KONSERVATIF**

LIHAT RESPON2

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS

RAWAT
TIDA
K

TANDA
ENVENOMASI
SISTEMIK

Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical
Management of Snake Bite in The South East
Asia Region 2005

YA

ULANGI DOSIS INISIASI
RAWAT
ANTIBISA (MAX 80-100
ml)

TIDAK ADA PERBAIKAN :
RUJUK SEGERA

ADA PERBAIKAN :
OBSERVASI* DI RS

23

KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit
3 menit
15-30 menit
1 jam

Bisa yang dapat terbuang
90%
50%
1%

TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN) GIGITAN ULAR BERBISA
LOKAL ( pada bekas gigitan)
a. Tanda gigitan taring (fang marks)

Sistemik
Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,

b. Nyeri lokal

lemah, mengantuk, lemas.

c. Perdarahan lokal

Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis),

d. Kemerahan

koagulopati, atau trombositopenia.

e. Limfangitis

Gejala

f. Pembesaran kelenjar limfe

eksternal, paralisis, dan lainnya.

g. Inflamasi

(bengkak,

neurotoksik

:

ptosis,

oftalmoplegia

merah, Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia

panas)

(klinis), kelainan EKG.

h. Melepuh

Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria

i. Infeksi lokal, terbentuk abses

(klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil

j. Nekrosis

laboratorium).

Hemoglobinuria/mioglobinuria

:

urin coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti
lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis

generalisata

(nyeri

otot,

hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta
adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda
venerasi.

24

1

KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR

DERAJAT PARRISH
Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka gigit
+
+
+

Nyeri
+/+
+++

III

++

+

+++

IV

+++

+

+++

Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh

Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)
Derajat parrish
0-1
2
3-4

SABU (serum antibisa ular)
Tidak perlu
5-20 cc
40-100 cc

CARA PEMBERIAN SERUM ANTIBISA ULAR
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai
infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan
(misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam
sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng
sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih
besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi
di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat
diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR

25

injeksi 0,2 ml serum
encerkan 1: 10
(subkutan)
Amati 30 menit
Reaksi
hipersensitivitas (+)
Injeksi adrenalin
1:1000

Reaksi
hipersensitivitas (-)
Injeksi serum yang
tidak diencerkan 0,2 ml
(subkutan)
Amati 30 menit

Reaksi
hipersensitivitas (+)

Reaksi
hipersensitivitas (-)

Serum jangan
diberikan

suntikkan serum dalam
dosis penuh secara
perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing,
perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat,
tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut,
sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

Amati respon
terhadap serum
antibisa ular

26

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis
yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa
diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan
pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang
antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal antibisa
harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan

2

RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat

27

d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.

* OBSERVASI


Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan



Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.



Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.



Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari
derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti
waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

28

** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

29

H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler,
komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran
tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi
ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh
immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat
laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa
intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah
pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit,
sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis
(jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif
terdiri dari antihistamin dan steroid7.
I. PROGNOSIS GIGITAN ULAR
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta bahwa
mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10 kematian,
dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan dan lain hal.
Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan medis di AS.
Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa, korban akan
pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang tertahan pada
luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular tidak membawa atau mentransmisikan
rabies6.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari 20%
gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan. Hal ini
disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh elapid.
Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular tidak

30

berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain
sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang dewasa
yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting, antibisa ular, dapat
mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya terlihat
baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh ular berbisa
harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda6.
J. PENCEGAHAN GIGITAN ULAR2
a. Mengenali ular lokal di daerah masing-masing, mengetahui tempat tinggal dan tempat
persembunyian yang disukai ular, mengetahui waktu dan cuaca dimana ular akan lebih
aktif, terutama gigitan ular setelah hujan, saat banjir, saat panen, serta malam hari
b. Gunakan sepatu atau bots dan celana panjang, khususnya saat berjalan di malam hari
atau semak-semak
c. Gunakan cahaya (lampu senter, obor) saat berjalan di malam hari
d. Hindari ular sejauh mungkin, termasuk pertunjukan penjinak ular. Jangan pernah
menyentuh, mengancam, atau menyerang ular dan jangan pernah menjebak dan
memojokkan ular dalam tempat tertutup
e.

Bila memungkinkan, hindari tidur di tanah

f. Jauhkan anak-anak dari daerah yang diketahui rawan ular
g. Hindari atau lakukan dengan saat hati-hati saat menangani ular mati, atau ular yang
terlihat mati
h. Hindari reruntuhan, sampah, gundukan anai-anai, atau hewan domestik yang dekat
dengan hunian manusia, karena dapat menarik ular
i. Memeriksa rumah secara berkala untuk ular, dan bila mungkin, hindari jenis konstruksi
rumah yang memungkinkan ular untuk bersembunyi (misalnya dinding jerami dan tanah
liat yang memiliki celah dan ruang yang lebar, ruang tidak tertutup pada lantai)
j. Untuk mencegah gigitan ular laut, nelayan sebaiknya menghindari menyentuh ular laut
yang tertangkap jala dan terpancing. Kepala dan ekor ular tidak mudah dibedakan.
Terdapat resiko tergigit pada mereka yang mandi dan mencuci pakaian pada air yang
keruh pada muara, hulu sungai dan pesisir pantai.

31

32

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

KASUS :
A. Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Umur

: 61 Tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Alamat

: Sidomulyo

Pekerjaan

: Petani

Tanggal MRS

: 22 Desember 2015

Tanggal Periksa

: 22 Desember 2015

B. Anamnesis
Keluhan Utama

: nyeri pada telapak kaki kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUP Darsono, Pacitan pada tanggal 22 Desember 2015 pukul 11.37
WIB dengan keluhan nyeri pada telapak kaki kiri sejak pukul 08.00 WIB. Nyeri
dirasakan pasien setelah telapak kaki kirinya digigit ular saat pasien sedang berjalan di
pinggir jalan yang dekat dengan sawah. Saat kejadian, pasien mengaku telapak kaki
kirinya dirasa sangat nyeri dan dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan. Nyeri
seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis pasien. Kaki pasien juga terasa panas,
baal (kesemutan) dan membengkak pada luka bekas gigitan hingga betis kiri, luka
berdarah. Perdarahan tidak berhenti sejak pasien digigit ular. Pasien juga mengeluh
keluar keringat dingin (+), berdebar-debar (+), sesak nafas (-), mual (-), muntah (-), nyeri
kepala (-), pingsan (-), demam (-), nyeri perut (-), pasien mengaku BAK dan BAB nya
lancar. Pasien mengaku tahu jenis ular yang menggigitnya, yaitu ular bendotan. Saat
kejadian pasien mengenakan sandal. Saat ini, keluhan nyeri pasien masih dirasakan,
namun hilang timbul. Nyeri terutama saat pasien berjalan dan berkurang bila os duduk
dan berbaring. Nyeri berlangsung 10-15 menit. Nyeri terasa seperti berdenyut-denyut,
33

rasa tertusuk (-). Keluhan kaki membengkak masih dirasakan, namun sudah tidak terasa
panas maupun baal (kesemutan). saat ini pasien mengeluhkan nyeri kepala yang dirasa
hilang timbul, terutama pada pelipis. Keluhan berkeringat dingin, berdebar-debar, sesak
nafas, mual, muntah, demam, nyeri perut, saat ini tidak dirasakan. Pasien mengaku BAB
nya lancar, 1x sehari, konsistensi padat, warna kecoklatan, darah (-), lendir (-), nyeri
BAB (-). BAK pasien juga lancar, 3-4 x sehari, warna kekuningan, jumlah ½ gelas
belimbing, darah (-), batu (-), nyeri BAK disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Adanya perdarahan yang
sukar berhenti (+), asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Anggota keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat DM (-),
Hipertensi (-), sakit jantung (-), asma (-), sakit ginjal (-), sakit kuning (-)
Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan dan makanan tertentu.
Riwayat Pengobatan :
Saat kejadian (pukul 08.00 WIB, 22 Desember 2015), pasien sempat dibawa kerumahnya,
diberi air putih, lalu betis kanan pasien diikat dengan kain oleh keluarganya, dan dibawa
ke IGD RSUD Darsono, Pacitan. Di RSUD Darsono, Pacitan, dilakukan perawatan
berupa pembersihan luka dan membalut betis kanan pasien, kemudian disuntik obatobatan, dan disarankan untuk opname.

34

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum

: sedang

Ekspresi Wajah

: tenang

Kesadaran / GCS

: CM / E4V5M6

Berat badan

: 65 kg

Vital Sign
Tekanan darah

: 150/100 mmHg

Denyut Nadi

: 98 x / menit

Pernafasan

: 20 kali/ menit

Suhu aksila

: 37 ‘C

Skor nyeri

:9

GDS

: 185 mg/dl

Pemeriksaan Kepala / Leher :
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva palpepra anemis -/-, petekie -/-, sclera ikterik -/-, reflek pupil +/+,
pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm.
Wajah : kulit wajah pucat (-), sianosis (-)
Telinga : deformitas (-)
Hidung : deformitas (-), perdarahan dari hidung (-)
Mulut : sianosis bibir (-), mukosa mulut dan lidah merah muda, petekie (-), stomatitis(-),
lidah kotor (-)
Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), distensi v. jugularis (-)
Pemeriksaan Thorax dan Kardiovaskuler :
Thorak
Bentuk normal simetris, pembesaran kel. Axilla (–)

35

Pulmo
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, jejas (-), sikatriks (-), penggunaan otot SCM
(-/-), retraksi sela iga (-), pelebaran sela iga (–), fossa supraclavikular cekung normal,
fossa suprasternal cekung normal, fossa infraclavikular normal, frekuensi dan dalamnya
nafas normal
Palpasi : Pergerakan simetris, vocal fremitus simetris.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. nyeri ketok (–)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, suara tambahan rhonki -/-, wheezing -/Jantung dan kardiovaskular
Inspeksi : Iktus tak terlihat, pulsasi jantung tak terlihat
Palpasi : Iktus tak teraba, thrill tidak ada
Perkusi : Batas atas : ICS 2
Batas bawah : ICS 4
Batas kanan : linea sternalis dextra
Batas kiri : linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (–)
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen normal, permukaan kulit rata, warna kulit normal, umbilikus
masuk merata. Distensi (-), venektasi (-), hiperemi (-), sikatrik (-), ulkus (-), hernia (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok (-), pekak beralih (-)
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (-), Massa (-), defans muskular (-).
Hepar/Lien/Renal tidak teraba
Pemeriksaan Pelvic dan inguinal :
Pelvis normal, nyeri tekan suprapubic (-). Inguinal normal, benjolan (-), massa (-), nyeri
tekan (-), pembesaran KGB (-).

36

Pemeriksaan Urogenital :
normal, infeksi (-), massa (-)
Pemeriksaan Anal dan Perianal :
Inspeksi : hiperemi (-), massa (-), nyeri tekan (-).
Extremitas atas :
akral hangat +/+, edema -/-, deformitas -/-, jejas (-)
Extremitas bawah :
Akral hangat +/+, edema +/-, deformitas -/-, terdapat dua buah luka pada telapak kaki
kiri, bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak
kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris dekstra berwarna
merah keunguan, edema (+). Nyeri tekan (+).
Status lokalis Luka :
terdapat dua buah luka pada telapak kaki kiri,bentuk titik ukuran masing-masing 0,2 cm x
0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit sekitar luka hingga 1/3
distal cruris sinistra berwarna merah keunguan, edema (+),nyeri tekan (+), perdarahan (+)

Gambar 1. Status Lokalis Luka.
37

D. Resume
Seorang pria, 61 tahun, datang dalam keadaan sadar, mengeluh nyeri pada telapak kaki kiri :


Pada tanggal 22 Desember 2015 pukul 08.00 WIB, telapak kaki kiri digigit ular, saat
kejadian os sedang berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah, setelah itu os
mengeluh nyeri (+) hingga tidak bisa berjalan, kaki terasa panas (+), baal (hipoestesia)
(+), bengkak (+), berkeringat dingin (+), berdebar-debar (+),Perdarahan tidak berhenti



sejak pasien digigit ular (+).
Pada 22 Desember 2015 sekitar pukul 11.57 WIB, pasien dalam keadaan sadar, dibawa



ke IGD RSUD Darsono, dilakukan pembersihan luka dan pembalutan.
Saat ini os dalam keadaan sadar, masih nyeri dan bengkak pada luka gigitan hingga
pertengahan betis kanan, os bisa berjalan. Kaki terasa hipoestesia (-) dan panas (-)

Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 150/100 mmHg, denyut nadi 98 x / menit, teratur,
pernafasan 20 kali/ menit, suhu aksila 37 ‘C, pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batas
normal, status lokalis luka : terdapat dua buah luka pada telapak kaki kiri, bentuk titik ukuran
masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna kulit
sekitar luka hingga 1/3 distal cruris sinistra berwarna merah keunguan, edema (+). Nyeri
tekan (+), Perdarahan aktif (+).
E. Diagnosis
Snake bite derajat II (kriteria Parrish)
F. Planning
a. Planning Diagnostik



Pemeriksaan laboratorium DL, LFT, BT, CT,
Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

b. Planning Terapi






Bed rest
Perawatan luka
Observasi vital sign
Analgesik Paracetamol
Deksametasone
38



Antibiotika profilaksis Amoxicillin

G. Prognosis
Dubia ad bonam
H. Observasi
Hari I (29 Maret 2012)
S : nyeri pada tumit kanan hingga os tidak bisa berjalan, bengkak pada luka gigitan sampai
pertengahan betis kanan.. BAB baik, lancar, BAK baik, lancar.
O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
TD : 100/70mmHg

N: 88x/mnt RR: 20x/mnt T: 36,1’C

Status lokalis luka : dua buah luka pada tumit kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk
titik ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm.
warna kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris dekstra berwarna merah keunguan, edema
(+) pada lokasi gigitan hingga ½ cruris dekstra. Nyeri tekan (+).
A : Snake Bite
P : RL
Injeksi Ceftriakson
Ketorolac 3%
Rawat luka
Hari II (30 Maret 2012)
S : masih nyeri dan bengkak pada luka gigitan sampai pertengahan betis kanan. Os sudah
bisa berjalan. BAB baik, lancar, BAK baik, lancar.
O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
TD : 100/80 mmHg

N: 88x/mnt RR: 20 x/mnt T: 35,8’C

Status lokalis
Status lokalis luka : dua buah luka pada tumit kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk titik
ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna
kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris dekstra berwarna merah keunguan, edema (+) pada
lokasi gigitan hingga ½ cruris dekstra. Nyeri tekan (+).
39

A : Snake Bite
P : RL
Injeksi Ceftriakson
Ketorolac 3%
Rawat luka
Hari III (31 Maret 2012)
S : nyeri dan bengkak pada luka gigitan sampai pertengahan betis kanan berkurang. Os sudah
bisa berjalan. BAB baik, lancar, BAK baik, lancar.
O : KU : sedang, Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
TD : 100/70 mmHg

N: 92 x/mnt RR: 19 x/mnt T: 36’C

Status lokalis luka : dua buah luka pada tumit kanan, 5 cm di bawah mata kaki, bentuk titik
ukuran masing-masing 0,2 cm x 0,2 cm dan 0,2 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1,2 cm. warna
kulit sekitar luka hingga 1/3 distal cruris dekstra berwarna merah keunguan, edema (+) pada
lokasi gigitan hingga ½ cruris dekstra. Nyeri tekan (+).
A : Snake Bite
P : BPL dalam keadaan stabil
Resep oral : Amoxicillin Syr

40

PEMBAHASAN
Pada kasus, seorang anak berusia 10 tahun yang digigit ular menjelang malam hari, saat
sedang berjalan di pinggir jalan yang dekat dengan sawah dan mengenakan sandal. Lokasi
gigitan adalah pada tumit kanan pasien. Hal ini kemungkinan terjadi karena korban tidak sengaja
menginjak ular tersebut, sehingga ular tersebut berusaha mempertahankan diri dengan menggigit
tumit korban.
Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau tidak
berbisa. Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Berdasarkan teori yang telah
dijelaskan sebelumnya, untuk membedakan apakah ular berbisa atau tidak diketahui berdasarkan
jenis ular, gambaran luka gigitan, serta gambaran klinis dari korban gigitan ular. Pada kasus ini,
diketahui bahwa korban tidak tahu jenis, corak, maupun warna ular yang menggigitnya, sehingga
untuk menentukan ular tersebut berbisa atau tidak didapatkan berdasarkan gambaran bekas
gigitan serta gejala klinis yang dialami pasien.
Segera setelah ular menggigit akan muncul gejala dan tanda pada daerah gigitan berupa
tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, perdarahan lokal, kemerahan, limfangitis,
pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak, merah, panas), melepuh, infeksi lokal, terbentuk
abses,serta nekrosis. Pada korban, didapatkan tanda dan gejala lokal berupa rasa nyeri pada
daearah gigitan (tumit kaki kanan) yang dirasa terus-menerus, hingga ia tidak bisa berjalan.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke betis pasien. Kaki pasien juga terasa panas,
baal (kesemutan) dan membengkak, bekas gigitan tidak berdarah. Tanda dan gejala sistemik
yang didapatkan berupa keringat dingin dan berdebar-debar. Tidak didapatkan gejala mual,
muntah, pusing, serta syok. Pada pemeriksaan fisik kepala, leher, thorax, dan abdomen, tidak
didapatkan kelainan. Pada ekstremitas, didapatkan luka gigitan pada tumit kanan pasien.
Gambaran luka yaitu berbentuk dua buah titik pada tumit kanan dan disekitar luka hingga 1/3
distal regio cruris dekstra terjadi edema serta perubahan warna kulit merah-keunguan disertai
nyeri pada penekanan.
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/
memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi
darah, serta mengatasi efek lokal dan sistemik. Metode pertolongan pertama yang dilakukan
adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh
yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi
41

otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran
darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari
gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.
Pada kasus ini, penanganan yang dilakukan pada korban kurang baik disebabkan saat
awal terkena, pada daerah kaki korban sempat dilakukan pengikatan erat karena kurangnya
pengetahuan keluarga terhadap penanganan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat
dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), dapat mempercepat terjadinya nekrosis
jaringan karena aliran darah menuju lokasi terhambat, serta apabila tornikuet dibuka maka
tekanan yang tinggi pada daerah tersebut menyebabkan racun akan semakin menyebar melalui
pembuluh darah dan menumbulkan efek sistemik yang lebih berat.
Pada pasien juga dilakukan tidakan cross incision, yang ditandai dengan bentuk luka
seperti huruf X. Untuk melakukan tindakan cross incision, sangat penting untuk mengetahui
waktu tergigit ular, sejumlah literatur menyebutkan bila dilakukan insisi sedalam ½ cm pada 3
menit setelah tergigit 90% dapat dicegah infiltrasi bisa, 15-30 menit, 50% bisa dapat dibuang,
sedangkan bila 1 jam hanya 1% bisa yang dapat dibuang.
Selama perawatan di rumah sakit, pada pasien ini diberikan terapi berupa antinyeri serta
antibiotika. Pemberian antibiotika pada korban gigitan ular dapat diberikan, tapi umumnya
bermanfaat hanya pada kasus gigitan ular yang berat. Walaupun demikian, pemberian antibiotik
spektrum luas tetap direkomendasikan disamping itu untuk mencegah infeksi sekunder dari luka
setelah dilakukan insisi. Antibiotika yang dapat diberikan seperti amoksisilin dan golongan
cefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin dan metronidazol.
Penatalaksanaan gigitan ular di rumah sakit pada negara dengan prevalensi gigitan ular yang
tinggi, berdasarkan penelitian dari 108 pasien, tampak pada tabel berikut.

1.

bed rest

2.

Perawatan luka (iodine, hibitane)

3.

Menenangkan pasien
42

4.

Pemberian sedasi (diazepam, promethazine)

5.

Analgesik (ASA, paracetamol, ibuprofen, indometacin, petidine

6.

Antibiotika profilaksis (PPF, amoksisilin, ampicillin, gentamicin, cloxacillin

7.

Antitetanus

8.

Steroid (kortison, deksametason)

9.

Akses intravena (cairan dan obat-obatan)

10.

Debridemen (n=2)

11.

Elevasi tungkai

12.

Observasi

Sumber : Snake Bite Mangement : experience from Gulu Regional Hospital Uganda (2002)

43

BAB IV
RESUME

A. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Perbedaan
Bentuk Kepala
Gigi Taring
Bekas Gigitan
Warna

Tidak berbisa
Bulat
Gigi Kecil
Lengkung seperti U
Warna-warni

Berbisa
Elips, segitiga
2 gigi taring besar
Terdiri dari 2 titik
Gelap

B. Tanda Envenomasi (keracunan) oleh Gigitan Ular Berbisa
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
k. Tanda gigitan taring (fang marks)
l. Nyeri lokal
m. Perdarahan lokal
n. Kemerahan
o. Limfangitis
p. Pembesaran kelenjar limfe
q. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
r. Melepuh
s. Infeksi lokal, terbentuk abses
t. Nekrosis
Tanda dan gejala sistemik :
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema
konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terusmenerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus44

mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan
intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau
koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria,
perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan
retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal,
paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau atau afonia,
regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan
flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B. candidus,
western Russell’s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti
jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan
gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase akut :
syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan,
kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
C. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:
5. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas;
imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat
atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau
kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah
bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan

45

terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.

1

2

3

4

5

6

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)
46

6. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan
senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan
penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa
pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien
dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion)
bila ia muntah dalam perjalanan
7. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode
penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi
(pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang
digigit.
8. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus
rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu
kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik
yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan jalan
nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan
resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock,
shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat
terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.

47

DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR

PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDA
K
TIDA
K

YA

ULAR DIBAWA KE
RS
TIDA

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

Insisi cross bila
memenuhi kriteria

YA
TIDA
K

TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA

TANDA MEMENUHI
KRITERIA
PEMBERIAN
ANTIBISA1

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

YA

TIDA
K

TIDA
K

ULAR
DITETAPKAN
TIDAK BERBISA

YA

TERDAPAT TANDA
ENVENOMASI
((KERACUNAN)

TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK
DARI ENVENOMASI
(KERACUNAN) ULAR YANG
UMUM BERADA DI AREA
GEOGRAFIS YANG SAMA

RAWAT

ULAR DAPAT
TERIDENTIFIKASI

K

TERDAPAT
TANDA
ENVENOMASI
(KERACUNAN)

TIDA
K

TIDA
K

YA

BERIKAN
ANTIBISA
POLISPESIFIK
UNTUK SPESIES
ULAR YANG
BERADA DI AREA
GEOGRAFIS

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS SELAMA 24
JAM

YA

TERSEDIA
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

RAWAT

TENANGKAN KORBAN,
BERI SERUM
ANTITETANUS,
PULANGKAN KORBAN

TIDA
K

YA

RAWAT

TERAPI
KONSERVATIF**

BERIKAN
ANTIBISA
MONOSPESIFIK /
POLISPESIFIK

LIHAT RESPON2

RAWAT

OBSERVASI* DI
RS

RAWAT
TIDA
K

TANDA
ENVENOMASI
SISTEMIK

Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical
Management of Snake Bite in The South East
Asia Region 2005

YA

ULANGI DOSIS INISIASI
RAWAT
ANTIBISA (MAX 80-100
ml)

TIDAK ADA PERBAIKAN :
RUJUK SEGERA

ADA PERBAIKAN :
OBSERVASI* DI RS

48

KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit
3 menit
15-30 menit
1 jam

Bisa yang dapat terbuang
90%
50%
1%

TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN) GIGITAN ULAR BERBISA
LOKAL ( pada bekas gigitan)
u. Tanda gigitan taring (fang marks)

Sistemik
Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,

v. Nyeri lokal

lemah, mengantuk, lemas.

w. Perdarahan lokal

Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis),

x. Kemerahan

koagulopati, atau trombositopenia.

y. Limfangitis

Gejala

z. Pembesaran kelenjar limfe

eksternal, paralisis, dan lainnya.

aa. Inflamasi

(bengkak,

neurotoksik

:

ptosis,

oftalmoplegia

merah, Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia

panas)

(klinis), kelainan EKG.

ab. Melepuh

Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria

ac. Infeksi lokal, terbentuk abses

(klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil

ad. Nekrosis

laboratorium).

Hemoglobinuria/mioglobinuria

:

urin coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti
lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis

generalisata

(nyeri

otot,

hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta
adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda
venerasi.

49

1

KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR

DERAJAT PARRISH
Derajat
0
I
II

Venerasi
0
+/+

Luka gigit
+
+
+

Nyeri
+/+
+++

III

++

+

+++

IV

+++

+

+++

Udem/eritema
<3cm/12 jam
<3cm/12 jam
>12cm25cm/12jam
>25cm/12jam
Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh

Tanda sistemik
0
0
+. Neurotoksik, mual,
pusing, syok
++,syok,
petekie,ekimosis
++, gangguan faal
ginjal, koma,
perdarahan

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)
Derajat parrish
0-1
2
3-4

SABU (serum antibisa ular)
Tidak perlu
5-20 cc
40-100 cc

CARA PEMBERIAN SERUM ANTIBISA ULAR
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai
infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan
(misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam
sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng
sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih
besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi
di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat
diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR

50

injeksi 0,2 ml serum
encerkan 1: 10
(subkutan)
Amati 30 menit
Reaksi
hipersensitivitas (+)
Injeksi adrenalin
1:1000

Reaksi
hipersensitivitas (-)
Injeksi serum yang
tidak diencerkan 0,2 ml
(subkutan)
Amati 30 menit

Reaksi
hipersensitivitas (+)

Reaksi
hipersensitivitas (-)

Serum jangan
diberikan

suntikkan serum dalam
dosis penuh secara
perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing,
perasaan panas, batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntahmuntah, pembengkakan lidah atau bibir, denyut nadi cepat,
tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di perut,
sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

Amati respon
terhadap serum
antibisa ular

51

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :
d. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2 jam,
terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
e. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis
yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa
diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan
pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
f. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang
antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal antibisa
harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan

2

RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
g. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat
hilang secara cepat.
h. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
i. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat

52

j. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
k. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik
dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu
bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
l. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.

* OBSERVASI


Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan



Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang
invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.



Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.



Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari
derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti
waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

53

** PERAWATAN KONSERVATIF
9. Bed rest
10. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
11. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
12. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
13. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin, Petidine)
14. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
15. Pemberian toxoid Tetanus
16. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

54

55

DAFTAR PUSTAKA
1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept
Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al.
2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on
Regional

Estimates

of

Envenoming

and

Deaths.

PLoS

Med

5(11):

e218.

doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from :
www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan
Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret 2012)
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar
Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine
Health.
2005.
Snakebite.
available

from

:

http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From

10)

Gulu Regional Hospital Uganda.

56

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close