ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER
HENTI JANTUNG (CARDI AC ARREST)
MAKALAH
Oleh
Kelompok 18
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
ii
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER
HENTI JANTUNG (CARDI AC ARREST)
MAKALAH
disusun sebagai pemenuhan tugas Keperawatan Klinik IIB dengan
dosen pengampu : Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes
Oleh
Karina Diana Safitri (132310101019)
Rizka Agustine W (132310101041)
Bagus Arditya H (132310101060)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul“Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan gangguan Sistem
Kardiovaskuler “Henti Jantung ( Cardiac Arrest ) ”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih kurang
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
berguna dan bermanfaat bagi semuanya.
.
Jember, 25 Oktober 2014 Penyusun
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ..............................................................................
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 2
BAB 2. TINJAUAN TEORI .................................................................... 3
2.1 Pengertian Henti Jantung ( Cardiac Arrest) .................................... 3
2.2 Epidemiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest) ............................... 3
2.3 Etiologi danTanda Gejala Henti Jantung ( Cardiac Arrest) ............ 5
2.4 Patofisiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest) ................................. 6
2.5 Komplikasi dan prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest) ........... 7
2.6 Penatalaksanaan Henti Jantung ( Cardiac Arrest) ........................... 8
2.7 Pencegahan Henti Jantung ( Cardiac Arrest) .................................. 9
2.8 Pemerikasaan Penunjang Henti Jantung ( Cardiac Arrest) ............. 9
BAB 3. PATHWAY .................................................................................. 11
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN ................................................... 12
4.1 Pengkajian ........................................................................................ 12
4.2 DiagnosaKeperawatan ...................................................................... 15
4.3Intervensi Keperawatan .................................................................... 16
4.5 Evaluasi Keperawatan ...................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 22
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Henti jantung berdasarkan The Pediatric Utstein Guidline adalah
terhentinya aktivitas mekanik jantung yang ditentukan oleh tidak adanya
respon dari perabaan pada denyut nadi sentral, dan henti nafas.
Pada anak, henti jantung biasanya lebih banyak disebabkan oleh
asfiksia sebagai akibat sekunder dari henti nafas. Hal ini berbeda dengan
kejadian henti jantung pada dewasa yang sebagian besar disebabkan oleh
masalah primer pada jantung. Data yang didapatkan menyebutkan bahwa,
lebih kurang 2 – 4 % pasien yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit
(PICU) mengalami henti jantung. Angka kejadian henti jantung dan nafas
pada anak di Amerika Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya, hanya 30 %
yang menerima resusitasi jantung paru dan sebagian besarnya terjadi pada
anak dengan usia kurang dari 1 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Hans Steiner dan Gerald Neligan
(1975) mendapatkan hasil bahwa lamanya henti jantung berhubungan dengan
insiden kerusakan otak, semakin lama bayi mengalami henti jantung, semakin
berat kerusakan otak yang akan dialaminya. Hal tersebut dikarenakan henti
jantung yang lama akan menyebabkan tidak adekuatnya Cerbral Perfusion
Pressure (CPP) yang selanjutnya akan berdampak pada kejadian iskemik yang
menetap dan infark kecil di suatu bagian otak.
Pemberian penanganan segera pada henti nafas dan jantung berupa
Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) akan berdampak langsung pada
kelangsungan hidup dan komplikasi yang ditimbulkan setelah terjadinya henti
jantung pada bayi dan anak. Resusitasi jantung paru segera yang dilakukan
dengan efektif berhubungan dengan kembalinya sirkulasi spontan dan
kesempurnaan pemulihan neurologis. Hal ini disebabkan karena ketika jantung
berhenti, oksigenasi juga akan berhenti sehingga akan menyebabkan kematian
sel otak yang tidak akan dapat diperbaiki walaupun hanya terjadi dalam
hitungan detik sampai beberapa menit .
2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.2 Bagaimana epidemiologi dan etiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.3 Apa saja tanda dan gejala Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.4 Bagaimana prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.5 Bagaimana pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan penunjang
Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
1.2.6 Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan Henti Jantung ( Cardiac
Arrest)?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan konsep Henti
Jantung ( Cardiac Arrest) pada anak.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan bronkopneumonia;
b. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dan etiologi Henti
Jantung ( Cardiac Arrest);
c. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala serta patofisiologi
Henti Jantung ( Cardiac Arrest);
d. Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis Henti Jantung ( Cardiac
Arrest);
e. Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan, pencegahan, dan
pemeriksaan penunjang Henti Jantung ( Cardiac Arrest); dan
f. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Henti Jantung ( Cardiac Arrest).
3
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Henti jantung (Cardiac Arrest )
Henti jantung (Cardiac Arrest ) adalah penghentian tiba-tiba fungsi
pemompaan jantung dan hilangnya tekanan darah arteri. Saat terjadinya
serangan jantung, penghantaran oksigen dan pengeluaran karbon dioksida
terhenti, metabolisme sel jaringan menjadi anaerobik, sehingga asidosis
metabolik dan respiratorik terjadi. Pada keadaan tersebut, inisiasi langsung
dari resusitasi jantung paru diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan
jantung, paru-paru, ginjal, kerusakan otak dan kematian.
2.2 Epidemiologi Henti jantung (Cardiac Arrest )
Angka kejadian henti jantung dan nafas pada anak-anak di Amerika
Serikat sekitar 16.000 setiap tahunnya. Kejadian lebih didominasi oleh anak
berusia lebih kecil, yaitu pada anak usia dibawah 1 tahun dan lebih banyak
pada jenis kelamin laki-laki yaitu 62%. Angka kejadian henti nafas dan
jantung yang terjadi di rumah sakit berkisar antara 7,5 – 11,2% dari 100.000
orang setiap tahun. Sebuah penelitian di Amerika Utara menunjukkan bahwa,
kejadian henti nafas dan henti jantung lebih banyak terjadi pada bayi
dibandingkan dengan anak dan dewasa yaitu dengan perbandingan 72,7 : 3,7 :
6,3 dari 100.000 orang setiap tahunnya.
Sementara itu, angka kejadian henti nafas dan henti jantung yang terjadi
di rumah sakit berkisar antara 2 – 6% dari pasien yang dirawat di ICU
(Intensive Unit Care). Sekitar 71-88% terjadi pada pasien dengan penyakit
kronis, yang terbanyak adalah penyakit saluran nafas, jantung, saluran
pencernaan, saraf, dan kanker. Penyebabnya hampir sama dengan henti nafas
dan henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit di mana yang terbanyak
adalah asfiksia dan syok.
4
2.3 Etiologi Henti jantung (Cardiac Arrest )
Penyebab terjadinya henti nafas dan henti jantung tidak sama pada
setiap usia. Penyebab terbanyak pada bayi baru lahir adalah karena gagal
nafas, sedangkan pada usia bayi yang menjadi penyebabnya bisa berupa
:
a. Sindrom bayi mati mendadak atau SIDS ( Sudden Infant Death
Syndrome )
b. Penyakit pernafasan
c. Sumbatan pada saluran pernafasan, termasuk aspirasi benda asing
d. Tenggelam
e. Sepsis
f. Penyakit neurologis
Penyebab terbanyak henti nafas dan henti jantung pada anak yang
berumur diatas 1 tahun adalah cedera yang meliputi kecelakaan lalu lintas,
terbakar, cedera senjata api, dan tenggelam.
Seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi untuk terkena
cardiac arrest dengan kondisi:
1. Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu.
2. Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy).
3. Riwayat penggunaan obat-obatan jantung
4. Abnormalitas kelistrikan jantung (sindroma gelombang QT yang
memanjang)
5. Aterosklerosis
2.4 Tanda dan Gejala Henti jantung (Cardiac Arrest )
1. Tidak sadar (pada beberapa kasus terjadi kolaps tiba-tiba)
2. Pernapasan tidak tampak atau pasien bernapas dengan terengah-engah
secara intermiten)
3. Sianosis dari mukosa buccal dan liang telinga
4. Pucat secara umum dan sianosis
5. Jika pernapasan buatan tidak segera di mulai, miokardium (otot jantung)
akan kekurangan oksigen yang di ikuti dengan henti napas.
6. Hipoksia
5
7. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa
atau brakialis pada bayi)
2.5 Patofisiologi Henti jantung (Cardiac Arrest )
Henti jantung timbul akibat terhentinya semua sinyal kendali listrik di
jantung, yaitu tidak ada lagi irama yang spontan. Henti jantung timbul selama
pasien mengalami hipoksia berat akibat respirasi yang tidak adequat. Hipoksia
akan menyebabkan serabut-serabut otot dan serabut-serabut saraf tidak
mampu untuk mempertahankan konsentrasi elektrolit yang normal di sekitar
membran, sehingga dapat mempengaruhi eksatibilitas membran dan
menyebabkan hilangnya irama normal.
Apapun penyebabnya, saat henti jantung anak telah mengalami
insufisiensi pernafasan akan menyebabkan hipoksia dan asidosis respiratorik.
Kombinasi hipoksia dan asidosis respiratorik menyebabkan kerusakan dan
kematian sel, terutama pada organ yang lebih sensitif seperti otak, hati, dan
ginjal, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan otot jantung yang
cukup berat sehingga dapat terjadi henti jantung.
Penyebab henti jantung yang lain adalah akibat dari kegagalan sirkulasi
(syok) karena kehilangan cairan atau darah, atau pada gangguan distribusi
cairan dalam sistem sirkulasi. Kehilangan cairan tubuh atau darah bisa akibat
dari gastroenteritis, luka bakar, atau trauma, sementara pada gangguan
distribusi cairan mungkin disebabkan oleh sepsis atau anafilaksis. Organ-
organ kekurangan nutrisi esensial dan oksigen sebagai akibat dari
perkembangan syok menjadi henti jantung melalui kegagalan sirkulasi dan
pernafasan yang menyebabkan hipoksia dan asidosis. Sebenarnya kedua hal
ini dapat terjadi bersamaan.
Pada henti jantung, oksigenasi jaringan akan terhenti termasuk oksigenasi
ke otak. Hal tersebut, akan menyebabkan terjadi kerusakan otak yang tidak
bisa diperbaiki meskipun hanya terjadi dalam hitungan detik sampai menit.
Kematian dapat terjadi dalam waktu 8 sampai 10 menit. Oleh karena itu,
tindakan resusitasi harus segera mungkin dilakukan.
6
2.6 Prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest )
2.6.1 Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya
dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut
mengalami henti. Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian
resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas
maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat
mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru
dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban
mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk
hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah
diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti
meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan
(defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup
rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%.
2.7 Pengobatan
Henti jantung dapat terjadi setiap saat di dalam atau di luar rumah
sakit,sehingga pengobatan dan tindakan yang cepat serta tepat akan
menentukan prognosis; 30-45 detik. Sesudah henti jantung terjadi akan terlihat
dilatasi pupil dan pada saat ini harus di ambil tindakan berupa:
1. sirkulasi artifisial yang menjamin peredaran darah yang mengandung
oksigen dngan melakukan :
a) Masase jantung. Anak ditidurkan pada tempat tidur yang datar dan
keras, kemudian dengan telapak tangan di tekan secara kuat dan
keras sehingga jantung yang terdapat di antara sternum
dan tulang belakang tertekan dan darah mengalir ke arteria
pumonalis da aorta. Masase jantung yang baik terlihat hasilnya
7
dari terabanya kembali nadi arteri-atreri besar sedangkan pulihnya
sirkulasi ke otak dapat terlihat pada pupil yang menjadi normal
kembali.
b) Pernapasan buatan. Mula-mula bersihkan saluran pernapasan,
kemudian ventilasi di perbaiki dengan pernapan mulut ke
melut/inflating bags atau secara endotrakheal. Ventilasi yang
baik dapat di ketahui bila kemudian tampak ekspansi dinding
thoraks pada setiap kali inflasi di lakukan dan kemudian juga
warna kulit akan menjadi normal kembali.
2. Memperbaiki irama jantung
a) defibrilasi,yaitu bila kelainan dasar henti jantung ialah fibrilasi
ventrikel
b) obat-obatan:infus norepinefrin 4 mg/1000ml larutan atau vasopresor
dan epinefrin 3 ml 1:1000 atau kalsium klorida secara intra kardial
(pada bayi di sela iga IV kiri dan pada anak dibagian yang lebih
bawah) untuk meninggikan tonus jantung,sedangkan asidosis
metabolik diatasi dngn pemberian sodium bikarbonat.bila di
takutkan fibrilasi ventrikel kambuh,maka pemberian lignokain
1% dan kalium klorida dapat menekan miokard yang mudah
terangsang. Bila nadi menjadi lambat dan abnormal,maka perlu di
berikan isoproterenol.
3. Perawatan dan pengobatan komplikasi
a) Perawatan: Pengawasan tekanan darah,nadi,jantung ; menghindari
terjadinya aspirasi (dipasang pipa lambung) ; mengetahui
adanya anuri yang dini (di pasang kateter kandung kemih).
b) Pengobatan komplikasi yang terjadi seperti gagal ginjal ( yang di
sebabkan nekrosis kortikal akut) dan anuri dapat di atasi dengan
pemberian ion exchange resins,dialisis peritoneal serta pemberian
cairan yang di batasi.kerusakan otak di atasi dngan pemberian obat
hiportemik dan obat untuk mengurangi edema otak serta pemberian
oksigen yang adekuat.
8
2.8 Penatalaksanaan Henti jantung (Cardiac Arrest )
Pemberian penanganan segera pada henti nafas dan jantung berupa Cardio
Pulmonary Resuscitation (CPR) akan berdampak langsung pada kelangsungan
hidup dan komplikasi yang ditimbulkan setelah terjadinya henti jantung pada bayi
dan anak.
CPR atau yang lebih dikenal dengan istilah Resusitasi Jantung Paru (RJP)
merupakan upaya yang dilakukan terhadap korban atau penderita yang sedang
berada dalam kondisi gawat atau kritis untuk mengembalikan nafas dan sirkulasi
spontan. RJP terdiri atas Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup
Lanjutan (BHL). BHD adalah tindakan resusitasi yang dilakukan tanpa
menggunakan alat atau dengan alat yang terbatas berupa bag-mask ventilation,
sedangkan BHL sudah menggunakan alat dan obat-obatan resusitasi sehingga
penanganan dapat dilakukan lebih optimal.
Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengoptimalkan tekanan perfusi
dari arteri koronaria jantung dan aliran darah ke organ-organ penting selama fase
low flow. Kompresi jantung yang adekuat dan berkelanjutan dalam pemberian
penanganan bantuan hidup dasar sangat penting pada fase ini.
Menurut (Thygerson,2006), prisip penanganan anak cardiac arrest terdapat
4 rangkaian yaitu early acces, early CPR, early defibrillator,dan early advance
care.
a. Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda
awal serta segera memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS (Cepat
hubungi fasilitas pelayanan kegawatdarutan jantung, ex : call 118 )
b. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung dan
otak, sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang.
c. Early defibrillator: pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera ke
jantung korban bisa mengembalikan denyut jantung.
d. Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan
peralatan bantuan pernafasan.
9
2.8.1 Bantuan Hidup Dasar pada Anak
Sebelum melakukan resusitasi, yang sangat penting diperhatikan adalah
meyakinkan bahwa penolong dan korban telah berada pada tempat yang aman.
Korban dipindahkan hanya jika tempat tersebut membahayakan korban. Selain itu
juga penting dilakukan penilaian kegawatdaruratan anak, berupa :
Tiga komponen PAT adalah penampilan anak, upaya napas, dan sirkulasi kulit.
1. Penampilan anak
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda „tides‟ meliputi
penilaian tonus (T=tone), interaksi (I=interactive), konsolabilitas
(C=consolability), cara melihat (L=look/gaze) dan berbicara atau menangis
(S=speech/cry).
Karakteristik Hal yang dinilai
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan
dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara
mempengaruhinya? Apakah dia mau bermain dengan
mainan atau alat pemeriksaan? Apa anak tidak bersemangat
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Consolability Apakah dia dapat ditenangkan oleh pengasuh atau
pemeriksa? Atau anak menangis terus atau terlihat agitas
sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Look/gaze Apakah memfokuskan penglihatan pada muka? Atau
pandangan kosong?
Speech/cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat atau
lemah atau parau?
10
2. Upaya napas
Karakteristik hal yang dinilai adalah suara napas yang tidak normal, posisi
tubuh yang tidak normal, retraksi, dan cuping hidung.
Karakteristik Hal yang dinilai
Suara napas yang tidak
normal
Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh yang tidak
normal
Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head
bobbing
Cuping hidung Napas cuping hidung
3. Sirkulasi kulit
Hal yang dinilai adalah pucat, mottling, dan sianosis.
Karakteristik Hal yang dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena
kurangnya aliran darah ke daerah tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan akibat vasokonstriksi
Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru
2.8.3 Langkah – langkah Resusitasi Jantung Paru :
CPR terdiri dari ventilasi mulut ke mulut dan kompresi dada. Ventilasi
mulut ke mulut merupakan teknik ventilasi buatan yang awalnya digunakan pada
abad ke-18 namun kemudian ditinggalkan. Pada tahun 1946, selama epidemi polio
ketika korban menderita kelumpuhan pernapasan otot, metode ini digunakan
kembali. The American Medical Association mendukung ventilasi mulut ke mulut
11
sebagai teknik untuk ventilasi buatan pada tahun 1958. Ketika ventilasi mulut ke
mulut dikombinasikan dengan kompresi dada tertutup pada tahun 1960, CPR
modern lahir dan istilah CPR digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1962.
Kompresi dada tertutup digunakan untuk pertama kalinya sebagai metode
untuk sirkulasi darurat oleh Boehm pada tahun 1878 , sebagaimana dikutip oleh
Kouwenhoven et al. Digunakan kembali pada tahun 1950, dan pada tahun ini juga
Kouwenhoven menunjukkan efektivitas kompresi dada tertutup sebagai metode
untuk sirkulasi buatan pada manusia. Setelah penemuan defibrilator dada tertutup
tahun 1957, Kouwenhoven et al menemukan bahwa „pengembalian kerja jantung
spontan‟ (return of spontaneous heart action) tidak mungkin terjadi jika shock
counter tidak dilakukan dalam waktu kurang dari tiga menit. Oleh karena itu
kompresi dada tertutup diciptakan untuk memperpanjang waktu di mana
defibrilasi bisa efektif tanpa membuka dada. Metode yang digunakan sebelumnya
adalah pijat jantung terbuka, sehingga upaya resusitasi sangat terbatas dan hanya
menolong sedikit pasien. Kompresi dada tertutup memiliki keuntungan yang besar
dibandingkan dengan pijat jantung terbuka karena tidak membutuhkan peralatan
sama sekali. Satu-satunya hal yang dibutuhkan adalah dua tangan penyelamat.
Teknik yang digunakan oleh Kouwenhoven banyak memiliki kemiripan
seperti saat ini. Penjelasan Kouwenhoven adalah bahwa sirkulasi diperoleh
dengan penekanan dada pada posisi antara sternum dan vertebra sehingga darah
dipaksa keluar ketika jantung dikompresi. Penelitian yang dilakukan melalui
echocardiography memperlihatkan bahwa katup jantung menjadi tidak efektif
selama resusitasi, sehingga fakta ini bertentangan dengan teori Kouwenhoven.
Kouwenhoven juga berpendapat bahwa kompresi dada tertutup memberikan
beberapa ventilasi pada paru-paru, sehingga jika hanya ada satu orang penolong,
orang ini harus berkonsentrasi pada penekanan dada saja. Jika dua orang atau
lebih penolong, ventilasi mulut ke hidung harus diberikan. Penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa pentingnya lebih banyak waktu untuk ‘flow generating
activities’ selama resusitasi.
12
2.8.4 Langkah – langkah Resusitasi Jantung Paru menurut AHA :
1. Periksa Kesadaran
Panggil korban dengan suara keras dan jelas atau panggil nama korban,
lihat apakah korban bergerak atau memberikan respon. Jika tidak bergerak
berikan stimulasi dengan menggerakkan bahu korban. Pada korban yang sadar,
dia akan menjawab dan bergerak. Setelah tindakan identifikasi kesadaran,
lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan adanya cedera dan
pengobatan yang diperlukan, namun jika tidak ada respon, artinya korban tidak
sadar, maka segera panggil bantuan.
2. Posisi Korban
Pada penderita yang tidak sadar, tempatkan korban pada tempat yang
datar dan keras dengan posisi terlentang pada tanah, lantai atau meja yang
keras. Jika harus membalikkan posisi, maka lakukan seminial mungkin gerakan
pada leher dan kepala (posisi stabil miring).
3. Evaluasi jalan nafas
Pada penderita yang tidak sadar sering terjadi obstruksi akibat lidah
jatuh ke belakang. Oleh karena itu penolong harus segera membebaskan jalan
nafas dengan beberapa teknik berikut:
1. Bila korban tidak sadar dan tidak dicurigai adanya trauma, buka jalan
nafas dengan teknik Head Tilt-chin lift Maneuver akan tetapi jangan
menekan jaringan lunak dibawah dagu karena akan menyebabkan
sumbatan.
Caranya adalah satu tangan diletakkan pada bagian dahi untuk
menengadahkan kepala, dan secara simultan jari-jari tangan lainnya
diletakkan pada tulang dagu sehingga jalan nafas terbuka.
13
Gambar : Teknik head tilt and chin lift pada bayi dan anak
1. Korban yang dicurigai mengalami trauma leher gunakan teknik jaw-
thrust Maneuver untuk membuka jalan nafas, yaitu dengan cara
meletakkan 2 atau 3 jari di bawah angulus mandibula kemudian angkat
dan arahkan keluar, jika terdapat dua penolong maka yang satu harus
melakukan imobilisasi tulang servikal
Gambar Teknik Jaw Thrust
Mengeluarkan benda asing
Obstruksi karena aspirasi benda asing dapat menyebabkan sumbatan
ringan atau berat, jika sumbatannya ringan maka korban masih dapat bersuara dan
batuk, sedangkan jika sumbatannya sangat berat maka korban tidak dapat bersuara
14
ataupun batuk. Jika terdapat sumbatan karena benda asing maka pada bayi < 1
tahun dapat dilakukan teknik 5 kali back blows (back slaps) di interskapula,
namun jika tidak berhasil dengan teknik tersebut dapat dilakukan teknik 5 kali
chest thrust di sternum, 1 jari di bawah garis imajiner intermamae (seperti
melakukan kompresi jantung luar untuk bayi usia < 1 tahun) .
Gambar : Teknik Back Blow pada bayi dan anak
Pada anak > 1 tahun yang masih
sadar dapat dilakukan teknik Heimlich
maneuver yaitu korban di depan penolong
kemudian lakukan hentakan sebanyak 5
kali dengan menggunakan 2 kepalan
tangan di antara prosesus xifoideus dan
umbilikus hingga benda yang menyumbat
dapat dikeluarkan, sedangkan pada anak
yang tidak sadar, dilakukan teknik Abdominal thrusts dengan posisi korban
terlentang lakukan 5 kali hentakan dengan menggunakan 2 tangan di tempat
seperti melakukan teknik Heimlich manuever. Setelah itu buka mulut korban,
lakukan cross finger manuever untuk melihat adanya obstruksi dan finger sweeps
manuever untuk mengeluarkan benda asing yang tampak pada mulut korban ,
15
namun jangan melakukan teknik tersebut pada anak yang sadar, karena dapat
merangsang “gag reflex” dan menyebabkan muntah.
Gambar : Teknik Chest Thrust
Gambar : Teknik Abdominal Thrust
4. Periksa nafas
Jika obstruksi telah dikeluarkan maka periksa apakah korban bernafas atau
tidak, lakukan dalam waktu < 10 detik, dengan cara:
1. Lihat gerakan dinding dada dan perut ( look )
2. Dengarkan suara nafas pada hidung dan mulut korban ( listen )
3. Rasakan hembusan udara pada pipi ( feel )
Korban yang mengalami gasping (megap-megap/nafas yang agonal atau
nafas yang tidak efektif) , maka korban tersebut dinyatakan tidak bernafas.
5. Berikan bantuan nafas
Lakukan 5 kali bantuan nafas untuk mendapatkan 2 kali nafas efektif. Hal
itu dapat dilihat dengan adanya pengembangan dinding dada. Bila dada tidak
mengembang reposisikan kepala korban agar jalan nafas dalam keadaan terbuka.
Teknik bantuan nafas pada bayi dan anak berbeda, hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan bag valve mask ventilation atau tanpa alat, yaitu pada bayi
dilakukan teknik mouth-to-mouth-and-nose, sedangkan pada anak menggunakan
teknik mouth-to-mouth.
16
Gambar : Posisi pemberian bantuan nafas pada bayi.
6. Periksa Nadi
Selanjutnya periksa nadi, pada bayi pemeriksaan dilakukan pada arteri
brakialis sedangkan pada anak dapat dilakukan pada arteri karotis ataupun
femoralis. Pemeriksaan nadi ini dilakukan dalam waktu ≤ 10 detik. Jika nadi > 60
kali/menit namun tidak ada nafas spontan atau nafas tidak efektif, maka lakukan
pemberian nafas sebanyak 12-20 kali nafas/menit, sekali nafas buatan 3-5 detik
hingga korban bernafas dengan spontan, nafas yang efektif akan tampak dada
korban akan mengembang .
Gambar : Lokasi perabaan nadi pada bayi
7. Kompresi Jantung luar
Jika nadi < 60 kali/menit dan tidak ada nafas atau nafas tidak adekuat
maka lakukan kompresi jantung luar. Pada bayi dan anak terdapat perbedaan
teknik yaitu pada bayi dapat dilakukan teknik kompresi di sternum dengan dua
17
jari ( two finger chest compression technique ). Selain itu, dapat juga dilakukan
dengan menggunakan kedua tangan pada posisi satu jari di bawah garis imajiner
intermamae ( two thumb-encircling hands ) jika didapatkan dua penolong. Pada
anak, kompresi jantung luar dilakukan dengan teknik kompresi pada setengah
bagian bawah sternum dengan satu atau kedua telapak tangan, tapi tidak menekan
prosesus xipoid ataupun sela iga. Kompresi dilakukan harus dengan baik yaitu:
1. “Push hard” : Kedalaman kompresi berkisar 1/3-1/2 diameter
anteroposterior dada
2. “Push fast” : Kecepatan kompresi 100x/menit
3. “Release complete” : Lepaskan tekanan hingga dada dapat mengembang
penuh
4. Minimalisasi interupsi pada saat melakukan kompresi dada
Gambar : Two finger technique pada kompresi bayi
Gambar : Two thumb encircling hands pada kompresi bayi
18
Gambar : Kompresi jantung pada anak dengan satu tangan
Gambar : Kompresi jantung pada
anak dengan dua tangan
Resusitasi jantung paru pada anak yang dilakukan oleh satu penolong
dilakukan 5 siklus selama 2 menit, setiap siklusnya terdiri dari 30 kali kompresi
jantung luar dengan 2 kali nafas bantuan, sedangkan jika terdapat 2 penolong
maka kompresi jantung luar dilakukan 15 kali dengan 2 kali bantuan nafas.
Setelah dilakukan 5 siklus, nilai ulang kondisi korban dengan melakukan
evaluasi nadi. Jika nadi kurang dari 60 kali dalam 1 menit atau tidak ada sama
sekali, resusitasi jantung paru dilanjutkan. Jika nadi lebih dari 60 kali dalam 1
menit, lakukan evaluasi pernafasan, dan jika nafas tidak ada atau tidak adekuat,
lakukan nafas buatan lanjutan selama 12 – 20 kali.
A. Resusitasi Pada Kondisi Khusus
a) Trauma
Beberapa aspek resusitasi pada trauma memerlukan perhatian khusus
karena tindakan resusitasi yang tidak benar dan tidak adekuat menjadi
penyebab keadaan fatal. Kesalahan umum pada resusitasi trauma pediatrik
adalah kegagalan untuk membuka dan memelihara jalan nafas, kegagalan
untuk meresusitasi cairan, dan kegagalan untuk mengenali serta mengatasi
perdarahan internal. Kerjasama dengan dokter bedah berpengalaman sejak
19
awal, dan jika mungkin, membawa anak dengan trauma multisistem ke suatu
pusat trauma dengan keahlian pediatrik.
Berikut adalah aspek khusus resusitasi trauma
:
1. Pada trauma yang melibatkan tulang belakang, batasi gerakan servikal
tulang belakang dan hindari traksi atau gerakan kepala dan leher. Buka dan
pertahankan jalan nafas dengan jaw thrust, dan jangan memiringkan
kepala. Oleh karena disporposional ukuran kepala bayi dan anak-anak,
posisi optimal oksiput atau mengangkat batang tubuh untuk menghindari
backboard-induced fleksi servikal
2. Pada kasus trauma kepala intentional brief hyperventilation dapat
digunakan sebagai tindakan sementara untuk mengamati tanda herniasi
otak (misalnya kenaikan tiba-tiba tekanan intrakranial, dilatasi pupil tanpa
reflex cahaya, bradikardi, hipertensi)
3. Kecurigaan trauma dada pada semua trauma torakoabdominal, meskipun
tidak ada luka luar. Tension pneumothorax hemotoraks, atau memar
berkenaan dengan paru-paru dapat mengganggu pernafasan
4. Jika penderita mempunyai trauma maksilofasial atau dicurigai fraktur
basal tengkorak, sebaiknya dipasang orogastric tube dibandingkan dengan
nasogastric tube. Terapi syok dengan bolus 20 mL/kgBB carian kristaloid
isotonic . Berikan bolus tambahan (20 mL/kgBB) jika perfusi sistemik
tidak meningkat. Jika syok berlangsung 40-60mL/kg kristaloid, berikan
10-15mL/kgbb darah.
5. Pertimbangkan trauma intraabdominal, tension pneumotoraks, tamponade
pericardial, cedera sum-sum tulang pada bayi dan anak-anak, dan
perdarahan intrakranial pada bayi dengan tanda syok.
b) Penghentian Upaya Resusitasi
Belum ada prediktor yang baik untuk menentukan kapan saatnya
menghentikan upaya resusitasi kardiopulmonal, maka waktu antara
kejadian dan datang bantuan yang profesional meningkatkan keberhasilan
resusitasi.
20
Resusitasi jantung paru dapat di akhiri jika sirkulasi telah kembali
normal, dan korban dapat bernafas secara spontan, atau jika sirkulasi tidak
dapat kembali setelah dilakukan tindakan bantuan hidup dasar setelah 30
menit.
Berdasarkan Resuscitation Counsil, resusitasi jantung paru dihentikan jika:
1. Anak menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti adanya gerakan,
batuk, bernafas spontan dan normal, atau nadi terba lebih dari 60
kali permenit
2. Tenaga yang lebih ahli sudah datang
3. Penolong sudah kelelahan
2.9 Pemeriksaan Penunjang
3 1. Elektrokardiogram
4 Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian
tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi
dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama
jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal,
EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat
mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang
meningkatkan risiko kematian mendadak.
5 2. Tes darah
6 a. Pemeriksaan Enzim Jantung
7 Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac
arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat
penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
8 b. Elektrolit Jantung
9 Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang
ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah
mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan
21
impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya
aritmia dan sudden cardiac arrest.
10 c. Test Obat
11 Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-
obatan terlarang.
12 d. Test Hormon
13 Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.
14
15
16
17 3. Imaging tes
18 a. Pemeriksaan Foto Thorax
19 Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah.
Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
20 b. Pemeriksaan nuklir
21 Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil,
seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus
dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
22 c. Ekokardiogram
23 Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah
jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal
atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
24 4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
25 Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, mungkin mencoba untuk menyebabkan
aritmia,Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama
tes, kemudian kateter dihubungkan dengan electrode yang menjulur melalui
22
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien.
Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang
jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu atau
menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan untuk mengamati lokasi
aritmia.
26 5. Ejection fraction testing
27 Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung mampu memompa darah.Ini dapat menentukan
kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi.
Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari
ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai
70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden
cardiac arrest.Ini dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti
dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung
Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized
tomography (CT) scan jantung.
28 6. Coronary catheterization (angiogram)
29 Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama
prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung
panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk
arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat
pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu,
sementara kateter diposisikan,mungkin mengobati penyumbatan dengan
melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
30
23
BAB 3. PATHWAYS
24
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Hal yang perlu dikaji pada identitas klien yaitu nama, umur,
suku/bangsa, agama, pendidikan, alamat, lingkungan tempat tinggal.
2. Keluhan utama
3. Riwayat Penyakit
a) Riwayat penyakit sekarang
1. Alasan masuk rumah sakit
2. Waktu kejadian hingga masuk rumah sakit
3. Mekanisme atau biomekanik
4. Lingkungan keluarga, kerja, masyarakat sekitar
b) Riwayat penyakit dahulu
1. Perawatan yang pernah dialami
2. Penyakit lainnya antara lain DM, Hipertensi, PJK
c) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit yang diderita oleh anggota keluarga dari anak yang
mengalami penyakit jantung.
5. Pengkajian Primer
1). Airway/Jalan Napas
Pemeriksaaan/pengkajian menggunakan metode look,listen,feel.
a) Look : lihat status mental,pergerakan/pengembangan dada, terdapa sumbatan
jalan napas / tidak,sianosis,ada tidaknya retraksi pada dinding
dada,ada/tidaknya penggunaan otot-otot tambahan.
b) Listen : mendengar aliran udara pernapasan, suara pernapasan,
ada bunyi napas tambahan seperti snoring, gurgling, atau stidor.
25
c) Feel : merasakan ada aliran udara pernapasan,apakah ada krepitasi,adanya
pergeseran / deviasi trakhea, ada hematoma pada leher,teraba
nadi karotis atau tidak.
Tindakan yang harus di lakukan perawat adalah :
a) Penilaian untuk memastikan tingkat kesadaran adalah dengan
menyentuh,menggoyang dan di beri rangsangan atau respon nyeri.
b) periksa dan atur jalan napas untuk memastikan kepatenan.
c) Periksa apakah anak/bayi tersebut mengalami kesulitan bernapas.
d) Buka mulut bayi/anak dengan ibu jari dan jari-jari anda untuk memegang
lidah dan rahang bawah dan tengadah dengan perlahan.
e) identifikasi dan keluarkan benda asing (darah, muntahan, sekret,
ataupun benda asing ) yang menyebabkan obstruksi jalan napas baik
parsial maupun total dengan cara memiringkan kepala pasien ke satu sisi
(bukan pada trauma kepala).
f) Pasang orofaringeal airway/nasofaringeal airway untuk mempertahankan
kepatenan jalan napas.
g) Pertahankan dan lindungi tulang servikal.
2). Breathing/Pernapasan
Pemeriksaan / pengkajian menggunakan metode look listen,feel
a) Look : nadi karotis ada/tidak,frekuensi pernapasan tidak ada dan tidak
terlihat adanya pergerakan dinding dada, kesadaran menurun, sianosis,
identifikasi pola pernapasan abnormal, periksa penggunaan otot bantu dll.
b) Listen : mendengar hembusan napas
c) Feel : tidak ada pernapasan melalui hidung/mulut.
Tindakan yang harus dilakukan perawat adalah :
a) Atur posisi pasien untuk memaksimalkan ekspansi dinding dada.
b) Berikan therapy O2 (oksigen).
26
c) Beri bantuan napas dengan menggunakan masker/bag valve mask
(BMV) / endo tracheal tube (ETT) jika perlu.
d) Tutup luka jika didapatkan luka terbuka pada dada.
e) Kolaborasi therapy untuk mengurangi bronkhospasme/adanya edema
pulmonal,dll.
3). Circulation/Sirkulasi
A. Pemeriksaan/pengkajian :
1. Periksa denyut nadi karotis dan brakhialis pada (bayi),kualitas dan
karakternya
2. periksa perubahan warna kulit seperti sianosis
Tindakan yang harus di lakukan perawat :
a) Lakukan tindakan CPR/defibrilasi sesuai dengan indikasi.
Langkah-langkah di lakukannya RJP pada bayi dan anak
1) perhatikan bayi untuk menentukan apakah bayi masih bernapas
2) perhatikan apakah dada bayi bergerak
3) tempatkan telinga di dekat hidung dan mulut bayi dan
dengarkan aliran udara
4) jentikan kaki bayi apabila ada perubahan warna kulit atau bila
bayi tidak bernapas jangan menguncang-guncangkan bayi.
5) Mulailah RPJ jika bayi tetap tidak bernapas setelah kakinya
tidak di jentikan.
6) Tempatkan bayi di atas permukaan yang keras
7) Posisikan kepala dengan tepat dan bebaskan jalan napas dengan
menepatkan tangan anda pada dahi dan ari-jari tangan anda dari
tangan yang lain di bawah tulang rahang.berhati-hatilah
mendorong jaringan lunak di bawah dagu angkat dan sedikit
tengadahkan kepala kearah belakang dan hidung mengarah
keatas.
8) Tarik garis yang menghubungkan antara kedua puting susu
bayi
27
9) Dengan telunjuk dan jari tengah anda,tekan lurus ke bawah
pada tulang dada 1,25 cm sampai 2,5 cm.ulangi hal ini
sebanyak 30 kali dan 2 kali napas buatan.
3. Disability
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
a. Alert (A) : pasien tidak berespon terhadap lingkungan
sekelilingnya/tidak sadar terhadap kejadian yang menimpa.
b. Respon verbal (V) :klien tidak berespon terhadap pertanyaan
perawat.
c. Respon nyeri (P) :klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
d. Tidak berespon (U) : tidak berespon terhadap stimulus verbal dan
nyeri.
“cara pengkajian”
5. Anamnese (tanya) : nama dan kejadian
6. Cubit daerah pundak/tepuk wajah
7. Dengan GCS (E1 M1 V1 ), pupil, kemampuan motorik
28
4.2 Diagnosa
1. Gangguan perfusi serebral berhubungan dengan perubahan preload,
afterload, dan kontraktilitas
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa jantung
menurun
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai Oksigen tidak
adekuat
4.3 Perencanaan ( Kriteria Hasil, intervensi, rasional)
Diagnosis Perencanaan
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Penuruna
n curah
jantung
b/d
perubahan
preload,
afterload,
dan
kontraktili
tas.
Setelah dilakukan
perawatan 3x24
jam klien dapat:
Menunjukan
curah jantung
yang memuaskan
di buktikan
dengan
keefektifan pimpa
jantung,status
sirkulasi,perfusi
jaringan (organ
abdomen),dan
perfusi jaringan
(perifer)
Dengan Indikator:
1. Tekanan darah
sistilik,diastolik
dalam batas
1. Lakukan pijat
jantung
2. Berikan oksigen
tambahan dengan
kanula nasal/masker
dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi)
3. Palpasi nadi perifer
4. Pantau Tekanan
Darah
5. Kaji kulit terhadap
pucat dan sianosis
1.
1. untuk
mengaktifkan
kerja pompa
jantung
2. Meningkatkan
sediaan oksigen
untuk kebutuhan
miokard untuk
melawan efek
hipoksia/iskemia.
Banyak obat dapat
digunakan untuk
meningkatkan
volume sekuncup,
memperbaiki
kontraktilitas.
3. Penurunan curah
jantung dapat
menunjukkan
menurunnya nadi
radial, dorsalis
pedis dan
postibial. Nadi
mungkin hilang
atau tidak teratur
untuk dipalpasi.
4. Pada pasien
29
normal
2. Denyut jantung
dalam batas
normal
3. Tekanan vena
sentral dan
tekanan dala paru
dbn
4. Hipotensi
ortostatis tidak
ada
5. Gas darah dbn
6. Bunyi napas
tambahan tidak
ada
7. Distensi vena
leher tidak ada
8. Edema perifer
tidak ada
Cardiac Arrest
tekanan darah
menjadi rendah
atau mungkin tidak
ada.
5. Pucat
menunjukkkan
menurunnya
perfusi sekunder
terhadap tidak
adekuatnya curah
jantung.
2. Gangguan
perfusi
serebral
b/d
penurunan
suplai O
2
ke otak
Setelah dilakukan
perawatan 3x24
jam klien dapat:
Sirkulasi darah
kembali normal
sehingga transport
O
2
kembali lancar
Dengan Indikator:
1. Pasien akan
memperlihatkan
tanda-tanda vital
dalam batas
1. Berikan
vasodilator
misalnya
nitrogliserin,
nifedipin
sesuai indikasi
2. Posisikan kaki
lebih tinggi
dari jantung
3. Pantau adanya
pucat, sianosis
dan kulit
dingin atau
lembab
4. Pantau
1. Obat diberikan
untuk
meningkatkan
sirkulasi
miokardia.
2. Mempercepat
pengosongan vena
superficial,
mencegah distensi
berlebihan dan
meningkatkan
aliran balik vena
3. Sirkulasi yang
terhenti
menyebabkan
30
normal
2. Warna dan
suhu kulit normal
3. CRT < 2 detik.
pengisian
kapiler (CRT)
transport O
2
ke
seluruh tubuh juga
terhenti sehingga
akral sebagai
bagian yang
paling jauh
dengan jantung
menjadi pucat dan
dingin.
4. Suplai darah
kembali normal
jika CRT < 2 detik
dan menandakan
suplai O
2
kembali
normal
3. Ganggua
n
pertukar
an gas
b/d
suplai
O
2
tidak
adekuat
Setelah dilakukan
perawatan 3x24
jam klien dapat:
Sirkulasi darah
kembali normal
sehingga
pertukaran gas
dapat berlangsung
Dengan Indikator:
1. Nilai GDA
normal
2. Tidak ada
distress
pernafasan
1. Berikan O2 sesuai
indikasi
2. Pantau GDA Pasien
3. Pantau pernapasan
klien
1. Meningkatkan
konsentrasi oksigen
alveolar dan dapat
memperbaiki
hipoksemia jaringan
2. Nilai GDA yang
normal menandakan
pertukaran gas
semakin membaik
3. Untuk evaluasi
distress pernapasan
4. Intoleran
si
aktivitas
Setelah dilakukan
perawatan 4x24
jam klien dapat:
1. Evaluasi respon
terhadap aktivitas
2. Berikan lingkungan
tenang dan batasi
pengunjung selama
1. Menetapkan
kemampuan/
kebutuhan pasien
dan memudahkan
memilih intervensi
31
berhubu
ngan
dengan
kelemah
an
umum,
ketidaks
eimbang
an suplai
dan
kebutuha
n
oksigen.
Peningkatan
toleransi terhadap
aktivitas
Dengan Indikator:
1. Menunjukkan
peningkatan
toleransi
terhadap
aktivitas
2. Tanda-tanda
vital dalam
batas normal
fase akut.
3. Jelaskan pentingnya
istirahat dan
perlunya
keseimbangan
aktivitas dan
istirahat.
4. Bantu aktivitas
perawatan, aktivitas
diri yang
diperlukan.
5. Bantu pasien
memilih posisi
nyaman untuk
istirahat / tidur.
secara tepat
2. Menurunkan stress
dan rangsangan
berlebihan
3. Tirah baring
diperlukan selama
fase akut untuk
menurunkan
kebutuhan
metabolic.
4. Meminimalkan
kelelahan dan
menbantu
keseimbangan
suplai dan
kebutuhan
oksigen.
5. Pasien mungkin
nyaman dengan
kepala tinggi,tidur
dikursi /
menunduk
kedepan meja /
bantal
4.4 IMPLEMENTASI
Implementasi (pelaksanaan) keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan (intervensi), menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
dengan pedoman atau prosedur teknis yang telah ditentukan.
4.5 EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan :
a. Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O
2
kembali lancar
b. Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
c. Kemampuan pompa jantung meningkat dan kebutuhan oksigen ke otak terpenuhi
32
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa otot
jantung secara tiba-tiba yang berakibat pada terhentinya proses penghantaran
oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini bisa terjadi akibat hipoksia
lama karena terjadinya henti nafas yang merupakan akibat terbanyak henti jantung
pada bayi dan anak.
Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama,
karena sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian jaringan
otak. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa CPR atau RJP
harus dilakukan secepat mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan
menunjang kelangsungan hidup korban.
Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban, apapun
teknik yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada di tempat
yang aman, menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan.
33
5.2 Saran
Informasi dan pelatihan tatalaksana henti nafas dan henti henti jantung
sebaiknya dapat diberikan kepada masyarakat umum, mengingat bahwa resusitasi
dapat memberikan pertolongan awal. Dampak yang di timbulkan semakin berat
jika waktu datangnya pertolongan semakin lama.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. Pediatric Basic Life Support : 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and emergency
cardiovascular care. Circulation 2010
Behram ,Kliegman, Jensen,. 2000. Buku Teks Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Edisi ke 18, Volume ke 1, Jakarta: EGC,
Guyton AC, Hall JE 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11,
Jakarta: EGC, 2008. h. 163.
Hakim, DDL.2013. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat (Resusitasi Jantung
Paru pada Bayi dan Anak). Jakarta: Badan penerbit IDAI
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=r
ja&uact=8&ved=0CCcQFjAC&url=https%3A%2F%2Fml.scribd.com%2Fdoc%2
F203574909%2FReferat-Tatalaksana-Awal-Henti-Nafas-dan-Henti-Jantung-pada-
Bayi-dan-
Anak&ei=tM9NVNlTodKYBcvcguAD&usg=AFQjCNFQ3IUzj29hqBaEgIPxNn
34
m3iAGBew&sig2=fJu_Hm2QtlW6YUVV4zHdgg&bvm=bv.77880786,d.dGY
diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 pukul 14.00
Tress, Erika E et al. Cardiac Arrest in Children. Journal of Emergencies,
Trauma, and Shock 2010; 3(III), 267-77
Ulfah AR. 2010. Advance Cardiac Life Sipport, Pusat Jantung Nasional
Harapan Kita. Jakarta. 2003 AHA Guidelines For CPR and ECC.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan : diagnosa
NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC