continuing education

Published on June 2016 | Categories: Types, Articles & News Stories | Downloads: 57 | Comments: 0 | Views: 1144
of 25
Download PDF   Embed   Report

continuing education

Comments

Content


1































K U L I A H
Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Ismoedijanto, Widodo DW, Parwati SB, Soegeng S,
Dwi Atmadji S, M Faried Kaspan
Divisi penyakit infeksi dan pediatri tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya

Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

2
Korespondensi :
Ismoedijanto
Divisi Penyakit Infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya
Jl. Mayjen Prof Moestopo 6-8 Surabaya
Telp. 031-5018934, 031-5501697 Fax 031-5501748
Email : [email protected]

ABSTRACT

Acute anterior poliomyelitis has been long since known as a disease with clinical
sign of paralysis. The disease may occur anytime at all age, especially in children
under age of 3. The invention of polio vaccine in 1955 which drastically reduced
the polio incidence was followed by an attempt of worldwide polio eradication,
considering the historical successful elimination of smallpox. Polio eradication
(Eradikasi polio = ERAPO) was implemented in 1988 using strategies of routine
immunization (Universal Child Immunization = UCI), National Immunization Day
(NID) or Pekan Imunisasi Nasional (PIN), Surveillance on Acute Flaccid Paralysis
(SAFP) and ‘mopping up’, with an expectation of World Free Polio in 2005.

Problems on ERAPO aroused as a consequence of declining performance of
AFP Surveillance (SAFP), decreasing immunization coverage, social conflict in
many provinces, and changes in government policies concerning decentralization
program related to fund.

The integrated immunization program and AFP Surveillance (SAFP) had faced a
big challenge when Indonesia received imported Wild Polio Virus. Other
important issues were the detected VAPP (Vaccine Associated Paralytic
Poliomyelitis) cases and outbreak of VDPV (Vaccine Derived Polio Virus) leading
to difficulty in eradicating polio in Indonesia

Keywords : Poliomyelitis, Polio Eradication, AFP

ABSTRAK
Poliomielitis anterior akut telah lama dikenal manusia dengan tanda klinik
kelumpuhan, dapat menyerang semua usia terutama usia dibawah 3 tahun.
Ditemukannya vaksin polio pertama pada tahun 1955 dapat menurunkan kasus
secara drastis, sehingga dicoba untuk menghilangkan polio dari dunia mengacu
pada keberhasilan manusia memerangi penyakit cacar. Eradikasi polio (ERAPO)
yang ditetapkan pada tahun 1988 dilaksanakan dengan strategi imunisasi rutin,
PIN (Pekan Imunisasi Nasional), surveilans AFP (‘Acute Flaccid Paralysis’), dan
‘mopping up’, dengan harapan dunia bebas polio tahun 2005.

Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

3
Masalah ERAPO muncul akibat penurunan kinerja AFP, penurunan cakupan
imunisasi, konflik sosial di beberapa provinsi dan kebijakan pemerintah
mengenai desentralisasi program-program yang berkaitan dengan dana.

Keutuhan program imunisasi dan surveilans AFP mendapat tantangan besar
pada saat Indonesia mendapat Virus Polio Liar dari luar negeri. Masalah lain
yaitu adanya kasus VAPP (‘Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis’) dan
‘outbreak’ VDPV (‘Vaccine Derived Poliovirus’) yang memberikan kendala
eradikasi polio di Indonesia.

Kata kunci : Poliomielitis, Eradikasi polio, AFP



Latar belakang eradikasi polio

Poliomielitis anterior akut telah lama dikenal oleh manusia dengan tanda
klinik kelumpuhan akibat kerusakan motor neuron pada cornu anterior dari
sumsum tulang belakang akibat infeksi virus.
1
Selain ditemukannya mumi
dengan gambaran klinik polio, pada salah satu inskripsi Mesir kuno (1580-1350
SM) terdapat gambaran seorang pendeta muda dengan kaki sebelah kiri yang
memendek dan mengecil, telapak kaki pada posisi equinus, yang merupakan
gambaran keadaan klinik lumpuh layuhh.
2
Pada tahun 1789 Michael Underwood
membuat deskripsi penyakit polio sebagai suatu kesatuan klinik yang utuh,
disusul oleh Heine pada tahun 1840 merinci kelainan kliniknya dan tahun 1870
Medin melaporkan gambaran epidemiologiknya.
2,3
Penyakit ini meskipun dapat menyerang semua usia, namun sebagian
besar (50-70%) akan menyerang anak usia dibawah tiga tahun.
1-3
Adanya
kepadatan penduduk dalam kota-kota dan perbaikan sanitasi dan lingkungan
pada akhir abad ke 19, menyebabkan paparan virus menjadi lebih lambat dan
terjadi akumulasi anak rentan terhadap virus polio, sehingga pola penyakit yang
semula endemik berubah menjadi epidemik dengan pola penuh letusan wabah.
Selain terjadi kenaikan kasus, juga terjadi kenaikan proporsi penderita dengan
kelumpuhan bulbar
4
, yang memerlukan bantuan pernafasan mekanik, dengan
Drinker respirator (iron lung).
4
Perawatan klinik yang memerlukan biaya
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

4
perawatan besar, dengan cacat menetap yang terlihat sepanjang hidup, telah
memaksa para ahli mencari jalan keluar ke arah pencegahan.
Akhirnya ditemukan vaksin polio pertama pada tahun 1955 dalam bentuk
suntikan IPV (Inactivated Polio Vaccine) dan kemudian disusul dengan vaksin
oral OPV ( Oral Polio Vaccine) tahun 1961 dan eIPV (enhanced Inactivated Polio
Vaccine) yang dikembangkan dan memperoleh lisensi pada tahun 1988. Sejak
penemuan vaksin, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu
antigen yang wajib diberikan dalam program imunisasi dasar rutin. Hasilnya
menunjukkan penurunan kasus secara drastis, sehingga beberapa ahli mencoba
mencari terobosan untuk menghilangkan polio dari dunia.
5
Pengalaman manusia
memerangi penyakit cacar dengan berhasilnya program SEP (Smallpox
Eradication Program) yang berpijak pada metode imunisasi dan kesamaan
faktor faktor biologik yang mendukung, yakni manusia merupakan satu-satunya
inang (host) bagi virus cacar dan polio menimbulkan gagasan untuk
mengebalkan semua manusia agar transmisi VPL(virus polio liar) berhenti.
6

Pada saat WHA (World Health Assembly) tahun 1988 menetapkan
program Polio Eradication Initiative (ERAPO), terdapat 350 000 kasus
kelumpuhan akibat polio setiap tahun di 125 negara.
3,5,7
Di Indonesia pada
tahun 50-an kasus polio dianggap bukan masalah kesehatan dengan alasan
anak telah terpapar virus pada usia dini (karena lingkungan kumuh dan higiene
pribadi yang kurang), namun M La Force yang melakukan survei kelumpuhan
(lame survey) yang dilakukan di Bali dan Jawa Timur secara mengejutkan
menghasilkan angka yang sama dengan angka kejadian di Amerika sebelum
negara tersebut memulai imunisasi. Adanya fakta tingginya prevalensi
seronegatif pada kelompok Balita di daerah kumuh di Bandung dan Jakarta,
serta tingginya kelompok seronegatif pada bayi di rumah bersalin elit di Jakarta
makin mendukung adanya sirkulasi virus polio liar di Indonesia. Hipotesis yang
menyatakan bahwa rendahnya angka kesakitan karena kekebalan alamiah
akibat higiene sanitasi yang jelek ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
8

VIRUS, VAKSIN dan VAKSINASI
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

5

Virus polio adalah virus dari famili Picornaviridae dengan genus
Enterovirus yang patogenik pada manusia. Virus ini adalah virus tanpa
envelope, ukuran virion hanya 28 nm dengan single-stranded monocistronic
RNA genome yang berisi 7,500 basa dan beratnya 2.5 x 106 Daltons. Karena
tanpa envelope, virus menjadi sangat resisten terhadap lingkungan asam,
detergen, alkohol dan bahan antiseptik lain, hanya mati dengan antiseptik
golongan chlorine.
9,10
Selama ini virus hanya dapat hidup pada manusia dan di
luar tubuh manusia hanya dapat bertahan selama beberapa hari, dalam lemari
es beberapa minggu, namun pada keadaan beku dapat bertahan bertahun-
tahun. Meskipun secara molekuler virus ini banyak diteliti, namun region yang
berkaitan dengan ciri neurovirulen belum dapat diidentifikasi . Virus polio adalah
virus RNA, terdiri dari 3 serotipe yaitu serotipe 1 (Brunhilde), serotipe 2 (Lansig)
dan serotipe 3 (Leon). Terdapat 2 tipe gen yang diperoleh dari sel yang terinfeksi
oleh virus, yaitu antigen D yang berkaitan dengan virulensi dan antigen C yang
berkaitan capsid yang kosong. Struktur antigen virus polio sangat kompleks,
dengan virion virus yang berisi molekul RNA yang single-stranded, 30% terdiri
dari virion, mayor protein (VP1-4) dan satu protein minor (VPg). Perbedaan tiga
jenis strain terletak pada sekuen nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling
dominan dalam membentuk antibodi netralisasi. Strain 1 adalah yang paling
paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang strain 2 paling jinak,
meskipun ketiga strain tersebut dapat menyebabkan wabah.
11
Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan
serum konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Meskipun
berbagai cara penggunaan/memasukkan serum telah dicoba dengan hasil yang
kontroversial, namun akhirnya terbukti (pada wabah tahun 1931), bahwa cara ini
tidak mempunyai manfaat yang bermakna secara statistik.
3,12
Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif
gagal. Penelitian berkembang menjadi dua arah yaitu inaktifasi virus dengan
menggunakan fenol/formalin (IPV) atau virus dilemahkan (attenuated vaccine-
OPV) dengan cara melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

6
menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama adalah IPV dan disusul
dengan OPV. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan
angka kesakitan akibat virus polio, namun harus dipilih vaksin mana yang lebih
baik untuk memberantas penyakitnya. Kriteria vaksin tersebut adalah vaksin itu
harus antigenik, proporsi vaksin trivalen harus sesuai dengan virus liar yang ada
di lingkungan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV
mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan berbiak dalam
usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral yang dapat
menghambat virus polio menimbulkan infeksi di SSP, namun juga merangsang
secretory IgA, antibodi sekretori yang mencegah perlekatan dan replikasi virus di
epitel usus. Virus vaksin dapat bertahan sampai 17 bulan setelah imunisasi dan
pada anak dengan agammaglobulinemia, bahkan dapat bereplikasi terus sampai
684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi,
namun karena tidak menimbulkan kekebalan intestinal yang cukup IPV tidak bisa
menghentikan transmisi VPL.
8,12,13

Vaksin polio OPV dan IPV

Pada permulaan tahun limapuluhan, ditemukan cara membiakkan virus
polio pada jaringan bukan-otak, yaitu pada jaringan embrio, sehingga dapat
dibuat vaksin dari virus tersebut yang ternyata dapat mencegah manifestasi
klinik polio bahkan kemudian ternyata dapat memutus rantai penularan virus
polio. Virus ditumbuhkan pada sel kultur ginjal kera atau continuos cell-line (Vero
atau Sel Diploid),
14

Setiap dosis OPV berisi 3 type virus polio dengan titer
o tipe 1 : 106 TCID 50 / CCID 50 ( 10 5.5 – 10 6.5)
o tipe 2 : 105 TCID 50 (10 4.5 – 10 5.5)
o tipe 3 : 10 5.5 TCID 50 (10 5.0 – 10 6)

Inactivated (Salk) Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun
1955 dan langsung digunakan secara luas. Pada tahun 1963, mulai digunakan
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

7
trivalen virus polio secara oral (OPV) secara luas. Enhanced potency IPV (eIPV)
yang menggunakan molekul yang lebih besar dan menimbulkan kadar antibodi
lebih tinggi mulai digunakan tahun 1988. IPV merupakan vaksin yang cukup
efektif, 2 dosis akan menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90%
resipien, sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai 99%.
Protektifitas terhadap kelumpuhan berkaitan dengan tingginya kadar antibodi
serum. Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah dinonaktifkan sehingga
tidak bisa replikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan kelumpuhan
akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita defisiensi imun, meskipun
vaksin tersebut tetap dibuat dari virus polio liar. Kerugiannya adalah vaksin ini
harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA
sekretori di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan, replikasi virus
polio liar dan tidak dapat menghentikan transmisi virus tersebut.
8,12,14
Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat
menimbulkan antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan kekebalan
pada 50% resipien, 3 dosis akan meningkatkan kekebalan sampai 95%.
Kekebalan yang terjadi tidak timbul secara bersamaan tetapi bersifat sekuensial.
Respon pertama terutama terhadap virus tipe 1 (paling imunogenik) disusul virus
tipe 2 dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi paling cepat dengan tipe 1,
sedang protektifitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan pada
penelitian di Cuba, protektifitas diatas 95 % tercapai setelah dosis kedelapan.
Keuntungan vaksin ini adalah mudah diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya
jauh lebih murah dibanding IPV. OPV selain dapat mencegah kelumpuhan, juga
merangsang timbulnya kekebalan usus dan menghambat penempelan, invasi
dan replikasi virus liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah akan
menaikkan kadar secretory IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai
hidup virus liar.
8,12,14



Strategi dan program ERAPO
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

8

Pada tahun 1988, WHA (World Health Assembly), telah menetapkan
program eradikasi polio dengan target selesai pada tahun 2000. Program
eradikasi bukan sekedar mencegah penyakit polio dan menurunkan kasus klinik
saja, namun juga harus menghentikan transmisi virus polio liar di seluruh dunia.
15

Dasar biologik inisiatif ini adalah:
• Satu-satunya reservoir dari virus polio adalah manusia,
• Virus polio tidak dapat tahan hidup lama di luar tubuh manusia, bila
semua PVR (polio virus receptor) terisi virus vaksin, VPL akan punah
• Tersedia vaksin yang cukup efektif dan murah untuk mencegah/
membuat kebal dan memutus rantai infeksi virus polio.

WHO telah menetapkan empat strategi untuk mengeradikasi polio pada
tahun 2000
7
, yaitu :
1. Imunisasi rutin dengan cakupan ≥ 80%
2. NID (National Immunization Day), yang di Indonesia digunakan
istilah PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
3. Surveilans AFP (acute flaccid paralysis)
4. Mopping-up

Keempat strategi tersebut diatas saling berkaitan dan komplementer satu
sama lain, mempunyai tujuan khusus yang berbeda walaupun tujuan akhirnya
adalah menghentikan transmisi virus-polio liar di seluruh dunia. Surveilans AFP
berfungsi sebagai alat untuk mengukur keberhasilan imunisasi memutus rantai
transmisi, sedang mopping–up mengoreksi status imunologik kelompok
masyarakat yang tercecer.
15,16


Imunisasi polio
Merupakan bagian dari program EPI (Expanded Program on
Immunization) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1978 dan harus terus
dilaksanakan, hingga WHO memutuskan untuk dihentikan. Imunisasi rutin
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

9
dengan cakupan tinggi ditujukan terutama untuk memberikan kekebalan kepada
kelompok sasaran agar tidak dihinggapi, membiakkan dan menyebar virus polio
liar dan menaikkan herd-immunity. Sedang imunisasi suplemen dilakukan untuk
menghentikan transmisi virus polio.
8,17


Imunisasi rutin bertujuan untuk memberi kekebalan pada individu dan
masyarakat luas. Program ini dilakukan di daerah endemik pada usia dini,
sedapat mungkin segera setelah lahir. Pada neonatus yang lahir di rumahsakit
imunisasi polio dianjurkan dilakukan pada saat bayi akan pulang, agar tidak
menyebar pada bayi lain, terutama pada bayi yang masih dirawat dengan resiko
tinggi. Pemberian imunisasi polio pada neonati akan mempercepat tercapainya
protective level antibody dan memberikan kadar antibodi netralisasi yang lebih
tinggi. Tiga dosis imunisasi selanjutnya dilakukan dengan interval 1-2 bulan,
umumnya dilakukan bersamaan dengan imunisasi DPT. Booster dapat diberikan
satu tahun setelah imunisasi terakhir, bersamaan dengan booster DPT. Anak
yang terlambat imunisasinya dapat disusulkan segera dengan interval minimal 2
minggu. Tidak ada batasan dosis maksimal imunisasi polio ini, pemberian yang
berlebihan tidak membahayakan. Pada program imunisasi rutin, bayi yang
tercecer dan belum tercakup harus mendapat imunisasi dalam sweeping yang
dilakukan tiap 3 bulan sekali, ataupun dalam backlog fighting setiap 2 tahun
sekali. Bilamana kedua kegiatan ini direncanakan dan dilakukan setiap daerah
dengan cermat, tidak akan ada anak yang belum pernah mendapat imunisasi
polio di Indonesia.
8,15



Imunisasi suplemen
Imunisasi suplemen diberikan untuk memutus rantai penularan dan
transmisi virus polio liar. Adanya individu atau kelompok yang belum kebal akan
menimbulkan resiko infeksi oleh virus polio, mengingat virus ini hanya mampu
berbiak pada manusia. Kelompok atau individu yang tidak kebal akibat tercecer
dari imunisasi rutin, menolak imunisasi, kurang gizi, sakit atau rendahnya respon
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

10
imun pada kelompok dengan HLA tertentu, secara epidemiologik merupakan
individu yang melanjutkan transmisi virus secara diam-diam, sehingga kelompok
tersebut diatas harus dicari dan diimunisasi. OPV mempunyai kelebihan khusus,
yaitu dapat menempel, kolonisasi dan replikasi pada sel usus yang mempunyai
PVR. Replikasi terjadi selama sekitar 3 bulan (100 hari) dan selama itu virus
polio liar yang masuk tidak dapat menempel/bereplikasi, sehingga keluar lagi dari
tubuh. VPL yang keluar akan mati dengan sendirinya setelah beberapa hari.
Sementara itu virus polio vaksin yang bereplikasi akan mengeluarkan virus
vaksin keluar tubuh, bertebaran dalam limbah dan akan menulari/melakukan
transmisi pada anggota keluarga yang lain bahkan pada individu lain di sekitar
resipien (community effect).
8

NID (National immunization Day)
Apabila imunisasi diberikan serentak dan sekaligus pada semua individu
yang dalam resiko, kekebalan usus dan efek komunitas akan mengakibatkan
virus polio liar tidak mendapat tempat berbiak dan bereplikasi, sehingga
transmisi akan berhenti. Imunisasi serentak dilakukan baik pada daerah yang
luas (National Immunization Day, PIN), maupun pada daerah yang terbatas
(tinggi) yang disebut sub PIN atau mopping up. PIN atau SubPIN dilakukan
serentak pada tempat berkumpul (collecting points) sedang mopping up
dilakukan dengan cara dari rumah ke rumah (door to door). Daerah yang masih
terdapat transmisi virus polio liar atau daerah resiko tinggi ditentukan dengan
surveilans AFP.
18,19

NID dilaksanakan di negara-negara dimana masih terjadi transmisi VPL
atau di negara-negara dimana tidak dapat dibuktikan transmisi VPL sudah tidak
ada lagi. Negara-negara ini masuk dalam kategori endemic country atau recently
endemic country. NID dilakukan pada awal pelaksanaan program eradikasi polio
karena alasan-alasan berikut:
• Transmisi VPL umumnya tersebar luas sebelum program dimulai, atau
luas transmisi tidak diketahui sebelum program dimulai, sehingga
imunisasi harus dilakukan serentak di daerah seluas mungkin
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

11
• Surveilans AFP umumnya belum adekuat pada tahap awal sehingga tidak
dapat digunakan untuk menentukan daerah atau kelompok resiko tinggi.

NID di suatu negara dihentikan dengan persetujuan WHO berdasarkan kriteria
sebagai berikut:
7
1. Cakupan imunisasi rutin pada tingkat Dati II: ≥ 80%
2. Cakupan NID pada tingkat Dati II: ≥ 90%
3. Melalui surveilans AFP yang memenuhi standar kinerja WHO minimal
dalam satu tahun terakhir, dapat dibuktikan tidak ada transmisi virus-
polio liar atau terjadi transmisi virus polio liar secara terbatas
4. Kemungkinan terjadi importasi virus-polio liar sangat kecil atau tidak
ada.

Surveilans AFP
Pengamatan terhadap transmisi virus polio liar, idealnya harus
dilaksanakan sebelum program EPI dimulai. Hal ini hanya terjadi di beberapa
negara maju, sehingga mereka sudah mendapat sertifikasi, karena cakupan
imunisasi dan sistem surveilans yang ketat telah membuktikan bahwa transmisi
virus polio liar sudah tidak ada lagi di negaranya. Sedangkan di negara
berkembang, pengamatan terhadap transmisi VPL ini baru dilaksanakan sejak
program eradikasi polio dilancarkan. Pengamatan terhadap transmisi VPL ini,
baik melalui sistem surveilans rutin, ataupun surveilans AFP harus dilaksanakan
sampai tiga tahun setelah program imunisasi dihentikan oleh WHO.
16
Surveilans AFP ditujukan untuk mendeteksi adanya transmisi virus-polio
liar, dan menentukan daerah resiko tinggi dimana transmisi virus-polio liar terjadi
atau kemungkinan dapat terjadi (High Risk Area). Surveilans dilakukan dengan
mendeteksi penderita lumpuh layuh pada anak usia dibawah 15 tahun tanpa
adanya rudapaksa, untuk dibuktikan kelumpuhan tersebut bukan disebabkan
oleh karena polio.
Pada surveilans AFP, laboratorium yang telah diakreditasikan oleh WHO
melakukan pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dilaporkan.
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

12
Pemeriksaan specimen ini meliputi isolasi dan identifikasi serta intratypic
differentiation virus polio. Jaringan laboratorium yang bisa melakukan
pemeriksaan spesimen ini hanyalah laboratorium yang telah lulus uji profisiensi
dan sudah mendapatkan akreditasi.
19-21

Tahap akhir eradikasi memerlukan surveilans aktif yang mengupayakan
penemuan setiap kasus lumpuh layuh sebagai indikator upaya surveilans telah
optimal pada keadaan kasus telah langka. Makna aktif adalah selain mencari
dengan sengaja, juga agar tidak satupun kasus yang luput dari pengamatan.
Virus polio liar ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring atau tinja
penderita yang infeksius. Serangan virus polio liar dapat menyebabkan
kelumpuhan paralisis (kurang dari 2 %), 8 % menunjukkan gejala non paralitik,
seperti demam, diare dan sebagainya, sebagian besar (90 %) tidak menunjukkan
gejala apapun. Oleh karena itu, apabila ditemukan satu kasus kelumpuhan
paralitik karena polio pada suatu populasi, maka sebenarnya virus polio liar telah
menyebar cukup luas.
Di Indonesia, pada tahun 1997 - 2000, dengan kegiatan surveilans AFP
aktif, maka jumlah kasus kelumpuhan (AFP) non polio adalah lebih dari 600
kasus pertahun. Setelah sejak tahun 1995 tidak ditemukan satupun kasus virus
polio liar, pada tahun 2005 virus polio liar muncul kembali setelah importasi dari
Arab.

Menemukan AFP untuk dibuktikan bukan polio
Sebelum Program IMUNISASI Sesudah Program IMUNISASI

POLIO
Bukan
Polio
Bukan
Polio
jumlahnya adalah
≥ 1 per 100.0000
anak < 15 tahun
pertahun
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

13
Gambar 1. Penemuan kasus AFP sebelum dan sesudah program imunisasi

Pada saat program imunisasi polio dimulai, maka kasus kelumpuhan
(AFP) terdiri dari kasus polio dan non polio. Namun setelah program imunisasi
dilaksanakan sangat intensif, maka kelumpuhan sangat kecil kemungkinannya
disebabkan karena polio, tetapi jumlah kasus kelumpuhan (AFP) non polio di
populasi relatif konstan, karena tidak ada program yang dilakukan untuk
mencegah timbulnya penyakit-penyakit ini.
18
Berdasarkan data empirik, jumlah
kasus AFP non polio pertahun diperkirakan konstan satu atau lebih per
100.000 anak usia kurang dari 15 tahun. Data empirik ini, di Indonesia,
berdasarkan laporan surveilans AFP 1997-2000 adalah 0.9-1.3 per 100.000
anak usia kurang 15 tahun pertahun. Pembuktian bukan kasus polio harus
dilakukan secara laboratorik, bukan hanya klinis. Pembuktian laboratorik
dilakukan dengan membiakkan tinja penderita AFP pada kultur jaringan untuk
identifikasi adanya virus polio, baik polio liar maupun polio vaksin. Beberapa
persyaratan untuk mendapatkan hasil positif yang tinggi antara lain :
1. jumlah minimal 8 gram (seukuran jempol)
2. kondisi tidak kering dan tidak bocor
3. dikumpulkan dalam rentang waktu 2 minggu setelah lumpuh
4. minimal 2 sampel dengan interval waktu pengambilan 24 jam



l







Virus poio liar (+)
Virus polio liar (-)
Spesimen tidak
adekuat*
§ Paralisis residual (+)
§ Tak ada follow up
§ Meninggal sebelum
kunjungan ulang 60
hari
Kasus Polio
AFP
Paralisis Residual (-)
Komisi
Ahli
Polio Kompatibel
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

14



Gambar 2. Skema klasifikasi laboratorik/virologik

Mopping-up
17,20

Mopping-up dilaksanakan pada daerah dimana transmisi VPL terjadi
secara terbatas, sesuai dengan hasil surveilans AFP. Alasan mopping-up
dilakukan pada tahap akhir dari suatu program eradikasi polio adalah:
• Transmisi virus-polio liar telah tereduksi dan transmisi yang masih ada,
terjadi pada suatu wilayah terbatas (focal),
• Surveilans AFP umumnya telah adekuat, sehingga dapat diidentifikasikan
wilayah atau kelompok populasi dimana transmisi virus polio liar masih
terjadi
Perbedaan yang mendasar antara mopping-up dan NID adalah dari luas
wilayah dan sisi operasionalnya, dimana pada mopping-up dilakukan kunjungan
rumah ke rumah untuk mencapai sasaran. Hal ini dilakukan untuk memastikan
agar semua sasaran dapat tercakup. Baik imunisasi rutin maupun imunisasi
suplemen (berupa imunisasi koreksi seperti sweeping dan backlog fighting, NID
dan Mopping Up) bertujuan memberikan imunisasi dan kekebalan pada semua
penduduk dunia tanpa kecuali.
Kriteria wilayah mopping-up yang direkomendasikan oleh ICCPE
(International Certification Commission for Polio Eradication) - SEARO pada
tahun 1998 adalah daerah yang cukup luas (…...Normally, mop-up operations
are conducted as a house to house campaign and cover very large selected
areas. ……)
2

NID dan Mopping up biasa disebut imunisasi suplemen, ditujukan
terutama untuk memutus transmisi virus polio liar.


PELAKSANAAN ERAPO DAN MASALAHNYA di INDONESIA
Spesimen
adekuat
Bukan kasus polio
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

15

Pelaksanaan imunisasi polio
Imunisasi rutin merupakan dasar fondasi ERAPO, namun makin banyak
desa non UCI (Universal Child Immunization) tanpa backlog fighting. Imunisasi
dilakukan di Indonesia lewat infrastuktur pelayanan kesehatan yaitu klinik, rumah
sakit, Puskesmas dan posyandu. Pada program PPI yang lalu Balita yang
terkumpul di posyandu diimunisasi oleh juru imunisasi (jurim) yang berkeliling
sesuai dengan waktu adanya posyandu. Setelah otonomi yang diberlakukan
sejak tahun 2000 menyebabkan dana terpusat di daerah kabupaten, banyak
dana P2M yang dipangkas, termasuk pembayaran gaji jurim. Jurim makin lama
makin hilang dan imunisasi dilakukan oleh bidan desa yang kurang mobil
dibanding dengan jurim dan masyarakat harus membayar lebih besar untuk
transport dan jasa. Cakupan imunisasi yang diharapkan meningkat menjadi desa
UCI, makin menyurut dan semakin banyak desa menjadi kantong-kantong yang
tidak terjangkau imunisasi. Seringkali laporan yang ada di puskesmas hanya
angka absolut bayi yang diimunisasi, bukan proporsi bayi yang diimunisasi
dibanding dengan jumlah target yang direncanakan. Apabila data ini terkumpul
menjadi data kabupaten, mungkin akan memberikan posisi UCI kabupaten,
namun bukan UCI desa. Bilamana nilai ambang bayi yang tidak diimunisasi telah
dilampaui di suatu kecamatan, resiko kejadian luar biasa penyakit P3DI ,
misalnya difteri atau campak akan besar. Daerah ini akan menjadi daerah resiko
tinggi transmisi VPL atau VDVP dan seringkali masalah ini tidak diperhatikan
oleh PEMDA dan para pejabat dinas.
atau ERAPO, adalah program kesehatan masyarakat yang sangat besar
dalam sejarah manusia, mengusahakan dunia bebas polio dalam tahun 2005.
19

Kasus polio telah menyurut 99% sejak dicanangkan pada tahun 1988, dari
sekitar 350.000 kasus menjadi 3500 pada tahun 2000. Pada masa akhir
program ini, yang dikenal sebagai the polio " end game" , menjuruskan pada 3
masalah.
17,18
• Pencekalan virus polio di laboratorium
• Sertifikasi bebas polio
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

16
• Penghentian vaksinasi polio

The Global TCG (Technical Consultation Group), badan pakar polio, telah
mengumpulkan wacana mengenai bagaimana melindungi penduduk selama
penghentian vaksinasi dan bagaimana menurunkan resiko kembalinya virus ini
serta bagaimana menanggulangi bila ini terjadi.
19,21
Pilihan vaksin mana yang
akan digunakan selama masa transisi dan kapan serta bagaimana cara
penghentian imunisasinya belum diputuskan.
33
Kondisi bebas VPL sangat sukar dicapai karena pada dasarnya vaksin
yang digunakan adalah virus polio yang dilemahkan. Program eradikasi cacar
merupakan acuan eradikasi polio, namun ada perbedaan yang mendasar
dibandingkan dengan imunisasi cacar. Vaksin cacar terbuat dari virus vaccinia
yang meskipun masih bersaudara dengan virus cacar, namun bukan virus cacar.
Kalaupun terjadi back-mutation atau terjadi komplikasi yang berat pada vaksinasi
cacar, tidak pernah terjadi kasus klinik cacar, karena vacccinia tidak
menyebabkan kasus klinik cacar. OPV yang dibuat dari virus polio liar yang
dilemahkan, tetap merupakan gabungan ketiga serotipe polio yang bila
mengalami back mutation menjadi neurogenik kembali, akan kembali bersifat
seperti virus polio liar dan dapat menimbulkan wabah kembali. IPV meskipun
juga berasal dari ketiga serotipe virus polio, kecil kemungkinannya menjadi aktif
kembali, setelah dinonaktifkan / dibunuh dengan panas dan bahan kimia.
Containment (pencekalan) virus dapat dilakukan dengan mudah pada
program SEP (Smallpox Eradication Programme) karena yang disimpan adalah
virus vaccinia (virus cacar liar dapat dimusnahkan atau disimpan pada 1 tempat
saja) sedang penelitian pengembangan vaksin yang baru dapat dilakukan
dengan virus vaccinia yang ada. Pada program ERAPO, yang disimpan tetap
virus polio dan apabila diperlukan penelitian, harus digunakan virus polio liar,
sehingga containment virus polio liar jauh lebih sukar dilakukan. Kecelakaan
(accidental release) dapat terjadi, misalnya peneliti tanpa sengaja mendapatkan
adanya Enterovirus yang tumbuh pada kultur jaringan adalah virus polio.
Demikian pula para peneliti di laboratorium yang membiakkan virus dari tinja
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

17
dapat tanpa sengaja membiakkan virus polio, sehingga pencekalan virus polio
jauh lebih rumit dan berbahaya dibanding dengan pencekalan virus cacar pada
masa lalu.


Pelaksanaan surveilans AFP di Indonesia
Laporan penyakit dari Puskesmas makin “disederhanakan” dan banyak
penanggung jawab pengamat penyakit tidak melakukan pelacakan lagi.
Surveilans komunitas menjadi mandul, padahal surveilans AFP dibangun dengan
harapan menjadi ujung tombak dan dasar surveilans penyakit menular lainnya.
Sistem ini menerapkan pelacakan aktif dari kasus rumah sakit atau puskesmas
dengan dukungan sistem yang mantap dan biaya yang cukup. Pembuktian kasus
polio secara laboratorik merangsang sistem surveilans yang canggih dan sahih.
Pada tahun-tahun sebelum otonomi daerah, sistem yang terbentuk sudah cukup
stabil, sehingga dapat dimuati surveilans tetanus neonatorum dan campak.
Meskipun didukung UU yang mendudukan surveilans pada garis sentral, namun
tingginya pergeseran petugas pada tingkat kabupaten akibat otonomi (mendekati
50%) telah menyebabkan jaringan surveilans mulai retak. Terjadinya konflik di
beberapa daerah seperti Aceh, Maluku, Maluku utara, Sulawesi tengah, Papua
dan Timor telah makin melumpuhkan jaringan surveilans yang ada, sehingga
Non polio AFP rate menurun dibawah satu. Ketidak berhasilan Indonesia
menyelesaikan masalah ini dan adanya immunity gap menyebabkan Indonesia
harus kembali melakukan PIN pada tahun 2002. Evaluasi surveilans AFP oleh
WHO tahun 2003 telah mendorong perubahan system surveilans bertumpu pada
SO (surveillance officer) yang merupakan jalan pintas untuk mengaktifkan
penemuan kasus AFP dan melepas konservasi sistem surveilans yang akan
digunakan untuk eradikasi campak pada tahapan berikutnya. Meskipun Non
Polio AFP-rate membaik, namun kinerja surveilans belum mencapai standar
kualitas yang diperlukan untuk syarat sertifikasi bebas polio (AFP rate, proporsi
spesimen adekuat, ketepatan dan kecepatan laporan dsb).
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

18
Masalah berikutnya makin menunjukkan adanya kerapuhan pelaksanaan
ERAPO di Indonesia. Adanya kasus VPL di Sukabumi pada bulan Maret 2005
telah membuktikan bahaya VPL import bukan sekedar bacaan textbook. Kasus
ini telah memicu perbaikan surveilans sehingga AFP-rate melonjak mendekati 2.
ORI (outbreak responds immunization) telah dilakukan, namun kasus melebar
dengan cepat (4-6 kasus per minggu) dan dilakukan mopping up di 4 propinsi,
yaitu Jawa Barat, Banten, Tangerang dan DKI Jaya. Propinsi lain dianjurkan
meningkatkan kewaspadaan dan melakukan backlog fighthing. Kasus VPL
meloncat keluar daerah mopping up, ke Tanggamus (propinsi Lampung), Demak
(Jawa Tengah), Cilacap (Jawa Tengah). Satu kasus di Sukabumi akibat polio
import, telah berbiak menjadi 219 kasus pada tanggal 12 Agustus 2005.
Bilamana penyebaran kasus polio import ini tidak dapat ditanggulangi dalam
waktu 6 bulan, maka status Indonesia menjadi negara recently endemic, yang
membutuhkan waktu, dana dan kerja keras agar dapat memenuhi syarat bebas
polio. Kesungguhan menangani masalah, yang berasal dari masalah lama
(kronis) yang tidak ditangani secara baik, merupakan persyaratan mutlak
keberhasilan pelaksanaan ERAPO di Indonesia .

Masalah VAPP dan VDVP
VAPP (Vaccine associated paralytic poliomyelitis )
22-26

Pada saat kita mendekati akhir ERAPO telah muncul isu vaksin mana
yang akan digunakan selama transisi, sebelum kita menghentikan imunisasi
polio, seperti kita menghentikan imunisasi cacar dulu. Selain masalah jenis
vaksin, juga telah muncul isu yang mengancam keberhasilan ERAPO yaitu
adanya kelumpuhan setelah imunisasi yang disebabkan oleh kasus VAPP dan
VDVP. Meskipun kasus ini sangat jarang sekali, namun oleh karena Amerika
Serikat (dengan prevalensi VAPP 10-12 kasus per tahun) mengganti vaksin
untuk menghindari kasus jarang ini, maka masalah tersebut menjadi mendunia.
Sebenarnya kasus VAPP & VDPV adalah konsekuensi dari imunisasi dengan
OPV. Menurut kriteria yang disepakati, WHO mendefinisikan VAPP sebagai:
o suatu kelumpuhan layuh akut yang terjadi 4 - 30 hari setelah
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

19
menerima OPV, atau
o 4 -75 hari setelah kontak dengan penerima OPV,
o disertai masih adanya kelainan neurologi pada 60 hari setelah
awitan atau penderita meninggal.

VAPP adalah bentuk KIPI dari OPV dan jumlah kasus global VAPP
adalah 250-500 kasus per tahun.
Kemungkinan VAPP telah dikenal sejak 1962, sesaat setelah penggunaan
vaksin monovalen P3. Resiko kasus VAPP adalah sekitar satu kasus per 3.3 juta
dosis, pada saat PIN sekitar satu kasus per 6 juta dosis dan terutama terjadi
pada pemberian vaksinasi yang pertama. Meskipun sampai sekarang banyak
yang menyatakan kelumpuhan ini akibat berbagai faktor penyebab yang
berbeda, namun evidence ini mendukung adanya hubungan
25
:
1. sindroma kliniknya mirip poliomielitis
2. virus vaksin sering di isolasi dari tinja kasus
3. ada riwayat paparan vaksin
4. kasus resipien dan kontak menbentuk gerombolan (cluster)
setelah mendapat OPV
5. virus yang diekskresi menunjukkan mutasi kearah neurovirulent
6. prevalensi VAPP paling tinggi pada penderita imunodefisiensi (B
cell deficiencies), kelompok yang juga rentan terhadap VPL
poliovirus.
Resiko VAPP pada penderita immunocompromised naik menjadi 3200 kali
lebih sering dibanding dengan anak yang imunokompeten. Sebagian besar
kasus adalah penderita kelainan B-cell (humoral) dengan agammaglobulinaemia
atau hipogammaglobulinemia. Polio virus type 1 jarang pada kasus VAPP;
sebagian besar adalah tipe 2 , sedang pada penderita yang imunokompeten
yang tersering adalah tipe 3 .
22-24
Selain tidak mampu menetralisir virus dari SSP
(susunan syaraf pusat), mereka juga mensekresi polio vaksin sampai 7 bahkan
16 tahun. Larangan memberikan OPV pada kasus imunodefisien kurang
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

20
insufisien karena diagnosis kasus paling dini dilakukan pada usia 2 bulan, saat
pemberian OPV yang pertama.
22,23

Pada tahun 1997, ACIP merekomendasikan penggantian secara
sekuensial OPV dengan IPV, bahkan pada tahun 1999, rekomendasinya adalah
menggunakan IPV saja.
27,28

VDPV (Vaccine Derived Polio Virus)
Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir ini, outbreaks poliomielitis akibat
circulating vaccine-derived polioviruses (cVDVP) terjadi di Hispaniola (2000-
2001), Phillipina (2001) and Madagaskar (2001-2002).
29
Penelitian secara
retrospektif telah mendeteksi sirkulasi endemic cVDVP di Egypt (1988-1993)
dan secara lokal di Belarus (1965-1966).
30,31

Agar menimbulkan kekebalan virus polio vaksin (virus RNA) harus
berbiak dan mRNA adalah bagian multiplikasi yang tidak stabil, sehingga
multiplikasi yang cepat pada beberapa orang akan menyebabkan mutasi pada
beberapa tempat sehingga fenotipe kelemahan (attenuated phenotype) hilang
dan enterovirulensi meningkat .
13

Selain mutasi balik, neurovirulen bisa kembali akibat dua virus polio atau
Enterovirus yang homolog mengadakan rekombinasi sehingga VDVP
mempunyai kemampuan menyebar (circulating VDVP). cVDVP mampu
menimbulkan KLB kembali seperti VPL. Virus iVDVP (dari penderita
imunodefisien) tidak mampu menyebar seperti cVDVP namun bagaimana
rekombinasi dengan enterovirus yang homolog ini terjadi masih belum jelas.
Pada kasus Hispaniola, semula KLB cVDVP ini diduga disebabkan oleh
virus polio import karena daerah ini sudah bebas polio sejak 1986, namun
analisis molekuler ternyata tidak mirip dengan VPL manapun dan lebih mirip
dengan OPV yang diberikan pada tahun 1988- 1999.
Dengan cara yang sama dapat dilakukan deteksi sirkulasi cVDVP di
Phillipines. Spesimen dari tiga kasus AFP ternyata positif P1 cVDVP, mirip
dengan vaksin yang digunakan 1998, bahkan selanjutnya P2 di Madagaskar
tahun 2001. Semua kasus berkaitan dengan rendahnya cakupan imunisasi di
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

21
komunitas yang padat penduduk. Secara retrospektif didapatkan pula sirkulasi
cVDVP2 di Egypt. Yang mirip dengan virus OPV yang digunakan tahun 1083.
Pentingnya informasi ini adalah bahwa sirkulasi virus polio di daerah tropik dapat
terjadi bila cakupan imunisasi rendah.
32
Vaccine-derived poliovirus (VDPV) yang dikenal di jaringan laboratorium
dengan cara ITD dan sekuencing adalah
1. beda VP1 <1% dari vaksin Sabin digolongkan Sabin-like,
2. beda 1%--15% digolongkan VDPV,
3. beda >15% difference digolongkan sebagai VPL
Faktor resiko lain pada kasus VDVP adalah angka kelahiran, jumlah dan
kepadatan bayi non-immune , sanitasi dan higiene perorangan yang kurang,
iklim, masa transmisi tinggi dan keadaan pernah bebas dari VPL (yang
menyebabkan kekebalan sangat tergantung pada imunisasi dan tidak lagi pada
kekebalan alamiah. KLB cVDVP sama pola dan bahayanya seperti KLB virus
import, dengan perbedaan pada cVDVP proses berjalan secara endogenous.
Selain dibutuhkan adanya kelompok bayi non immune yang melebihi ambang,
kinerja surveilans AFP yang jelek juga mendukung KLB cVDVP. Pengalaman
masa lalu mengajarkan bahwa sirkulasi cVDVP sudah terjadi sekitar 2 tahun
sebelum KLB terjadi. Negara yang dulunya endemik polio, berarti punya potensi
transmisi virus polio yang tinggi, harus mempertahankan cakupan imunisasinya
dengan sungguh-sungguh. Untunglah, semua KLB cVDVP dapat ditanggulangi
dengan imunisasi suplemen dengan OPV.
33

Masalah penghentian Imunisasi polio setelah sertifikasi bebas polio
Ada beberapa skenario penghentian imunisasi pasca sertifikasi, namun
WHO belum memutuskan yang mana yang akan dilakukan dan bagaimana
adaptasi skenario tersebut pada setiap negara pada tahap transisi. Adapun
skenario tersebut antara lain :
1. menghentikan OPV sekaligus tanpa vaksin lain selama transisi
2. menggunakan IPV pada semua jadwal imunisasi tanpa OPV sama
sekali
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

22
3. menggunakan IPV dulu, baru OPV secara sekuensial
4. menggunakan monovalen OPV sesuai keadaan daerah
5. menerapkan keempat cara secara bertahap.

Apapun keputusan yang diambil, keputusan itu harus mempunyai
landasan ilmiah, landasan epidemiologik dan sesuai dengan dana yang tersedia,
sehingga tidak membebani masyarakat.

Kepustakaan
1. Ismoedijanto dan St Nurul H Penyakit poliomyelitis anterior akuta. Dalam:
Ismoedijanto, Yuwono Sidharta, Sholah Imari eds. Dalam Buku rujukan
Eradikasi polio di Indonesia , Jakarta , Dep. Kesehatan 2002 : 55 - 63
2. Modlin JF. Enterovirus. In: Gerhson AA, Hotez PJ, Katz SL, Eds. Infectious
diseases in children. 11th ed. New York: Mosby & Co, 2003:123-136.
3. Sutter et al. Live attenuated Poliovaccine. In: Plotkin & Orenstein, Eds.
Vaccine. 4th ed. Philadelphia : WB Saunders, 2003.
4. Modlin JF. Poliomyelitis. In: Rotbart HA, Ed. Human Enterovirus Infections.
Washington DC, American Society for Microbiology 1995:195-220.
5. Joklik WK. The enterovirus. In : Joklik, Ed. Virology. 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders,1968:188-92.
6. Melnick J. Poliovirus. In: Fields, Ed. Virology. 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders, 1996:656-708.
7. WHO. Global Eradication of Poliomyelitis by the year 2000. Geneva: WHO,
1988 (Resolution WHO 41.28).
8. Ismoedijanto: Imuniasi poliomyelitis : imunisasi rutin dan imunisasi suplemen.
Dalam: Ismoedijanto, Yuwono Sidharta, Sholah Imari eds, Buku rujukan
Eradikasi polio di Indonesia , Jakarta , Dep. Kesehatan 2002 :19-26
9. Modlin JF. Enterovirus. In: Long SS, Pickering LK, Prober CG, Eds. Principles
and Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York : Churchill
Livingstone, 2003:1179.
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

23
10. Mueller S, Wimmer E, Cello J. Poliovirus and poliomyelitis: A tale of guts,
brains and accidental events, Virus research 2005. Available in
www.siencediscet.com
11. Lina Soemara : Jaringan laboratorium polio dalam surveilans AFP. Dalam:
Ismoedijanto et al, Buku rujukan Eradikasi polio di Indonesia , Jakarta , Dep.
Kesehatan 2002 : 41-48
12. Frederick C. Robbins. The history of Poliovaccine Development. In: Stanley
A. Plotkins, Walter A. Orenstein eds. Vaccines.3
rd
ed. Philadelphia: WB
Saunders comp:13-27
13. Robetson S. The immunological basis for immunization series.
M6:Poliomyelitis. WHO 1993. Available in: http://www.who.int/vaccines-
documents/DoxTrng/ h4tibi.htm
14. Hong-Mei Liu et al. Serial recombination during circulation of type 1 wild-
vaccine recombinat poliovirus in China. J Virol 2003;77(23):1004-5.
15. Haryono Soeyitno : Poliomielitis Dalam: IGN Gde Ranuh eds, Pedoman
imunisasi di Indonesia 2nd ed, 2005: 110
16. Ismoedijanto, Sholah Imari. Surveilans AFP: hospital and community based.
Dalam: Ismoedijanto Yuwono Sidharta, Sholah Imari eds. Buku rujukan
eradikasi polio di Indonesia, Jakarta, Dep Kesehatan 2002: 27-39
17. John T. The final stages of the global eradication of polio. N Engl J Med
2000;343:805-807.
18. Nathanson N, Fine P. Poliomyelitis eradication: a dangerous end game.
Nature 2002;296:269-70.
19. Ismoedijanto : Progress and callenges towara. Poliomyelitis eradication in
Indonesia. Southeast Asia Journal of Tropical medicine and public health
2003.34(3): 598-607
20. WHO. Technical Consultative Group to the WHO on the Global Eradication of
Poliomyelitis. « Endgame » issues for the global polio eradication initiative.
CID 1 January 2002; 34: 72-77.
21. Soemarmo PS Poliovirus Eradication Indonesia : Facts and problems.
Proceeding book KONIKA XIV Bandung: 121-40.
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

24
22. Kew OM, et al. Prolonged replication of type 1 vaccine-derived poliovirus in
an immmunodeficient patient. J Clin Microbiol 1998;36:2893-9.
23. Sutter RW, Prevots DR. Vaccine associated paralytic poliomyelitis among
immunologically abnormal persons. Infect Med 1994;11(6):426-38.
24. CDC. Prolonged poliovirus excretion in immunodeficient persons with VAPP.
MMWR 1997;46(28): 641-43.
25. Yoshida H, et al. Prevalence of vaccine derived polioviruse in the
environtment. Virology 2002;83:1107-11.
26. Kew O, Wright PF, Agol VI, Delpeyroux F, Shimizu H, Nathanson N, Pallanch.
Circulating vaccine-derived polioviruses : current state of knowledge. Bull
WHO 2004; 82,1, 16-23
27. Mc Bean AM, Modlin JF. Rationale for the sequential use of inactivated
poliovirus vaccine and live attenuated poliovirus vaccine for routine
poliomyelitis immunization in the U.S. Ped Infect Dis 1987;6:881-887
28. ACIP. ACIP Recommendations for USA. MMWR 2000; 49 (no. RR-5)
Available in: http://www.cdc.gov/nip/publications/ACIP-list.htm
29. WHO. Acute flaccid paralysis associated with circulating vaccine derived
poliovirus, Phillipines. WER 2001;76(41):317-324.
30. WHO. Circulation of a type 2 vaccine-derived poliovirus, Egypt. WER
2001;76(4):25-32.
31. CDC. Public Health dispatch update: outbreak of poliomyelitis – Dominican
Republic 2000-2001. MMWR 2001;50 (39):855-6.
32. CDC. Laboratory Surveillance for Wild Poliovirus and Vaccine-Derived
Poliovirus, 2000--2001 MMWR 2002;51(17);369-371
33. CDC. Paralytic poliomyelitis United States 1980-1994 MMWR
1997;46(04):79-83.

Pertanyaan :
1. Bagaimana end game penghentian imunisasi ?
2. Apa pengaruh kasus VAPP dan KLB cVDVP pada sertifikasi polio?
Continuing Education XXXV

Eradikasi Polio dan Permasalahannya
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)

25
3. Uraikan tujuan dan program surveilans AFP baik yang berbasis komunitas
maupun berbasis rumah sakit !
4. Berikan analisis anda pada kegagalan mencapai UCI desa !
5. Ceritakan dasar-dasar biologik strategi eradikasi polio ?

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close