PBL 3 DMS

Published on December 2016 | Categories: Documents | Downloads: 286 | Comments: 0 | Views: 300
of 23
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

BAB II
PEMBAHASAN
1.

2.

Identifikasi masalah
a. Anak laki-laki
b. Umur
: 13 tahun
c. KU
: gatal
d. Onset
: 3 bulan yang lalu
Hipotesa penyakit
a. Scabies
Pada kasus anak laki-laki merasa gatal di sela-sela jari tangan dan kaki,
ketiak, perut, dan seputar kelamin. Biasanya scabies terjadi pada tempat
dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna
(pria), dan perut bagian bawah. (Djuanda, 2009).
b. Gigitan serangga
Biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya urtikaria
papuler. Juga terdapat pustul miliar dikelilingi daerah yang eritema
(Maxine, 2007).
Efloresensinya sama seperti scabies, yaitu berupa eritema morbiliformis
atau bula yang dikelilingi eritema dan iskemia, kemudian terjadi nekrosis
luas dan gangrene. Kadang-kadang berupa pustule miliar sampai
c.

lentikular menyeluruh atau pada sebagian tubuh (Siregar, 2004).
Pediculosis corporis
Infeksi yang disebabkan oleh Pediculus humanus var. corporis. Penyakit
ini biasanya menyerang orang dewasa terutama pada orang dengan
higiene buruk. Kutu tidak melekat pada kulit, tetapi pada serat kapas di
sela-sela lipatan pakaian dan hanya transien ke kulit untuk menghisap
darah. Penyebaran penyakit ini bersifat kosmopolit, lebih sering pada
daerah beriklim dingin karena orang memakai baju yang tebal serta
jarang dicuci (Djuanda, 2009).
Kelainan kulit yang timbul

disebabkan

oleh

garukan

untuk

menghilangkan rasa gatal. Rasa gatal ini disebabkan oleh pengaruh liur
dan ekskreta dari kutu pada waktu menghisap darah. Umumnya hanya
ditemukan kelainan berupa bekas-bekas garukan pada badan, karena
gatal baru berkurang dengan garukan yang lebih intensif. Kadang-kadang

timbul infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional. Untuk mendiagnosis, perlu penemuan kutu dan telur pada serat
kapas pakaian (Djuanda, 2009).
Efloresensinya terlihat popular-popular miliar disertai bekas garukan
yang menyeluruh (Siregar, 2004).
d. Ptirus pubis
Kutu-kutu pubis ini tidak berpindah-pindah namun menetap, pada
penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada saat penderita tidur, kutu
pubis menjadi sangat aktif. Hal ini diinterpreasikan saat malam hari
karena penderita tidur pada malam hari. Pria yang memiliki banyak
daerah berambut tebal seperti aksila, jenggot, pubis, dan bulu mata
menjadi habitat utama kutu pubis (Graham, 2005).
Tempat predileksi bisa meluas hingga abdomen serta dada.

Hal ini

diinterpretasikan bahwa sesuai dengan keluhan penderita yang gatal di
sekitar aksila, kemaluan, serta abdomen (Handoko, 2009).
UKK: bercak abu-abu atau kebiruan yg disebut makula serulae di daerah
yang gatal, gejala infeksi sekunder pembesaran kelenjar getah bening
e.

regional (Handoko, 2009).
Kaligata/ urtikaria
Suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung
sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Kebanyakan pada anak-anak. Efloresensi terlihat makula coklatkemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh,

f.

dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel (Siregar, 2004).
Creeping eruption
Larva cacing yang masuk ke dalam kulit biasanya disetrai gatal dan
panas. Pada awal masuknya larva akan timbul papul yang diikuti bentuk
khas berupa lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan
diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Perkembangan selanjutnya
papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik,
serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan, mencapai panjang
beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari (Djuanda,

3.

2009).
Kejelasan hipotesa penyakit
a. Scabies

Pasien dengan skabies mempunyai gejala yang sangat khas. Ini berbeda
dengan penyakit kulit yang lain. Gejala tersebut antara lain:
1.

Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan
karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab

2.

dan panas.
Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya
dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena
infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat
penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan
diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang
seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi
tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai

3.

pembawa (carrier).
Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini
ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam
kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat
predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum
yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae
(wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut
bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan

4.

telapak kaki.
Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat

ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini (Djuanda, 2009).
Sarcoptes skabiei membuat lorong-lorong di dalam kulit, kemudian
mengeluarkan telur di dalam lorong tersebut. Telur menetas menjadi larva
yang tetap tinggal di dalam lorong-lorong kulit atau migrasi ke
permukaan kulit, kemuian tubuh menjadi tungau dewasa dalam waktu
sekitar 17 hari setelah telur dikeluarkan (Soeharsono, 2002).
b. Pediculosis corporis
Efloresensinya terlihat popular-popular miliar disertai bekas garukan yang
menyeluruh (Siregar, 2004).
c. Ptirus pubis

UKK: bercak abu-abu atau kebiruan yg disebut makula serulae di daerah
yang gatal, gejala infeksi sekunder pembesaran kelenjar getah bening
regional (Handoko, 2009).
d. Kaligata/ urtikaria
Urtikaria Papular ( Prurigo Simpleks )
Definisi : suatu prurigo yang sering kali terjadi pada bayi. Kelainan khas
nya yaitu papul – papul berwarna kemerahan.
Predileksi : pada bagian ekstensor lengan dan tungkai
Efloresensi : urtikaria berbentuk papula berwarna kemerahan, tersebar
diskrit dan tidak teratur.
Gambaran histopatologi : pada epidermis terlihat sedikit akantosis,
parakeratosis dan terdapat vesikel yang ditimbulkan edema interselular.
Pada dermis terdapat sebukan sel – sel radang kronik (Siregar, 2004).
urtikaria dermogravisme
Urtikaria dapat dibedakan menjadi urtikaria akut, kronis dan fisik.
Penyebab terjadinya urtikaria fisik disebabkan oleh 3 hal, yaitu
1. Urtikaria demorgravisme
2. Merupakan urtikaria yang disebabkan oelh adanya garukan atau
3.
4.
5.
6.

adanya penekanan
Penekanan
Bilur-bilur disini timbul setelah 24 jam pasca penekanan
Urtikaria kolinergik
Urtikaria disini terjadi pada laki-laki muda dengan kulit yang
berkeringat disertai adanya bilur-bilur kecil putih dan lingkaran kecil

berwarna merah (Graham, 2005)
e. Creeping eruption
Etiologi :
Penyakit ini disebabkan oleh larva cacing tambang seperti Anclyostoma
braziliense dan Anclyostoma caninum (Djuanda, 2009).
Gejala klinis :
Larva yang masuk kedalam kulit biasanya disetrai gatal dan panas. Pada
awal masuknya larva akan timbul papul yang diikuti bentuk khas berupa
lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3
mm, dan berwarna kemerahan. Perkembangan selanjutnya papul merah
ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa,
menimbul, dan membentuk terowongan, mencapai panjang beberapa cm.
rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari (Djuanda, 2009).
Predileksi:
a. Tungkai

b. Plantar
c. Tangan
d. Anus
e. Bokong
f. Paha
g. Bagian-bagian yang sering berkontak dengan tempat larva.
Epidemiologi Creeping eruption
Terdapat di daerah tropik dan subtropik, terutama daerah panas dan
lembap. Penyebarannya kosmopolit di daerah tempat anjing dan kucing
hidup bebas berkeliaran. Creeping eruption sering terjadi pada anak-anak
terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki atau berhubungan dengan
tanah atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami
hal yang sama. Nematoda hidup pada hospes, ovum terdapat pada kotoran
binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva yang mampu
mengadakan penetrasi ke kulit (Natadisastra, 2009).
Perbedaan Scabies dan Creeping eruption
Scabies
Sarcoptes scabiei

Etiologi
Predileksi
Bentuk kanalikuli
Sumber: (Djuanda, 2009)

Daerah lipatan tubuh
Tidak terlihat jelas

Creeping eruption
Anchylostoma caninum
dan Anchylostoma
brazilience
Ekstremitas
Terlihat jelas

Berdasarkan informasi 1 dan informasi 2 yang didapat dapat dipastikan bahwa
anak laki-laki tersebut menderita scabies. Hal ini dibuktikan bahwa gatal terutama
dirasa pada malam hari, tempat predileksi dirasakan di sela-sela jari tangan dan
kaki, ketiak, perut, dan seputar kelamin yang merupakan daerah lapisan kulit yang
tipis dan mudah lembab, serta ditemukannya penderita lain di dalam satu wilayah
yang sama

4.

Sasaran belajar
1. Bagaimana pengaruh hormonal untuk wanita terutama untuk mencetuskan
2.
3.
4.
5.
6.
7.

prurigo?
Definisi scabies
epidemiologi
Etiologi scabies
Klasifikasi scabies
Cara penularan scabies
Morfologi dan daur hidup Sarcoptes scabiei

8. Faktor predisposisi
9. Patofisiologi scabies
10. Diagnosa klinis
11. Penegakan diagnosis
12. Penatalaksanaan scabies secara medika mentosa dan non medika mentosa
13. Komplikasi scabies
14. Prognosis scabies
5.

Pembahasan sasaran belajar
1. Bagaimana pengaruh hormonal untuk wanita terutama untuk
mencetuskan prurigo?
Prurigo lebih banyak diderita oleh wanita disini dikarenakan faktor
pencetusnya yang meliputi stress, pengguanaan obat kontrasepsi oral,
serta penurunan hormon esterogen saat menopause (Kroshinsky, 2009).
Hormon esterogen ini berfungsi sebagai pengatur kestabilan jadi ketika
wanita telah memasuki umur pertengahan hingga lanjut sangat rentan
untuk terjadi prurigo (Liu, 2007).
2. Definisi scabies
a. Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei
b.

jenis manusia dan produknya dalam tubuh (Siregar, 2004).
Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap

c.

Sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya (Djuanda, 2009).
Kasus infestasi yang serng ditemukan dan diakibatkan oleh sejenis
tungau Sarcoptes scabiei dan ditularkan oleh kontak jarak dekat antara
manusia dengan manusia. Periode inkubasi bervariasi antara 3 hari

3.

sampai 3 minggu (Price, 2006).
Epidemiologi
Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang
bervariasi. Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis
seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara,
Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara (Walton, 2007).
Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh
dunia terjangkit tungau skabies. Studi epidemiologi memperlihatkan
bahwa prevalensi skabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja
dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, umur, ataupun kondisi
sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi adalah kemiskinan dan
kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit ini lebih sering di
daerah perkotaan (Freddberg, 2008).

Terdapat bukti menunjukkan insiden kejadian berpengaruh terhadap
musim dimana kasus skabies lebih banyak didiagnosis pada musim
dingin dibanding musim panas. Insiden skabies semakin meningkat sejak
dua dekade ini dan telah memberikan pengaruh besar terhadap wabah di
rumah-rumah sakit, penjara, panti asuhan, dan panti jompo (Freddberg,
2008).
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain:
higiene yang buruk, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik
serta ekologi (Djuanda, 2009).
4. Etiologi scabies
Sarcoptes scabiei jenis manusia
Tergolong family arthropoda kelas arachnida, ordo akarina, famili
sarcoptes (Siregar, 2004).
5. Klasifikasi scabies
Adapun bentuk-bentuk khusus skabies yang sering terjadi pada manusia
adalah sebagai berikut:
1. Skabies pada orang bersih yang merupakan skabies pada orang
dengan tingkat kebersihannya cukup, bisa salah didiagnosis karena
kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.
2. Skabies neonatorum pada bayi dan anak lesi skabies yang mengenai
seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak
kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima
sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di
muka.

3. Skabies yang ditularkan oleh hewan dapat menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya
peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul
terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak, dan akan
sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih

4. Skabies nodular terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang
sering dikenai adalah genitalia pria, lipatan paha, dan aksila. Lesi ini

dapat menetap beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga
satu tahun walaupun telah mendapat pengobatan anti scabies.

5. Skabies inkognito, obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan
gejala dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya,
pengobatan dengan steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan
lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan
respons imun selular.

6. Skabies terbaring di tempat tidur merupakan penderita penyakit kronis
dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita
skabies yang lesinya terbatas.

7. Skabies krustosa (Norwegian Scabies), lesinya berupa gambaran
eritodermi, yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distrofi kuku.
Krusta terdapat banyak sekali, dimana krusta ini melindungi Sarcoptes
scabiei di bawahnya. Bentuk ini mudah menular karena populasi
Sarcoptes scabiei sangat tinggi dan gatal tidak menonjol. Bentuk ini
sering salah didiagnosis, malahan kadang diagnosisnya baru dapat
ditegakkan setelah penderita menularkan penyakitnya ke orang banyak.
Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita retardasi mental
(Down’s syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra, syringomelia dan
tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang berat (leukemia dan
diabetes), dan penderita imunosupresif.

8. Skabies nosokomial timbul akibat tertular pasien lain yang dirawat di RS.
9. Skabies impetiginisata disebabkan oleh karena infeksi sekunder dengan
ditandai dengan adanya pustule, erosi, ekskoriasi, krusta.

6.

Cara penularan scabies
Cara penularan (transmisi) skabies dapat terjadi melalui kontak
langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual. Transmisi dapat juga melalui kontak
tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal
(Djuanda, 2007).

Tungau tidak dapat terbang atau loncat, tetapi dapat merayap dengan
kecepatan 2,5 cm per menit. Tungau dapat bertahan selama 24 – 36 jam
pada suhu ruangan dan rata – rata kelembapan dan mampu menginfestasi
dan membuat terowongan pada epidermis. Semakin banyak parasit pada
seseorang, maka semakin mudah transmisi tungau terjadi, baik secara
langsung (kulit ke kulit) ataupun tidak langsung (melalui tempat tidur,
pakaian) (Chosidow, 2006).
Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah
dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes
scabiei var. animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia,
terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan
7.

misalnya anjing (Djuanda, 2007).
Morfologi dan daur hidup Sarcoptes scabiei

Sarcoptes scabiei betina

Sarcoptes scabiei jantan
Tungau betina membuat liang di epidermis dan meletakkan telurnya di
dalam liang yang ditinggalkannya. Mulanya hospes tidak menyadari

adanya aktivitas penggalian terowongan dalam epidermis, tetapi setelah 46 minggu terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap tungau atau bahan-bahan
yang dikeluarkannya dan mulailah timbul rasa gatal. Pruritus disebabkan
oleh reaksi tubuh terhadap tinja atau ekskresi sisa metabolisme tungau.
Adanya periode asimptomatis ini bermanfaat sehingga mereka mempunyai
waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respon
imunitas. Setelahnya, hidup mereka akan bahaya karena terowongannya
digaruk dan tungau serta telurnya hancur (Graham, 2005).
Scabei emiliki siklus hidup setelah kopulasi, si jantan mati kemudian
betina menetaskan telurnya di dalam perut dan mengeluarkannya di hospes
dalam bentuk nimfa. jadi kemungkinan terbesar pada pemeriksaan
penunjang yaitu gosokan vesikel di ujung kanalikuli akan ditemukan
scabiei dalam bentuk nimfa dengan tidak menutup kemungkinan dalam
bentuk dewasa juga (Gandahusada, 2006).
8. Faktor predisposisi
Berdasarkan segitiga epidemiologi, terjadinya kejadian sakit
dipengaruhi manusia itu sendiri (host), agen penyebab penyakit (agent),
dan lingkungan (environment). Faktor host termasuk faktor intrinsik yang
sangat dipengaruhi oleh sifat genetik manusia. Terjangkitnya seseorang
oleh skabies dipengaruhi sistem imun orang tersebut. Semakin rendah
imunitas orang tersebut, maka semakin besar resiko orang tersebut
tertular skabies. Sedangkan faktor agent atau penyebab penyakit biasanya
berlokasi pada lingkungan tertentu. S. scabiei sebagai penyebab skabies
berhubungan dengan terjadinya skabies. Apabila agen penyebab penyakit
jumlahnya semakin banyak maka resiko terjadinya penyakit juga
semakin besar. Faktor lingkungan yang dibagi menjadi lingkungan fisik,
biologi, dan sosial dapat menyebabkan penyakit. Lingkungan dengan
sanitasi buruk merupakan faktor resiko terjadinya scabies (Mukono,
2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan para ahli, terdapat
berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit
skabies, antara lain:
1. Tingkat pengetahuan

Pada penelitian yang dilakukan di Afyon, Turki mengenai
prevalensi skabies pada anak-anak yang belum sekolah, dinyatakan
bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kejadian skabies.
Pada penelitian ini 1.134 anak yang berusia diantara empat sampai
enam tahun dievaluasi; 607 (53,5%) dari subjek merupakan laki-laki
dan 527 (46,5%) adalah perempuan. Infestasi skabies ditemukan di 14
(1,2%) dari 1.134 anak; sembilan (0,8%) anak menderita pediculosis
capitis dan lima (0,4%) anak menderita scabies.
Selain itu, tingkat pendidikan ibu juga berhubungan dengan
kejadian pediculosis dan skabies. Ibu dari anak yang terjangkit
penyakit tersebut sebagian besar dengan latar belakang SMP,
sedangkan ibu dengan latar belakang SMU atau S1 mempunyai
jumlah yang lebih sedikit. Penemuan ini didukung oleh beberapa
penelitian dengan metodologi yang serupa, yang dilakukan di Sekolah
Dasar, Turki.
2. Higiene perorangan
Higiene adalah ilmu yang berkenaan dengan masalah kesehatan
dan berbagai usaha untuk mempertahankan atau memperbaiki
kesehatan. Skabies hampir selalu ditularkan dari satu orang ke orang
yang lain melalui kontak yang dekat. Penularan dapat terjadi pada dan
dari siapa saja, misalnya anak-anak, teman, ataupun anggota keluarga
yang lain. Setiap orang rentan terkena skabies. Skabies adalah suatu
penyakit yang tidak hanya dapat terjadi pada keluarga dengan tingkat
ekonomi rendah, ataupun pada anak jalanan, meskipun demikian,
skabies lebih sering terjadi pada kondisi tempat tinggal yang padat
dengan higienitas yang buruk (Djuanda, 2009).
Hubungan antara prevalensi skabies dengan higiene perorangan
merupakan sesuatu yang kompleks. Pada penelitian yang dilakukan di
Institut Pendidikan Islam, Dhaka, Bangladesh menyatakan bahwa
kejadian skabies dipengaruhi oleh higiene perorangan yang buruk,
yaitu 21% memakai handuk bersama, 8% melakukan pinjam
meminjam pakaian dalam, 30% tidur dalam 1 tempat tidur yang sama,
dan 81% menyimpan pakaian yang sudah digunakan di dalam rak.

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di pondok pesantren
Kabupaten Lamongan. Sebagian besar santri (213 orang) mempunyai
higiene perorangan yang jelek dengan prevalensi penyakit skabies
73,70%. Sedangkan santri dengan higiene perorangan baik (121
orang) mempunyai prevalensi penyakit skabies 48,00%. Tampak
sekali peran higiene perorangan dalam penularan penyakit skabies.
3. Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis,
sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia.
Pengawasan dilakukan dengan cara lingkungan yang berguna
ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki
atau dihilangkan (Entjang, 2000).
Pentingnya lingkungan yang sehat ini telah dibuktikan WHO
dengan penelitiian di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa
angka kematian (mortality), angka perbandingan orang sakit
(morbidity) yang tinggi serta seringnya terjadi epidemic, terdapat di
tempat-tempat dimana higiene dan sanitasi lingkungannya buruk,
yaitu di tempat-tempat dimana terdapat benyak nyamuk, lalat,
pembuangan kotoran, dan sampah yang tak teratur, air rumah tangga
yang buruk, perumahan yang terlalu sesak dan keadaan sosio ekonomi
yang buruk. Ternyata pula bahwa di tempat-tempat dimana higiene
dan sanitasi lingkungan diperbaiki, mortality dan morbidity menurun,
dan wabah berkurang dengan sendirinya (Entjang, 2000).
Skabies didapat terutama di daerah kumuh dengan keadaan sanitasi
yang sangat jelek. Reservoir scabies adalah manusia; penularan terjadi
secara langsung dari orang ke orang ataupun lewat peralatan seperti
pakaian. Hal ini dipermudah oleh keadaan penyediaan air bersih yang
kurang jumlahnya. Oleh karenanya skabies banyak didapat juga
sewaktu terjadi peperangan.
4. Kepadatan tempat tinggal (Overcrowding)
Tingkat kepadatan yang tinggi mempunyai efek dalam penyebaran
skabies. Penyebaran skabies dapat dilihat berdasarkan cara penularan
penyakit ini yaitu melalui kontak antara seseorang dengan orang yang
lain (Walton, 2007).

Pada komunitas aborigin, Australia, faktor status ekonomi yang
rendah, fasilitas kesehatan yang tidak adekuat, dan overcrowding,
turut menyumbang kepada tingginya endemik skabies. Baru - baru ini
adanya laporan yang mendokumentasikan bahwa adanya hubungan
yang
signifikan antara kepadatan yang tinggi (30 orang per rumah
tangga) dengan prevalensi skabies mencapai 50%.. penelitian yang
dilakukan di India juga menunjukkan tingkat endemik skabies yang
sama. Tingginya insidensi skabies pada kelompok individual
mengindikasikan

bahwa

transmisi

penyakit

diperantarai

oleh

hubungan personal yang dekat, misalnya seperti tidur bersana.
Hubungan seksual memiliki arti yang penting dalam transmisi diantara
orang dewasa.
5. Status gizi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di negara dengan
pendapatan rendah, sub-Sahara Afrika, penyakit skabies teridentifikasi
positif pada orang yang mendapatkan upah kerja kurang dari 2 dollar
perharinya. Penyakit ini terutama muncul di daerah pedesaan dan pada
pemukiman dengan status ekonomi yang rendah.
Status ekonomi yang rendah dihubungkan dengan buruknya status
gizi. Status gizi yang buruk dapat menyebabkan tingkat imunitas
individu dan juga pada akhirnya dapat meningkatkan kejadian
penyakit dalam suatu komunitas. Status gizi sudah dilaporkan sebagai
suatu faktor resiko yang signifikan dalam outbreak skabies di
pedesaan Indian, dan malnutrisi merupakan faktor predisposisi suatu
individu menderita crusted skabies (Walton, 2007).
6. Faktor usia
Kejadian skabies dapat muncul pada semua usia, tetapi lebih sering
muncul pada anak-anak. Penyakit ini merupakan permasalahan
kesehatan umum pada komunitas dengan tingkat ekonomi yang
rendah dan pada negara berkembang (Johnston, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Mumbai, prevalensi dari
penyakit skabies pada kelompok usia 8-14 tahun adalah 80%,
sedangkan pada usia 15-20 tahun 35%. Semakin muda usia seseorang
maka semakin besar kemungkinannya untuk terinfeksi scabies.

7. Faktor sosial ekonomi
Kebersihan diri memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya. Yang menjadi penghambat saat pencegahan
penyakit skabies adalah keterlambatan atau kurangnya uang
kebutuhan yang dikirim orang tua untuk para santri selama di asrama
tiap bulannya. Dan banyak para santri yang saling tukar alat mandi
sampai kiriman tiba. Sebagian dari santri apabila belum mendapatkan
kiriman dari orang tuanya mereka mandi tanpa menggunakan sabun
atau sampo. Apabila saat mandi kurang bersih maka penyakit skabies
akan semakin mudah menyerang tubuh para santri
9. Patofisiologi

Sumber : (Gandahusada, 2006); (Corwin, 2009).
Patomekanisme terjadinya demam

Sumber : (Corwin, 2009)
Berdasarkan dari patofisiologi yang ada, skabies biasanya ditandai dengan
adanya gejala awal berupe demam yang disertai dengan adanya pruritus
nokturnal, selanjutnya timbulnya papul, vesikel atau bula yang nantinya
akan membentuk kanalikuli yang merupakan tanda khas pada skabies.
Pada lesi sekunder biasanya akan dijumpai adanya pustul yang bersifat
lentikular (Djuanda, 2009).
10. Diagnosa klinis
1. Pruritus nocturna, yakni gatal pada malam hari. Ini terjadi karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas,
2.

dan pada saat hospes dalam keadaan tenang atau tidak beraktivitas.
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok. Misalnya dalam
sebuah keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga dapat terkena
infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat
penduduknya, misalnya asrama, pesantren dan penjara.

3.

Adanya lesi yang khas, berupa terowongan (kanalikuli) pada tempattempat predileksi; berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis
lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang 1cm. pada ujung
terowongan ditemukan papul dan vesikel. Tempat predileksinya
adalah kulit dengan stratum korneum yang tipis yaitu sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak bagian
depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genetalia
eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat mengenai

4.

telapak tangan dan kaki.
Ditemukannya tungau merupakan

penentu

utama

diagnosis.

Diagnosis penyakit skabies dapat dibuat jika ditemukan 2 dari 4
tanda kardinal di atas (Rahariyani, 2007).
11. Penegakkan diagnosis
1. Teknik winkle picker.
Bila vesikel pada ujung terowongan dibuka dengan jarum, ujung
jarum dengan hati-hati digerakan berputar, sehingga tungau bisa
2.

terangkat pada ujung jarum (Graham, 2005).
Uji KOH-kerokan kulit
Uji KOH kerokan kulit (diambil di bagian yang ada terowongan),
diletakkan di atas object glass dan ditetesi larutan KOH 10%
kemudian dipanasi sebentar, ditutup dengan cover glass dan dilihat
di mikropskop. Larutan KOH digunakan untuk melarutkan kerokan
kulit dan sisa-sisa jaringan sehingga yang terlihat adalah tungau

3.

dewasa atau telurnya yang tidak larut KOH (Natadisastra, 2009).
Uji tinta-terowongan
Dapat dilihat jelas jika permukaan kulit ditetesi dengan tinta hitam
dan sedikit ditekan sehingga cairan tinta masuk ke dalam
terowongan. Sehingga terlihat liku-liku terowongan yang berwarna

4.

kehitaman (Natadisastra, 2009).
Biopsi kulit
Cara menemukan tungau:
Biopsi irisan: Jepit lesi dengan dua jari, iris tipis dengan pisau,
letakkan di kaca objek lalu tutup dan amati dengan mikroskop
cahaya.
Biopsi eksisional: Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoksilin
eosin (Djuanda, 2009).

Agar pemeriksaan laboratorium memberikan hasil yang baik, faktorfaktor yang harus diperhatikan:
1. Papul yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru dibentuk.
2. Pemeriksaan jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi
3.
4.

dengan infeksi sekunder.
Kerokan kulit harus superficial dan tidak boleh berdarah.
Jangan mengerok dari satu lesi tetapi dari beberapa lesi. Tungau
paling sering ditemukan pada sela jari tangan sehingga perhatian

5.

terutama diberikan pada daerah itu.
Sebelum mengerok, teteskan minyak mineral pada scalpel dan
lesi yang akan dkerok (Staf Pengajar Departemen Parasitologi,

2008).
12. Penatalaksanaan scabies secara medika mentosa dan non medika
mentosa
a. Medika mentosa
1. Benzyl benzoate
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang
bersifat neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan sebagai 25%
emulsi dengan periode kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda
atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzil
benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan diduga dapat
membunuh tungau skabies dalam waktu 5 menit. Efek samping dari
benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan
skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak
menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat
menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun.
Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted
scabies. Di negara-negara berkembang dimana sumber daya yang
terbatas, benzil benzoate digunakan dalam pengelolaan skabies
sebagai alternatif yang lebih murah (Karthikeyan, 2005).
2. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah
sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau.
Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan
selaput lendir kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan

konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau. Lindane
dimetabolisme

dan

diekskresikan

melalui

urin

dan

feses

(Karthikeyan, 2005)
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan
tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke
seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk
1% krim atau lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat
diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan
larva-larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan
sebelumnya. Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7
hari, serta tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1% (Amiruddin,
2003).
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP,
kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang
terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane
yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi,
kelemahan,

berkedut

dari

kelopak

mata,

kejang,

kegagalan

pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan
lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah
seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia (Hicks,
2009).
3. Permethrin
Merupakan sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara
mengganggu polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan
dengan natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan
akhirnya terjadi paralise parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama
dalam pengobatan scabies karena efek toksisitasnya terhadap
mamalia sangat rendah dan kecenderungan keracunan akibat
kesalahan dalam penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan
karena hanya sedikit yang terabsorpsi di kulit dan cepat
dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali melalui keringat
dan sebum, dan juga melalui urin. Belum pernah dilaporkan
resistensi setelah penggunaan obat ini.

Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang diaplikasikan
selama 8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum sembuh
bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu.
Permethrin jarang diberikan pada bayi-bayi yang berumur kurang
dari 2 bulan, wanita hamil dan ibu menyusui.Wanita hamil dapat
diberikan dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam. Efek
samping jarang ditemukan, berupa rasa terbakar, perih dan gatal,
namun mungkin hal tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya
memang sensitive dan terekskoriasi (Maxine, 2007).
4. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)
Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10%
atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari
selama lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian
dari leher ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci setelah
aplikasi kedua. Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila
digunakan jangka panjang. Beberapa ahli beranggapan bahwa
crotamiton krim ini tidak memiliki efektivitas yang tinggi terhadap
skabies. Crotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai
efek sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak
kecil (Dollery, 1999).
b. Non medika mentosa
1. Meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan
2. Menghindari orang- orang yang terkena
3. Mencuci atau menjemur alat- alat tidur
4. Tidak memakai pakaian atau handuk bersama- sama.
5. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara
6.
7.

penularannya
Menjelaskan bahwa skabies adalah penyakit menular
Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan perseorangan dan

8.

lingkungan tempat tinggal
Mencuci piring, selimut, handuk, dan pakaian dengan bilasan

9.

terakhir dengan menggunakan air panas
Bila gatal sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras karena

dapat menyebabkan luka dan resiko infeksi
10. Menjelaskan pentingnya mengobati anggota keluarga yang
menderita keluhan yang sama

11. Memberi penjelasan bahwa pengobatan dengan penggunaan
krim yang dioleskan pada seluruh badan tidak boleh terkena air,
jika terkena air harus diulang kembali. Krim dioleskan ke
seluruh tubuh saat malam hari menjelang tidur dan didiamkan
selama 8 jam hingga keesokan harinya. Obat digunakan 1 x
seminggu dan dapat diulang seminggu kemudian (Siregar,
2004).
13. Komplikasi scabies
1.

Infeksi Sekunder oleh lesi Skabies dengan Streptococcus Nefrogenik
dikaitkan dengan terjadinya glomerulonefritis sesudah terjadinya

2.

infeksi Streptococcus pada kulit.
Bila scabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat
timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk Impetigo,
Ektima, Selulitis, dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anakanak yang diserang Skabies dapat menimbulkan komplikasi pada

3.

ginjal yaitu glomerulonefritis.
Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat anti
scabies yang berlebihan, baik pada terapi awal atau dari pemakaian
yang terlalu sering. Salep sulfur dengan konsentrasi 15% dapat
menyebabkan dermatitis bila digunakan terus menerus selama

4.

beberapa hari pada kulit yang tipis.
Impetiginisasi sekunder adalah komplikasi yang lazim ditemui dan
umumnya berespon baik terhadap pemberian antibiotic oral maupun
topical, tergantung pada tingkat pioderma (Wardhana, 2006).

14. Prognosis scabies
Prognosis umumnya baik.

BAB III
KESIMPULAN
1.
2.

Scabies merupakan penyakit kulit akibat infestasi Sarcoptes scabiei.
Gejala klinis scabies antara lain pruritus nocturnal (gatal malam hari),
menyerang manusia secara kelompok, terdapat terowongan atau kunikulus
pada tempat predileksi yang berwarna putih ke abu-abuan, serta
ditemukannya tugau scabies.

3.

Penegakan diagnosis scabies menggunakan teknik winkle picker, uji KOHkerokan kulit, uji tinta – terowongan, biposi kulit.

4.

Penatalaksanaan scabies mencakup medika mentosa yaitu menggunakan obat
benzyl benzoate, lindane, permethrin, chrotamiton sedangakan untuk non
medika mentosa dapat dengan selalu menjaga kebersihan.

5.

Prognosis scabies pada umumnya baik.

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Corwin, E.J. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Dollery, C. 1999. Therapeutic Drug. Toronto: Harcourt Brace Company.

Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Freddberg, IM., Elsen, AZ., Wolff, K., et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology
General Medicine 7th edition. USA: McGraw-Hill.
Gandahusada, S., Ilahude, H.D. & Pribadi, W. 2006. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: FKUI.
Graham, Brown. 2005. Lecture Notes on Dermatologi. Jakarta: Erlangga Medical
Series.
Handoko, Ronny P. 2009. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Edisi Ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Hicks MI, and Elston DM. 2009. Scabies. Dermatologic Therapy. Willey 22: 269270. Diakses tanggal 29 November 2011.
Johnston, G., Sladden, M. 2005. Scabies: Diagnosis and Treatment. British Med J
17: 619-622. Diakses tanggal 29 November 2011.
Karthikeyan K. 2005. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate
Med J 81:7-11. Diakses tanggal 29 November 2011.
Kroshinsky, Daniela. 2009. A 46-Year-Old Woman with Chronic Renal Failure,
Leg Swelling, and Skin Changes. N Engl J Med 361: 2166-2176. Diakses
tanggal 29 November 2011.
Liu, Vinchent. 2007. A 44-Year-Old Woman with Generalized, Painful, Ulcerated
Skin Lesions. N Engl J Med 357: 2496-2505. Diakses tanggal 29 November
2011.
Maxine, Papadakis A. 2007. Current Medical Diagnosis and Treatment. United
State: Mc Graw-Hill.
Mukono, H. J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.
Rahariyani, L., Dwi. 2007. Buku Ajar Asuhan keperawatan Klien gangguan
Sistem Integumen. Jakarta: EGC.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 1.
Yogyakarta: Kanisius.
Walton, SF., Currie, B. J. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, A Global
Disease in Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev 20: 268-279.
Diakses tanggal 29 November 2011.

Wardhana, April H. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan
Masa Datang. Wartazoa 16: 40-52. Diakses tanggal 29 November 2011.

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close