(Pembahasan) Snake Bite

Published on January 2017 | Categories: Documents | Downloads: 62 | Comments: 0 | Views: 605
of 17
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content

PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau
bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat
menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa
tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah
tropis dan subtropis.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular
dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang
taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk
menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular terdiri atas 20 atau lebih komponen terutama protein
(90%), yang memiliki aktivitas enzimatik.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase-A yang bertanggung
jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vascular.
Enzim hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.
Polipeptida lain yaitu, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase,
RNA-ase, DNA-ase. Enzim- enzim tersebut menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat
toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau zat – zat peradangan lain seperti kinin,
histamin dan substansi cepat lambat sehingga timbul reaksi anafilaksis. (de Jong, 2010).

1

B. JENIS ULAR
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Efek toksik bisa ular pada
saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan
efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta
banyaknya serangan yang terjadi. Sebenarnya dari kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui
hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi
manusia. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular berbisa dapat diklasifikasikan ke dalam 4
familli utama yaitu:
1. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen, contohnya adalah ular cabai
(Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah).
2. Familli Viperidae memiliki taring yang panjang yang secara normal menempe pada rahang
atas, tapi jika ular menggigit, taring tersebut akan berdiri tegak. Jenis ini dibagi menjadi dua
yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah
panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Contohnya adalah ular
bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut
(Trimeresurus albolabris).
3.
4.

Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
Familli Colubridae umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah dan ular berbisa
kebanyakan termasuk dalam family ini. Contohnya adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular
tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis
geminatus)

2

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu –
rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular berbisa:
1. Kepala segi tiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
4. Pupil elips

Gambar 1. Bekas Gigitan Ular

3

Gambar 2. Ciri ular tidak berbisa dan ular berbisa

C. PATOFISIOLOGI
Bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini
disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm
pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang
terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon
lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah
ubah jumlah racun yang dikeluarkan.
Bisa ular merupakan campuran racun paling kompleks yang berisi ikatan
enzimatik protein toksik dan non-toksik, termasuk pula karbohidrat dan metal. Ada lebih
dari 20 enzim berbeda antara lain fosfolipase A2, B, C, D, hidrolase, fosfatase, protease,
esterase, asetilkolinesterase, transaminase, hialuronidasem fosfodiesteras, ATPase,
nukleotidase (DNA dan RNA). Komponen non-enzimatik dikategorikan sebagai

4

neurotoksin andhemoragen. Spesies yang berbeda memiliki proporsi yang berbeda tetapi
sesuai campuran tersebut di atas.
Macam bisa ular antara lain neurotokoksin, yang menyerang saraf dan bersifat
pertentangan dengan tranmisi ransangan saraf. Hemotoksin, yang diserang darah dan
sitem peredarannya. Kardiotoksin, yang diserang dalah otot jantung. Miksotoksin, yang
diserang cairan di dalam tubuh.
Patofisiologi dasar morbiditas dan mortalitasnya yaitu kerusakan fungsi seluler normal oleh
enzim dan toksin tersebut..Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase,
bagian dari racun dimana merusak jaringan subkutan dengan menghancurkan
mukopolisakarida; (2) fosfolipase-A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik
presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vascular serta memainkan peran penting
pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan
menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot
fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan
konsekuensi hemoragik. Enzim yang lain memiliki aksi yang berbeda. Variasi komposisi
racun menjelaskan perbedaan klinis gejala ofitoksoemia. Ofitoksoemia meningkatkan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan penurunan volume darah dan plasma ke spatium
ekstraseluler. Akumulasi cairan di spasium interstitial bertanggungjawab terhadap edema.
Penurunan volume intravaskuler bisa menjadi cukup fatal terhadap sirkulasi dan
menyebabkan syok. Bisa ular juga memiliki aksi sitolitik dan menyebabkan nekrosis lokal dan infeksi
sekunder. Bisa ular juga memiliki aksi neurotoksik langsung yang menyebabkan paralisis pernafasan,
serangan jantung, dan miotoksik dan efek nefrotoksik.

5

Skema 1. Patofisiologi snake bite

C. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dikelompokkan berdasarkan efek yang terjadi .Pengelompokkan ini
berguna bagi tenaga kesehatan untuk penanganan selanjutnya dalam pemberian anti venom
sesuai dengan pengelompokkan tersebut. Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi
3 (tiga) kelompok :
1. Efek Lokal
Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek yang agak sulit di
deteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa spesies, gigitanya dapat menghasilkan efek
yang cukup besar seperti : bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan
nekrosis.yang mesti diwaspadai adalah terjadinya syok hipovolemik sekunder yang
diakibatkan oleh berpindah cairan vaskuler ke jaringan akibat pengaruh bisa ular tersebut.
2. Efek Umum / Sistemik
Gigitan ular ini akan menghasilkan efek sistemik yang non-spesifik seperti : nyeri kepala,
mual dan muntah, nyeri perut, diare sampai pasien menjadi tidak sadarkan diri. Gejala yang
ditemui seperti ini sebagai tanda bahaya bagi tenaga kesehatan untuk memberi pertolongan
sesegera mungkin.
3. Efek Sistemik Spesifik (Specific systemic effect)
Dalam hal ini specific systemic effect dapat dibagi berdasarkan :
a) Koagulopati
Beberapa spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopati (penggumpalan
unsur darah). Tanda-tanda klinis yang dapat ditemui adalah keluarnya darah terus

6

menerus dari tempat gigitan, venipuncture, dari gusi, dan bila berkembang akan
menimbulkan hematuria, haematemesis, melena dan batuk darah.
b) Neurotoksik
Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid paralysis (kelumpuhan
flaksid). Ini biasanya berbahaya bila terjadi paralysis pada pernafasan. Biasanya tandatanda yang pertama kali di jumpai adalah pada saraf cranial seperti ptosis,
opthalmophlegia progresif. Bila tidak mendapat anti venom / Serum Anti Bisa Ular
(SABU) akan terjadi kelemahan anggota tubuh dan paralisis pernafasan. Biasaya full
paralysis akan memakan waktu lebih kurang 12 jam, pada beberapa kasus biasanya
menjadi lebih cepat (3 jam setelah gigitan).
c) Myotoxicity
Myotoxiticty hanya akan ditemui bila seseorang diserang atau digigit oleh ular
laut. Ular yang berada didaratan biasanya tidak ada yang menyebabkan terjadinya
myotoxicity berat. Tanda dan gejala adalah : nyeri otot, tenderness, myoglobinuria,dan
berpotensi untuk terjadinya gagal ginjal, hiperkalemia dan cardiotoxicity.
d. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa,
yaitu terjadi edem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor
(muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness
(denyutan menghilang).
Gejala yang muncul berdasarkan jenis ular :
1.Gigitan Elapidae
a. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
b. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
c. Setelah digigit ular
- 15 menit: muncul gejala sistemik.
- 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah

7

menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur, mati rasa di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae/Crotalidae
a. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
b. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
c. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hydropiidae
a. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
b. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin
warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
4. Gigitan Crotalidae/ Viperidae.
a. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di daerah
gigitan,

semua

ini

indikasi

perlunya

pemberian

polivalen

crotalidae

antivenin.

b. Anemia, hipotensi, trombositopeni.
c. Rasa nyeri pada gigitan ular mungkin ditimbulkan dari amin biogenik, seperti histamin dan
5-hidroksitriptamin, yang ditemukan pada Viperidae.
d. Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu
terjadi edem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka
pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan).
Tabel 1. Klasifikasi gigitan ular
Derajat

Venerasi

Luka

Nyeri

Edema/

Sistemik

0

0

+

+/-

eritema
<3 cm/ 12 jam

0
8

I

+/-

+

-

3-12 cm/ 12

0

jam
II

+

III

+

+

+

+++

+++

12-25 cm/ 12

+ neurotoksik, mual, pusing,

jam

syok

>25 cm/ 12

++ ptekhi, syok, ekhimosis

jam
IV

+++

+

+++

>ekstremitas

++ gagal ginjal akut, koma,
perdarahan

Tanda dan gejala lokal
1. Tanda gigi taring (Fang sign)
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal
4. Bruising
5. Limfangitis
6. Bengkak, merah, panas
7. Melepuh
8. Nekrosis
Gejala dan tanda sistemik umum
Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, lemah
Gejala lain :
1. Kardiovascular (Viperidae)
Kelainan penglihatan, pusing, kolaps, syok hipotensi, aritmia kordis, udem pulmo, udem
konjungtiva.
2. Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan dari luka gigitan, perdarahan sitemik spontan – dari gusi, epistaksis,
hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit
seperti petechiae, purpura, ekimosis dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan
intracranial
9

3. Neurologik (Elapidae)
Kelemahan, parestesia, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, kelopak mata berat,
ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lain yang diinervasi nervus
kranialis, afoni, susah menelan, paralisis flaksid umum dan sistem respirasi.
4.Otot rangka (Hidrophidae)
Nyeri menyeluruh, kaku dan nyeri otot, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, serangan
jantung, gagal ginjal akut
5. Ginjal (Viperidae, ular laut)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda
dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, mual, nyeri perut pleuritis)
6. Endokrin (insufisiensi pituari dan adrenal akut)
Fase akut: syok, hypoglikemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): lemah, kehilangan rambut pubis
sekunder, amenorea, atrofi testikuler, hipotiroidisme. (Warrel, 2005)

10

Gambar 3. Gejala umum snake bite
E. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan meliputi
1. Anamnesis lengkap
berupa riwayat gigitan ular, antara lain : letak gigitan ular, kapan digigit ular, jenis ular
yang menggigit
2. Pemeriksaan fisik
Perkembangannya dilihat setiap 12 jam

11

a. Status lokalis : adanya nyeri tekan edema, penyebaran ke limfonodi regional,
gambaran trombosis intravaskuler (edema, dingin, imobil, pulsasi arterial tidak
terpalpasi), gambaran nekrosis (kulit gelap dengan batas jelas, penurunan sensasi,
dan bau daging yang membusuk)
b. Pengukuran tekanan darah respirasi. Pemeriksaan kulit dan membran mukosa untuk
melihat petekhia, purpura, ekimosis. Pemeriksaan sulcus gingivalis menunjukkan
perdarahan spontan. Nyeri perut mungkin iskemia renalis akut. Perdarahan
intrakranial ditandai dengan lateralisasi gejala neurologis, konvulsi, penurunan
kesadaran)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji
faal hepar, golongan darah, uji cocok silang.
b. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria
c. EKG
d. Foto dada

F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk snake-bite antara lain :
1. Anafilaksis
2. Trombosis vena bagian dalam
3. Trauma vaskular ekstrimitas
4. Scorpion Sting
5. Syok septik
6. Luka infeksi

G. PENATALAKSANAAN
Tujuannya adalah:
1. Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

12

2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk kedalam sirkulasi darah
3. Mengatasi efek lokal dan sistemik
Tindakan penatalaksanaan:
1. Pertolongan pertama
Tujuan pertolongan pertama :
a. penghambatan penyerapan sistemik bisa ular
b. pencegahan komplikasi sebelum pasien dapat menerima perawatan medis (di
apotik atau rumah sakit)
c. kontrol awal gejala berbahaya dan keracunan
d. persiapan transportasi untuk mendapatkan pertolongan medis
Pertolongan pertama yang direkomendasikan
a.
b.
c.
d.
e.

Menenangkan pasien yang mungkin cemas.
Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan.
Imobilisasi daerah gigitan dengan balut bidai.
Pertimbangkan tekanan imobilisasi untuk beberapa gigitan Elapid.
Hindari intervensi pada luka karena dapat menyebabkan infeksi, perdarahan lokal,

dan absorpsi bisa ular.
f. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, dilakukan
balut mengelilingi daerah gigitan, dimulai dari bagian distal hingga bagian
proksimal untuk mendapatkan balutan yang kuat. Kegiatan mengikat ini kurang
berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah
untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri.
2. Assesmen klinis dan resusitasi
a. Penatalaksanaan jalan nafas dan fungsi pernafasan
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan
memasang respirator untuk ventilasi
b. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
c. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,
imobilisasi dengan bidai.

13

Gambar 4. Imobilisasi dengan bidai
g. Ambil 5-10 mL darah untuk pemeriksaan lab darah seperti: waktu trotombin, APTT, Ddimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K),
CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya
koagulopati.
h. Apus tempat gigitan dengan venom detection
3. Terapi SABU
SABU (Serum Anti Bisa Ular), berasal dari serum kuda yang dikebalkan. Teknik
pemberian SABU: 2 vial (1 vial= 5 mL) IV dalam 500 mL NaCl 0,9% atau dextrose 5%
dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 mL (20 vial). Infiltrasi lokal pada
luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema
hebat pada bagian luka.

Tabel 2. Pemberian SABU
Klasifikasi

Tindakan

14

Derajat 0 dan I

tidak diperlukan SABU. Lakukan evaluasi
dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka
berikan SABU

Derajat II

3-4 vial SABU

Derajat III

5-15 vial SABU

Derajat IV

berikan penambahan 6-8 vial SABU.

Pedoman terapi SABU menurut Luck
a. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
c. Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst
d. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita
dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu
setelah gigitan

4. Terapi suportif
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
a. Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
b. Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K,
tranfusi trombosit
c. Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
d. Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
e. Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
f. Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
g. Gangguan neurologik: beri neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas
atropine
15

5. Terapi profilaksis
1) Pemberian suntikan anti-tetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid,
maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
2) Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular atau
antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa,
Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
3) Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik.

H. PREVENTIF
1. Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai
sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi
pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
2. Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
3. Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak – semak
4. Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
5. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat
kejadian semacam itu.

I.

PROGNOSIS
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat,
sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau
bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi
normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahiwar. 2012. Poisonous Snake Bite. New Delhi
2. De Jong, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC: Jakarta
16

3. Niasari, Nia dkk. 2003. Gigitan Ular Berbisa dalam Sari Pediatri, Vol. 5, No. 3, Desember 2003.
Jakarta : IKA-FKUI
4. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

5. Warrel, E David, et al. 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake bites in
the South-East Asia Region. New Delhi :WHO
6. http://www.tbmcalcaneus.org/90/ diakses pada 28 Januari 2013
7. http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/5-3-1.pdf diakses pada 28 Januari 2013
8. http://dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/tindakan-dan-terapi-yang-dilakukanpada.html diakses pada 28 Januari 2013
9. http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/snake-bite-pedoman-penatalaksanaan.html diakses
pada 28 Januari 2013
10. http://pentinggaksihh.blogspot.com/2012/05/penatalaksanaan-gigitan-ular-berbisa.html diakses
pada 28 Januari 2013

17

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close