Snake Bite

Published on February 2017 | Categories: Documents | Downloads: 56 | Comments: 0 | Views: 640
of 12
Download PDF   Embed   Report

Comments

Content


SNAKE BITE (GIGITAN ULAR)

1. Komposisi, Sifat dan Mekanisme “Kerja” Bisa ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak
dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian
besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik
dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim
seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi
protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease
ancordmerupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari
fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti
histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar
pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan
ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada
aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim
venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase,
protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006)
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-
ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim
ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan
hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase
merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998)
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul
kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin,
antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular
juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti kinin,
histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).

2. Jenis – jenis ular berbisa
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira –
kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan
ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa
hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan
ke dalam 4 familli utama yaitu:
 Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular
cabai
 Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan
puspo
 Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
 Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai
rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri – ciri ular berbisa:
 Bentuk kepala segi empat panjang
 Gigi taring kecil
 Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
Ciri – ciri ular tidak berbisa:
 Kepala segi tiga
 Dua gigi taring besar di rahang atas
 Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai
di Indonesia adalah jenis ular :
 Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon
rhodostoma(ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan
perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade
pembekuan)
 Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular
kobra, ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada
reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-
bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah
pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik
sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

3. Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun
ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm
pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang
terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang
hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah
jumlah racun yang dikeluarkan.
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak.
Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa.
Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim
diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan
dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting
pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan
menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot
fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan
konsekuensi hemoragik (Warrell,2005).

4. Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jarinagan yang luas dan
hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar
luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi
perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun
langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa,
ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya
bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa
kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks
abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot
pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat
menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang
terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):
 Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit – 24
jam)
 Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
 Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie,
ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain,
pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
Derajat Venerasi Luka
gigit
Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12> 0
I +/- + + 3-12 cm/12 jam 0
II + + +++ >12-25 cm/12 jam +
Neurotoksik,
Mual, pusing, syok
III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++
Syok, petekia,
ekimosis
IV +++ + +++ >ekstrimitas ++
Gangguan faal ginjal,
Koma, perdarahan
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
 Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,
riwayat penyakit sebelumnya.
 Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
Gigitan Elapidae
 Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit
ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan.
Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang
berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
 Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
 Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam
bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga
menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut.
Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar
bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri.
Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat
dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat
terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae:
 Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat
gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat
gigitan
 Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah,
berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang
dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja.
Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari
berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal,
edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan
berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau
ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hidropiidae:
 Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah
 Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil,
dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini
penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
 Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada
daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk
memberian poli valen crotalidae antivenin
 Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting
Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius
antivenin) (Sudoyo, 2006)

Tanda dan gejala lokal
1. Tanda gigi taring
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal
4. Bruising
5. lymphangitis
6. Bengkak, merah, panas
7. Melepuh
8. Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum
Umum
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration
Kardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac,
oedema pulmo, oedema conjungtiva
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
 Perdarahan dari luka gigitan
 Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena,
hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae,
purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan
intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russell’s viper)
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, “heavy” eyelids,
ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh
nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised
flaccid paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria,
hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda
dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper)
Fase akut: syok, hypoglycaemia
Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary
sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999)

5. Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal
hepar, golongan darah dan uji cocok silang
 Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
 EKG
 Foto dada
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
 Anafilasis
 Trombosis vena bagian dalam
 Trauma vaskular ekstrimitas
 Scorpion Sting
 Syok septik
 Luka infeksi

7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
 Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
 Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
 Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas
masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan
mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut
utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu
dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi
taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot.
Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan
tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri.
Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu.
Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es
atau didinginkan dengan es.
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau
intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat
dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat.
Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya
bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.
Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian
vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk
memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan
memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi
tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk
mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal.
Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian
dilanjutkan dengan cangkok kulit.
Bila ragu – ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam
karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat.
Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan
infeksi. (de Jong, 1998)

Tindakan Pelaksanaan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
 Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
 Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang
mengandung alkohol
 Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa,
ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.
Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan
aliran vena atau ateri.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:
 Penatalaksanaan jalan napas
 Penatalaksanaan fungsi pernapasan
 Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
 Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas
diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
 Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT,
D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N,
elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
 Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
 Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:
 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
 25-50 LD50 bisa Bungarus
 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
 Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5%
dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka
tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian
luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 Derajat III: 5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Luck
Derajat Beratnya
evenomasi
Taring atau
gigi
Ukuran zona
edema/ eritemato
kulit (cm)
Gejala
sistemik
Jumlah vial
venom
0 Tidak ada + <> - 0
I Minimal + 2-15 - 5
II Sedang + 15-30 + 10
III Berat + >30 ++ 15
IV Berat + <> +++ 15
Pedoman terapi SABU menurut Luck
 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
 Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat,
waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya,
dst.
 Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan
ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya.
Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan
gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2
minggu setelah gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan :
 Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan
antivenin)
 Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
 Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
 Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
 Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau
anggota badan
 Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
 Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase),
diawali dengan sulfas atropin
 Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
 Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein,
hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan
 Terapi profilaksis
 Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang
dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp,
B.fragilis
 Beri toksoid tetanus
 Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular
 Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk
memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus
gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki
 Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
 Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak –
semak
 Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
 Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit
akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

DAFTAR PUSTAKA
Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care,
University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.
Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East
Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine,
Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005;
331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close