ST-Elevation Myocard Infarc

Published on July 2016 | Categories: Documents | Downloads: 51 | Comments: 0 | Views: 540
of 36
Download PDF   Embed   Report

LAPORAN KASUS ST ELEVASI MIOKARD INFARKPembimbing : dr. Parlindungan Manik, SpJP (K)Disajikan oleh: Gerald Abraham Harianja Todung A. Wesliaprilius Erwin Sahat H. Siregar Sheba Julia Tarigan 070100087 070100119 070100093 070100190DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesa

Comments

Content

LAPORAN KASUS ST ELEVASI MIOKARD INFARK

Pembimbing : dr. Parlindungan Manik, SpJP (K)

Disajikan oleh: Gerald Abraham Harianja Todung A. Wesliaprilius Erwin Sahat H. Siregar Sheba Julia Tarigan 070100087 070100119 070100093 070100190

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,rahmat kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, dokter pembimbing, dr. Parlindungan Manik, Sp.JP (K) dan teman-teman yang telah mendukung dalam penulisan laporan kasus ini. Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian pembelajaran dalam kepaniteraan klinik senior.Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu untuk melengkapi persyaratan Departemen Kardiologi dan Vaskular Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan laporan kasus ini.Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat member manfaat kepada semua orang.

Medan, April 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

4

BAB 3 LAPORAN KASUS

28

DAFTAR PUSTAKA

37

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular saat ini menempatiurutan pertama sebagai penyabab kematian di Indonesia. Departemen kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh sebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998. Salah satu penyakit kardiovaskular yang paling penting adalah infark miokard akut (IMA).Untuk menurunkan angka kematian akibat penyalit ini, kesadaran masyarakat segera mengenali gejala-gejala IMA dan kesigapan untul segera membawa penderita ke fasilitas kesehatan terdekat perlu ditingkatkan.Selain itu petugas kesehatan juga dituntut untuk terlatih menangani penderita dengan penyakit tersebut sesuai dengan strategi penatalaksanaan yang baik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) 2.1.1. Definisi Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner.Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal.Kadang-kadang sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli, atau vaskulitis1.IMA dengan elevasi segmen-ST merupakan bagian dari spektrum Sindrom Koroner Akut (SKA). SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi segmen-ST, dan IMA dengan elevasi segmen-ST2.

2.1.2. Epidemiologi Di Inggris, penyakit kardiovaskuler membunuh satu dari dua penduduk dalam populasi, dan menyebabkan hampir sebesar 250.000 kematian pada tahun 1998. Satu dari empat laki-laki dan satu dari lima perempuan meninggal pertahunnya karena penyakit jantung koroner. Tidak terdapat banyak perbedaan antara perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam insidensi penyakit ini dihitung berdasarkan harapan hidup yang lebih panjang5. Meskipun penyakit jantung koroner tetap merupakan penyebab utama kematian dini di Inggris, tingkat kematian turun secara progresif selama 20 tahun terakhir. Penurunan ini terutama pada kelompok usia yang lebih muda, dimana, sebagai contoh, terdapat penurunan sebesar 33% pada laki-laki berusia 35-74 tahun dan penurunan sebesar 20% pada perempuan dengan kisaran usia serupa dalam 10 tahun terakhir. Banyak negara lain termasuk Australia, Swedia, Perancis, dan AS melebihi tingkat penurunan mortalitas Inggris5. Tingkat kematian akibat penyakit jantung koroner di Inggris tetap merupakan yang tertinggi di dunia Barat, hanya dilampaui oleh Irlandia di Eropa. Di Inggris, terdapat perbedaan regional, sosio-ekonomi, dan etnik yang bermakna dalam prevalensi penyakit jantung koroner, prevalensi tertinggi di utara Inggris dan Skotlandia, pada pekerja manual, dan pada orang Asia5.

The Health Survey for England (Departemen Kesehatan Inggris, 1996) mengatakan bahwa 3% penduduk dewasa menderita angina dan 0,5% penduduk dewasa telah mengalami infark miokard dalam 12 bulan terakhir, masing-masing sama dengan 1,4 juta dan 246.000 orang. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab sekitar 3% perwatan runah sakit, yaitu sebesar 284.292 perawatan dengan masa rawat selama 6,6 hari5.

2.1.3. Etiologi Etiologinya antara lain5:  Lipid dan diet Terdapat hubungan langsung antara resiko PJK dengan kadar kolesterol darah. Di Inggris, kadar kolesterol pada laki-laki rerata sebesar 5,8 mmol/L dan padad perempuan rerata sebesar 6,0 mmol/L. Sekitar sepertiga populasi Inggris memiliki kadar kolesterol yang melebihi 6,5 mmol/L yang dinilai tinggi. Kolesterol ditranspor dalam darah dalam bentuk lipoprotein, 75% merupakan lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein/LDL) dan 20% merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein/HDL). Kadar kolesterol LDL yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan yang terbalik antara kadar HDL dan insidensi PJK. Peran trigliserida sebagai faktor resiko PJK masih kontroversial.Kadar trigliserida ysng meningkat banyak dikaitkan dengan pankreatitis dan harus diterapi.Hiperlipidemia gabungan (misalnya pada diabetes) membutuhkan intervensi, namun kekuatan trigliserida sebagai satu faktor resiko jika kolesterol kembali normal adalah rendah.  Merokok Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan progresif proporsi pada populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 29% laki-laki dan 28% perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja perempuan.Orang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 2030% dibandingkan dengan orang yang tinggal bukan dengan perokok. Resiko terjadinya PJK aibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20

batang rokok atau lebih dalam sehari, memiliki resiko sebesar 2-3 kali lenih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK. Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya:       Obesitas Terdapat saling keterkaitan antara berat badan, peningkatan tekanan darah, peningkatan kolesterol darah, diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM), dan tingkat aktivitas fisik rendah.Proporsi populasi yang diklasifikasikan sebagai obes di Inggris (BMI > 30 kg/m2) telah meningkat secara progresif dalam 20 tahun terakhir. Sekitar 17% laki-laki dan 20% perempuan tergolong obes dan sebanyak 45% laki-laki serta 33% perempuan dikatakan overweight (BMI antara 25-30 kg/m2).  Diabetes mellitus Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok kontrol dengan usia yang sesuai. Secara umum, PJK terjadi pada usia lebih muda pada penderita diabetes dibandingkan dengan penderita nondiabetes. Resiko terjadinya PJK pada pasien dengan NIDDM adalah dua hingga empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan derajat keperahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15-25 tahun sebelumnya. Diabetes merupakan faktor resiko independen untuk PJK, juga berkaitan dengan abnormalitas metabolism lipid, obesitas, hipertensi sistemik, dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).Hasil CABG jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetes memiliki peningkatan mortalitas dini serta resiko stenosis berulang pascaangioplasti koroner. Timbulnya aterosklerosis Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi Provokasi aritmia jantung Peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen



Hipertensi sistemik Resiko PJK secara langsung berkaitan dengan tekanan darah .untuk setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg, resiko PJK berkurang sekitar 16%. Nilai tekanan darah pada populasi Inggris umumnya tinggi, sekitar 10% lakilaki dan 8% perempuan menderita hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sisolik lebih dari 160 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 95 mmHg.



Jenis kelamin dan hormon seks Morbiditas PJK pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan dan kondisi ini terjadi hamper 10 tahun lebih dini pada laki-laki daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif padaperempuan, namun setelah menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan sebanding dengan insidensi pada laki-laki.Perokok mengalami menopause lebih dini dibandingkan dengan bukan perokok. Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan resiko PJK sebesar 3 kali lipat tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa resiko dengan preparat generasi ketiga terbaru lebih rendah.Tedapat hubungan sinergis antara penggunaan kontrasepsi oral dan merokok, dengan resiko relatif infark miokard lebih dari 20:1.



Riwayat keluarga Riwayat keluarga PJK pada keluraga yang langsung berhubungan darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakkan faktor resiko independen untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd 2-4 kali lebin besar daripada populasi kontrol. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada kelurga dekat.



Ras Insidensi kematian dini akibat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal, dan juga angka yang rendah pada ras Afro-Karibian.



Geografi Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara, Skotlandia, dan bagian utara Inggris, dan dapat merefleksikan perbedaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi, dan kehidupan urban.



Kelas sosial Perbedaan sosio-ekonomi pada mortalitas PJK melebar, seperti tingkat kematian dini akibat PJK 3 kali lebih tinggi pada pekerja kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja kelas profesi (dokter, pengacara). Selain itu, frekuensi istri pekerja kasar paling tidak 2 kali lebih ttinggi mengalami kematian dini akibat PJK daripada istri pekerja nonmanual.



Kepribadian* Stress, baik fisik maupun mental, merupakan faktor resiko untuk PJK.Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stress, dan terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stress dan abnormalitas metabolisme lipid. Perilaku yang rentan terhadap terjadinya penyakit koroner antara lain sifat agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk dipandang, keinginan untuk mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dll.



Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur menurunkan resiko PJK, meksipun hanya 11% lakilaki dan 4% perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolahraga. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan duapertiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama langkah yang normal pada kemiringan gradual.Olahraga yang teratur berkaitan dengan penurunan insidensi PJK sebesar 20-40%.



Pembekuan darah Beberapa faktor pembekuan darah dapat mempengaruhi insidensi PJK, termasuk kadar fibrinogen, aktivitas fibrinolitik endogen, viskositas darah, dan kadar faktor VII dan VIII. Penghambat aktivator plasminogen-1 (PAI-1) tampak meningkat pada beberapa asien dengan PJK.Peningkatan insidensi PJK pada pasien dengan homosistinuria, yang merupakan kelainan resesif autosomal, terjadi karena gangguan pembekuan.



Infeksi Infeksi oleh Chlamidia pneumoniae, tampaknya berhubungan dengan adanya penyakit koroner aterosklerotik.

2.1.4. Patofisiologi Infark miokard akut (IMA), baik STEMI maupun NSTEMI, terjadi ketika iskemia miokard cukup berat hingga menyebabkan nekrosis miokard2. Infark dapat dideskripsikan secara patologis melalui luasnya nekrosis yang terjadi pada otot miokardium. Infark transmural terjadi bila seluruh ketebalan dari miokard mengalami nekrosis. Adanya oklusi total dan berkepanjangan pada arteri koroner epikardium akan menyebabkan infark transmural tersebut. Di sisi yang lain, infark subendokardium secara eksklusif melibatkan lapisan terdalam dari miokard. Subendokardium merupakan daerah miokard yang rentan terhadap iskemia karena zona ini terpapar dengan tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel jantung, mempunyai sedikit koneksi kolateral yang menyuplai daerah tersebut, dan diperdarahi oleh pembuluh darah yang harus menembus lapisan-lapisan miokard yang berkontraksi3. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid2. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi, dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi trombolitik2. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein Iib/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi2.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin2. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik2. Infark merepresentasikan kulminasi dari kaskade kejadian yang berbahaya, yang diinisiasikan oleh iskemia, yang berkembang dari fase yang potensial reversibel ke fase kematian sel yang ireversibel. Miokard yang disuplai secara langsung oleh pembuluh darah yang tersumbat akan segera mati. Jaringan di sekitar daerah yang nekrosis mungkin tidak akan segera nekrosis karena jaringan tersebut mungkin cukup diperfusikan oleh pembuluh darah sekitar yang masih baik. Akan tetapi, sel-sel sekitar lainnya dapat menjadi iskemik seiring waktu, akibat kebutuhan akan oksigen tetap berlangsung meski suplai oksigen menurun, dan regio infark dapat meluas ke arah luar3. Luas jaringan yang mengalami infark sangat berhubungan dengan (1) luasnya miokard yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang tersumbat, (2) intensitas dan durasi gangguan aliran darah koroner, (3) kebutuhan oksigen dari regio miokard yang bersangkutan, (4) jumlah pembuluh darah kolateral yang memberikan aliran darah dari arteri koroner sekitar yang tidak tersumbat, dan (5) dan tingkat respon jaringan yang memodifikasi proses iskemik3. Perubahan patofisiologi yang terjadi selama infark muncul dalam 2 tingkatan: perubahan awal pada saat infark akut dan perubahan lambat selama penyembuhan danremodeling miokard3. Perubahan awal mencakup evolusi histologik infark dan dampak fungsional penurunan oksigen terhadap kontraktilitas miokard. Perubahan tersebut berkulminasi pada nekrosis koagulatif miokard dalam 2 – 4 hari3. Akibat penurunan kadar oksigen pada miokard (hipoksia miokard) yang diperdarahi oleh pembuluh darah koroner yang tersumbat secara tiba-tiba, timbul perubahan yang cepat dari metabolisme aerob ke metabolisme anaerob. Peningkatan metabolisme anaerob akan menyebabkan akumulasi asam laktat. Kadar H+ intraseluler akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan penggumpalan kromatin dan denaturasi sel otot jantung, dan akhirnya berujung pada kematian sel otot jantung3.

Keadaan hipoksia miokard juga akan menurunkan ATP. Penurunan ATP akan mengganggu Na+-K+-ATPase sehingga terjadi peningkatan konsentrasi Na+ intraseluler dan K+ ekstraseluler. Peningkatan Na+ intraseluler akan menyebabkan edema seluler. Kebocoran membran dan peningkatan konsentrasi K+ ekstraseluler akan menyebabkan perubahan pada potensial listrik transmembran, dan hal ini menjadi predisposisi aritmia letal miokard. Ca++ intraseluler berakumulasi pada miosit yang rusak dan diduga berkontribusi pada jalur akhir destruksi sel melalui aktivasi lipase dan protease yang mampu mendegradasi3. Secara kolektif, perubahan metabolik ini menurunkan fungsi miokard 2 menit setelah trombus terbentuk. Tanpa intervensi, cedera sel yang ireversibel terjadi dalam 20 menit dan ditandai dengan peningkatan defek membran. Enzim proteolitik yang bocor melalui membran miosit yang berubah akan merusak miokard sekitarnya, dan lepasnya makromolekul tertentu ke dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai penanda klinis dari infark akut3. Edema miokard berkembang dalam 4 – 12 jam akibat peningkatan permeabilitas vaskuler dan peningkatan tekanan onkotik interstisial (akibat kebocoran protein intraseluler). Perubahan histologik paling awal dari cedera ireversibel adalah wavy myofibres, yang muncul sebagai edema interseluler yang memisahkan sel miokard. Contraction bands dapat dilihat dekat batas dari infark3. Suatu respon inflamasi akut, dengan infiltrasi neutrofil, terjadi sekitar 4 jam dan mempercepat kerusakan jaringan lebih lanjut. Dalam 18 – 24 jam, nekrosis koagulasi jelas terjadi dengan inti piknotik dan sitoplasma eosinofilik yang lunak3. Perubahan morfologis yang besar belum akan muncul hingga 18 – 24 jam setelah oklusi koroner. Umumnya, iskemia dan infark dimulai dari subendokardium dan kemudian meluas ke arah lateral dan luar menuju epikardium3. Perubahan patologis lambat pada IMA terdiri dari (1) pembersihan miokard yang nekrotik dan (2) deposisi kolagen untuk membentuk jaringan parut3. Perubahan fungsional yang terjadi pada miokard akibat IMA antara lain (1) gangguan kontraktilitas dan komplians jantung, (2) stunned myocardium, (3)ischemic preconditioning, dan (4) remodeling ventrikel3.

2.1.5. Diagnosis Diagnosis STEMI, sesuai dengan kriteria WHO, ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST > 2 mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1 mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat memperkuat diagnosis.

Akan tetapi, keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana infark miokard akut, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle2.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis STEMI: 1. EKG Perubahan EKG pada STEMI meliputi hiperakut T, elevasi segmen-ST yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis, kembalinya segmen-ST pada garis isoelektris, dan inversi gelombang T. Terbentuknya bundle branch block baru atau yang dianggap baru, yang menyertai nyeri dada yang khas merupakan juga kriteria diagnostik IMA. Pada penderita dengan EKG normal namun diduga kuat menderita IMA, pemeriksaan EKG 12 sadapan harus diulang dengan jarak waktu yang dekat dimana diperkirakan telah terjadi perubahan EKG. Pada keadaan seperti ini perbandingan dengan EKG sebelumnya dapat membantu diagnosis. Pada penderita dengan infark inferior, harus dicurigai kemungkinan infark posterior dan infark ventrikel kanan. Karena itu, pemeriksaan EKG pada sadapan V3R-V4R dan V7-V9 harus dikerjakan1. Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG4, yaitu: Lokasi Anterior Anteroseptal Anterior ekstensif Posterior Lateral Inferior Ventrikel kanan Lead V1 – V4 V1 – V3 V1 – V6 V1 – V2 I, aVL, V5 – V6 II, III, aVF V4R, V5R Perubahan EKG ST elevasi, Gelombang Q ST elevasi, Gelombang Q ST elevasi, Gelombang Q ST depresi, Gelombang R tinggi ST elevasi, Gelombang Q ST elevasi, Gelombang Q ST elevasi, Gelombang Q

2. Enzim Jantung Enzim-enzim jantung yang digunakan sebagai penanda IMA:       Creatine Kinase-Myocardial Base (CK-MB) Troponin I dan Troponin T Creatine Kinase (CK) Aspartate amino-transferase (AST) Lactate dehydrogenase (LDH) Mioglobin

Enzim jantung yang paling spesifik adalah troponin dan CK-MB. Kadar mioglobin serum meningkat segera setelah terjadi IMA, tetapi enzim ini tidak spesifik. Peningkatan Troponin T atau I pada sekali pengukuran sudah merupakan diagnosis IMA. Diagnosis IMA berdasarkan CK-MB harus didasarkan atas peningkatan yang diikuti penurunan. Kadar enzim yang terus menerus meningkat bukan merupakan diagnosis IMA1.

Grafik Evolusi Biomarker Jantung dalam Serum saat IMA

3. Modalitas Diagnostik Lain Teknik pencitraan seperti ekokardiografi atau teknik radionuclide merupakan sarana diagnostik yang berguna dalam menegakkan diagnosis pasien dengan keluhan nyeri dada yang akut. Modalitas ini berguna untuk (1) menyingkirkan atau menegakkan diagnosis infark atau iskemia, (2) mengidentifikasi sebab-sebab nyeri dada non-iskemik seperti

penyakit jantung katup, emboli paru, diseksi aorta, dll, (3) mengidentifikasi komplikasi mekanik IMA, (4) mendapatkan informasi yang berhubungan dengan prognosis1.

2.1.7. Diagnosis Banding Diagnosis banding nyeri dada pada STEMI adalah perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri dada lebih sering dijumpai pada diabetes mellitus dan usia lanjut2. Pada pemeriksaan fisik, adanya kombinasi nyeri dada dan keringat dingin dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar ¼ pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia) dan hampir ½ pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia)2.

2.1.8. PENATALAKSANAAN PENANGANAN PRA RUMAH SAKIT Tindakan yang harus segera dilakukan jika terdapat penderita dicurigai mengalami IMA yaitu
6,7

:

1. Masyarakat umum Segera mencari pertolongan medis ke rumah sakit terdekat.Jangan mengendarai kendaraan sendiri.Jika tidak alergi, segera kunyah dan telan 300 mg aspirin. 2. Dokter Umum Berikan 300 mg aspirin, nitrat sublingual, lakukan pemeriksaan EKG, memasang akses intravena, dan atasi nyeri dengan opiat (2,5-5 mg morfin). Minta keluarga atau teman untuk menghubungi ambulan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit terdekat. 3. Pasien Jantung Koroner Segera minum nitrat sublingual pada saat nyeri dada dan dapat diulang sampai 3 kali dengan interval 5 menit. Jika nyeri dada menetap dalam waktu 15 menit, pasien harus segera dibawa ke rumah sakit. 4. Petugas Kesehatan Menanyakan keluhan pasien, catat alamat dan nomor telepon, meminta pihak keluarga untuk menunggu di tempat strategis, segera berangkatkan ambulan dengan minimal 2 paramedis yang terlatih, pasien harus diberikan oksigen, aspirin, pasang infus, dan segera dibawa ke rumah sakit.

PENANGANAN DI RUMAH SAKIT Tatalaksana di IGD pada pasien pasien yang dicurigai STEMI yaitu 6,7: 1. Penilaian dan stabilisasi hemodinamik. 2. Monitoring EKG. 3. Berikan aspirin 150-300 mg (dikunyah atau dihancurkan sebelum diberikan, sehingga efek kerjanya cepat). 4. Berikan oksigen nasal atau sungkup. 5. Berikan nitrat sublingual (kecualii tekanan darah sistolik < 90 mmHg). 6. Pasang akses intravena, mengambil sampel darah untuk pemeriksaan enzim jantung, pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, gula darah dan profil lipid. 7. Atasi nyeri dengan morfin 2-5 mg intravena dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai rasa nyeri hilang. Jika timbul tanda-tanda intoksikasi dapat diberikan antiemetik (metoclopramide 10 mg atau promethazine 25 mg). 8. Hindari injeksi intramuskular karena dapat menyebabkan perdarahan. 9. Nilai kemungkinan dilakukannya reperfusi, baik dengan trombolitik maupun dengan primary PCTA.

Terapi Trombolitik Indikasi terapi trombolitik adalah sebagai berikut 6,7: 1. Gejala yang sesuai dengan IMA 2. Perubahan EKG ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sadapan yang berdekatan. Gambaran bundle branch block baru atau diduga baru 3. Onset nyeri dada < 6 jam : sangat bermanfaat

6-12 jam : bermanfaat > 12 jam : tidak bermanfaat, kecuali pada penderita dengan iskemia yang berlanjut

Jenis-jenis Obat Trombolitik

Obat Trombolitik Mutakhir dalam Pengobatan STEMI Streptokinase T ½ (menit) Alergenik Spesifik fibrin Resisten PAI-1 Bolus Dosis 15-25 Ya Tidak 1,5 juta unit lebih dari 30-60 menit 4-8 Tidak + Tidak 15 mg bolus, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kg (max 50 mg) lebih dari 30 menit, dilanjutkan 0,5 mg/kg (maks 35 mg) lebih dari 1 jam Alteplase (rt-PA) Tenecteplase (TNK-PA) 17-20 Tidak ++ + Satu berdasarkan BB < 60 kg 30 mg

60-69 kg 35 mg 70-79 kg 40 mg 80-89 kg 45 mg > 90 kg 50 mg

Penundaan terapi trombolitik dapat mengurangi miokardium yang seharusnya dapat terselamatkan.Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada infark non-st elevasi. Kontraindikasi pada terapi trombolitik terbagi atas dua, yaitu 6,7: 1. Kontraindikasi absolut     Strok hemoragik yang terjadi dalam 1 tahun terakhir. Neoplasma intracranial. Perdarahan internal aktif (tidak termasuk menstruasi). Suspek diseksi aorta.

2. Kontraindikasi relatif       Hipertensi berat (tekanan darah > 180/110 mmHg). Riwayat kejadian serebrovaskular atau kelainan intraserebral. Penggunaan antikoagulan dalam dosis terapi (INR 2-3). Trauma yang baru terjadi dalam 2-4 minggu atau resusitasi jantung lebih dari 10 menit atau operasi besar kurang dari 3 minggu. Pungsi pembuluh darah yang tidak dapat dikompresi. Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir.

   

Penggunaan streptokinase sebelumnya (terutama 5 hari sampai 2 tahun) atau riwayat alergi terhadap streptokinase. Kehamilan. Tukak lambung. Riwayat hipertensi kronik yang berat.

Komplikasi Trombolitik 6,7 1. Perdarahan Jika terjadi perdarahan, tindakan yang harus diambil adalah hentikan trombolitik, berikan FFP (Fresh Frozen Plasma) 2-4 unit, dan berikan asam traneksamin (10 mg/kgBB) IV perlahan-lahan.Dapat diulangi setelah 30 menit bila diperlukan. 2. Hipotensi Jika terjadi hipotensi posisikan pasien dengan letak kepala lebih rendah dan kaki terangkat, berikan cairan secara hati-hati, berikan inotropik (dopamin) jika diperlukan, dan hentikan trombolitik bila hipotensi tidak bias diatasi dengan terapi diatas. 3. Reaksi Alergi Jika terjadi alergi dapat ditanggulangi dengan pemberian steroid atau antihistamin. Indikasi Keberhasilan Reperfusi 6,7 1. Berkurangnya rasa nyeri. 2. Kembalinya ST elevasi ke garis isoelektrik lebih cepat dari waktu evolusi atau menurunnya ST elevasi > 50% pada saat selesainya trombolitik. 3. Kadar CK yang lebih cepat mencapai nilai puncak. Kegagalan Trombolisis 6,7 Kegagalan trombosis ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan menetapnya ST elevasi. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan rescue PTCA dan jika tidak memungkinkan sebaiknya trombolisis diulangi dengan dosis yang sama. Primary PTCA terbukti memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan patensi arteri koroner yang tersumbat dibanding trombolitik.Tindakan ini sebagai alternatif reperfusi dan tidak dianjurkan jika door to needle time melebihi 60-90 menit.

PENANGANAN DI ICCU/ICVCU 6,7 1. Tindakan Umum Istirahat total di temapt tidur dilakukan minimal 12 jam dan dianjurkan mobilisasi dini pada pasien infark tanpa komplikasi. 2. Monitoring Keadaan umum, tanda-tanda vital, pulse oximetry dan EKG harus dimonitor secara kontinu untuk mengantisipasi komplikasi. 3. Farmakoterapi   Pemberian oksigen 2-4 liter/menit cukup untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas 95%. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien IMA dan harus diteruskan seumur hidup. Aspirin diberikan dengan dosis awal 160-325 mg dan diteruskan dengan dosis 75-325 mg/hari. Pada penderita yang alergi atau tidak dapat mentolelir efek samping aspirin dapat diberikan ticlopidin 2x250 mg atau clopidogrel dengan dosis awal 300 mg diikuti 75 mg/hari.  Penyekat Beta Penyekat beta intravena sangat bermanfaat pada pasien dengan hipertensi dan takikardi.Pemberian penyekat beta harus diteruskan minimal selama 2 tahun.

Cara Pemberian Metoprolol Metoprolol Atenolol Propanolol Bisoprolol Carvedilol Intravena Oral Oral Oral Oral Oral

Dosis 5-15 mg 2 x 25-100 mg 1 x 25-100 mg 3 x 20-80 mg 1 x 5-10 mg 1 x 25-50 mg



ACE Inhibitor Pemberian ACE Inhibitor segera (24 jam) setelah IMA terbukti memperbaiki angka harapan hidup. ACE Inhibitor diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap diatas 100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien gagal jantung, infarc anterior, dan disfungsi ventrikel kiri. Dosis awal Captopril Ramipril Enaplapril Lisinopril Quinapril Trandoplapril Fosinopril Perindopril 3 x 6,25 mg 2 x 2,5 mg 1 x 2,5-5 mg 1 x 5 mg 2 x 5 mg 0,5 mg 1 x 10 mg 1 x 2 mg Target 3 x 25-50 mg 2 x 5 mg 1 x 10 mg 1 x 10 mg 2 x 10-20 mg 1 x 4 mg 1 x 40 mg 1 x 4 mg



Nitrat Pada fase akut, nitrat intravena dapat digunakan karena kerjanya yang cepat, dosisnya mudah dititrasi dan dapat dihentikan dengan cepat apabila terjadi efek samping. Setelah 48 jam, nitrat oral atau topikal dapat diteruskan jika pasien masih mengalami angina, gagal jantung, atau IMA yang luas. Preparat Cara pemberian Intravena Dosis 5-200 µg/menit 0,3-0,6 mg, dapat Sublingual diulangi sampai 5 kali dengan interval 5 menit 0,2-0,8 mg dalam Transdermal 12 jam. 12 jam berikutnya dilepas. Isosorbid dinitrat Isosorbid mononitrat Intravena Sublingual Oral 1,25-5,0 mg/jam 2,5-10 mg 20-30 mg, 2-3 x/hari hingga 120 1 menit 3-4 menit 30-60 detik 1-2 jam 2 menit Mula kerja 1 menit

Nitrogliserin, gliseril trinitral

mg/hari 

Antagonis kalsium Golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut.



Antitrombotik Heparin diindikasikan untuk:  Pasien yang mendapat trombolitik dengan tPA.  Angina pasca infark.  Pasien yang mendapat streptokinase namun mempunyai resiko tromboemboli tinggi, seperti fibrilasi atrium, thrombus intramural, dan lain-lain.  Pasien dengan STEMI yang tidak mendapat terapi fibrinolitik (datang > 12 jam, ada kontraindikasi, dan lain-lain).  Pasien yang akan dilakukan PTCA. Heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberikan 5.000 unit bolus dilanjutkan dengan 1.000 unit/jam. Dosis heparin diteruskan sampai target aPTT 1,5-2 x nilai normal.



Antagonis reseptor glikoprotein IIb/IIIa Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinis sebagai terapi adjuvan trombolitik.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) 8 Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien < 75 tahun) resiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Operasi Bedah Pintas Koroner Darurat (URGENT CABG) 6,7 Operasi bedah pintas koroner darurat sangat dianjurkan apabila:   Nyeri dada/iskemia terus berlanjut Hemodinamik tidak stabil

Pasien pasien ini harus ditangani dengan agresif dengan pemasangan IABP.Secara umum, angka mortalitas pada pasien-pasien ini sangat tinggi. 2.1.9. KOMPLIKASI8 1. Takiaritmia  Fibrilasi ventrikel (VF) Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless diberikan terapi DC shockunsynchoronized dengan energi awal 200 J. Jika tidak berhasil harus diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J. Fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikel pulseless yang refrakter terhadap syok elektrik diberikan terapi amiodaron  300 mg atau 5 mg/kgBB, IV bolus dilanjutkan dengan

shockunsynchoronized. Takikardia ventrikel (VT)  Takikardia ventrikel polimorfik yang menetap (lebih dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC

shockunsynchoronized dengan energi awal 200 J. Jika tidak berhasil harus diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.  Takikardia ventrikel monomorfik yang menetap diikuti dengan angina edema paru, atau hipotensi harus diterapi dengan terapi DC synchoronized energi awal 100 J.  Kontraksi ventrikel prematur (VES) Aritmia ini biasanya ringan dan tidak membutuhkan terapi.Koreksi iskemia, hipoksia, dan ketidakseimbangan elektrolit.   Accelerated Idioventricular Rhythm Tidak membutuhkan terapi. Fibrilasi atrium  Fibrilasi atrium dan fluter atrial pada pasien dengan gangguan hemodinamik harus diterapi dengan 1 atau lebih cara berikut: 1. Kardioversi synchronizeddengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter atrial. 2. Jika tidak respon terhadap kardioversi elektrik dapat digunakan 1 atau lebih obat farmakologi berikut: amiodaron IV dan digoksin IV.

 Fibrilasi atrium dan fluter atrial pada pasien tanpa gangguan hemodinamik harus diterapi dengan 1 atau lebih obat berikut: penyekat beta, diltiazem atau verapamil IV, dan kardioversi synchronized dengan shock 200 J untuk fibrilasi atrial dan 50 J untuk fluter.

2. Bradiaritmia  Sinus bradiaritmia dan blok Bradikardia sinus simptomatik, sinus pauses> 3 detik atau bradikardia dengan frekuensi jantung < 40 x permenit disertai hipotensi dan tanda gangguan hemodinamik sistemik diberikan terapi atropin 0,5-1 mg. Jika bradikardia menetap dan dosis atropin sudah mencapai 2 mg, harus diberikan pacu jantung transkutaneus atau transvenous.

3. Syok kardiogenik        Terapi O2. Jika tekanan darah sistolik < 70 mmHg dan terdapat tanda syok, diberikan norepineprin. Jika tekanan darah sistol < 90 mmHg dan terdapat tanda syok diberikan dopamin dosis 5-15 µg/kgBB/menit. Jika tekanan darah < 90 mmHg, namun tidak terdapat tanda syok, diberikan dobutamin dosis 2-20 µg. Revaskularisasi arteri koroner segera baik PCI atau CABG. Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak ideal untuk terapi invasif dan tidak mempunyai kontraindikasi trombolisis. Intra Aortic Ballon Pump (IABP)direkomendasikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak membaik.

4. Edema paru akut  Terapi O2.  Morfin sulfat diberikan 2,5 mg IV, dapat diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20 mg.  Inhibitor ACE dimulai dengan dosis awal rendah (6,2 mg captopril).

 Nitrogliserin diberikan peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit, kemudian IV 10-20 µg kecuali tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau >30 mmHg dibawah baseline.  Diberikan furosemide 40-80 mg bolus IV, dapat diulang atau dosis ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinu sampai mencapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.  Penyekat beta harus diberikan sebelum pulang untuk pencegahan sekunder.  Antagonis aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien STEMI tanpa disfungsi ginjal bermakna.

5. Infark ventrikel kanan               Pertahankan preload ventrikel kanan. Loading volume (Infus NaCl 0,9%): 1-2 liter cairan jam I selanjutnya 200 ml/jam (target tekanan atrium kanan > 10 mmHg). Hindari penggunaan nitrat dan diuretik. Pertahankan sinkroni A-V dan bradikardia harus dikoreksi. Pacu jantung sekuensial A-V pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak respon dengan atropin. Diberikan inotropik jika curah jantung tidak meningkat setelah loading volume. Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventikel kiri. Pompa balon intra aortik. Vasodilator arteri (nitropruspid, hidralazin). Penghambat ACE. Reperfusi. Obat trombolitik. Percutaneus Coronary Intervention(PCI) primer. Coronary Artery Bypass Graft (CABG).

6. Perikarditis  Berikan aspirin 3-4 x 600 mg.  Indometacin, ibuprofen.  Kortikosteroid.

2.1.10 PENCEGAHAN SEKUNDER 6,7 1. Berhenti merokok. 2. Diet rendah garam, asam lemak jenuh, kolesterol, dan tinggi serat (20-30 gr/hari). 3. Olahraga 3-4 kali seminggu dengan durasi 30-60 menit. 4. Aspirin harus diberikan 75-300 mg/hari seumur hidup, kecuali terdapat kontraindikasi dapat diberikan ticlopidin atau clopidogrel. 5. Penyekat beta harus diberikan pada semua pasien IMA dengan hemodinamik stabil. 6. ACE inhibitor diberikan pada penderita IMA seumur hidup, jika terdapat kontraindikasi dapat dipertimbangkan penggunaan ARB. 7. Pasien dengan kadar kolesterol tinggi sebaiknya diberikan golongan statin, sedangkan pasien dengan kadar LDL normal (< 100 mg/dl) dan HDL rendah (<40 mg/dl) sebaiknya diberikan golongan fibrat. 8. Obat-obat antagonis kalsium dan nitrat diberikan untuk terapi simtomatik iskemia. 9. Terapi antikoagulan jangka panjang diberikan pada pasien dengan fibrilasi atrium.

2.1.11. PROGNOSIS Ada beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA 8 5. Klasifikasi Killip Kelas I II III IV Definisi tidak ada tanda gagal jantung kongestif + S3 dan atau ronki basah edema paru syok kardiogenik Mortalitas (%) 6 17 30-40 60-80

6. Klasifikasi Forrester Kelas I II Indeks Kardiak (L/min/m ) > 2,2 > 2,2
2

PCWP (mmHg) < 18 > 18

Mortalitas (%) 3 9

III IV

< 2,2 < 2,2

< 18 > 18

23 51

3.

Timi risk score Adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik. Faktor resiko (bobot) usia 65-74 tahun (2 poin) usia> 75 tahun (3 poin) diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin) tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin) frekuensi jantung > 100 x permenit (2 poin) klasifikasi killip II-IV (2 poin) berat badan < 67 kg (1 poin) elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) skor resiko = total poin (0-14) 3 (4,4) 4 (7,3) 5 (12,4) 6 (16,1) 7 (23,4) 8 (26,8) > 8 (35,9) Skor resiko/mortalitas 30 hari (%) 0 (0,8) 1 (1,6) 2 (2,2)

BAB 3 LAPORAN KASUS CATATAN MEDIS PASIEN

Nama pasien Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat Agama Tanggal Masuk

: Tn. N. Pasaribu : 49 Tahun : Laki-Laki :wiraswata : Desa Simorangkir : Kristen : 15 April 2011

________________________________________________________________________ Keluhan Utama Anamnese : Nyeri dada :

Hal ini dialami pasien sejak 3 hari yang lalu SMRS. Nyeri dirasakan seperti terbakar didada dan menjalar ke rahang bawah. Awalnya nyeri dirasakan setelah pasien berkebun. Nyeri tersebut tidak berkurang dengan istirahat. setelah 4 jam os merasakan nyeri, os berobat ke praktek dokter umum di tarutung dan dinyatakan menderita sakit jantung. Kemudian os dirujuk ke Rumah Sakit swasta di Medan. Kemudian os berobat ke praktek dokter P. Manik Sp. JP dan oleh dokter tersebut os dirujuk ke RS HAM. Pasien sebelumnya telah diberikan obat untuk nyeri dadanya oleh dokter ditarutung. Keringat dingin tidak dijumpai. Pasien mengeluh mual selama serangan,muntah (-). Perasaan berdebar-debar tidak pernah dirasakan os. Pasien juga tidak pernah merasakan sesak nafas. Keluhan nyeri dada ini baru pertama kali dialami os. Pasien tiba di IGD RS HAM dengan keluhan nyeri dada.

-

Riwayat merokok dijumpai sejak kira-kira 25 tahun lalu, setengah bungkus per hari. Os sudah 8 tahun terakhir berhenti merokok. Konsumsi alcohol dan tuak dijumpai. Riwayat sakit asam urat (+)

-

Berat badan : 95 kg ; tinggi badan : 176 cm : laki-laki, obesitas

Faktor resiko PJK

Riwayat Penyakit Terdahulu :asam urat Riwayat Pemakaian Obat :Tidak jelas

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Status presen Tekanan darah HR RR Temp : lemah : Compos Mentis : 100/60 mmHg : 85 x/i : 24x/i : 36,5ºC Sianosis Orthopnoe Dispnoe Ikterus Oedema Anemia : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)

Kepala

: mata : anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), RC (+/+) pupil isokor ka=ki

Leher

: JVP R+2 cmH2O : Inspeksi : Simetris fusiformis

Thorax

Palpasi : SF ka = ki, kesan normal Perkusi Auskultasi : sonor di kedua lapangan paru : vesikuler

Jantung

: Batas atas

: ICS III sinistra

Batas kanan :Linea parasternal dextra Batas kiri :LMCS 1cm medial ICR V

: S1 (N), S2 (N), S3 (-), S4 (-) Regulitas: reguler Murmur (-) Punctum maximum :Radiasi : -

Paru

: SP : vesikuler ST :-

Abdomen

: Palpasi : soepel H/L/R : tidak teraba Asites : (-)

Ekstremitas

: Superior : sianosis (-), clubbing finger (-) Inferior : oedema pretibial (-), pulsasi arteri (+/+), akral hangat

GAMBARAN EKG

INTERPRETASI EKG Sinus rytme, QRS rate: 64x/i, QRS axis= normoaxis, P wave: (+) normal, QRS duration : 0,08”, PR interval : 0,16”, ST-elevasi : III, AVF, Q Path. : III, AVF, LVH (-), RVF (-), VES (-). KESAN :SR + STEMI inferior

FOTO THORAX

INTERPRETASI FOTO THORAX CTR: 50%, Segemen Aorta dan pulmonal : Normal, , Pinggang Jantung : (-), Apex downward, Kongesti (+), Infiltrat (-). KESAN :normal

HASIL LABORATORIUM Darah Lengkap : Hb Eritrosit Leukosit Hematokrit Trombosit :17 g % :5, 92 x 106/mm3 :14,4 x 103/mm3 :52,9 % :223 x 103/mm3

AGDA : pH pCO2 pO2 HCO3 Total CO2 BE SaO2 : 7,425 : 32,1 mmHg : 108,9 mmHg : 21,3 mmol/L :21,5 mmol/L : -2,6 mmol/L : 98,2%

Faal Hati SGOT SGPT : 130 U/L : 46 U/L

Troponin – T : 1,8 Glukosa darah sewaktu Ginjal Ureum Kreatinin : 36 mg/dL : 0,72 mg/dL : 142 mg/dL

Elektrolit serum Natrium (Na) Kalium (K) Klorida (Cl) : 127 mEq/L : 4,8 mEq/L : 111 mEq/L

DIAGNOSA Diagnosis kerja :STEMI inferior onset 2 hari killip I TIMI risk 2/14 Fungsional Anatomi Etiologi : : :

PENGOBATAN  Bedrest semifowler  O2 2-4 L/I  Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam (5 hari)  Plavix 4 tab, selanjutnya 1x 75 mg  Aspilet 2 tab, selanjutya 1x 80 mg  ISDN 3x5mg k/p  Simvastatin 1x40mg  Captopril 3x6,25mg

RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA • • • • Lipid profile KGD N/2 jam PP Echocardiography Angiografi koroner

PROGNOSIS  Vitam  Functionam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

 Sanactionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP Follow up 16-17 april 2011 S: nyeri dada(-) : CM, TD : 100/60 mmHg, HR :65x/i, RR: 28x/i, Temp: 37oC

O: Sens

Kepala : anemis (-/-), ikterik (-/-) Leher : TVJ R + 2 cmH2O Cor : S1(N) , S2 (N), Murmur (-) ST : Pulmo : SP :vesikuler, Abd Eks A: P:

: Soepel, Hepar/ lien = ttb : Edema pretibial (-), akral hangat

STEMI inferior onset 2 hari killip I TIMI risk 2/14  -Bedrest semifowler  O2 2-4 L/I  Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam (5 hari)  Plavix 4 tab, selanjutnya 1x 75 mg  Aspilet 2 tab, selanjutya 1x 80 mg  ISDN 3x5mg k/p  Simvastatin 1x40mg  Captopril 3x6,25mg

Follow up 18 april 2011 S: nyeri dada (-) : CM, TD : 120/70 mmHg, HR :70x/i, RR: 22x/i, Temp: 36.5oC

O: Sens

Kepala : anemis (-/-), ikterik (-/-) Leher : TVJ R + 2 cmH2O Cor : S1(+) , S2 (+), Murmur (-) ST : ronkhi basah basal Pulmo : SP :vesikuler, Abd Eks

: Soepel, Hepar/ lien = ttb : Edema pretibial (-), akral hangat

A: STEMI inferior onset 2 hari killip I TIMI risk 2/14 P:  -Bedrest semifowler  O2 2-4 L/I  Inj. Lovenox 0,6 cc/12 jam (5 hari)  Plavix 4 tab, selanjutnya 1x 75 mg  Aspilet 2 tab, selanjutya 1x 80 mg  ISDN 3x5mg k/p  Simvastatin 1x40mg  Captopril 3x6,25mg  Alprazolam 3x0,5mg

FOLLOW UP EKG 13 April 2011 (RS TARUTUNG) SR, QRS rate 79x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : - , T inverted -, LVH -, RVH -, VES – Kesan : SR + STEMI inferior 15 April 2011 (RS ELISABETH) SR, QRS rate 66x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III , T inverted II, III, AVF; LVH -, RVH -, VES – Kesan : SR + STEMI inferior 15 April 2011 (IGD RS HAM, Pukul 18.11) SR, QRS rate 69x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III, AVF , T inverted II, III, AVF ;LVH -, RVH -, VES – Kesan : SR + STEMI inferior 15 April 2011 (CVCU, Pukul 19.00) SR, QRS rate 64x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III, AVF T inverted II, III, AVF; LVH -, RVH Kesan : SR + STEMI inferior 16 April 2011 (Ruangan, Pukul 05.15) SR, QRS rate 63x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.16”, QRS duration 0,08, ST elevasi : III, AVF; Q path. : III, AVF; T inverted II, III, AVF; LVH -, RVH Kesan : SR + STEMI inferior 18 April 2011 (Ruangan, Pukul 07.00) SR, QRS rate 73x, QRS axis : normo axis, P wave (+) normal, PR interval 0.2”, QRS duration 0,08, ST elevasi : (-); Q path. : III , T inverted II, III, AVF; LVH -, RVH -, VES – Kesan : SR + STEMI inferior

DAFTAR PUSTAKA

1. Kalim H, Idham I, Irmalita, Karokaro S, Soerianata S, Tobing DPL, 2004. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut Dengan ST-Elevasi. Jakarta: PERKI. 2. Alwi I, 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo A.W., et al, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1741-1756. 3. Naik H, Sabatine MS, Lilly LS, 2007. Acute Coronary Syndrome. In: Lilly LS, ed. Pathophysiology of Heart Disease 4th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 168-196. 4. Dharma S, 2009. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: EGC. 5. Huon h. gray, keith d. dawkins, john m. morgan, et. al. penyakit jantung koroner.lecture notes kardiologi. Ed. 4. EMS; 2007. Hal. 107-111. 6. Harmani Kalim, Idris Idhan, Irmalita, dkk. Penatalaksanaan Pra Rumah Sakit. Pedoman Perhimpunan Dokter SPesialis Kardiovaskular Indonesia Tata Laksana Sindroma Koroner Akut dengn ST Elevasi. PERKI; 2004. Hal.8-9. 7. Harmani Kalim, Idris Idhan, Irmalita, dkk. Penatalaksanaan di Rumah Sakit. Pedoman Perhimpunan Dokter SPesialis Kardiovaskular Indonesia Tata Laksana Sindroma Koroner Akut dengn ST Elevasi. PERKI; 2004. Hal. 12-20.
8. Idrus Alwi.2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST, dalam, Aru W. Sudoyo, dkk.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ke-2. Edisi ke-5. Jakarta;Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1748-1754.

Sponsor Documents

Or use your account on DocShare.tips

Hide

Forgot your password?

Or register your new account on DocShare.tips

Hide

Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link to create a new password.

Back to log-in

Close